“Abang!”
Shea melompat berdiri dari kasur, tubuhnya limbung, dengan bijak dia bersandar di meja rias. Lalu terdiam cukup lama sampai pusingnya hilang.“Kenapa kamu tiba-tiba bangun, Shea?”Shea mengangkat pandangan, lalu menunduk lagi. Merasa keki dengan kebiasaan suaminya yang menanggalkan atasan tiap kali tidur.“Abang pakai baju dulu.”“Why?” Dia sewot.Yah mentang-mentang situ good looking, mudah saja untuk petantang-petenteng. Tapi tolong, pikirkan juga dengan otak Shea yang traveling ke mana-mana.Beruntung mereka sudah jadi suami istri, kalau tidak, Shea akan malu maksimal.“Kamu sendiri nggak pakai baju.”Hah?Shea menunduk, dan yah... tali tipis di bahunya memang agak melorot sedikit sehingga belahan dadanya menyembul.Dengan wajah panas, Shea menariknya ke tempat semula. Lalu mendelik pada suaminya yang tersenyum lebar.“Aku setuju Abang tidur di sini buat temenin a“Sidra nggak diajak Ma? Kayaknya dia pengin banget main ke Jakarta.”“Lah itu, Mama mau ajak dia, tapi sekolahnya mau ujian. Jadi mending fokus belajar aja, walaupun Mama nggak tau dia nurut apa nggak. Pas mau berangkat ke sini aja, dia malah sibuk main futsal.”Shea meringis. Membantu Mama menata tumis kangkung di dalam mangkuk. Mereka sudah makan siang di restoran Jepang yang direservasi suaminya. Shea juga merasa sudah kenyang. Tapi orang tuanya lain, mereka kesulitan menerima, terbiasa menikmati menu rumahan, disuguhi makanan lintas negara, Mama sama Papa jelas kurang puas. Alhasil, Jerikho menawarkan untuk pindah restoran lokal. Tapi Mama memilih untuk masak sendiri saja di apartemen.“Jarang di rumah ya, dia?”“Udah punya pacar.”Ya ampun, Shea mulas, rasanya masih tidak menyangka, adik kecil yang dulu selalu membuntutinya ke mana-mana kini sudah membuntuti perempuan lain.“Pacarnya sering dibawa ke ruma
“Abang!”Shea melompat berdiri dari kasur, tubuhnya limbung, dengan bijak dia bersandar di meja rias. Lalu terdiam cukup lama sampai pusingnya hilang.“Kenapa kamu tiba-tiba bangun, Shea?”Shea mengangkat pandangan, lalu menunduk lagi. Merasa keki dengan kebiasaan suaminya yang menanggalkan atasan tiap kali tidur.“Abang pakai baju dulu.”“Why?” Dia sewot.Yah mentang-mentang situ good looking, mudah saja untuk petantang-petenteng. Tapi tolong, pikirkan juga dengan otak Shea yang traveling ke mana-mana.Beruntung mereka sudah jadi suami istri, kalau tidak, Shea akan malu maksimal.“Kamu sendiri nggak pakai baju.”Hah?Shea menunduk, dan yah... tali tipis di bahunya memang agak melorot sedikit sehingga belahan dadanya menyembul. Dengan wajah panas, Shea menariknya ke tempat semula. Lalu mendelik pada suaminya yang tersenyum lebar.“Aku setuju Abang tidur di sini buat temenin a
[Abang pulang jamber?] Jerikho menatap pesan itu sejenak, lalu meletakkan ponselnya dalam posisi terbalik di atas meja. Jemarinya mengusap atas bibir, berkonsentrasi menyimak tangkapan layar di proyektor yang menampilkan update terakhir persidangan kasus Armin. “...Sidang tinggal satu sesi, dan kalau nggak ada kejutan busuk dari pihak inspektorat, kita bisa menang ini.” Suara Nadine, tim legal, yang kini duduk di salah satu meja panjang, terdengar. “Tapi harus tetap waspada,” sela Radit. “Majelis etik punya wewenang untuk mengeluarkan teguran tertulis walau nggak terbukti bersalah secara substansi. Tapi kalau dilihat dari arah pertanyaan mereka di sidang terakhir, sepertinya kita bakal dapat putusan bebas murni.” “Kerja bagus, Dit.” Laki-laki itu merona, lalu berdeham kecil. "Makasih Mbak, ini juga karena banyak dibantu sama yang lain.” “Kita tim, Dit. Santai.” Lalu Nadine menatap Jerikho yang sedari tadi hanya diam. “Gimana Pak? Nggak ada lagi yang perlu ditambahkan un
“Semua teman penting kan, Bang. Maksudnya, apalagi teman yang sedang kesusahan, aku cuma mau bantu.” Astaga. Di bagian mana lagi Shea bisa menggali alasan dari persediaan kosa-katanya agar bisa berkelit? Jerikho tidak menyahut. “Sebagai pengacara, gimana hukuman kalau tiba-tiba melakukan pemukulan? Abang bisa kasih aku sedikit gambaran? Atau nasihat dari segi hukumnya?” Tidak ada jawaban. “Dua tahun, lima tahun?” Tidak ada tanggapan. “Oke, aku cari di g0ogle aja.” Jerikho seperti tidak peduli. Shea mengambil ponsel dari sling bag, berpura-pura menscroll layar. Mungkin inilah satu lagi sifat Jerikho yang masuk dalam arsip pengetahuan Shea. Dia sangat menyeramkan kalau sedang marah. Karena Jerikho memberlakukan silent treatment. Dan itu lebih menguras mental daripada dia meleda
“Jeri.” Here we go. Bisa tidak Shea langsung menyeret Jerikho pergi? Tapi tentu saja sulit, jika suaminya sendiri memilih menoleh. Mungkin Jerikho refleks, atau mungkin dia memang tertarik dengan penampilan Livia yang for God's sake, kelihatan memukau dalam balutan empire waist dress dengan bahan satin ringan yang jatuh lembut di tubuh rampingnya. “Selamat untuk kasusnya. Aku sudah menduga ini sejak awal. Perempuan itu hanya mencari sensasi. Glad, kamu bisa membuat dia akhirnya menyerah.” Perut Shea memberontak. “Kalian baru saja mau makan?” “Kami sudah selesai, Livia.” “Oh, tapi pestanya baru saja dimulai. Kenapa kalian kelihatan buru-buru?” “Shea—” “Kemari, aku punya beberapa rekomendasi makanan yang cocok untuk dikonsumsi ibu hamil,” katanya, tanpa diminta langsung bergegas
Shea melangkah di atas flats dengan hati-hati. Tangannya digenggam erat sang suami, menyapa para kolega. Meski bibirnya menebar senyum. Tapi tidak ada apapun yang bisa Shea rasakan malam ini, seakan hatinya kebas. “Di luar banyak wartawan, aku mau kamu jangan terlalu jauh, Shea.” “Memangnya aku bisa ke mana, aku bahkan nggak tau sebagian besar teman-teman Abang?” Alisnya naik saat menoleh. “Kamu nggak suka berada di keramaian?” “Kalau nggak suka, aku nggak akan ikut,” katanya memandang sekitar dengan nanar. “Nggak pa-pa, selamat buat Abang dan tim, kalian udah bekerja keras.” Jerikho mengecup keningnya sekilas tepat ketika Mba Naomi mendekat. “Maaf ya, Pak, saya mau mengambil Shea. Permisi.” Tangannya dengan jemari lentik terulur, menarik pergelangan tangan Shea. Suaminya dengan