Pagi hari berjalan seperti biasanya, Fatan belum pulang ke rumah, Jingga sudah bersiap untuk sarapan bersama keluarganya, ketika hendak keluar dari kamarnya, suaminya masuk dan baru pulang.
Jingga hendak meraih tangan Fatan, namun Fatan menghindarinya. Jingga menatap wajah suaminya yang saat ini berganti pakaian. “Mas, kamu baru pulang? Semalam kamu menginap dimana?” tanya Jingga masih dengan suara yang lembut. “Saya menginap di rumah Elsa," ucap Fatan berterus terang. “Elsa? Kenapa kamu menginap di sana, Mas? Apa yang terjadi? Elsa bukan muhrimmu, tapi kamu menginap di sana?” Jingga tak habis pikir, perasaannya memang sudah tidak enak beberapa hari ini, semenjak Elsa datang di tengah mereka. “Kami sudah terbiasa melakukannya.” Fatan kembali menjawab seolah itu tidak penting bagi Jingga. Jingga merasa sesak didadanya, ia mengira pernikahan ini akan menjadi pernikahan yang bahagia, setidaknya diawal pernikahan seperti itu, bukan? Tapi, kenapa berbeda? Fatan bukan orang yang jahat, ia anggap Fatan hanya tersesat sesaat, tapi jika terus tersesat, akan kah Fatan menemukan jalan pulang? “Mas, kamu mau kemana lagi?” tanya Jingga melihat suaminya yang baru pulang dari rumah Elsa, kembali bersiap. “Saya mau ke kantor. Setelah itu, saya akan menemani Elsa belanja.” Fatan benar-benar tidak menganggap jawabannya akan menyakiti istrinya. “Mas,” lirih Jingga. “Sudah ya, saya tidak mau mendengar apa yang ingin kamu katakan. Saya buru-buru.” “Mas, sarapan dulu yuk, kamu juga belum menyapa Ibu dan Bapak.” Kali ini Jingga harus lebih mengalah dan bersikap tenang. “Saya sudah menyapa mereka tadi, jadi saya harus langsung pergi. Saya akan sarapan di kantor,” jawab Fatan mengenakan kemeja, untungnya ia sudah mandi di rumah Fani. “Tapi, kamu pulang kan, Mas? Kamu tidak akan menginap, ‘kan?” Jingga kembali bertanya. “Hari ini, Jaka akan menjemput kamu, bawa semua barang-barang kamu, untuk sementara kita akan tinggal di apartemen saya untuk sementara waktu. Karena rumah saya masih di renovasi. Saya juga tidak mau tinggal di rumah Mama.” Jingga mengangguk. “Ada pertanyaan lagi?” Jingga menggeleng. “Jangan menunggu saya malam ini, saya mungkin pulangnya agak malam.” Fatan melanjutkan. Fatan lalu melangkah pergi meninggalkan Jingga yang di isi kepalanya masih banyak pertanyaan, namun dihentikan dengan kenyataan yang ada. *** “Apa? Mang Jaka akan menjemput kamu?” tanya Ibrahim—sang Ayah. “Iya. Karena itu Jingga izin sama Ibu dan Bapak.” “Kamu sudah menikah, dimana pun suamimu akan membawamu itu sudah menjadi tanggung jawabnya. Tapi, kamu jangan pernah lupa datang menengok Bapak dan Ibu, ya.” Ibrahim melanjutkan. “Tentu saja, Pak, Bu,” jawab Jingga. “Kamu yakin akan bahagia dengan Fatan? Semalam dia tidak pulang, ‘kan? Bahkan dia membuatmu merana di malam pernikahanmu sendiri. Yakin dia tidak akan melakukan itu lagi jika kamu sudah pindah?” “Jangan doakan adikmu seperti itu.” “Bu, aku yakin kalau Fatan tidak mencintai Jingga.” “Mungkin kemarin ada urusan, Nak, kita harus memahaminya.” “Kalau kamu pindah, jangan lupakan shalat ya, Nak. Tetap dekatkan diri pada Allah, karena hanya Allah yang dapat menolong kita.” Jingga mengangguk. Baru kali ini ia akan pergi dari rumah ini. “Aku mau tetap tinggal di sini, Bu, nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Jedar. “Nggak apa-apa lah, Nak.” “Soalnya rumah Mas Bara juga masih di renovasi katanya.” “Iya.” “Assalamu’alaikum,” ucap Mang Jaka dan masuk ke rumah. “Wa’alaikumussalam. Eh Mang Jaka? Udah datang, ya?” “Saya di suruh Pak Fatan untuk menjemput Ibu.” “Baik, Mang. Tunggu sebentar ya.” “Barang-barang Bu Jingga dimana? Biar saya masukkan ke bagasi mobil.” Jingga menunjuk kopornya. Ia hanya membawa satu kopor besar. “Kalau begitu saya tunggu di mobil.” Jingga memeluk Ibu dan bapaknya, lalu mengecup punggung tangan keduanya. Jingga sudah menikah, ia tidak boleh terus bergantung pada kedua orangtuanya, apa pun masalah pernikahannya, hanya dia yang harus tahu. “Bu, Pak, kalau begitu Jingga pamit dulu, ya, Jingga janji akan sering nengokin Ibu dan Bapak.” “Hidup di kota pasti sulit ya, Nak?” “Insha Allah nggak, Bu, kan ada Mas Fatan. Lagian Jingga juga bisa lebih dekat dengan kampus. Nggak harus bolak-balik naik ojol jauh-jauh.” Kedua orangtuanya mengangguk. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain melepas Jingga pergi. “Rumah Ibu dan bapak juga kan dekat dari kota, nggak jauh-jauh amat kalau ke kota. Jadi, kalau ada kesempatan ibu dan bapak ke kota, ya," kata Jingga menatap kedua orangtuanya lagi. Kedua orangtuanya mengangguk lagi. Jingga lalu memeluk ibu dan bapaknya, lalu memeluk mbaknya. Ada perasaan sedih di hati Jedar melepas adiknya pergi, tidak ada lagi teman berkelahinya. Jingga akan ke kota dan tinggal di sebuah apartemen mewah. Jingga melambaikan tangan dan pergi meninggalkan rumah. Mang Jaka mempersilahkannya masuk ke mobil dan mereka pergi. Jingga mendesah napas halus dan menoleh melihat ke arah jendela mobil, dan melihat kedua orangtuanya tengah melambaikan tangan. Jingga sedih sekali. Namun, ia sudah menikah, jadi ia harus mendedikasikan dirinya sebagai istri yang baik. “Mang, saya boleh bertanya?” tanya Jingga. “Boleh, Bu, silahkan.” “Mang nggak usah panggil saya Ibu, panggil Jingga saja.” “Mana boleh diperkenankan seperti itu, Bu, saya juga tidak bisa melakukannya.” Jingga mengangguk. “Mang Jaka kenal sama Elsa?” “Bu Elsa, ya? Kenal.” “Apa semalam Bapak menginap di sana?” “Saya tidak tahu, Bu.” “Mang Jaka nggak usah bohong, karena Mas Fatan bilang sendiri ke saya kalau dia menginap di rumah Elsa.” “Kalau begitu saya akan jawab sejujurnya. Iya, Bu, Bapak menginap di sana. Tapi, Ibu tidak usah khawatir atuh, karena Bapak tidak mungkin melakukan sesuatu di luar batas. Bapak itu paling tahu batasan kok,” jawab Mang Jaka yang pasti akan membela bosnya. “Mang Jaka pasti akan mengatakan itu, karena Mas Fatan adalah bosnya Mang Jaka.”Pagi menunjukkan pukul 10, Fatan baru bangun, ia merasa lebih enakan dan nyenyak tidur di kampung halaman Jingga. Seolah semua beban pekerjaan hilang begitu saja.Fatan memiliki insomnia berat, bahkan jam 3 malam sering terbangun hingga pagi hari, lalu ke kantor dengan mata lelah. Lalu, malam hari pun sulit tidur. Tak pernah merasakan benar-benar nyenyak.Fatan melihat seisi rumah, tak ada siapa pun, Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar rumah melalui pintu samping.Fatan melihat Jingga tengah berbincang dengan seorang wanita yang juga berhijab, Jingga tertawa lebar hingga membentuk tawa yang indah dipandang, Jingga juga memukul pelan lengan temannya. Fatan melihat hal itu, cantik sekali. Didalam pikiran Fatan.Fatan menyunggingkan senyum menatap Jingga yang asyik bercerita dengan temannya sampai tak menyadari jika sejak tadi Fatan tengah memandangnya tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.Jingga kembali tertawa lebar, tawa yang membentuk senyuman indah yang menawan, elegant dan pol
Jingga masuk ke kamarnya setelah membersihkan badan, ia masih menggunakan hijabnya sementara itu suaminya sudah berbaring di atas tempat tidur seraya bermain ponsel sejak tadi ponsel suaminya itu sudah berdering menandakan seseorang mendesak untuk berbicara. Jingga duduk di depan cermin mengenakan pelembab seadanya tanpa Skin Care lengkap Jingga tetap terlihat cantik dan seperti merawat diri. Tak lama kemudian Jingga menoleh dan melihat lirikan suaminya, sepertinya Fatan tak enak hati padanya karena ponselnya sejak tadi bergetar. “Mas angkat saja siapa tahu saja penting,” kata Jingga berusaha untuk tidak terganggu walau ia sudah tahu seseorang yang mendesak ingin berbicara itu sudah pasti Elsa. “Baiklah. Saya keluar sebentar.” Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Fatan memilih berdiri di teras rumah mertuanya dan mengangkat telepon dari Elsa. Fatan melirik ke dalam rumah. Ibrahim dan Nania tengah ke masjid, sementara itu Jedar dan Bara sudah di kamar. ‘Halo?’
Jingga dan Fatan tiba di rumah kedua orangtua Jingga, Fatan langsung memarkirkan mobil di depan rumah, lalu mereka keluar dari mobil, di sambut langsung oleh Ibrahim dan Nania, sementara itu Jedar duduk di kursi teras seraya memainkan bibirnya yang kesal.Jingga dan Fatan langsung meraih tangan Nania dan Ibrahim, lalu mencium punggung tangan keduanya, seperti itu lah ajaran kepada yang lebih tua.“Ayo masuk, Nak,” ucap Ibrahim mempersilahkan Fatan masuk.“Jedar, kamu buatkan Jingga sama Fatan minum, ya,” titah Nania.“Apa sih, Bu, kayak siapa aja yang datang, lebay banget.”“Jedar, adikmu dan Adik iparmu datang, kamu harus melayani mereka. Mereka itu tamu kita,” kata Nania masih menatap Jedar yang bodoh amat.“Nggak mau ah, aku nggak mau,” tolak Jedar.“Udah, Bu, nanti Jingga saja yang buat minum.” Jingga menggeleng.“Apa sih, kamu kan juga anak Ibu, harusnya kamu yang buat minum, mentang-mentang kamu adalah kesayangan Ibu, jadi kamu kalau kemari mau dilayanin gitu? Lebay. Aku aja ngg
“Mas, kamu masih di rumah? Tidak bekerja?” tanya Jingga keluar dari kamarnya.“Tidak,” jawab Fatan. “Oh iya. Tadi, Bapak dan Ibu menelpon saya. Menyuruh kita berdua untuk berkunjung.”“Bapak sama Ibu menelpon?” “Iya. Menyuruh kita berkunjung, katanya hari ini kamu tidak ada mata kuliah.” Fatan menjawab.Jingga menautkan alisnya, tumben sekali kedua orangtuanya memberanikan diri menelpon Fatan langsung, Jingga jadi tidak enak hati. Karena tidak ingin membuat Fatan tak nyaman.“Jadi?” tanya Jingga menatap suaminya.“Ya kita berkunjung,” jawab Fatan.“Mas mau berkunjung?”“Iya.”“Pekerjaan mas bagaimana?”“Tidak masalah.”“Mas, jika terpaksa jangan ya, saya tidak mau membuat kamu terbebani oleh permintaan Ibu dan Bapak.” Jingga melanjutkan membuat Fatan menoleh dan menatap istrinya.“Kenapa kamu melarang saya ke sana? Ada apa?”“Saya hanya tidak mau kamu terbebani oleh permintaan Ibu sama Bapak.” Jingga menjawab.“Saya mau ke sana, lagian saya terbebani atau tidak, itu bukan urusan kamu,
“Ada apa denganmu?” tanya Fatan menatap istrinya yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Fatan memegang lengan istrinya, membuat Jingga menghempaskan genggaman itu.“Jangan sentuh saya, Mas,” ucap Jingga melangkah mundur.“Jingga, kamu salah paham sepertinya,” kata Fatan. “Biar saya jelaskan.”“Sudah, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Jingga menggeleng. “Saya minta sama kamu untuk tidak melakukan hal tidak senonoh di tempat ini, dimana saya tinggal di sini. Jika kamu mau melakukan itu di sini, saya akan pergi.”“Jingga, hal tak senonoh seperti apa yang kamu maksud?”“Mas, tolong bawa Elsa pergi dari sini,” pintah Jingga. “Aku mohon.”Fatan tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang, karena Jingga terlihat tak bisa diajak bicara, ia akan percaya dengan apa yang ia lihat, jadi Fatan memilih membawa Elsa pergi dari sini.“Fat, kamu sudah janji padaku akan melindungiku,” kata Elsa.“Saya akan suruh bagian keamanan melindungimu,” jawab Fatan.“Tapi—”“Ayo pergi,” ajak Fatan.“Lebay se
“Bu Jingga, hari ini ada acara makan malam kantor. Ibu ikut, ‘kan?”“Insha Allah, Bu,” jawab Jingga.“Bu Jingga harus ikut dong, bukannya Pak Reno itu temannya Bu Jingga, ya?”“Senior, Bu.”“Eh iya. Senior. Lupa saya. Bu Jingga harus sempatkan datang.”Jingga tersenyum, ia akan izin ke suaminya dulu, jika suaminya mengizinkan ia akan pergi, jika tidak ia memilih pulang, melewatkan makan malam bersama keluarga besar universitas tempatnya bekerja.Jingga lalu mengirim pesan ke suaminya, tak lama pesannya sudah dibaca, namun beberapa menit kemudian tidak ada balasan sama sekali. Jingga menganggap bahwa suaminya mengizinkannya.“Saya ikut, Bu,” ucap Jingga pada dua wanita yang ada dihadapannya saat ini.“Nah gitu dong. Kita harus akrab, Bu, tidak boleh terlepas, ya. Siapatahu saja kecantikan Bu Jingga pindah ke kami,” kekeh salah satunya membuat Jingga hanya tersenyum mendengarkan.***Jingga sudah berada di tengah semua dosen kampus, ia hanya minum air putih dan beberapa cemilan didepann
Jingga menatap senduh ke arah Fatan yang sejak tadi diam saja dan duduk memandangi sunset malam di luar sana, Jingga tidak bisa diam saja dan langsung mengikis jarak mendekati suaminya.“Mas,” ucap Jingga.Fatan menatap Jingga yang kini sudah duduk dihadapannya.“Apa ada masalah?” tanya Jingga.“Tidak ada,” jawab Fatan.“Kalau ada masalah, saya bisa mas jadikan teman cerita.”“Ini bukan urusan kamu,” jawab Fatan lagi membuat Jingga mengukir senyum di wajahnya.Jingga sudah terbiasa dengan jawaban kasar suaminya, Jingga menyesap teh herbal dihadapannya dan kembali berkata, “Tidak apa-apa jika mas tidak mau cerita, yang penting kalau ada masalah jangan dipendam sendirian.”Fatan menunduk sesaat dan kembali menatap Jingga, gadis yang begitu tenang dan baik hati, sesakit apa pun yang Fatan lakukan kepadanya, Jingga tetap tersenyum.“Mas mungkin merindukan Elsa,” ucap Jingga.Suaminya menautkan alis dan merasa aneh dengan perkataannya, Jingga tersenyum lagi. Alih-alih menjaga ucapannya agar
Fatan menoleh sesaat melihat Elsa yang saat ini terlihat diam saja, mereka saat ini tengah di perjalanan menuju kantor, Fatan akan mengantarkan Elsa ke tempat kerjanya.Elsa terlihat kesal, sejak tadi mulutnya manyun tak jelas.“Ada apa?” tanya Fatan.“Kamu berubah sama aku,” jawab Elsa menoleh sesaat melihat Fatan.“Apa? Berubah? Apanya yang berubah?” tanya Fatan.“Dua hari ini kamu kemana sih? Teleponku tidak di angkat, pesanku tidak dibalas, apa lagi yang kamu lakukan dengan Jingga?” tanya Elsa kesal lalu menghentak kakinya dibawah sana.“Saya sudah menjawabnya, bukan?” ujar Fatan. “Jawaban seperti apa yang kamu inginkan sebenarnya?”“Fat, biasanya kamu tidak pernah loh seperti ini, tidak bertemu denganku sehari saja kamu pasti mencariku, tapi kayaknya kamu tahan banget ya jauh dari aku,” kata Elsa menoleh sesaat.“Kalau saya berubah, saya tidak akan memilih mengantarmu ke kantor, sementara membiarkan Jingga naik taksi.”“Aku butuh uang,” kata Elsa.“Tumben kamu minta uang, biasanya
Author POV.Fatan keluar dari kamar ketika sudah Bersiap ke kantor, ada perasaan senang yang tidak bisa ia jelaskan, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya setelah semalam dirinya meraih haknya pada Jingga dan Jingga memberikannya tanpa menolak, ya mereka suami istri, tak aka nada penolakan. Karena melakukan hal itu juga adalah ibadah.Bahkan Fatan tak mengingat Elsa sejak kemarin.“Eh mas? Kamu sudah bangun?” tanya Jingga yang saat ini sedang mengerjakan bahan mata kuliahnya hari ini. Jingga lalu melangkah menuju dapur. “Ayo mas, sarapan. Semuanya sudah siap.”“Kamu sudah mau ke kampus?” tanya Fatan.“Iya, Mas.” Jingga mengangguk membalikkan piring makan Fatan dan memuat nasi goreng diatas piring. Sementara itu Fatan sudah duduk di hadapannya. “Hari ini jadwal mata kuliah saya hanya satu, mungkin setelah selesai, saya ke desa dulu menengok Ibu dan Bapak.”Fatan mengangguk, alih-alih menawarkan diri, Fatan hanya bilang ‘iya’.“Nanti kalau kamu sempat kita ke desanya sama-sama ya, Mas,