Jingga tak habis pikir suaminya tengah di rumah cinta pertamanya untuk menenangkannya, dan mungkin melakukan hubungan diluar batas.
Tak butuh waktu lama, Fatan masuk ke apartemennya dan melihat Jingga sedang duduk di sofa menunggunya. Jingga butuh penjelasan hari ini.
“Mas, apa Elsa sudah tenang?” tanya Jingga menatap suaminya, seolah pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menyinggung. “Maafkan Elsa, ya,” ucap Fatan. “Jangan minta maaf pada saya, Mas, saya yang salah karena masuk di antara kalian,” jawab Jingga menunduk sesaat lalu kembali mendongak menatap suaminya. “Apa yang Elsa katakan memang benar, semua ini memang seharusnya menjadi miliknya.” “Jingga, kamu tidak akan paham perasaan saya.” “Kamu minta saya pahami, Mas? Apa tidak terbalik?” “Iya. Saya tahu, saya salah,” ucap Fatan. “Saya tak akan pernah memaksamu memilih hidupmu, tapi saya harap kamu memilih di antara kami, agar tidak ada yang terluka. Saya siap pergi jika kamu suruh pergi.” “Jingga, bukan kamu yang salah. Tapi pertemuan kita.” “Mas, kamu makan saja, ya. Saya ada urusan mendesak,” kata Jingga meraih tasnya yang sudah ia siapkan. “Setelah makan, taruh saja di atas meja. Kalau saya pulang, saya akan membereskannya. Kamu kalau mau ke tempat Elsa juga boleh.” “Jingga, jangan begini,” geleng Fatan. “Jangan begini bagaimana, Mas?” tanya Jingga. “Tidak ada yang salah, ‘kan? Atau, kamu butuh sesuatu?” “Kamu mau kemana?” “Saya sudah bilang kalau saya ada urusan.” “Kamu tidak lama kan pulangnya?” “Tidak lama kok,” jawab Jingga tersenyum lalu melangkah mendekati Fatan lalu meraih tangan Fatan dan membawanya ke jidatnya. “Saya pergi, Mas. Assalamu’alaikum.” Fatan mengangguk dan melihat punggung istrinya. “Mas, kamu tidak akan menjawabnya?” “Wa’alaikumussalam,” jawab Fatan. Jingga lalu melangkah pergi meninggalkan apartemen, dengan dada sesak, ia tidak tahu ternyata seberat ini pura-pura kuat dan menerima. Kenapa harus ada pernikahan jika tak ada kebahagiaan? Andaikan Elsa tidak datang, mungkin ia dan Fatan sudah bahagia. Fatan tidak terpaksa menikah dengannya, Fatan sendiri yang setuju menikah dengannya, sikap Fatan juga mulai berubah, tak lagi murung dan tak lagi lemah. Ketika bertemu dengan Jingga, Fatan merasa kembali hidup dalam dirinya, namun semua dihancurkan oleh kedatangan Elsa yang mendadak, di hari pernikahannya dengan Jingga. Ini bukan kesalahan Jingga, Jingga tak salah. Jingga tak tahu apa-apa. Hanya saja takdirnya harus menerima semua ini. “Kemana dia? Apa saya susul saja?” tanya Fatan pada dirinya sendiri. “Ah tidak perlu, Jingga saja tidak pernah mengganggu saya.” Fatan melangkah menuju meja makan dan melihat makanan yang sudah tersedia di atas meja. Ada telur ceplok, ada ayam bumbu kecap, ada capcai dan sop iga. Semuanya sangat enak, Fatan pernah mencicipi masakan Jingga. Fatan tersenyum dan masuk ke kamarnya. Membersihkan tubuhnya. Dan berganti pakaian. Ponselnya bergetar, ia meraihnya dan melihat telepon dari Elsa. Elsa menyuruhnya ke apartemen, mereka akan makan malam sama-sama. Namun, Fatan memilih tidak membalasnya dan menuju kamar mandi. Ia lebih tergugah dengan masakan Jingga daripada masakan luar yang selalu Elsa pesan untuk mereka makan. *** “Kamu menemuiku malam-malam begini, pasti ada masalah, ‘kan?” tanya Lili—sahabat Jingga—yang bekerja sebagai staf di kampus. “Aku bosan di apartemen, Li,” jawab Jingga. “Apa hubunganmu dengan Fatan masih kurang baik?” “Bukan hanya kurang baik, tapi memang tidak baik.” Jingga menjawab. Lili sebagai sahabat sudah menampung cerita Jingga, bahkan ketika ia juga butuh Jingga, ia akan menelpon Jingga. Mereka bersahabat sejak mereka di bangku Sekolah Menengah Atas. Hanya saja Lili menikah cepat, lalu tinggal di Jakarta bersama suaminya, Lili juga sudah punya anak. Saat ini, mereka di kafe dekat tempat tinggal Lili. “Jingga, apa berat menikah dengan pria yang belum selesai dengan masa lalunya?” tanya Lili. “Berat sekali. Aku udah berusaha terlihat baik-baik saja dan tidak perduli, tapi sepertinya aku tidak bisa mengabaikan ini terlalu lama, sesak banget di sini.” Jingga menepuk dadanya. “Hari ini aku menemui Ibu dan Bapak, kamu tahu apa yang Ibu katakan pertama kali melihatku?” “Apa itu?” “Apa yang terjadi, Nak? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka? Apa kamu ingin curhat ke Ibu?” kata Jingga. “Aku langsung menangis di pelukan Ibu, aku nggak bisa diam dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Elsa tinggal di dekat apartemen kami. Aku nggak tahu dia tinggal di kamar yang mana tapi dia satu lantai dengan kami. Sikap Mas Fatan malah menunjukkan dia sedang berpoligami, padahal tidak.” “Jingga, kamu tahu pernikahanku tidak sebaik yang kamu kira, aku juga pernah merasakan hal yang sama dengan kamu. Mantan kekasih memang sangat meresahkan, ya.”Pagi menunjukkan pukul 10, Fatan baru bangun, ia merasa lebih enakan dan nyenyak tidur di kampung halaman Jingga. Seolah semua beban pekerjaan hilang begitu saja.Fatan memiliki insomnia berat, bahkan jam 3 malam sering terbangun hingga pagi hari, lalu ke kantor dengan mata lelah. Lalu, malam hari pun sulit tidur. Tak pernah merasakan benar-benar nyenyak.Fatan melihat seisi rumah, tak ada siapa pun, Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar rumah melalui pintu samping.Fatan melihat Jingga tengah berbincang dengan seorang wanita yang juga berhijab, Jingga tertawa lebar hingga membentuk tawa yang indah dipandang, Jingga juga memukul pelan lengan temannya. Fatan melihat hal itu, cantik sekali. Didalam pikiran Fatan.Fatan menyunggingkan senyum menatap Jingga yang asyik bercerita dengan temannya sampai tak menyadari jika sejak tadi Fatan tengah memandangnya tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.Jingga kembali tertawa lebar, tawa yang membentuk senyuman indah yang menawan, elegant dan pol
Jingga masuk ke kamarnya setelah membersihkan badan, ia masih menggunakan hijabnya sementara itu suaminya sudah berbaring di atas tempat tidur seraya bermain ponsel sejak tadi ponsel suaminya itu sudah berdering menandakan seseorang mendesak untuk berbicara. Jingga duduk di depan cermin mengenakan pelembab seadanya tanpa Skin Care lengkap Jingga tetap terlihat cantik dan seperti merawat diri. Tak lama kemudian Jingga menoleh dan melihat lirikan suaminya, sepertinya Fatan tak enak hati padanya karena ponselnya sejak tadi bergetar. “Mas angkat saja siapa tahu saja penting,” kata Jingga berusaha untuk tidak terganggu walau ia sudah tahu seseorang yang mendesak ingin berbicara itu sudah pasti Elsa. “Baiklah. Saya keluar sebentar.” Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Fatan memilih berdiri di teras rumah mertuanya dan mengangkat telepon dari Elsa. Fatan melirik ke dalam rumah. Ibrahim dan Nania tengah ke masjid, sementara itu Jedar dan Bara sudah di kamar. ‘Halo?’
Jingga dan Fatan tiba di rumah kedua orangtua Jingga, Fatan langsung memarkirkan mobil di depan rumah, lalu mereka keluar dari mobil, di sambut langsung oleh Ibrahim dan Nania, sementara itu Jedar duduk di kursi teras seraya memainkan bibirnya yang kesal.Jingga dan Fatan langsung meraih tangan Nania dan Ibrahim, lalu mencium punggung tangan keduanya, seperti itu lah ajaran kepada yang lebih tua.“Ayo masuk, Nak,” ucap Ibrahim mempersilahkan Fatan masuk.“Jedar, kamu buatkan Jingga sama Fatan minum, ya,” titah Nania.“Apa sih, Bu, kayak siapa aja yang datang, lebay banget.”“Jedar, adikmu dan Adik iparmu datang, kamu harus melayani mereka. Mereka itu tamu kita,” kata Nania masih menatap Jedar yang bodoh amat.“Nggak mau ah, aku nggak mau,” tolak Jedar.“Udah, Bu, nanti Jingga saja yang buat minum.” Jingga menggeleng.“Apa sih, kamu kan juga anak Ibu, harusnya kamu yang buat minum, mentang-mentang kamu adalah kesayangan Ibu, jadi kamu kalau kemari mau dilayanin gitu? Lebay. Aku aja ngg
“Mas, kamu masih di rumah? Tidak bekerja?” tanya Jingga keluar dari kamarnya.“Tidak,” jawab Fatan. “Oh iya. Tadi, Bapak dan Ibu menelpon saya. Menyuruh kita berdua untuk berkunjung.”“Bapak sama Ibu menelpon?” “Iya. Menyuruh kita berkunjung, katanya hari ini kamu tidak ada mata kuliah.” Fatan menjawab.Jingga menautkan alisnya, tumben sekali kedua orangtuanya memberanikan diri menelpon Fatan langsung, Jingga jadi tidak enak hati. Karena tidak ingin membuat Fatan tak nyaman.“Jadi?” tanya Jingga menatap suaminya.“Ya kita berkunjung,” jawab Fatan.“Mas mau berkunjung?”“Iya.”“Pekerjaan mas bagaimana?”“Tidak masalah.”“Mas, jika terpaksa jangan ya, saya tidak mau membuat kamu terbebani oleh permintaan Ibu dan Bapak.” Jingga melanjutkan membuat Fatan menoleh dan menatap istrinya.“Kenapa kamu melarang saya ke sana? Ada apa?”“Saya hanya tidak mau kamu terbebani oleh permintaan Ibu sama Bapak.” Jingga menjawab.“Saya mau ke sana, lagian saya terbebani atau tidak, itu bukan urusan kamu,
“Ada apa denganmu?” tanya Fatan menatap istrinya yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Fatan memegang lengan istrinya, membuat Jingga menghempaskan genggaman itu.“Jangan sentuh saya, Mas,” ucap Jingga melangkah mundur.“Jingga, kamu salah paham sepertinya,” kata Fatan. “Biar saya jelaskan.”“Sudah, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Jingga menggeleng. “Saya minta sama kamu untuk tidak melakukan hal tidak senonoh di tempat ini, dimana saya tinggal di sini. Jika kamu mau melakukan itu di sini, saya akan pergi.”“Jingga, hal tak senonoh seperti apa yang kamu maksud?”“Mas, tolong bawa Elsa pergi dari sini,” pintah Jingga. “Aku mohon.”Fatan tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang, karena Jingga terlihat tak bisa diajak bicara, ia akan percaya dengan apa yang ia lihat, jadi Fatan memilih membawa Elsa pergi dari sini.“Fat, kamu sudah janji padaku akan melindungiku,” kata Elsa.“Saya akan suruh bagian keamanan melindungimu,” jawab Fatan.“Tapi—”“Ayo pergi,” ajak Fatan.“Lebay se
“Bu Jingga, hari ini ada acara makan malam kantor. Ibu ikut, ‘kan?”“Insha Allah, Bu,” jawab Jingga.“Bu Jingga harus ikut dong, bukannya Pak Reno itu temannya Bu Jingga, ya?”“Senior, Bu.”“Eh iya. Senior. Lupa saya. Bu Jingga harus sempatkan datang.”Jingga tersenyum, ia akan izin ke suaminya dulu, jika suaminya mengizinkan ia akan pergi, jika tidak ia memilih pulang, melewatkan makan malam bersama keluarga besar universitas tempatnya bekerja.Jingga lalu mengirim pesan ke suaminya, tak lama pesannya sudah dibaca, namun beberapa menit kemudian tidak ada balasan sama sekali. Jingga menganggap bahwa suaminya mengizinkannya.“Saya ikut, Bu,” ucap Jingga pada dua wanita yang ada dihadapannya saat ini.“Nah gitu dong. Kita harus akrab, Bu, tidak boleh terlepas, ya. Siapatahu saja kecantikan Bu Jingga pindah ke kami,” kekeh salah satunya membuat Jingga hanya tersenyum mendengarkan.***Jingga sudah berada di tengah semua dosen kampus, ia hanya minum air putih dan beberapa cemilan didepann