Share

Prahara 8. Ibu Mertua Turun Tangan

Aвтор: Irhen Dirga
last update Последнее обновление: 2025-02-24 13:15:06

Jingga menatap langit dengan tatapan sedih, inikah pernikahan yang dia inginkan? Berat rasanya menerima setiap jengkal langkah kaki Fatan untuk ke rumah Elsa. Ia sudah mengetahui dimana suaminya sering pergi, namun ia tak memiliki keberanian untuk marah ataupun meninggikan suaranya.

Masakan yang sering masak jarang sekali di sentuh, kadang di sentuh, kadang juga tidak. 

Fatan menoleh melihat istrinya itu tengah duduk diam di teras apartemen, Fatan memandang punggung Jingga dan akhirnya pergi meninggalkan Jingga.

Fatan menerima kasih sayang Jingga, menerima perhatian Jingga dengan senang hati namun tak bisa memberikan hatinya.

*

Elsa melihat di sekitar kafe dan mencari seseorang yang memanggilnya kemari, Elsa melihat seseorang melambaikan tangan, gadis itu adalah Fani, adiknya Fatan.

Elsa melangkah dengan anggunnya mendekati Fani dan Rista–sang Ibu mertua. Yang ia anggap.

“Ma, Fani jadi tahu kalau Abang itu suka sama Elsa yang modis. Sementara Kak Jingga kan penampilannya biasa saja, tidak modis sama sekali,” bisik Fani, membuat Rista mencubit lengannya. “Ehh maafin Fani, Ma,” ucap Fani.

Elsa hendak memeluk Rista, Rista pun enggan dan menghempaskan tangan Elsa, Elsa pun langsung duduk dihadapan Rista dan Fani.

“Ma, apa kabar?” Tanya Elsa.

“Jangan panggil Mama, kedengarannya tidak enak di dengar,” jawab Rista.

“Ada apa ya? Kenapa memanggilku kemari?” tanya Elsa menatap Rista dan Fani secara bergantian. “Maafkan aku, Fan, Ma, soalnya belum sempat menemui kalian.”

“Kan sudah aku bilang, jangan panggil Mama.”

“Baiklah,” angguk Elsa.

Elsa mendesah napas halus dan memalingkan wajah, ia tahu bagaimana kesalahannya. Elsa juga tahu apa yang harus ia lakukan. Ia harus membujuk Rista dan Fani agar menyukainya kembali seperti dulu. Elsa tidak boleh kehilangan kesempatan ini.

“Oh ya, Fan, aku pernah janji bakal beliin kamu tas Hermes yang keluaran terbaru itu, ‘kan?”

Fani menautkan alis.

“Aku akan belikan kamu, setelah kita bicara sama Mama, kita ke toko, ya. Kita langsung belanja apa yang kamu mau,” seru Elsa berusaha membujuk Fani dengan barang-barang mewah.

“Tidak usah. Bekal yang diberikan Abang dan Papa itu lebih dari cukup untuk beli barang-barang mewah” tolak Fani.

“Kami kemari bukan mau mendengar omong kosongmu. Kami kemari mau meminta kamu dengan baik, untuk meninggalkan Fatan. Apa kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan? Kamu mengganggu pernikahan Fatan dan Jingga. Mereka itu sudah bahagia. Sebagai wanita terhormat aku harap kamu tidak berusaha memanfaatkan perasaan Fatan. Sudah cukup kamu mengkhianatinya dulu, meninggalkannya dan tidak memberikan kabar. Jangan tambah lagi dengan kedatanganmu ini. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Jingga adalah menantuku, apapun yang terjadi,” tutur Rista menatap kuat pada Elsa.

Elsa tertawa. “Jadi, Tante mau menemuiku karena mau menyuruhku menjauhi Fatan? Kenapa Tante tidak suruh anak Tante saja yang menjauhiku? Oh tidak bisa, ya? Kasihan sekali.”

“Kamu–” Fani menunjuk Elsa.

“Apa? Mau menuntutku? Mau melarangku mengatakan itu? Sudah terlanjur, ‘kan?” Elsa menggeleng. “Tante tidak usah repot kemari apalagi menemuiku, orang yang harus tante ajari adalah anak tante sendiri karena pada dasarnya anak tante yang terus menggilakanku. Bahkan melakukan apa saja demi bertemu denganku. Jangan hanya menyalahkanku.”

“Kamu bilang, Fatan yang menggilaimu? Apa kamu tidak lebih gila? Menghubungi suami orang lain dan mengatakan kamu kembali? Kalau memang kamu tidak punya niat melakukan itu, lalu kenapa kamu hubungi Fatan sesampainya kamu di Jakarta? Apa namanya?” Rista tak mau kalah.

“Benar. Kamu yang sudah menghubungi abang lebih dulu. Andai kamu tidak menghubungi Abang, Abang tidak akan pernah seperti ini.”

Elsa tidak bisa mengatakan itu lagi, bahkan mulutnya menjadi terkunci. Elsa mendesah napas halus. “Andaikan saya meninggalkan Fatan. Apakah kalian yakin Fatan tidak akan mencariku?” Tanya Elsa memandang penuh bangga.

“Kamu–”

“Tante tidak usah khawatir. Aku akan coba meninggalkan Fatan dan tak menemuinya.” Elsa melanjutkan. “Tapi aku tidak akan bertanggung jawab jika Fatan malah mencariku.”

Dulu, Rista menyukai Elsa, senang pada Elsa, alasannya karena putranya menyukainya, namun selama Elsa meninggalkan Fatan, rasa senangnya berubah menjadi kekesalan, ketika mendengar pernikahan Fatan dan Jingga tidak bahagia, Rista memilih menemui mantan kekasih putrinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 22. Semakin Kesal

    Pagi menunjukkan pukul 10, Fatan baru bangun, ia merasa lebih enakan dan nyenyak tidur di kampung halaman Jingga. Seolah semua beban pekerjaan hilang begitu saja.Fatan memiliki insomnia berat, bahkan jam 3 malam sering terbangun hingga pagi hari, lalu ke kantor dengan mata lelah. Lalu, malam hari pun sulit tidur. Tak pernah merasakan benar-benar nyenyak.Fatan melihat seisi rumah, tak ada siapa pun, Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar rumah melalui pintu samping.Fatan melihat Jingga tengah berbincang dengan seorang wanita yang juga berhijab, Jingga tertawa lebar hingga membentuk tawa yang indah dipandang, Jingga juga memukul pelan lengan temannya. Fatan melihat hal itu, cantik sekali. Didalam pikiran Fatan.Fatan menyunggingkan senyum menatap Jingga yang asyik bercerita dengan temannya sampai tak menyadari jika sejak tadi Fatan tengah memandangnya tak jauh dari tempatnya duduk saat ini.Jingga kembali tertawa lebar, tawa yang membentuk senyuman indah yang menawan, elegant dan pol

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 21. Jangan Ganggu Jingga

    Jingga masuk ke kamarnya setelah membersihkan badan, ia masih menggunakan hijabnya sementara itu suaminya sudah berbaring di atas tempat tidur seraya bermain ponsel sejak tadi ponsel suaminya itu sudah berdering menandakan seseorang mendesak untuk berbicara. Jingga duduk di depan cermin mengenakan pelembab seadanya tanpa Skin Care lengkap Jingga tetap terlihat cantik dan seperti merawat diri. Tak lama kemudian Jingga menoleh dan melihat lirikan suaminya, sepertinya Fatan tak enak hati padanya karena ponselnya sejak tadi bergetar. “Mas angkat saja siapa tahu saja penting,” kata Jingga berusaha untuk tidak terganggu walau ia sudah tahu seseorang yang mendesak ingin berbicara itu sudah pasti Elsa. “Baiklah. Saya keluar sebentar.” Fatan lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar Fatan memilih berdiri di teras rumah mertuanya dan mengangkat telepon dari Elsa. Fatan melirik ke dalam rumah. Ibrahim dan Nania tengah ke masjid, sementara itu Jedar dan Bara sudah di kamar. ‘Halo?’

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 20. Dilecehkan

    Jingga dan Fatan tiba di rumah kedua orangtua Jingga, Fatan langsung memarkirkan mobil di depan rumah, lalu mereka keluar dari mobil, di sambut langsung oleh Ibrahim dan Nania, sementara itu Jedar duduk di kursi teras seraya memainkan bibirnya yang kesal.Jingga dan Fatan langsung meraih tangan Nania dan Ibrahim, lalu mencium punggung tangan keduanya, seperti itu lah ajaran kepada yang lebih tua.“Ayo masuk, Nak,” ucap Ibrahim mempersilahkan Fatan masuk.“Jedar, kamu buatkan Jingga sama Fatan minum, ya,” titah Nania.“Apa sih, Bu, kayak siapa aja yang datang, lebay banget.”“Jedar, adikmu dan Adik iparmu datang, kamu harus melayani mereka. Mereka itu tamu kita,” kata Nania masih menatap Jedar yang bodoh amat.“Nggak mau ah, aku nggak mau,” tolak Jedar.“Udah, Bu, nanti Jingga saja yang buat minum.” Jingga menggeleng.“Apa sih, kamu kan juga anak Ibu, harusnya kamu yang buat minum, mentang-mentang kamu adalah kesayangan Ibu, jadi kamu kalau kemari mau dilayanin gitu? Lebay. Aku aja ngg

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 19. Ke Desa

    “Mas, kamu masih di rumah? Tidak bekerja?” tanya Jingga keluar dari kamarnya.“Tidak,” jawab Fatan. “Oh iya. Tadi, Bapak dan Ibu menelpon saya. Menyuruh kita berdua untuk berkunjung.”“Bapak sama Ibu menelpon?” “Iya. Menyuruh kita berkunjung, katanya hari ini kamu tidak ada mata kuliah.” Fatan menjawab.Jingga menautkan alisnya, tumben sekali kedua orangtuanya memberanikan diri menelpon Fatan langsung, Jingga jadi tidak enak hati. Karena tidak ingin membuat Fatan tak nyaman.“Jadi?” tanya Jingga menatap suaminya.“Ya kita berkunjung,” jawab Fatan.“Mas mau berkunjung?”“Iya.”“Pekerjaan mas bagaimana?”“Tidak masalah.”“Mas, jika terpaksa jangan ya, saya tidak mau membuat kamu terbebani oleh permintaan Ibu dan Bapak.” Jingga melanjutkan membuat Fatan menoleh dan menatap istrinya.“Kenapa kamu melarang saya ke sana? Ada apa?”“Saya hanya tidak mau kamu terbebani oleh permintaan Ibu sama Bapak.” Jingga menjawab.“Saya mau ke sana, lagian saya terbebani atau tidak, itu bukan urusan kamu,

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 18. Penjelasan

    “Ada apa denganmu?” tanya Fatan menatap istrinya yang saat ini dipenuhi dengan amarah. Fatan memegang lengan istrinya, membuat Jingga menghempaskan genggaman itu.“Jangan sentuh saya, Mas,” ucap Jingga melangkah mundur.“Jingga, kamu salah paham sepertinya,” kata Fatan. “Biar saya jelaskan.”“Sudah, Mas. Kamu tidak perlu menjelaskan apa pun.” Jingga menggeleng. “Saya minta sama kamu untuk tidak melakukan hal tidak senonoh di tempat ini, dimana saya tinggal di sini. Jika kamu mau melakukan itu di sini, saya akan pergi.”“Jingga, hal tak senonoh seperti apa yang kamu maksud?”“Mas, tolong bawa Elsa pergi dari sini,” pintah Jingga. “Aku mohon.”Fatan tidak bisa menjelaskan hal itu sekarang, karena Jingga terlihat tak bisa diajak bicara, ia akan percaya dengan apa yang ia lihat, jadi Fatan memilih membawa Elsa pergi dari sini.“Fat, kamu sudah janji padaku akan melindungiku,” kata Elsa.“Saya akan suruh bagian keamanan melindungimu,” jawab Fatan.“Tapi—”“Ayo pergi,” ajak Fatan.“Lebay se

  • Cinta Pertama : Aku Bukan Orang Ketiga   Prahara 17. Tidak Segan-Segan

    “Bu Jingga, hari ini ada acara makan malam kantor. Ibu ikut, ‘kan?”“Insha Allah, Bu,” jawab Jingga.“Bu Jingga harus ikut dong, bukannya Pak Reno itu temannya Bu Jingga, ya?”“Senior, Bu.”“Eh iya. Senior. Lupa saya. Bu Jingga harus sempatkan datang.”Jingga tersenyum, ia akan izin ke suaminya dulu, jika suaminya mengizinkan ia akan pergi, jika tidak ia memilih pulang, melewatkan makan malam bersama keluarga besar universitas tempatnya bekerja.Jingga lalu mengirim pesan ke suaminya, tak lama pesannya sudah dibaca, namun beberapa menit kemudian tidak ada balasan sama sekali. Jingga menganggap bahwa suaminya mengizinkannya.“Saya ikut, Bu,” ucap Jingga pada dua wanita yang ada dihadapannya saat ini.“Nah gitu dong. Kita harus akrab, Bu, tidak boleh terlepas, ya. Siapatahu saja kecantikan Bu Jingga pindah ke kami,” kekeh salah satunya membuat Jingga hanya tersenyum mendengarkan.***Jingga sudah berada di tengah semua dosen kampus, ia hanya minum air putih dan beberapa cemilan didepann

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status