Pesawat dari Hongkong baru saja mendarat dengan mulus. Rasa kantuk masih menempel di wajah Bian, tapi detik itu juga menguap lenyap begitu ia membayangkan seseorang yang menunggunya di luar. Aisyah. Gadis cerewet, kocak, dan manis yang beberapa minggu terakhir berhasil bikin dunianya jungkir balik.Bian menuruni tangga pesawat dengan langkah panjang. Sesekali ia melirik jam tangan, seolah-olah waktu bergerak lebih lambat dari biasanya. Di dalam kepalanya, adegan bertemu Aisyah diputar ulang berkali-kali.“Gue peluk aja kali ya? Ah, tapi malu. Nanti dilihatin orang. Tapi … udah dua hari gak ketemu, rasanya lama banget.”Sesampainya di area kedatangan, matanya langsung bergerak cepat menyapu kerumunan orang-orang. Banyak penjemput berdiri sambil memegang papan nama. Tapi ada satu sosok yang tak bisa salah lagi. Aisyah.Gadis itu berdiri sambil melambai-lambaikan tangan, wajahnya sumringah, tapi ada sesuatu yang lain juga: ekspresi setengah malu, setengah kesal karena menunggu terlalu la
Di ruang tamu, Aisyah langsung melempar tubuhnya ke sofa. Ia mengambil bantal, memeluknya erat-erat, lalu menyembunyikan wajahnya. Bian mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menarik bantal itu pelan. “Eh! Jangan diambil, Bang. Aku lagi malu,” protes Aisyah sambil menahan bantal. Bian tersenyum, menatapnya dengan penuh kasih. “Malu kenapa? Karena wajahmu merah kayak tomat?” Aisyah makin menyembunyikan wajahnya. “Halah, Abang seneng banget godain aku.” “Aku bukan godain. Aku cuma … terharu.” Bian menarik napas dalam, suaranya lebih pelan. “Aisyah, kamu tahu nggak? Selama ini aku pikir aku cuma bakal hidup datar, kerja, tidur, kerja lagi. Tapi sejak ada kamu, hidupku jadi berwarna. Aku bisa ketawa lagi, bisa ngerasa dicintai lagi.” Aisyah perlahan menurunkan bantal dari wajahnya. Matanya berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum. “Bang … jangan bikin aku nangis. Aku kan nggak suka drama.” Bian mengusap pipinya lembut. “Ini bukan drama. Ini janji kecil aku. Aku janji, aku bakal selalu jag
Aisyah menarik tangannya yang masih digenggam Bian, lalu bersandar ke kursi dengan tangan terlipat di dada. Senyumnya kecut, tapi suaranya tetap dibuat jenaka. “Bang, aku jadi kayak penonton sinetron ya. Adegan mantan datang, ngomong ‘aku masih mikirin kamu’. Kurang backsound aja nih.” Beberapa orang di meja sebelah sempat melirik, mendengar nada suara Aisyah yang cukup keras. Bian merasa wajahnya memanas. Ia tahu Aisyah sedang cemburu, tapi sengaja menutupinya dengan gaya kocak. “Aisyah .…” Suara Bian lirih, ingin menenangkan. Namun Lia menyela cepat, menatap Aisyah dengan sorot menantang. “Aku nggak bermaksud ganggu kalian. Aku cuma … masih punya sesuatu yang belum selesai sama Bian.” Aisyah mengangkat alis, matanya berkilat. “Belum selesai? Maaf, Mbak, kalau yang belum selesai itu hutang, bisa dibayar ke kasir. Tapi kalau soal perasaan, sorry banget, sudah tutup buku.” Bian hampir tersedak mendengar celetukan itu. Di tengah suasana panas, Aisyah masih bisa melontarkan
Langit sore Jakarta mulai merona jingga ketika Biantara menepikan mobilnya di depan sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan soto betawinya. Aisyah sudah sejak tadi merajuk, mengeluh lapar, dan merengek seperti anak kecil yang minta jajan.“Bang, kalau Abang terus cuekin aku, jangan salahin aku kalau aku pingsan di jalan,” ancam Aisyah sambil memegang perutnya.Bian menggeleng sambil menahan tawa. “Ya ampun, Sayang. Dari tadi kita baru keluar rumah satu jam, udah kayak nggak makan tiga hari aja.”"Dih, pake acara sayang-sayangan lagi." Aisyah mencebik. Bian hanya tertawa.“Emang rasanya gitu! Perutku kosong melompong. Lagian, Abang lupa ya? Katanya mau traktir aku kalau aku selesai kerja lembur semalam.”“Oh iya?” Bian pura-pura mikir. “Aku lupa, kayaknya bukan traktir, tapi ngajak makan bareng … terus bayar patungan.”Aisyah langsung melotot. “Patungan? Hah, Abang tega banget. Mana ada calon suami model gini coba? Baru juga mau nikah, udah ngajak patungan. Hadeuh!”Bian akh
Mobil segera Bian tancap tanpa rem. Membuat gadis di sebelahnya mendelik karena kelakuan calon suaminya."Lah, atasanku mau bicara, Bang. Kenape main tancap aja?" "Udah waktunya pulang. Dahlah, kamu diem aja." Wajah Bian agak bersungut. "Nape? Cemburu?" sindir Aisyah. "Bilang aje udeh mulai suka sama gue.""Diem!" kesal Bian. Suasana sore itu agak mendung, langit Jakarta seperti menahan tangisnya. Biantara duduk di kursi kemudi mobilnya dengan wajah kaku, rahang tegang, dan tatapan lurus ke jalanan macet. Tangannya menggenggam erat kemudi seakan ingin menyalurkan kekesalan lewat kulit setir.Di sebelahnya, Aisyah masih duduk santai, menggoyang-goyangkan kaki sambil memainkan kancing tasnya. Ia melirik ke arah Bian, lalu menahan senyum. Dari raut wajah pria itu, jelas sekali ada bara yang membara.“Bang,” Aisyah mencoba memecah keheningan yang terasa mencekik.Bian hanya menggeram pelan, suaranya keluar seperti gumaman mesin tua. “Hmm.”“Abang kenapa sih? Macet aja kayaknya lebih sa
Siang itu, terik matahari menyinari halaman depan gedung tempat Aisyah bekerja. Kantor itu tidak terlalu besar, namun cukup bergengsi. Aisyah baru saja turun dari angkot, menenteng tas kerja yang mulai usang tapi tetap ia rawat dengan baik. Senyum tipis terbit di wajahnya, mengingat semalam keluarga Bian begitu hangat menyambutnya.Namun, langkah kakinya terhenti ketika seorang wanita berpenampilan glamor berdiri di dekat pintu masuk. Wanita itu memakai kacamata hitam besar, gaun pas badan, dan tas branded yang jelas bukan sembarang. Begitu Aisyah mendekat, wanita itu menurunkan kacamatanya, menatap tajam.“Eh, jadi ini ya cewek kampung yang katanya mau nikahin Bian?” Ucapan wanita itu penuh sarkasme. "Cuman kerja di kantor kek gini? Enggak malu lu sama keluarga Bian? Ngaca dong!" Aisyah tersentak. “Mbak Lia?”Lia melipat tangan di dada, bibirnya menyungging senyum sinis. “Wih, pinter juga kamu. Masih inget aku. Aku Lia, mantan yang jauh lebih pantas buat Bian dibanding kamu. Tapi te