Share

Siapa Dia?

Penulis: Goresan Pena93
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-25 13:24:08

Aku kembali ke rumah Ayu. Tapi, rumah itu masih terlihat sepi. Terlebih suasana rumah ini pun gelap gulita. Kulihat tetangga juga tidak ada yang terlihat di depan rumah. Mungkin juga memang sudah menjelang larut malam.

Sudah pukul delapan malam, ke mana Ayu? Aku yakin sejak pagi tadi dia pasti tidak ada di rumah. Tapi kenapa dia tidak pamitan padaku? Sejak tadi ponselnya juga tidak aktif. Ya Allah, aku minta agar dia baik-baik saja.

Akhirnya, aku kembali lagi ke rumah dengan perasaan bimbang. Sampai di rumah, aku langsung masuk saja. Tapi, aku dikejutkan dengan kehadiran Dinda di sana. Dia duduk bersama ibu dengan pakaian piyama. Apa aku tidak salah lihat?

"Al, kamu udah pulang? Mandi, terus makan, yuk! Sama Dinda juga." Ibu berdiri lalu tersenyum padaku.

"Dinda kenapa ada di sini, Buk? Tumben, kan sudah malam," tanyaku. Sengaja aku bertanya padahal sebenarnya sudah tahu.

"Dia akan tinggal di sini sampai kalian halal nanti. Ibu tidak ada temennya, Al. Lagian rumah ini besar. Juga istri kamu itu kan sukanya tinggal di rumah ibunya," jawab ibu dengan ciri khas nada ketusnya.

Aku tidak menanggapi ucapan ibu lagi. Kulangkahkan kaki menuju kamar lalu merebahkan diri di atas ranj4ng karena lelah. Kenapa ibu seberani itu memasukkan orang ke rumah? Ibu seakan menunjukkan kalau memang beliau tidak suka dengan Ayu.

Ah, kepalaku makin pusing saja. Tak berapa lama, ponsel bergetar. Kulihat nomor baru yang menghubungi.

"Hallo, assalamualaikum?"

"Wa'alaykumsalam, ini benar nomornya Mas Ali?"

Aku mengerutkan dahi. "Benar. Dengan siapa?"

"Maap, Mas, saya Wawan tetangganya Ayu."

"Hah?" Aku langsung bangun lagi. "Pak Wawan, apakah istri saya sudah pulang? Atau keliatan di rumah?"

"Maap, Pak. Yang pulang temennya mau ambilkan barang-barang Neng Ayu katanya."

"Memang Ayu ke mana, Pak? Atau mau ke mana? Kenapa malah temennya yang ambil?"

"Nah, itu dia yang mau saya bilang, Pak. Neng Ayu teh lagi di rumah sakit kata temennya pas pulang tadi. Baru aja ini dia balik lagi ke rumah sakit lagi."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera menyusul istri saya."

Setelah seseorang di seberang panggilan membalas ucapanku lagi, aku langsung menutup panggilan. Tak menunggu lama lagi, hanya ganti pakaian lalu kembali turun tanpa mengindahkan ibu dan Dinda yang memanggilku, mengajak makan malam.

***

Aku lupa bertanya alamat rumah sakitnya pada Pak Wawan. Asal mencari saja, paling Ayu dirawat tidak jauh dari rumahnya dan satu-satunya rumah sakit yang ada hanyalah yang kini lantainya kuinjak ini.

"Maaf, saya mau tanya apa ada pasien atas nama Ayu Rahma di sini?" tanyaku pada bagian informasi.

"Sebentar Pak, ya. Maaf dengan siapa?" balas wanita itu.

"Saya Ali, suaminya."

"Baik, Ibu Ayu Rahma dirawat di ruangan matahari, nomor 27."

"Kalau boleh saya tau, dia sakit apa ya, Mbak?"

"Di sini belum ada keterangannya, Pak," jawabnya lagi.

"Oh, ya sudah. Terima kasih." Aku pun bergegas mencari alamat kamar yang tadi kudapatkan.

Ternyata berada di lantai tiga dan kebetulan sekali liftnya sedang dibenahi. Jadi, aku harus naik anak tangga yang lumayan cukup menguras tenaga.

Setelah sampai di atas, aku akhirnya sudah berdiri di depan kamar Ayu. Namun, ada yang aneh. Kudengar ada suara-suara dari dalam sana. Bukan sembarang suara, suara itu suara pria yang terdengar seperti menasihati dengan lembut.

"Jangan kecapekan. Tubuh kamu itu punya hak. Jangan juga stres, nanti kambuh lagi asam lambung kamu. Makannya dijaga, ya! Ingat kata saya!"

Aku makin mendelik saat mendengarnya. Aku yang tadinya tak sabar ingin bertemu dengan Ayu karena rindu pun kini langsung terbakar api cemburu.

"Ayu!" Kudobrak pintu ruangan itu. Dan ternyata di sana aku melihat ada tiga orang.

Betapa malunya aku saat mendapati Ayu tengah diinfus, wajahnya pucat, dan tubuhnya semakin kurus. Ada seorang wanita juga di sebelahnya. Dan, yang mengherankan lagi, ternyata tadi yang bicara adalah seorang dokter.

"Maaf ...." Aku menunduk karena tak tahan lagi.

Semua orang di dalam tetap tak ada respon. Setelah menatapku dengan aneh, mereka semua kembali menatap Ayu. Terutama pria berjas putih dengan kacamata bening itu.

"Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya dulu. Besok saya kontrol kamu lagi, jangan lupa pesan saya ya, Yu!" katanya yang menurutku agak berlebihan.

"Makasih, Dok." Ayu menjawab dengan lirih.

Dokter yang lumayan tampan itu lantas keluar dari ruangan rawat Ayu tanpa menatapku sama sekali. Dia juga sepertinya tak suka denganku. Mungkin karena sikapku yang tidak sopan tadi.

"Yu, gimana keadaan kamu?" tanyaku setelah mendekatinya.

Namun, aku tidak menjawab. Dia melengos, menatap ke arah wanita yang mungkin temannya itu.

"Yu, istirahat, ya! Aku keluar dulu," kata perempuan bertubuh gendut itu.

"Mita, kamu pulang aja! Aku udah enggak apa-apa, kok." Ayu malah menjawab perkataan wanita itu. Dia lebih tertarik dengan temannya itu daripada aku.

"Oke. Besok aku ke sini lagi. Istirahat yang cukup, ya! Aku sebagai sahabat, enggak mau liat kamu sakit lagi."

"Makasih, Mita." Ayu tersenyum tipis. Lalu membiarkan temannya itu pergi.

Kini, tinggal aku dan dia saja. Kutarik kursi tempat duduk, lalu menghadapnya. "Yuk, maafkan aku. Kalau sudah berlebihan."

Ayu kembali diam. Dan aku, juga kembali tak sabar lagi. "Yu, sebenarnya kamu dengar enggak, sih, aku ngomong?"

"Aku belum tuli," lirihnya karena memang sejak tadi dia bicara pelan.

"Lantas, kenapa kamu tidak menjawab?"

"Buat apa? Selamat, ya, udah tinggal nunggu tanggalnya. Bentar lagi berarti aku bisa lepas darimu, Mas?"

"Enggak akan pernah! Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu enggak cinta lagi sama aku?"

"Sudah hilang sebagian perasaanku. Aku liat story ibu kamu, Mas. Beliau habis berpose dengan calon mantunya."

"Aku enggak tau lagi, Yu, harus ngomong apa lagi sama kamu. Juga sama ibu. Kenapa sejauh ini aku tidak bisa memahami kalian?"

"Aku tidak akan begini sebelum ibu kamu yang mulai, Mas. Kami awalnya baik-baik, saja, tapi semenjak Dinda hadir di dalam rumah tangga kita, semuanya berubah."

"Aku tau, Yu. Tapi, cobalah memahami perasaan ibuku. Dia hanya ingin cucu. Ibu sedih saat melihat tetangganya lagi momong cucu. Kamu enggak kasihan apa?"

"Oh, karena itu? Ya udah, segera persiapkan pernikahan kalian kalau begitu. Aku tunggu undangannya. Sekaligus surat undangan ke pengadilannya."

Kepalaku semakin pusing. Karena kesal, akhirnya aku meninggalkan dia sendirian di kamar itu. Agar aku tidak meluapkan amarah dan malah mengenainya. Sampai pukul sebelas malam, aku masih duduk di luar rumah sakit sebenar-benarnya.

Aku tak tega meninggalkan dia sendirian. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sama seperti Dinda. Karena emosiku sudah reda setelah banyak beristighfar, aku pun memutuskan untuk kembali dan berniat menjaga Ayu di kamarnya.

Akan tetapi, saat aku sampai di depan kamar Ayu, lagi-lagi aku mendengar suara pria. Suaranya tak jauh beda dengan pria yang tadi berprofesi sebagai dokter yang menangani Ayu.

"Ceritakan padaku! Jangan kamu pendam sendiri. Lambungmu kasihan. Aku tau sebenarnya kamu sedang memendam masalah. Tapi, kamu sengaja menelannya sendirian."

bersambung .....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Pertama Mas Ali    Malam Berdua

    Malam itu, langit Jakarta seolah ikut merayakan kebahagiaan yang sudah lama ditunggu Biantara dan Aisyah. Setelah berbagai ujian yang mendera, terutama dengan hadirnya Rani yang sempat membuat hubungan mereka retak, akhirnya semua usai dengan keadilan. Rani resmi dipenjara karena fitnah dan segala rencananya terbongkar.Hari-hari setelah vonis itu, Aisyah seperti kembali menjadi dirinya yang dulu ceria, manja, dan penuh cinta. Senyum yang dulu sempat hilang kini kembali merekah setiap kali menatap Biantara. Sementara Biantara, setiap kali melihat senyum itu, hatinya terasa hangat. Ia tahu, inilah rumah sejati yang selama ini ia cari.Malam Pertama.Di sebuah kamar hotel mewah yang sudah mereka siapkan untuk bulan madu singkat, Aisyah duduk di tepi ranjang dengan gaun tidur sederhana berwarna putih gading. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena gugup.Biantara masuk setelah baru saja mengganti pakaiannya. Kemeja putih tipis membalut tubuhnya, rambutnya masih basah habis ma

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kesalahpahaman

    Bian berhasil menarik koper Aisyah sebelum istrinya benar-benar keluar dari pintu. Nafasnya memburu, wajahnya pucat karena takut kehilangan.“Aku nggak pernah ketemu siapa pun semalam, Syah. Aku pulang langsung sama kamu, kan? Tolong percayalah,” ucap Bian dengan nada bergetar.Aisyah menggigit bibirnya. Air matanya jatuh, tapi rasa sakit di hatinya lebih keras. “Lalu foto ini? Pesan ini? Apa artinya kalau bukan bukti?”Bian buru-buru menunjukkan riwayat panggilan dan pesan di ponselnya. Tak ada satu pun jejak percakapan mencurigakan, hanya nomor asing yang tiba-tiba mengirimkan gambar dan tulisan provokatif.“Ini jebakan. Seseorang sengaja bikin kamu marah sama aku,” tegas Bian. “Kalau aku salah, aku berani sumpah di hadapan Allah, Syah.”Aisyah menatap lama pada suaminya. Tubuhnya gemetar, antara ingin percaya atau masih diliputi rasa curiga. Hingga akhirnya, sebuah pesan baru masuk.Nomor yang sama menuliskan: “Kamu akan segera kehilangan segalanya, Biantara. Lihat saja.”Kali ini

  • Cinta Pertama Mas Ali    Bayang Di Balik Foto

    Rumah itu kini terasa begitu asing bagi Aisyah. Dinding yang dulu bergema oleh tawa, kini hanya memantulkan suara langkahnya sendiri. Perempuan itu duduk di sofa dengan wajah murung, menatap kosong layar televisi yang tak dinyalakan. Senyum yang dulu mudah muncul, kini seakan hilang bersama ketenangan hatinya.“Bang,” panggilnya lirih ketika Biantara baru saja menggantung seragam dinasnya di kamar.Bian menoleh, masih dengan wajah lelah setelah penerbangan panjang. “Kenapa, Sayang?” tanyanya pelan, berjalan mendekat.Aisyah menunduk. Ada jeda yang cukup panjang sebelum ia akhirnya berkata, “Aku ingin pulang ke rumah Babe. Mungkin ... untuk sementara waktu.”Biantara terdiam. Jantungnya serasa diperas. “Kenapa ngomong gitu?” Suaranya meninggi sedikit, walau ia berusaha menahannya.Aisyah mengangkat wajahnya, matanya sembab. “Aku lelah, Bang. Aku ... nggak sanggup lagi. Aku ingin menenangkan diri. Aku nggak ceria lagi seperti dulu. Kamu juga pasti sadar.”Bian mendekat, duduk di samping

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sulit Dipercaya

    Suasana rumah yang biasanya hangat kini terasa dingin. Malam itu, Bian duduk di ruang tamu dengan wajah serius, sementara Aisyah masih memeluk bantal di sofa seakan mencari perlindungan dari gelombang emosi yang tak menentu.“Aisyah,” panggil Bian dengan suara rendah, menahan sabar. “Tolong sekali lagi dengarkan aku. Wanita di foto itu bukan siapa-siapa. Dia cuma pramugari senior yang kebetulan satu tim. Kami rapat sebentar di kafe dekat hotel. Itu aja.”Aisyah menoleh, matanya merah. “Tapi kenapa harus berdua? Kenapa harus di tempat terbuka begitu? Mas tahu sendiri aku lagi belajar percaya. Kok malah dikasih bukti yang bikin aku ragu?”Bian mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Aku salah kalau nggak cerita dulu. Aku kira hal sepele, ternyata bisa jadi besar begini.” Ia menatap dalam mata Aisyah. “Aku nggak main-main sama kamu. Hidupku sekarang ya kamu, Aisyah.”Aisyah menggigit bibir, hatinya dilanda dilema. Kata-kata Bian terdengar tulus, tapi bayangan foto itu terus menghantui.K

  • Cinta Pertama Mas Ali    Antara Cinta dan Curiga

    Pagi itu, bandara Soekarno-Hatta tampak ramai. Aisyah menggenggam erat tangan Biantara. Sudah berkali-kali ia mencoba tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca. Baru seminggu menikah, ia harus merelakan suaminya kembali bertugas sebagai pilot, dan kali ini bukan sekadar penerbangan domestik, tapi internasional. Shanghai. Beberapa hari tanpa Bian terasa seperti ancaman kecil bagi hati Aisyah yang baru saja belajar terbiasa dengan kehadiran lelaki itu setiap saat.“Sayang, jangan sedih gitu dong,” ucap Bian, suaranya lembut sambil mengusap pipi istrinya. “Hanya empat hari. Nanti aku pulang lagi, bawain kamu oleh-oleh banyak.”Aisyah menunduk, lalu menggembungkan pipinya. “Empat hari itu lama, Bang. Apalagi setelah resepsi, kita belum sempat benar-benar lama berdua di rumah baru. Eh, sekarang ditinggal terbang jauh.”Bian tertawa kecil, lalu menunduk mendekat, berbisik di telinga istrinya. “Kalau aku nggak kerja, gimana bisa beliin kamu sofa baru sama oven buat bikin kue? Hm?”Aisyah mendelik

  • Cinta Pertama Mas Ali    Rumah Baru

    Malam semakin larut ketika mobil yang membawa Bian dan Aisyah akhirnya meninggalkan gedung resepsi. Dua hari setelah akad di rumah Aisyah , keluarga. Bian mengadakan resepsi di gedung mewah. Lampu-lampu kota Jakarta berkelip indah, seolah ikut merayakan kebahagiaan mereka. Aisyah bersandar di kursi mobil, masih dengan riasan tipis yang mulai luntur, tapi justru membuat wajahnya tampak natural.“Capek?” tanya Bian sambil melirik ke arahnya.“Banget,” jawab Aisyah sambil menguap kecil. “Dari pagi senyum terus. Rasanya pipiku kram.”Bian tertawa. “Aku juga. Kalau ada lomba senyum terlama, kita pasti juara.”Aisyah ikut terkekeh, lalu memandang keluar jendela. “Kita pulang ke rumah orang tuaku dulu, ya?”Bian tersenyum misterius. “Nggak. Aku ada kejutan.”Aisyah langsung melirik dengan dahi berkerut. “Kejutan? Jangan-jangan kamu mau bawa aku ke bandara, Bang?”“Eh, idenya bagus juga. Tapi bukan. Kita akan ke rumah baru kita.”Mata Aisyah membesar. “Serius? Rumah yang kamu bilang lagi dire

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status