Share

Siapa Dia?

last update Last Updated: 2025-06-25 13:24:08

Aku kembali ke rumah Ayu. Tapi, rumah itu masih terlihat sepi. Terlebih suasana rumah ini pun gelap gulita. Kulihat tetangga juga tidak ada yang terlihat di depan rumah. Mungkin juga memang sudah menjelang larut malam.

Sudah pukul delapan malam, ke mana Ayu? Aku yakin sejak pagi tadi dia pasti tidak ada di rumah. Tapi kenapa dia tidak pamitan padaku? Sejak tadi ponselnya juga tidak aktif. Ya Allah, aku minta agar dia baik-baik saja.

Akhirnya, aku kembali lagi ke rumah dengan perasaan bimbang. Sampai di rumah, aku langsung masuk saja. Tapi, aku dikejutkan dengan kehadiran Dinda di sana. Dia duduk bersama ibu dengan pakaian piyama. Apa aku tidak salah lihat?

"Al, kamu udah pulang? Mandi, terus makan, yuk! Sama Dinda juga." Ibu berdiri lalu tersenyum padaku.

"Dinda kenapa ada di sini, Buk? Tumben, kan sudah malam," tanyaku. Sengaja aku bertanya padahal sebenarnya sudah tahu.

"Dia akan tinggal di sini sampai kalian halal nanti. Ibu tidak ada temennya, Al. Lagian rumah ini besar. Juga istri kamu itu kan sukanya tinggal di rumah ibunya," jawab ibu dengan ciri khas nada ketusnya.

Aku tidak menanggapi ucapan ibu lagi. Kulangkahkan kaki menuju kamar lalu merebahkan diri di atas ranj4ng karena lelah. Kenapa ibu seberani itu memasukkan orang ke rumah? Ibu seakan menunjukkan kalau memang beliau tidak suka dengan Ayu.

Ah, kepalaku makin pusing saja. Tak berapa lama, ponsel bergetar. Kulihat nomor baru yang menghubungi.

"Hallo, assalamualaikum?"

"Wa'alaykumsalam, ini benar nomornya Mas Ali?"

Aku mengerutkan dahi. "Benar. Dengan siapa?"

"Maap, Mas, saya Wawan tetangganya Ayu."

"Hah?" Aku langsung bangun lagi. "Pak Wawan, apakah istri saya sudah pulang? Atau keliatan di rumah?"

"Maap, Pak. Yang pulang temennya mau ambilkan barang-barang Neng Ayu katanya."

"Memang Ayu ke mana, Pak? Atau mau ke mana? Kenapa malah temennya yang ambil?"

"Nah, itu dia yang mau saya bilang, Pak. Neng Ayu teh lagi di rumah sakit kata temennya pas pulang tadi. Baru aja ini dia balik lagi ke rumah sakit lagi."

"Baik, Pak. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera menyusul istri saya."

Setelah seseorang di seberang panggilan membalas ucapanku lagi, aku langsung menutup panggilan. Tak menunggu lama lagi, hanya ganti pakaian lalu kembali turun tanpa mengindahkan ibu dan Dinda yang memanggilku, mengajak makan malam.

***

Aku lupa bertanya alamat rumah sakitnya pada Pak Wawan. Asal mencari saja, paling Ayu dirawat tidak jauh dari rumahnya dan satu-satunya rumah sakit yang ada hanyalah yang kini lantainya kuinjak ini.

"Maaf, saya mau tanya apa ada pasien atas nama Ayu Rahma di sini?" tanyaku pada bagian informasi.

"Sebentar Pak, ya. Maaf dengan siapa?" balas wanita itu.

"Saya Ali, suaminya."

"Baik, Ibu Ayu Rahma dirawat di ruangan matahari, nomor 27."

"Kalau boleh saya tau, dia sakit apa ya, Mbak?"

"Di sini belum ada keterangannya, Pak," jawabnya lagi.

"Oh, ya sudah. Terima kasih." Aku pun bergegas mencari alamat kamar yang tadi kudapatkan.

Ternyata berada di lantai tiga dan kebetulan sekali liftnya sedang dibenahi. Jadi, aku harus naik anak tangga yang lumayan cukup menguras tenaga.

Setelah sampai di atas, aku akhirnya sudah berdiri di depan kamar Ayu. Namun, ada yang aneh. Kudengar ada suara-suara dari dalam sana. Bukan sembarang suara, suara itu suara pria yang terdengar seperti menasihati dengan lembut.

"Jangan kecapekan. Tubuh kamu itu punya hak. Jangan juga stres, nanti kambuh lagi asam lambung kamu. Makannya dijaga, ya! Ingat kata saya!"

Aku makin mendelik saat mendengarnya. Aku yang tadinya tak sabar ingin bertemu dengan Ayu karena rindu pun kini langsung terbakar api cemburu.

"Ayu!" Kudobrak pintu ruangan itu. Dan ternyata di sana aku melihat ada tiga orang.

Betapa malunya aku saat mendapati Ayu tengah diinfus, wajahnya pucat, dan tubuhnya semakin kurus. Ada seorang wanita juga di sebelahnya. Dan, yang mengherankan lagi, ternyata tadi yang bicara adalah seorang dokter.

"Maaf ...." Aku menunduk karena tak tahan lagi.

Semua orang di dalam tetap tak ada respon. Setelah menatapku dengan aneh, mereka semua kembali menatap Ayu. Terutama pria berjas putih dengan kacamata bening itu.

"Ya sudah, saya kembali ke ruangan saya dulu. Besok saya kontrol kamu lagi, jangan lupa pesan saya ya, Yu!" katanya yang menurutku agak berlebihan.

"Makasih, Dok." Ayu menjawab dengan lirih.

Dokter yang lumayan tampan itu lantas keluar dari ruangan rawat Ayu tanpa menatapku sama sekali. Dia juga sepertinya tak suka denganku. Mungkin karena sikapku yang tidak sopan tadi.

"Yu, gimana keadaan kamu?" tanyaku setelah mendekatinya.

Namun, aku tidak menjawab. Dia melengos, menatap ke arah wanita yang mungkin temannya itu.

"Yu, istirahat, ya! Aku keluar dulu," kata perempuan bertubuh gendut itu.

"Mita, kamu pulang aja! Aku udah enggak apa-apa, kok." Ayu malah menjawab perkataan wanita itu. Dia lebih tertarik dengan temannya itu daripada aku.

"Oke. Besok aku ke sini lagi. Istirahat yang cukup, ya! Aku sebagai sahabat, enggak mau liat kamu sakit lagi."

"Makasih, Mita." Ayu tersenyum tipis. Lalu membiarkan temannya itu pergi.

Kini, tinggal aku dan dia saja. Kutarik kursi tempat duduk, lalu menghadapnya. "Yuk, maafkan aku. Kalau sudah berlebihan."

Ayu kembali diam. Dan aku, juga kembali tak sabar lagi. "Yu, sebenarnya kamu dengar enggak, sih, aku ngomong?"

"Aku belum tuli," lirihnya karena memang sejak tadi dia bicara pelan.

"Lantas, kenapa kamu tidak menjawab?"

"Buat apa? Selamat, ya, udah tinggal nunggu tanggalnya. Bentar lagi berarti aku bisa lepas darimu, Mas?"

"Enggak akan pernah! Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu enggak cinta lagi sama aku?"

"Sudah hilang sebagian perasaanku. Aku liat story ibu kamu, Mas. Beliau habis berpose dengan calon mantunya."

"Aku enggak tau lagi, Yu, harus ngomong apa lagi sama kamu. Juga sama ibu. Kenapa sejauh ini aku tidak bisa memahami kalian?"

"Aku tidak akan begini sebelum ibu kamu yang mulai, Mas. Kami awalnya baik-baik, saja, tapi semenjak Dinda hadir di dalam rumah tangga kita, semuanya berubah."

"Aku tau, Yu. Tapi, cobalah memahami perasaan ibuku. Dia hanya ingin cucu. Ibu sedih saat melihat tetangganya lagi momong cucu. Kamu enggak kasihan apa?"

"Oh, karena itu? Ya udah, segera persiapkan pernikahan kalian kalau begitu. Aku tunggu undangannya. Sekaligus surat undangan ke pengadilannya."

Kepalaku semakin pusing. Karena kesal, akhirnya aku meninggalkan dia sendirian di kamar itu. Agar aku tidak meluapkan amarah dan malah mengenainya. Sampai pukul sebelas malam, aku masih duduk di luar rumah sakit sebenar-benarnya.

Aku tak tega meninggalkan dia sendirian. Dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Sama seperti Dinda. Karena emosiku sudah reda setelah banyak beristighfar, aku pun memutuskan untuk kembali dan berniat menjaga Ayu di kamarnya.

Akan tetapi, saat aku sampai di depan kamar Ayu, lagi-lagi aku mendengar suara pria. Suaranya tak jauh beda dengan pria yang tadi berprofesi sebagai dokter yang menangani Ayu.

"Ceritakan padaku! Jangan kamu pendam sendiri. Lambungmu kasihan. Aku tau sebenarnya kamu sedang memendam masalah. Tapi, kamu sengaja menelannya sendirian."

bersambung .....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sebuah Dendam

    "Aku janji, aku akan menunaikan janjiku pada suami kamu, Yu!" Aku masih lemas tatkala lelaki itu bicara. Aku direbahkan di atas brankar ruangan lain setelah sempat pingsan katanya. "Aku ingin liat Mas Dimas, Mas." Dalam kondisi yang masih terguncang, aku bangkit lalu turun. "Yu, kamu yakin sudah kuat?" tanya Mas Ali. "Aku kuat, Mas. Aku yakin, aku bisa melewati semuanya." Air mataku kembali merembes. Tiba-tiba pintu terbuka, muncul Syifa dengan wajah sembab juga. Dia langsung memelukku. "Turut berduka cita ya, Mbak."Aku tak dapat membalas ucapannya karena kembali lemas. Syifa membantuku keluar dari sana. Dia dan Mas Ali membantuku keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil ketika jenazah sudah siap dipulangkan ke rumah duka. Bagaimana jika Bella melihat kenyataan ini nanti? Anak itu sudah pasti sangat sedih. Semua gara-gara aku. Kalau saja aku yang tertabrak, sudah pasti Mas Dimas bakal selamat. Bukan dia yang harus terbujur kaku dalam mobil ambulan di depan sana. Sesampa

  • Cinta Pertama Mas Ali    Jaga Dia

    "Selamat ya, Mbak. Anda akan segera menjadi seorang ibu. Janinnya sehat. Berusia 3 Minggu." Ucapan dokter kandungan bernama Teta itu membuat sekujur tubuhku merinding. Kusentuh perutku yang masih rata ini. Dengan tatapan kosong, bayangan tangisan seorang bayi memenuhi ruang kepalaku. "Dek, kita akan jadi orang tua. Kamu hamil," ucap Mas Dimas membuatku sadar lagi. "Ini bener kan, Mas? Bukan mimpi?" Jantungku berdegup kencang sekali. Sampai gemetar dan panas dingin. "Iya, Mbak. Selamat, ya." Dokter itu memberikan ucapan selamat lagi. "Makasih, Dok. Mungkin istri saya masih enggak percaya. Terima kasih, Dok," kata Mas Dimas ketika kami hendak pamit. "Sama-sama, Dokter Dimas. Selamat sekali lagi."Kami pun segera keluar dari ruangan periksa itu. Dengan hati yang bercampur kaget dan bahagia, di tengah lorong rumah sakit aku langsung memeluk lelaki tinggi tegap itu. Dia sampai terperangah dan berhenti. "Dek ....""Aku masih enggak percaya, Mas. Ternyata ucapan orang tidaklah benar.

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kamu Mau Nikahin Dia?

    "Hallo, Mbak, Bang. Ketemu kita di sini." Syifa tersenyum lebar. Dia menggandeng lengan Ali. "Hai, keponakan cantik." Lalu menyapa Bella. "Hai, Tante." Bella membalas. Sementara Ayu masih terpaku, sepertinya dia tidak percaya melihat dua sejoli di hadapan matanya. "Hai, kamu di sini juga?" tanyaku balik. Setelah aku angkat bicara, Ayu baru menunduk dan mengalihkan pandangannya. Disusul Ali juga terlihat menunduk tapi diam saja. "Aku belanja juga, Mas. Ditemani calon suamiku," balas Syifa dan sontak membuat Ayu menarik napas dalam-dalam. Dia kaget, bukan hanya dia tapi aku juga. Namun, berita kali ini membuatku bahagia. Aku tersenyum lebar sambil mengucapkan, "Selamat ya, buat kalian berdua. Jadi kapan nikahannya?""Mas Ali mau ke rumah dulu, Bang. Tapi udah ada niat mau melamarku. Doain ya, Bang." Syifa terlihat sangat antusias. Berbeda sekali dengan lelaki di sebelahnya. "Aku doakan kalian segera menikah. Melukis kisah bahagia pada buku catatan rumah tangga," celetukku sambil t

  • Cinta Pertama Mas Ali    Kamu Sama Dia?

    POV Dimas"Mas, kamu lupa semalam? Semalam kamu ngapain aja lupa?" Sindy mulai mengada-ada. Apa yang dia maksud itu?"Aku enggak ngerti kamu ngomong apa. Sudahlah, pulang saja! Pagi-pagi begini malah bikin suasana enggak enak." Kesal dengan sikapnya yang tak tahu tempat, aku tak peduli jika terkesan mengusirnya. "Mas! Kamu kenapa jadi gini, sih! Kamu lupa semalam nidurin aku? Hah!" Dia melotot sampai aku mundur. "Gila kamu, Sin? Mana mungkin aku begitu. Aku bukan laki-laki yang mudah melakukan hal sekeji itu. Jangan asal bicara kamu, ya! Aku bisa aja laporin ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah!"Mungkin, teriakanku ini terdengar hingga ke kamar Bella. Di mana, istriku sekarang di sana. Dia pasti sangat sedih sekali. Aku tahu, tadi dia terlihat cemburu sesaat setelah Sindy memelukku. "Jangan pura-pura lupa kamu, Mas! Kalau sampai aku hamil, kamu harus tanggung jawab!" Sindy memutar badannya, lalu pergi begitu saja. Aku yang tak ingat apa-apa pun bergegas menyusul

  • Cinta Pertama Mas Ali    Sedingin Embun Pagi

    Semalaman, air mataku luruh tak bertepi. Senja berlabuh di bawah mata hingga membuatku terlihat seperti perempuan yang sedang putus asa. Ya, memang rasanya aku tak berselera apa-apa lagi.Mas Dimas benar-benar tidak pulang. Dia ke mana? Dia sama siapa? Kenapa harus begini? Kenapa dia tidak mau mendengarkan aku?Apa dia sudah tidak percaya lagi? Dia sudah tak cinta lagi? Aku masih terus terjaga hingga dini hari. Sampai tiba waktu Subuh, terdengar kokokan ayam yang teramat jauh, bersama itu pula suara mobil masuk ke garasi. Aku tak segera turun menghampiri. Aku tak cukup kuat nyali melihat dia dengan segala keadaannya. Pikiranku kacau, mereka sudah melakukan apa saja di luar sana?Namun, belum sempat beranjak dari atas kasur, aku dikejutkan dengan kehadiran Mas Dimas. Lamunanku buyar, setelah dia memutar kenop pintu. Aku tak sanggup menatapnya. Namun, tak tercium aroma alkohol atau parfum lain. "Suami datang kenapa diam saja?" Tiba-tiba suara lelaki itu membuatku langsung tersadar. "

  • Cinta Pertama Mas Ali    Aku Masih Menunggumu

    "Mas, aku bisa jelasin. Semua ini tidak seperti yang Mas lihat," ucapku saat itu dengan perasaan ketar-ketir. Sorot mata Mas Dimas tampak mengerikan saat dia marah begini. Dia turun dari mobil menghampiri kami. "Pulang, Dek!" Ucapannya begitu dingin. Sedingin tangannya yang kini menarik tanganku agar ikut dengannya. Sementara itu, Mas Ali masih meringis menahan luka lebam di pipinya. Sesampainya kami di rumah, Mas Dimas langsung memintaku masuk ke dalam kamar. Namun, sebelum itu aku mengecek Bella di kamarnya. Ternyata dia sudah tidur. Panas dingin menunggu pria itu masuk ke kamar. Kulihat di bawah dia sedang duduk di kursi makan sambil meneguk segelas air putih. Lalu, mulai berdiri dan naik ke atas. Rasanya kenapa takut sekali, padahal aku tidak ngapa-ngapain dengan Mas Ali.Pintu kamar dibuka, tiba-tiba saja aku terperanjat. Siap menerima segala tuduhan dari pria itu. Tapi, aku tahu dia pasti memahami keadaanku. "Mas ...." Aku berdiri menyambutnya. "Tidurlah! Sudah malam ini,"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status