"Aku janji, aku akan menunaikan janjiku pada suami kamu, Yu!" Aku masih lemas tatkala lelaki itu bicara. Aku direbahkan di atas brankar ruangan lain setelah sempat pingsan katanya. "Aku ingin liat Mas Dimas, Mas." Dalam kondisi yang masih terguncang, aku bangkit lalu turun. "Yu, kamu yakin sudah kuat?" tanya Mas Ali. "Aku kuat, Mas. Aku yakin, aku bisa melewati semuanya." Air mataku kembali merembes. Tiba-tiba pintu terbuka, muncul Syifa dengan wajah sembab juga. Dia langsung memelukku. "Turut berduka cita ya, Mbak."Aku tak dapat membalas ucapannya karena kembali lemas. Syifa membantuku keluar dari sana. Dia dan Mas Ali membantuku keluar dari rumah sakit dan masuk ke dalam mobil ketika jenazah sudah siap dipulangkan ke rumah duka. Bagaimana jika Bella melihat kenyataan ini nanti? Anak itu sudah pasti sangat sedih. Semua gara-gara aku. Kalau saja aku yang tertabrak, sudah pasti Mas Dimas bakal selamat. Bukan dia yang harus terbujur kaku dalam mobil ambulan di depan sana. Sesampa
"Selamat ya, Mbak. Anda akan segera menjadi seorang ibu. Janinnya sehat. Berusia 3 Minggu." Ucapan dokter kandungan bernama Teta itu membuat sekujur tubuhku merinding. Kusentuh perutku yang masih rata ini. Dengan tatapan kosong, bayangan tangisan seorang bayi memenuhi ruang kepalaku. "Dek, kita akan jadi orang tua. Kamu hamil," ucap Mas Dimas membuatku sadar lagi. "Ini bener kan, Mas? Bukan mimpi?" Jantungku berdegup kencang sekali. Sampai gemetar dan panas dingin. "Iya, Mbak. Selamat, ya." Dokter itu memberikan ucapan selamat lagi. "Makasih, Dok. Mungkin istri saya masih enggak percaya. Terima kasih, Dok," kata Mas Dimas ketika kami hendak pamit. "Sama-sama, Dokter Dimas. Selamat sekali lagi."Kami pun segera keluar dari ruangan periksa itu. Dengan hati yang bercampur kaget dan bahagia, di tengah lorong rumah sakit aku langsung memeluk lelaki tinggi tegap itu. Dia sampai terperangah dan berhenti. "Dek ....""Aku masih enggak percaya, Mas. Ternyata ucapan orang tidaklah benar.
"Hallo, Mbak, Bang. Ketemu kita di sini." Syifa tersenyum lebar. Dia menggandeng lengan Ali. "Hai, keponakan cantik." Lalu menyapa Bella. "Hai, Tante." Bella membalas. Sementara Ayu masih terpaku, sepertinya dia tidak percaya melihat dua sejoli di hadapan matanya. "Hai, kamu di sini juga?" tanyaku balik. Setelah aku angkat bicara, Ayu baru menunduk dan mengalihkan pandangannya. Disusul Ali juga terlihat menunduk tapi diam saja. "Aku belanja juga, Mas. Ditemani calon suamiku," balas Syifa dan sontak membuat Ayu menarik napas dalam-dalam. Dia kaget, bukan hanya dia tapi aku juga. Namun, berita kali ini membuatku bahagia. Aku tersenyum lebar sambil mengucapkan, "Selamat ya, buat kalian berdua. Jadi kapan nikahannya?""Mas Ali mau ke rumah dulu, Bang. Tapi udah ada niat mau melamarku. Doain ya, Bang." Syifa terlihat sangat antusias. Berbeda sekali dengan lelaki di sebelahnya. "Aku doakan kalian segera menikah. Melukis kisah bahagia pada buku catatan rumah tangga," celetukku sambil t
POV Dimas"Mas, kamu lupa semalam? Semalam kamu ngapain aja lupa?" Sindy mulai mengada-ada. Apa yang dia maksud itu?"Aku enggak ngerti kamu ngomong apa. Sudahlah, pulang saja! Pagi-pagi begini malah bikin suasana enggak enak." Kesal dengan sikapnya yang tak tahu tempat, aku tak peduli jika terkesan mengusirnya. "Mas! Kamu kenapa jadi gini, sih! Kamu lupa semalam nidurin aku? Hah!" Dia melotot sampai aku mundur. "Gila kamu, Sin? Mana mungkin aku begitu. Aku bukan laki-laki yang mudah melakukan hal sekeji itu. Jangan asal bicara kamu, ya! Aku bisa aja laporin ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan fitnah!"Mungkin, teriakanku ini terdengar hingga ke kamar Bella. Di mana, istriku sekarang di sana. Dia pasti sangat sedih sekali. Aku tahu, tadi dia terlihat cemburu sesaat setelah Sindy memelukku. "Jangan pura-pura lupa kamu, Mas! Kalau sampai aku hamil, kamu harus tanggung jawab!" Sindy memutar badannya, lalu pergi begitu saja. Aku yang tak ingat apa-apa pun bergegas menyusul
Semalaman, air mataku luruh tak bertepi. Senja berlabuh di bawah mata hingga membuatku terlihat seperti perempuan yang sedang putus asa. Ya, memang rasanya aku tak berselera apa-apa lagi.Mas Dimas benar-benar tidak pulang. Dia ke mana? Dia sama siapa? Kenapa harus begini? Kenapa dia tidak mau mendengarkan aku?Apa dia sudah tidak percaya lagi? Dia sudah tak cinta lagi? Aku masih terus terjaga hingga dini hari. Sampai tiba waktu Subuh, terdengar kokokan ayam yang teramat jauh, bersama itu pula suara mobil masuk ke garasi. Aku tak segera turun menghampiri. Aku tak cukup kuat nyali melihat dia dengan segala keadaannya. Pikiranku kacau, mereka sudah melakukan apa saja di luar sana?Namun, belum sempat beranjak dari atas kasur, aku dikejutkan dengan kehadiran Mas Dimas. Lamunanku buyar, setelah dia memutar kenop pintu. Aku tak sanggup menatapnya. Namun, tak tercium aroma alkohol atau parfum lain. "Suami datang kenapa diam saja?" Tiba-tiba suara lelaki itu membuatku langsung tersadar. "
"Mas, aku bisa jelasin. Semua ini tidak seperti yang Mas lihat," ucapku saat itu dengan perasaan ketar-ketir. Sorot mata Mas Dimas tampak mengerikan saat dia marah begini. Dia turun dari mobil menghampiri kami. "Pulang, Dek!" Ucapannya begitu dingin. Sedingin tangannya yang kini menarik tanganku agar ikut dengannya. Sementara itu, Mas Ali masih meringis menahan luka lebam di pipinya. Sesampainya kami di rumah, Mas Dimas langsung memintaku masuk ke dalam kamar. Namun, sebelum itu aku mengecek Bella di kamarnya. Ternyata dia sudah tidur. Panas dingin menunggu pria itu masuk ke kamar. Kulihat di bawah dia sedang duduk di kursi makan sambil meneguk segelas air putih. Lalu, mulai berdiri dan naik ke atas. Rasanya kenapa takut sekali, padahal aku tidak ngapa-ngapain dengan Mas Ali.Pintu kamar dibuka, tiba-tiba saja aku terperanjat. Siap menerima segala tuduhan dari pria itu. Tapi, aku tahu dia pasti memahami keadaanku. "Mas ...." Aku berdiri menyambutnya. "Tidurlah! Sudah malam ini,"