Alexandra tidak menyangka jika dia akan tinggal bersama seorang Om yang baru pertama kali ia temui.
Berjalan dengan ragu, Alexandra selalu berjalan di belakang William sambil memandang punggung lelaki itu.Ketika William berhenti dari langkahnya, kepala Alexandra tak sengaja menabrak punggung William hingga terpental sedikit ke belakang.William menoleh ke belakang. “Kamu malu berjalan di sampingku?” tanya William.Alexandra menggeleng cepat.“Lalu?”“Itu… “William memindai bayangan Alexandra dari atas sampai bawah. “Untung aku minta Evan beli pakaian buat kamu,” katanya yang mengalihkan pembicaraan. Dia menarik lengan Alexandra agar berjalan di sampingnya. “Besok lusa kita akan daftar sekolah yang baru. Karena nggak mungkin kamu bersekoiah di tempat yang lama, kan? Jauh.”Apakah William selalu seperti itu? Seakan dia bicara pada dirinya sendiri?“Terserah Om,” jawab Alexandra.Ketika William berhenti di depan sebuah pintu. Alexandra yang berjalan lebih jauh langsung memutar kakinya. William menahan tawanya karena tak mau membuat keponakannya itu malu.“Ini tempat kita pulang, jangan lupa, jangan nyasar,” kata William.Alexandra masuk duluan disusul oleh William di belakangnya.Apartemen William besar. Sangat besar malah. Lebih besar jika dibandingkan rumah paman Oliver.“Kamar kamu di sebelah sana, kamarku di sebelahnya,” kata William. “Ada kamar mandi di dalam kamar, aku tau karena kita membutuhkan privasi.”Alexandra mengangguk.Tak lama Evan masuk membawa paperbag yang berisikan pakaian dan kebutuhan yang dibutuhkan oleh Alexandra.“Kalau kekecilan kita bisa beli lagi besok,” kata William dengan enteng.**Jam satu malam, tenggorokan Alexandra terasa kering. Dia ingin mengambil minum yang ada di dapur, jadi dia harus keluar dari kamarnya malam itu.Ia pikir William sudah tidur di kamarnya, tapi ternyata om-nya itu sedang minum di minibar yang ada di sebelah dapur.William yang tahu ada pergerakan dan mata yang mengawasinya lalu menoleh.“Kenapa? Kamu nggak bisa tidur?” tanya William.Alexandra menggeleng. “Aku haus.”William lalu mengangguk dan fokus pada gelas wine-nya lagi. Sikapnya saat ini sangat berbeda dengan beberapa jam yang lalu.Karena Alexandra tak mau menganggu William, jadi dia mengambil air mineral di dalam kulkas dengan buru-buru. Tapi karena tangannya licin, dia memecahkan botol yang ada di dalam kulkas.Mata Alexandra membulat terkejut. Ia tak mau membuat masalah di hari pertama ia tinggal dengan William.“Kamu nggak apa-apa?” tanya William.Alexandra dengan tangan gemetar memunguti pecahan botol.“Biarin aja di sana, biar aku yang bereskan,” kata William.“Tapi… ““Kamu tidur aja, pasti capek,” kata William.Nada dingin itu tak mungkin Alexandra sangkal lagi. Jadi dia buru-buru masuk ke dalam kamarnya sebelum membuat William muak padanya.Dari celah pintu sedikit terbuka, Alexandra mengintip William yang sedang berjongkok sambil mengambil pecahan beling tersebut. Dari dalam hati Alexandra muncul ketakutan apabila William ingin mengusirnya sama seperti Martha kemarin.“Agh!” Terdengar suara William melenguh. Alexandra yang hendak menutup pintu kemudian membuka pintu kembali. Dia berlari dan melihat jari telunjuk William yang mengeluarkan darah.“Om nggak apa-apa?” tanya Alexandra. Gadis itu mengambil tisu kemudian menekan jari telunjuk William, setelahnya diarahkan tangan William ke wastafel dan mencucinya.“Kenapa nggak jadi tidur?” tanya William.“Mana mungkin aku tidur.”“Kamu takut?”Alexandra mengangguk.“Takut apa?”“Takut… kalau Om mengusirku.”“Gara-gara apa? Memecahkan botol ini?”Alexandra mengangguk lagi.William tersenyum. Meski gelap tapi bayangan William terlihat begitu tampan malam itu.Tangan William yang kekar mengangkat pinggang Alexandra dan mendudukkannya di sebelah wastafel. “Aku nggak sejahat itu. Apalagi karena masalah kecil. Bodoh,” kata William.Wajah Alexandra memerah karena malu. Ia pun turun lalu berlari masuk ke kamarnya.Mata William melirik ke mana bayangan itu pergi masih dengan senyumnya seperti tadi.Tiga puluh lima tahun kemudian, rumah tepi pantai itu masih berdiri megah dan menawan, dikelilingi oleh pemandangan yang sama indahnya seperti saat Alexandra dan William pertama kali menempatinya. Namun, kini Alexandra telah berusia 65 tahun dan William telah tiada. Di sore hari yang cerah itu, Alexandra duduk di balkon rumahnya, ditemani oleh anak-anak dan cucu-cucunya. Angin laut yang sepoi-sepoi membawa aroma asin yang familiar, membawa kenangan indah bersama William. "Ini benar-benar tempat yang indah, Bu," kata Michael, anak sulung Alexandra. Ia berdiri di sampingnya, memandang laut yang luas. "Aku bisa mengerti mengapa Ayah dan Ibu memilih tinggal di sini." "Ya, Ayahmu dan aku selalu merasa damai di sini," jawab Alexandra sambil tersenyum. "Setiap hari yang kita habiskan di sini adalah anugerah." Cucu-cucunya berlari-larian di pasir putih, tertawa riang. Sarah, cucu tertuanya, mendekati Alexandra dan memeluknya dengan erat. "Nenek, ceritakan lagi tentang kakek. Apa yang palin
William dan Alexandra kini telah menetap di rumah impian mereka yang terletak di pinggir pantai yang indah. Setiap sore, mereka bersama anak mereka menikmati pemandangan matahari terbenam yang mempesona dari balkon rumah mereka. Angin laut yang sepoi-sepoi menerpa wajah mereka, menambah kenyamanan suasana kebersamaan keluarga kecil ini.Keduanya telah bekerja keras untuk mencapai impian ini, membangun rumah sederhana namun hangat, di mana mereka dapat menjalani kehidupan yang berkualitas bersama anak mereka. William, seorang pengusaha sukses, selalu meluangkan waktu untuk Alexandra dan anak mereka, sementara Alexandra, seorang penulis handal, selalu memastikan bahwa rumah mereka terjaga dan nyaman untuk ditinggali."Indah sekali sore ini," ujar Alexandra sambil memandang matahari yang perlahan-lahan tenggelam di cakrawala."Ya, benar-benar menakjubkan," jawab William. Ia merangkul Alexandra dengan hangat. "Setiap kali melihat pemandangan ini, aku merasa semua kerja keras kita terbayar
Satu minggu kemudian, Alexandra dan William pergi ke taman bermain setelah Alexandra mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Mereka berdua berjalan-jalan di taman yang ramai, menikmati suasana yang ceria."Lex, om sangat bangga padamu. Kamu sudah berusaha keras dan akhirnya mendapatkan nilai yang bagus," ucap William sambil tersenyum pada Alexandra."Terima kasih, Om. Aku senang bisa membuatmu bangga," jawab Alexandra sambil tersenyum cerah.Mereka berdua berjalan-jalan di sekitar taman bermain, melihat anak-anak yang sedang bermain dengan riang. Alexandra merasa senang bisa menghabiskan waktu bersama William di tempat yang menyenangkan seperti itu.Mereka berdua naik perosotan, bermain ayunan, dan menikmati berbagai permainan di taman bermain. Alexandra merasa sangat bahagia bisa berada di sana bersama William, orang yang sangat ia sayangi.Setelah puas bermain, mereka duduk di bangku taman sambil menikmati pemandangan sekitar. "Terima kasih sudah membawaku ke sini, Om. Aku benar-b
"Lex aku akan pergi ke tempat Sarah. Kamu baik-baik saja kan di sini sendiri?" "Kapan om pulang?" "Mungkin besok pagi.""Hmm baiklah."Saat William hendak pergi dan hendak membuka pintu, tiba-tiba Alexandra merasa pusing yang sangat hebat. Dia mencoba berdiri tetapi kakinya lemas, lalu pingsan di pelukan William."Lex! Lex, bangun!" seru William panik sambil mencoba membangunkan Alexandra. Dia memegang wajah Alexandra dengan lembut, mencari tanda-tanda kesadaran.Karena khawatir terjadi apa-apa pada Alexandra akhirnya William membawanya ke rumah sakit. **Sementara itu, seorang perawat datang untuk membantu. Mereka bersama-sama mengangkat Alexandra ke tempat tidur yang tersedia di ruang gawat darurat.William duduk di samping tempat tidur, wajahnya penuh kekhawatiran. Dia menggenggam tangan Alexandra dengan erat, berharap gadis itu segera sadar.Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Alexandra akhirnya membuka mata. Dia memandang sekeliling dengan bingung, tidak tahu
William tiba di apartemennya setelah seharian kerja. Saat ia memasuki ruang tamu, ia melihat Alexandra tertidur pulas di balkon. Bulan purnama menerangi wajah muda Alexandra yang tenang. William menghampirinya dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkannya. "Dingin sekali di sini," gumam William sambil menyelimuti Alexandra dengan lembut. Gadis itu merasa hangat dan sedikit menggeliat, tetapi tetap tertidur.Setelah meyakinkan diri bahwa Alexandra nyaman dengan selimutnya, William memutuskan untuk membopongnya ke dalam kamar. Tubuh Alexandra yang ringan membuatnya mudah diangkat. Langkahnya pelan, tidak ingin mengganggu tidur Alexandra yang lelap. Sampai di dalam kamar, William meletakkan Alexandra dengan lembut di atas tempat tidur. Ia memandang wajah gadis itu dengan penuh perhatian sejenak, lalu menutup pintu kamar perlahan ketika meninggalkannya untuk tidur dengan tenang.--Malam itu, Alexandra terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Ia tampak gelisah, terli
Evan duduk gelisah di ruang tamu rumahnya, memikirkan nasib Arini yang belum diketahui keberadaannya. Hatinya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah karena tidak bisa melindungi Arini. Ponselnya tiba-tiba berdering, mengagetkannya. Dia buru-buru mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari nomor polisi.Evan mengangkat telepon, "Halo, ini Evan.""Halo, Pak Evan. Kami dari kepolisian ingin memberitahukan bahwa Arini telah ditemukan. Dia sedang dirawat di rumah sakit setelah mengalami kejadian yang traumatis. Anda bisa menjemputnya di sana."Evan merasa lega, "Oh, syukurlah. Terima kasih banyak atas informasinya. Saya akan segera ke sana."Evan segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke rumah sakit. Saat tiba di sana, dia langsung menuju ruang perawatan tempat Arini berada. Dia melihat Arini terbaring di tempat tidur, tampak lemah dan pucat, tetapi dia merasa lega melihat Arini selamat.Evan duduk di samping tempat tidur Arini. "Arini. Bagaimana kabarmu?"Arini dengan suara lemah. "