Share

Bab 4. Rumah kita

“Rumah kita?” tanya Alexandra tak percaya. “Om bilang rumah kita?”

William mengangguk. Setelah mengusap puncak kepala Alexandra, dia kemudian berdiri dan menatap wajah Martha dengan mengintimidasi.

“Saya akan bawa keponakan saya pergi, dan saya harap ke depannya Alexandra tidak perlu bertemu dengan Anda lagi.”

Martha tersenyum sinis. “Baguslah kalau begitu, kalau perlu dari kemarin kamu bawa dia dari rumah ini.”

William tidak membalas ucapan Martha, dia hendak membalikkan tubuhnya dan pergi tapi Martha ingin memperpanjang masalahnya dengan William.

“Setidaknya kamu harus mengganti biaya ketika Alexandra tinggal di sini,” kata Martha yang membuat langkah William terhenti seketika.

“Memangnya berapa biaya yang dibutuhkan Alex selama tinggal di sini? Saya lihat keponakan saya kurus dan tidak terurus.”

“Satu milliar!”

William tertawa sinis.

“Evan!” panggil William.

Seorang laki-laki yang tak lain adalah supir dan tangan kanan William masuk tak lama setelah itu.

“Laporkan wanita ini atas tindak kekerasan pada anak di bawah umur. Kumpulkan semua buktinya. Kalau perlu tuntut sampai dia masuk ke dalam penjara,” kata William dengan tenang yang membuat Martha ketakutan.

“Apa katamu!” Martha memekik tak percaya. Sementara Ethan tak dapat berkata apa-apa, dan Emily bersembunyi dari balik punggung ibunya.

“Jadi Anda mau apa? Dilaporkan atau saya pergi membawa Alex dengan tenang?”

Martha tak mampu berkata apa-apa karena dia tak memiliki pilihan lain.

Ketika William hampir mencapai belakang pintu, Martha diam-diam mengendap-endap dan mengambil buku tabungan Alexandra. Tapi Evan lebih dulu meraihnya dan memasukkanya ke dalam saku jasnya.

“Ini bukan hak Anda. Kalau Anda memaksa mengambilnya maka ini termasuk tindak pencurian.”

Bibir Martha berkedut hebat, tak pernah sebelumnya ada yang menuduhnya sebagai pencuri.

“Pencuri katamu?!”

“Evan! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” panggil William.

“Baik Pak!”

**

Usai diperiksa oleh dokter, Alexandra tidak tahu apa yang nantinya akan terjadi pada hidupnya.

Alexandra duduk di tepi brankar rumah sakit. Dia diam saja saat dokter memeriksa lukanya, tapi matanya melihat ke mana saat ini William sedang menelepon seseorang. Terlihat sangat serius, lalu tak berapa lama William tersenyum.

“Paman William? Om William?” bisik Alexandra. Alexandra mencoba untuk menggali ingatannya lebih dalam. Apakah benar lelaki itu adalah William adik ayahnya? Apakah dia lupa jika ayahnya pernah menceritakan seorang lelaki yang bernama William itu?

“Pasti kamu kaget ya.” Suara Evan membuat pikiran Alexandra terbelah. “Pak William baru saja kembali dari luar negeri demi Anda, setelah mendengar kakaknya meninggal dunia.”

Alexandra mengangguk mengerti.

“Selama ini dia tinggal di luar negeri, lebih tepatnya lima belas tahun lalu setelah kamu lahir,” jelas Evan lagi. “Jadi, wajar kalau kamu lupa siapa pak William. Tapi saya yakin ayah kamu menyimpan foto bersama dengan pak William.”

Alexandra kemudian teringat akan sesuatu. Ayahnya dulu pernah menunjukkan foto padanya, dan mengatakan bahwa laki-laki yang duduk di sebelahnya adalah adiknya.

Tapi William di foto masih seperti bocah kecil ingusan yang terlihat sembrono. Bukan seperti William yang sekarang.

“Jadi, saya harus manggil Om atau Paman?”

Evan tertawa kecil. “Om juga boleh,” jawab Evan.

“Om Evan… apa sudah punya istri?” tanya Alexandra takut. Dia trauma jika istri William tidak menyukainya.

Evan tertawa lagi. “Kamu nggak perlu cemas. Pak William seratus persen lajang, yah meski punya banyak wanita tapi nggak ada yang serius.”

Ada bentuk kelegaan dalam diri Alexandra karena setidaknya tak ada lagi istri dari Om-nya yang akan memusuhi dirinya sama seperti Martha.

“Evan!” panggil William. Lelaki itu berdiri dari duduknya dan menunjukkan tingginya yang hampir dua meter. Pantas saja jika Alexandra kesulitan melihat wajahnya.

Lelaki itu tampan dengan garis wajah yang tegas, bibir bawah yang tebal dan bulu mata yang panjang dan indah. Matanya cokelat terang tak mirip seperti milik ayahnya. Alexandra lupa, bahwa William memang tidak sedarah dengan ayahnya.

Dari jauh William melihat Alexandra sekilas lalu menepuk bahu Evan.

Evan pun kemudian pergi dari hadapan William, sementara William berjalan ke arah Alexandra.

“Kata dokter nggak apa-apa, kan?” tanya William. “Evan udah bilang sama aku tadi.”

Alexandra memandang wajah William seakan berkata, jika sudah tahu kenapa harus bertanya padaku.

“Evan pergi, jadi kita pulang berdua,” kata William lagi.

Alexandra mengangguk.

“Kita nggak pulang ke rumah, karena aku nggak punya rumah.”

“... Ya?” Alexandra terkejut. “Terus? Kita tinggal di jalanan?”

William tertawa. “Bukan, maksudku aku tinggal di apartemen. Karena belum lama kembali ke sini, jadi aku beli apartemen alih-alih beli rumah.”

Mulut Alexandra membentuk huruf O.

“Aku datang jauh-jauh ke sini demi keponakanku,” gumam William. “Lucu ya,” seolah William berkata pada dirinya sendiri.

“Kapan-kapan kita pergi ke rumah nenek. Kamu udah lama nggak ketemu mereka kan?”

Alexandra mengangguk.

“Nenek tau… kalau ayah… “

“Tentu tahu, tapi… “ William melirik ke arah Alexandra. Dia tak jadi melanjutkan kalimatnya. Tak mau membuat Alexandra semakin merasa bersalah jika dia tahu bahwa neneknya tidak pernah menyetujui hubungan ibunya dan ayahnya di masa lalu.

“Aku tahu kok om. Kalau nenek nggak suka sama ibu.”

William terkejut.

“Makanya nenek nggak mau tau.”

Tangan William mengusap kepala Alexandra dengan lembut. “Kamu salah. Nenek diam-diam selalu mau tau kabar kalian kok. Tapi karena gengsi jadi dia nggak mau terlalu jelas.”

Saat Alexandra mendongak, William tersenyum.

“Aku nggak pernah bohong,” kata William lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mikhayla Yolanda
setidaknya Alexandra bisa selamat dari bibi Martha yang kejam
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status