Home / Romansa / Cinta Sang CEO di Ujung Desa / BAB 2 • Pasar, Rahasia, dan Harga Diri

Share

BAB 2 • Pasar, Rahasia, dan Harga Diri

Author: Hadi Putra
last update Last Updated: 2025-09-04 18:29:33

Matahari baru saja terbit, cahayanya menembus celah-celah dinding papan rumah kontrakan Nayara. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan, bercampur dengan teriakan pedagang keliling yang menawarkan sayur segar.

Nayara menggeliat malas di ranjang reyotnya, lalu mendesah panjang. Rambutnya berantakan seperti sarang burung, wajahnya kusut, dan matanya sembab karena kurang tidur. Ia memandang sekeliling: dinding kayu penuh retakan, atap seng yang bocor di sudut, dan lantai kayu yang berderit setiap kali ia bergerak.

“Selamat pagi, neraka dunia,” gumamnya sinis.

Namun perutnya yang kembali berbunyi membuatnya sadar—ia harus pergi ke pasar. Lagi.

Dengan enggan, ia mandi seadanya, lalu mengenakan gaun kasual yang dulu masih tergolong “murahan” di butik kota, tapi di desa ini tampak terlalu mewah. Ia mengikat rambutnya seadanya, mengambil dompet tipis berisi sisa uang tunai, dan keluar rumah.

---

Pasar desa ternyata sudah ramai. Bau tanah basah bercampur aroma ikan asin dan sayur-mayur segar. Orang-orang saling berdesakan, tawar-menawar dengan suara keras.

Nayara berdiri kaku di pintu masuk, matanya melebar. “Astaga… seperti film dokumenter. Bagaimana aku bisa… survive di sini?”

Ia melangkah pelan, mencoba mencari penjual sayur. Namun setiap langkahnya disertai tatapan orang-orang desa. Mereka berbisik-bisik, sebagian bahkan tersenyum geli.

“Eh, itu kan yang kemarin jatuh di sawah?”

“Iya, iya! Aku lihat. Lumpurnya sampai ke rambut.”

“Hahaha… tumit tinggi di pematang. Siapa sih dia?”

Nayara mendengus. “Gosip memang lebih cepat daripada internet,” desisnya kesal.

Ia berusaha menegakkan dagu, berjalan anggun seperti biasa, padahal sandal jepit murahan yang ia beli di pasar semalam membuat langkahnya kikuk.

Baru saja ia mendekati lapak sayur, seorang penjual tua menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. “Neng, mau beli sayur? Uangnya cash, ya. Jangan kayak kemarin ada orang kota pamer dompet tapi nggak ada isinya.”

Wajah Nayara langsung merah. “Hei! Aku… aku punya uang!” Ia buru-buru mengeluarkan lembaran uang lusuh dari dompetnya. “Tuh kan!”

Penjual itu mengangguk santai. “Oke, kalau begitu. Mau beli apa?”

Nayara menarik napas lega, tapi tiba-tiba terdengar suara familiar di belakangnya.

“Kalau dia belanja, pastikan jangan kasih plastik. Biar belajar bawa keranjang sendiri.”

Nayara menoleh cepat. Dan benar saja—Arga berdiri tak jauh, memegang beberapa ikat kangkung di tangannya. Kemeja putihnya diganti kaos abu-abu sederhana, tapi tatapannya tetap sama: dingin sekaligus santai.

“Kenapa kamu ada di mana-mana sih?!” Nayara spontan berseru.

Arga mengangkat alis. “Ini pasar, Nona Kota. Semua orang ke sini kalau mau hidup.”

Pedagang dan beberapa pembeli di sekitar mereka mulai memperhatikan. Nayara bisa merasakan pipinya kembali panas. Ia buru-buru membuang muka, pura-pura sibuk memilih tomat.

Namun, nasib buruk belum selesai.

Saat Nayara meraih sebuah tomat besar, tiba-tiba seekor ayam hidup melompat dari keranjang dekat lapak, terbang rendah ke arahnya. Nayara menjerit kaget, melompat ke belakang, dan—

Bruk!

Tubuhnya menabrak Arga hingga pria itu hampir menjatuhkan ikatan kangkung di tangannya.

“Ya ampun!” Nayara refleks meraih lengan Arga agar tidak jatuh, tapi justru membuat keduanya semakin kehilangan keseimbangan.

Mereka berdua akhirnya tersungkur ke tumpukan karung beras di pojok lapak. Beras beterbangan, ayam tadi lari terbirit-birit, dan orang-orang pasar meledak tertawa.

“Wah, cocok bener ya. Drama cinta di pasar!”

“Jatuh di sawah belum cukup, sekarang main adegan romantis di karung beras!”

Nayara ingin menghilang saat itu juga. Wajahnya merah padam, rambutnya berantakan, dan posisinya… nyaris menindih Arga.

Arga menatapnya datar, lalu berkata dengan suara rendah. “Kamu harus bayar ganti rugi kalau karung beras ini sobek.”

“APA?!” Nayara melotot. “Kamu… kamu—”

“Kenapa? Kamu pikir semua ini gratis hanya karena kamu dulu bisa pesta dengan gaun mahal?” Arga memotong cepat.

Kata-katanya menohok. Nayara tercekat, lalu buru-buru bangkit. Orang-orang pasar masih tertawa dan berbisik-bisik, seolah mereka sedang menonton drama komedi langsung.

Nayara merapikan rambutnya dengan tangan gemetar, lalu meraih dompet. “Berapa ganti ruginya?!”

Pedagang pemilik karung beras itu buru-buru melambaikan tangan. “Nggak usah, Neng. Namanya juga musibah. Lagian berasnya masih bisa dipakai.”

Nayara menatap lega, tapi Arga menambahkan dingin, “Kalau aku jadi kamu, aku belajar minta maaf juga, bukan cuma lempar uang.”

Nayara menoleh cepat, menatapnya tajam. “Hei! Aku bukan… bukan orang yang nggak tahu diri!”

Namun suaranya terdengar goyah, karena dalam hati ia tahu—Arga benar.

---

Setelah insiden itu, Nayara memilih buru-buru menyelesaikan belanjaannya. Ia memeluk keranjang sayur erat-erat, berjalan cepat meninggalkan pasar. Namun langkah Arga santai menyusul di belakangnya.

“Kamu mau sampai kapan pura-pura kuat?” tanya Arga tiba-tiba.

Nayara berhenti, menoleh tajam. “Urus saja hidupmu sendiri!”

Arga menyelipkan tangan ke saku. Tatapannya masih tenang, tapi suaranya terdengar lebih serius kali ini. “Kalau kamu tidak belajar menyesuaikan diri, desa ini akan menelanjangi harga dirimu habis-habisan. Dan percaya padaku… itu lebih menyakitkan daripada kehilangan uang.”

Kalimat itu menghantam Nayara seperti badai. Ia tercekat, tidak bisa membalas.

Arga hanya berjalan melewatinya, melangkah santai di jalan tanah desa yang becek.

Nayara berdiri mematung, dadanya naik turun. Ada sesuatu pada pria itu yang membuatnya kesal setengah mati, tapi juga membuatnya ingin tahu lebih banyak.

“Siapa sebenarnya dia?” gumam Nayara lirih.

Ia tidak sadar, sejak hari itu, hidupnya di desa akan semakin penuh kejutan, skandal kecil, dan rahasia besar yang bahkan ia sendiri tak siap menghadapinya.

“Hidup macam apa ini…” desis Nayara sambil mengangkat rok gaunnya agar tidak terseret lumpur. “Dulu orang berebutan mengajakku foto di pesta, sekarang orang berebutan menertawakan aku di pasar.”

Ia berhenti sejenak, mencoba menyeimbangkan diri di jalan tanah yang becek. Ketika menoleh ke belakang, ia terkejut karena Arga masih mengikutinya.

“Kenapa kamu ngikutin aku?!” serunya.

Arga mengangkat alis, tampak tak terpengaruh oleh nada tinggi Nayara. “Jalan menuju rumah kontrakanmu lewat sini. Kebetulan rumahku juga searah.”

Nayara mendengus, menoleh cepat ke depan. “Hah! Kebetulan, katanya. Jangan-jangan kamu sengaja.”

Arga terkekeh lirih. “Nona Kota, jangan terlalu percaya diri. Aku tidak punya waktu untuk sengaja mengikutimu. Lagipula…” Tatapannya melirik ke keranjang belanjaan Nayara. “…aku khawatir ayam di pasar tadi akan menuntut balas dendam kalau kamu masih berkeliaran sendirian.”

“APA?!” Nayara hampir tersedak ludahnya sendiri. Ia berhenti, menatap Arga dengan tatapan membunuh. “Kamu pikir aku ini bahan lelucon, ya?!”

Arga berhenti tepat di depannya, menunduk sedikit sehingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Tatapannya tenang, namun ada sorot tajam yang membuat Nayara kehilangan kata-kata.

“Bukan. Kamu bukan lelucon,” ucap Arga pelan. “Kamu hanyalah orang yang sedang dipermainkan hidup.”

Nayara tercekat. Dadanya terasa sesak. Kata-kata itu—meski terdengar dingin—sebenarnya terlalu dekat dengan kenyataan.

Namun, bukannya mengaku, Nayara malah memalingkan wajah dan melangkah cepat lagi. “Dasar pria kampung sok filosofis.”

---

Mereka akhirnya tiba di persimpangan. Rumah kontrakan Nayara berada di ujung jalan kecil, sementara rumah Arga terletak di sisi lain.

Arga berhenti, lalu menunjuk ke arah rumah papan reyot Nayara. “Kalau kamu butuh sesuatu, jangan ragu bertanya pada tetangga. Tapi… usahakan jangan minta bantuan dengan cara teriak-teriak histeris seperti kemarin. Itu… memalukan.”

“ARGA!” Nayara spontan berseru, lupa menjaga volume suaranya.

Beberapa anak kecil yang sedang bermain kelereng menoleh, lalu terkikik. Nayara buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya merah padam.

Arga hanya menahan senyum, lalu berbalik pergi. “Sampai jumpa, Nona Kota.”

---

Malam hari

Lampu bohlam redup menggantung di tengah ruangan rumah kontrakan Nayara. Ia duduk di kursi reyot, menatap piring berisi nasi, tempe goreng, dan sayur bening bayam. Bukan menu yang biasa ia lihat di meja makan mansion, yang dulu selalu penuh dengan steak wagyu, wine, dan dessert mahal.

Namun, anehnya… setelah suapan pertama, Nayara justru merasa hangat. Ada rasa sederhana yang menenangkan, meski ia tidak mau mengakuinya keras-keras.

“Enak juga…” gumamnya.

Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Dari luar jendela, ia mendengar suara ribut—teriakan beberapa pria.

“Mana utangmu, Din! Jangan kabur terus!”

“Kami tahu kamu ada di rumah!”

Nayara refleks mendekati jendela, mengintip lewat celah papan. Ia melihat tiga pria bertubuh besar menggedor pintu rumah kayu tak jauh dari rumahnya. Seorang bapak tua berwajah pucat keluar, tubuhnya gemetar.

“A-aku janji minggu depan, Pak… tolong beri waktu…” suara bapak itu lirih.

Namun para penagih itu tidak peduli. Salah satu dari mereka mendorong bapak itu hingga terhuyung. “Kami sudah bosan dengan janji! Kalau nggak ada uang, paling tidak kasih jaminan! Motor, tanah, apa saja!”

Nayara ternganga. Hatinya berdesir aneh—antara takut dan iba. Ia tak pernah menyaksikan kejadian seperti ini secara langsung. Di kota, masalah uang selalu ditutupi oleh pengacara dan kontrak. Di sini? Kekerasan terjadi terang-terangan di depan mata.

Ia mundur, napasnya memburu. “Ya Tuhan… apa aku tinggal di tempat yang benar-benar aman?”

Tiba-tiba, dari arah gelap, muncul sosok yang tak asing. Arga.

Ia berjalan pelan, tapi mantap, menghampiri keributan itu. Tatapannya dingin, langkahnya tenang, namun ada aura otoritas yang membuat ketiga penagih itu spontan menoleh.

“Pergi dari sini,” ucap Arga datar.

Para penagih itu terdiam sejenak, lalu salah satunya terkekeh. “Siapa lo, hah? Sok jadi pahlawan?”

Arga tidak menjawab. Ia hanya berdiri, menatap mereka satu per satu dengan sorot mata tajam. Ada sesuatu pada tatapan itu—sesuatu yang membuat udara seakan menegang.

Dalam hati Nayara bergumam, itu bukan tatapan orang desa biasa…

Salah satu penagih meludah ke tanah, mencoba menantang. “Kalau nggak mau ikut campur, minggir!”

Arga tetap diam. Namun di detik berikutnya, gerakannya cepat. Tangannya menepis kasar tangan pria itu yang hendak mendorongnya. Sekali sentakan, pria itu terjungkal ke tanah.

Dua lainnya spontan mundur, wajah mereka berubah pucat.

Arga melangkah maju, menunduk sedikit, suaranya rendah tapi mengancam. “Aku bilang sekali lagi. Pergi. Sekarang.”

Keheningan mencekam menyelimuti desa kecil itu. Para penagih, yang tadi begitu garang, kini saling pandang. Akhirnya, dengan gerutuan, mereka memilih mundur, pergi sambil memaki pelan.

Arga berdiri tegak, menatap punggung mereka sampai hilang.

Bapak tua itu terduduk lemas, meneteskan air mata. “T-terima kasih, Nak…”

Arga hanya mengangguk singkat, lalu membantu bapak itu masuk ke rumah.

Dari balik jendela, Nayara menyaksikan semuanya dengan mata membelalak. Tubuhnya merinding.

Siapa sebenarnya pria itu?

Bukan pria desa biasa, jelas. Cara berdiri, tatapan mata, cara berbicara, bahkan cara mengusir penagih itu… terlalu berwibawa, terlalu terlatih.

Nayara mundur, menutup gorden seadanya, lalu bersandar pada dinding. Dadanya berdegup kencang.

“Arga… apa yang kamu sembunyikan?”

---

Di luar, Arga berjalan pulang ke rumahnya. Senyum tipis muncul di wajahnya, meski matanya tampak penuh beban.

Ia berbisik lirih pada dirinya sendiri. “Aku ke desa ini untuk menenangkan diri… tapi sepertinya, dengan kehadiran wanita kota itu, ketenangan hanya tinggal mimpi.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 10 – Jejak yang Mengintai

    Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 9 – Bayangan Masa Lalu

    Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 8 — Terjebak dalam Kepungan

    Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   Bab 7 • Antara Tawa, Salah Tingkah, dan Bahaya

    Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   BAB 6 • Fajar di Balik Bayangan

    Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak

  • Cinta Sang CEO di Ujung Desa   BAB 5 • Bayangan yang Mengintai

    Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit desa itu tampak kelam, awan tebal menutupi bintang, dan angin dingin berhembus menusuk tulang. Dari luar rumah kayu sederhana itu, suara dedaunan bergesekan menambah kesan mencekam. Nayara duduk di tepi ranjang kayu, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang ia tarik sampai ke dada. Pandangannya kosong menatap lantai, sementara pikirannya berputar kacau. Kata-kata Arga sore tadi masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku bukan orang biasa. Aku seorang CEO. Dan aku berhutang budi pada keluargamu." Setiap mengingatnya, Nayara merasa dadanya sesak. Di satu sisi, ada rasa syukur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang siap melindungi. Namun di sisi lain, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan—seolah Arga menyimpan banyak rahasia lain yang belum terungkap. Suara langkah kaki pelan terdengar dari ruang depan. Nayara menoleh spontan, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun ia segera mengenali suara

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status