Nayara Adeline, seorang wanita sosialita kaya raya, hidupnya berubah drastis ketika perusahaan keluarganya bangkrut. Semua harta disita, teman-teman sosialitanya menjauh, bahkan tunangannya pergi begitu saja. Tanpa pilihan lain, Nayara pergi ke sebuah desa terpencil yang jauh dari hiruk pikuk kota, berharap bisa menenangkan diri sekaligus mencari tempat tinggal murah. Di desa itu, Nayara bertemu dengan Arga Dirgantara, seorang pria misterius yang ternyata adalah CEO muda perusahaan raksasa. Namun, Arga sengaja bersembunyi di desa untuk menghindari media dan tekanan bisnis. Pertemuan mereka justru terjadi dengan cara memalukan—Nayara yang baru belajar hidup sederhana terjatuh ke sawah saat membawa belanjaan, dan menimpa Arga yang kebetulan lewat dengan sepeda tuanya. Sejak saat itu, hubungan keduanya penuh dengan kesalahpahaman kocak, perdebatan konyol, dan momen romantis tak terduga. Perlahan, Arga melihat sisi tulus Nayara yang tersembunyi di balik sifat manja dan gengsi. Sementara Nayara belajar arti kehidupan, persahabatan, dan cinta sejati dari sosok pria yang selama ini hanya dikenal dunia sebagai "bos besar" dingin tanpa hati.
Lihat lebih banyakLangkah kaki Nayara Adeline bergema di ruang tamu mansion mewah yang kini terasa lebih mirip ruang sidang. Puluhan mata menatapnya penuh tuduhan, termasuk para pengacara, kolektor utang, hingga wartawan yang tanpa izin sudah menjejalkan kamera ke wajahnya.
Semua itu terjadi begitu cepat. Kemarin dia masih berdiri anggun di pesta sosialita, mengenakan gaun rancangan desainer internasional dengan segelas champagne di tangan. Hari ini, ia berdiri di tengah kerumunan, wajahnya pucat, bibirnya bergetar, dan tubuhnya nyaris goyah karena berita yang bagai kilat menyambar: perusahaan keluarganya bangkrut. “Apa benar Anda terlibat dalam penggelapan dana, Nona Nayara?” “Apakah benar tunangan Anda meninggalkan Anda setelah mendengar kabar ini?” “Bagaimana perasaan Anda kehilangan seluruh harta?” Pertanyaan demi pertanyaan menusuk seperti belati. Kilatan kamera membuatnya hampir buta. Nayara berusaha membuka mulut, tetapi suaranya tercekat di tenggorokan. Seumur hidup, ia tak pernah menghadapi situasi seperti ini. Dunia yang selama ini ia banggakan—dunia pesta, gaun mewah, perhiasan berkilauan—semua lenyap hanya dalam satu malam. Dan yang paling menyakitkan, saat matanya mencari sosok yang seharusnya berdiri di sampingnya, ia menemukan kenyataan pahit: Arman, tunangannya, menghilang. Pria yang selalu tersenyum manis saat kamera menyorot mereka, pria yang selalu berjanji setia di telinganya, kini bahkan tak meninggalkan pesan. Hanya kabar dingin dari asistennya: “Tuan Arman memutuskan pertunangan. Harap Nona mengerti.” Dunia Nayara runtuh. --- Tiga hari kemudian, pintu besar mansion itu digedor-gedor. Para petugas bank masuk dengan kertas-kertas penyitaan, dan semua barang berharga—lukisan, perabotan antik, koleksi tas branded, bahkan piano warisan ibunya—diangkut keluar begitu saja. Nayara hanya bisa berdiri di depan tangga marmer, melihat setiap kenangan diseret paksa tanpa ada yang peduli. Air matanya menetes, bukan hanya karena kehilangan harta, tetapi karena kesadaran pahit: ia tidak punya tempat lagi untuk pulang. --- Beberapa minggu kemudian… Kereta ekonomi berderit di rel, membawa tubuh Nayara yang terhuyung-huyung dengan koper usang. Wajahnya kusut, rambutnya tergerai berantakan, jauh dari citra wanita glamor yang dulu dielu-elukan media. Ia tiba di sebuah stasiun kecil yang bahkan papan namanya sudah usang dan catnya mengelupas. Udara desa menerpa wajahnya dengan aroma tanah basah dan jerami, membuatnya meringis. “Astaga… apa aku benar-benar harus tinggal di tempat seperti ini?” gumamnya, setengah tak percaya. Tapi ia tak punya pilihan. Semua rekeningnya dibekukan, kartu kreditnya hangus, dan satu-satunya tempat murah yang bisa ia sewa adalah sebuah rumah kecil di ujung desa terpencil yang bahkan tak tertera di peta digital. Dengan langkah terhuyung, ia menyeret kopernya menyusuri jalan tanah yang berdebu. Di kiri kanan, hamparan sawah menghijau. Sesekali, ayam berlarian menyeberang jalan, membuatnya terlonjak. Nayara mendengus, mencoba menjaga gengsi meski tak ada seorang pun peduli. “Dulu aku naik mobil sport ke butik. Sekarang? Aku berjalan kaki di jalan becek sambil dikejar ayam. Oh Tuhan, ini mimpi buruk.” Namun nasib memang suka bercanda. Tepat ketika Nayara mencoba menyeimbangkan diri di pematang sawah yang sempit, tumit sepatunya tersangkut. “Ya ampun—jangan sekarang! Jangan—!” Bruk! Tubuhnya terjerembab ke lumpur sawah, dan seisi keranjang belanja yang baru dibelinya di pasar desa tumpah berantakan. Daun-daun bayam, tomat, bahkan seikat cabai merah beterbangan. Nayara menjerit putus asa sambil mencoba bangkit, tapi semakin ia bergerak, semakin dalam tubuhnya tenggelam dalam lumpur. “Astaga! Ini kotor sekali! Tolong! Ada orang?!” teriaknya panik. Saat itulah, suara berdecit sepeda tua mendekat. Seorang pria dengan kemeja putih sederhana, lengan tergulung, berhenti di tepi sawah. Wajahnya tampan dengan rahang tegas, matanya tajam namun teduh. Ia menatap Nayara sekilas, lalu turun dari sepedanya. Nayara yang penuh lumpur mendongak, berharap pertolongan, tapi pria itu justru menatapnya lama… dan kemudian, tertawa kecil. “Wanita kota ya? Tumit tinggi dipakai jalan di pematang sawah. Jenius sekali.” “Hey! Bukan waktunya menghakimi! Tarik aku keluar!” Nayara berteriak histeris. Pria itu menghela napas, menaruh sepedanya ke samping, lalu mengulurkan tangan. “Pegangan. Tapi kalau kamu jatuh lagi, jangan salahkan aku.” Dengan wajah memerah karena malu, Nayara menggenggam tangannya. Sekejap, tubuhnya terangkat keluar dari lumpur. Namun, sialnya, karena gerakannya terlalu cepat, Nayara kehilangan keseimbangan—dan brukk! mereka berdua terjatuh bersama ke tanah, posisi yang membuat wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. Nayara membeku, napasnya tercekat. Sementara pria itu mengangkat alis, menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau mau jatuh cinta, setidaknya jangan sambil bau lumpur,” ucap pria itu santai. Wajah Nayara langsung merah padam. “Kau—kau—berani sekali bicara begitu! Dasar pria desa sok keren!” Pria itu bangkit sambil membersihkan bajunya. Senyum samar terlukis di bibirnya. “Nama saya Arga. Bukan pria desa, bukan juga sok keren. Kamu akan sering lihat aku di sini. Selamat datang di desa ujung dunia, Nona Kota.” Nayara tertegun. Ia tidak tahu, bahwa pria sederhana yang menolongnya itu… sebenarnya adalah CEO salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Dan pertemuan memalukan itu hanyalah awal dari kekacauan—dan cinta—yang akan mengubah hidup mereka berdua. Nayara masih terduduk di pinggir pematang, bajunya belepotan lumpur, wajahnya merah padam karena marah bercampur malu. Ia berusaha berdiri sambil menepuk-nepuk sepatunya yang sudah tak lagi bisa disebut sepatu. Tumitnya patah, kulitnya terkelupas, dan lumpur menempel di mana-mana. “Ya Tuhan… ini beneran hari terburuk dalam hidupku,” gumamnya lirih. Arga yang masih berdiri tak jauh darinya hanya menyandarkan sepedanya, lalu melipat lengan kemejanya lebih tinggi. Entah kenapa, tatapan matanya membuat Nayara semakin jengah. Ada semacam ketenangan, tapi juga sinis, seakan-akan pria itu sedang menonton pertunjukan komedi murahan. “Kenapa bengong? Lanjut saja, toh kamu sudah sukses bikin penampilan runway di sawah,” ucap Arga datar, namun dengan nada setengah mengejek. Nayara mendongak, menatap tajam. “Hey! Aku baru saja kehilangan segalanya. Aku… aku sudah cukup menderita tanpa perlu komentar pedas dari pria asing yang bahkan… bahkan…” suaranya tercekat, lalu ia menoleh ke arah sepeda butut di samping Arga. “Bahkan cuma naik sepeda tua!” Arga terkekeh. “Sepeda tua ini sudah menemaniku lebih lama daripada sepatu mahalmu yang baru saja patah. Dan lihat? Dia masih setia, tidak meninggalkan aku terbenam di lumpur.” Wajah Nayara memerah lagi, kali ini bukan karena malu, melainkan kesal. “Kamu…” Ia berhenti, menarik napas panjang, lalu berusaha mengendalikan emosinya. Arga menatapnya sebentar, lalu tanpa banyak kata ia memunguti cabai, bayam, dan tomat yang berserakan di lumpur. Dengan tenang, ia masukkan semuanya ke dalam keranjang anyaman yang tadi sempat terlempar. “Kamu… apa yang kamu lakukan?” tanya Nayara heran. “Kalau mau makan malam, setidaknya bahan-bahannya jangan ditinggal di sini. Di desa, setiap butir cabai ini berharga,” jawab Arga sambil mengibaskan lumpur dari salah satu cabai. Nayara mengerutkan kening. Ia terbiasa membuang makanan hanya karena bentuknya tidak cantik atau warnanya tidak sempurna. Kini, seorang pria asing dengan kemeja putih sederhana, berdiri di hadapannya, memungut cabai yang kotor penuh lumpur, lalu berkata seolah itu harta berharga. Seketika, rasa asing menjalari hatinya. Dunia ini… benar-benar berbeda dari dunia yang ia kenal. Arga menaruh kembali keranjang berisi sayuran itu ke tangan Nayara. “Sudah. Pulanglah. Kamu tidak akan bertahan lama kalau begini caranya.” “Pulang?” Nayara mendengus sambil melipat tangan. “Kalau aku bisa pulang, aku tidak akan sampai ke desa terpencil seperti ini, Tuan Sepeda.” Arga tersenyum tipis. “Bagus. Berarti kita punya kesamaan.” Nayara mengerjap. “Apa maksudmu?” Arga tidak menjawab. Ia hanya meraih sepedanya, lalu naik dengan gerakan santai. “Lain kali kalau mau jalan di pematang, lepas dulu tumit tinggi itu. Kalau tidak… ya siap-siap jadi bahan tontonan. Sampai jumpa, Nona Kota.” Dengan kayuhan ringan, ia melaju meninggalkan Nayara yang terdiam. --- Nayara berdiri terpaku di tepi sawah, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia menggenggam keranjang sayur erat-erat, lalu mendengus. “Siapa sih dia? Sombong sekali. Padahal cuma… cuma…” Nayara menoleh, tapi sosok pria itu sudah jauh. “…cuma pria kampung,” gumamnya pelan, meski hatinya sendiri tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata itu. Ia berjalan tertatih menuju rumah kontrakan kecil di ujung desa. Rumah itu mungil, berdinding papan, dengan atap seng yang sudah berkarat di beberapa sisi. Sama sekali tidak layak dibandingkan mansion yang dulu ia tinggali. Begitu masuk, aroma kayu tua bercampur debu menyambutnya. Nayara meletakkan keranjang di meja reyot, lalu menjatuhkan tubuhnya ke ranjang yang berderit ketika ia duduki. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Astaga… Nayara Adeline. Dari pesta sosialita ke kasur berjamur. Apa hidupmu sudah benar-benar selesai?” Perutnya berbunyi keras, memotong drama dirinya sendiri. Nayara membuka mata, lalu melirik sayuran yang tadi dipungut Arga. Sejenak ia termenung. “Kalau bukan karena pria menyebalkan itu, mungkin aku sudah kelaparan malam ini…” Namun gengsinya menolak mengakui. Dengan kesal, ia berdiri, mencoba menyalakan kompor minyak tanah yang disediakan pemilik rumah. Setelah beberapa kali gagal dan hampir membakar poninya, akhirnya api kecil menyala. Di saat yang sama, di seberang desa, Arga duduk di beranda rumah kayu yang tampak sederhana. Ia membuka kemeja, menggantinya dengan kaos polos, lalu menyeduh teh hangat. Tatapannya kosong menatap sawah yang mulai diselimuti senja. Namun di sudut bibirnya, samar ada senyum muncul. “Wanita kota itu… benar-benar seperti ikan dilempar ke daratan,” gumamnya lirih. Ia menyesap teh, lalu menghela napas panjang. Ada alasan besar kenapa ia berada di desa itu, jauh dari hiruk pikuk kota. Dan entah kenapa, kehadiran wanita asing yang tiba-tiba jatuh ke sawah di hadapannya… terasa seperti pertanda bahwa ketenangannya tidak akan bertahan lama. --- Di ranjang kayu reyotnya, Nayara berbalut selimut tipis, menatap langit-langit rumah kontrakan. Matanya terasa berat, namun pikirannya berputar-putar. Arman. Mansion. Hidup mewah yang hilang. Dan pria asing bernama Arga. Entah kenapa, wajah pria itu terus muncul dalam benaknya. Nayara mendengus keras, lalu memalingkan wajah. “Tidak, tidak. Aku tidak boleh mikirin dia. Aku benci pria itu. Aku benci desa ini. Aku benci… semua ini…” Namun di balik kelopak matanya, yang muncul justru tatapan tenang dan senyum tipis Arga. Dan tanpa ia sadari, untuk pertama kalinya sejak hidupnya berantakan, Nayara tertidur dengan perasaan campur aduk—antara benci, malu, kesal, dan… rasa penasaran.Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi
Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit desa itu tampak kelam, awan tebal menutupi bintang, dan angin dingin berhembus menusuk tulang. Dari luar rumah kayu sederhana itu, suara dedaunan bergesekan menambah kesan mencekam. Nayara duduk di tepi ranjang kayu, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang ia tarik sampai ke dada. Pandangannya kosong menatap lantai, sementara pikirannya berputar kacau. Kata-kata Arga sore tadi masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku bukan orang biasa. Aku seorang CEO. Dan aku berhutang budi pada keluargamu." Setiap mengingatnya, Nayara merasa dadanya sesak. Di satu sisi, ada rasa syukur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang siap melindungi. Namun di sisi lain, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan—seolah Arga menyimpan banyak rahasia lain yang belum terungkap. Suara langkah kaki pelan terdengar dari ruang depan. Nayara menoleh spontan, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun ia segera mengenali suara
Udara di dalam ruangan bawah tanah itu lembap, bau besi berkarat dan debu menyengat hidung. Dindingnya terbuat dari bata kasar yang setengah tertutup lumut, diterangi hanya oleh satu lampu bohlam redup yang berayun pelan di langit-langit. Nayara terhuyung saat kakinya menyentuh lantai. Ia memeluk dirinya sendiri, tubuhnya masih gemetar. “Tempat apa ini?” suaranya bergetar, hampir berbisik. Arga menuruni tangga terakhir dengan tenang, lalu menutup pintu besi di atas mereka hingga bunyinya bergema keras. Gelap semakin pekat, hanya menyisakan cahaya kuning samar dari bohlam. “Tempat yang cukup aman untuk sementara,” jawabnya singkat. Nayara menatap sekeliling dengan ngeri. Rak kayu tua berjajar di sepanjang dinding, beberapa berisi kotak logam berkarat, peta tua yang terlipat, dan tumpukan buku tebal berdebu. Ada juga sebuah meja besi besar di tengah ruangan, penuh coretan-coretan kertas dan pena yang sudah kering tintanya. Seperti ruangan rahasia yang menyimpan jejak masa lalu.
Udara pagi desa masih berkabut ketika suara ayam jantan bersahutan. Embun menempel di dedaunan, menetes perlahan ke tanah becek. Namun ketenangan itu tak ada artinya bagi Nayara Adeline. Ia terbangun dengan mata sembab, rambut berantakan, dan tubuh yang pegal akibat tidur di kasur tipis rumah kontrakan bobrok yang baru sehari ia tempati. “Astaga… ini beneran rumah? Atau gudang bekas kandang ayam?” gumamnya sambil menatap langit-langit kayu yang berderit, di mana seekor cicak tampak nongkrong santai seolah sedang menertawakannya. Belum sempat ia menarik napas panjang, suara ketukan keras menggema di pintu kayu tua. Tok! Tok! Tok! “Siapa lagi pagi-pagi begini?” Nayara menggerutu, menyeret langkah lesu. Saat pintu dibuka, ia mendapati tiga sosok pria berpenampilan kasar. Mereka mengenakan jaket kulit lusuh, wajah penuh tatto, dan tatapan garang. “Ini rumah Nona Nayara Adeline, bukan?” tanya salah satu dari mereka, suaranya serak penuh tekanan. Nayara tertegun. “I-iya. Kenapa?” Pria
Matahari baru saja terbit, cahayanya menembus celah-celah dinding papan rumah kontrakan Nayara. Suara ayam berkokok bersahut-sahutan, bercampur dengan teriakan pedagang keliling yang menawarkan sayur segar. Nayara menggeliat malas di ranjang reyotnya, lalu mendesah panjang. Rambutnya berantakan seperti sarang burung, wajahnya kusut, dan matanya sembab karena kurang tidur. Ia memandang sekeliling: dinding kayu penuh retakan, atap seng yang bocor di sudut, dan lantai kayu yang berderit setiap kali ia bergerak. “Selamat pagi, neraka dunia,” gumamnya sinis. Namun perutnya yang kembali berbunyi membuatnya sadar—ia harus pergi ke pasar. Lagi. Dengan enggan, ia mandi seadanya, lalu mengenakan gaun kasual yang dulu masih tergolong “murahan” di butik kota, tapi di desa ini tampak terlalu mewah. Ia mengikat rambutnya seadanya, mengambil dompet tipis berisi sisa uang tunai, dan keluar rumah. --- Pasar desa ternyata sudah ramai. Bau tanah basah bercampur aroma ikan asin dan sayur-mayu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen