Udara pagi desa masih berkabut ketika suara ayam jantan bersahutan. Embun menempel di dedaunan, menetes perlahan ke tanah becek. Namun ketenangan itu tak ada artinya bagi Nayara Adeline.
Ia terbangun dengan mata sembab, rambut berantakan, dan tubuh yang pegal akibat tidur di kasur tipis rumah kontrakan bobrok yang baru sehari ia tempati. “Astaga… ini beneran rumah? Atau gudang bekas kandang ayam?” gumamnya sambil menatap langit-langit kayu yang berderit, di mana seekor cicak tampak nongkrong santai seolah sedang menertawakannya. Belum sempat ia menarik napas panjang, suara ketukan keras menggema di pintu kayu tua. Tok! Tok! Tok! “Siapa lagi pagi-pagi begini?” Nayara menggerutu, menyeret langkah lesu. Saat pintu dibuka, ia mendapati tiga sosok pria berpenampilan kasar. Mereka mengenakan jaket kulit lusuh, wajah penuh tatto, dan tatapan garang. “Ini rumah Nona Nayara Adeline, bukan?” tanya salah satu dari mereka, suaranya serak penuh tekanan. Nayara tertegun. “I-iya. Kenapa?” Pria itu mengangkat selembar kertas lusuh, memperlihatkan cap merah besar bertuliskan: TAGIHAN HUTANG. “Utang keluarga kamu, belum lunas. Kalau kamu pikir bisa kabur ke desa ini dan bersembunyi, salah besar. Kami akan pastikan kamu bayar. Atau… ada konsekuensi lain.” Jantung Nayara langsung berdegup kencang. Tubuhnya gemetar, namun ia berusaha memasang wajah tenang. “Tapi… itu urusan perusahaan ayah saya. Bukan urusan pribadi saya!” Pria lain mendengus kasar. “Kamu pikir bank atau lintah darat peduli? Selama nama kamu masih ada di daftar, kamu tanggung jawab. Kalau nggak bisa bayar…” Ia melirik ke dalam rumah kontrakan kecil itu, lalu tersenyum miring. “Barang-barang kamu bisa jadi jaminan. Atau…” ia mendekat, menatap Nayara dengan tatapan licik, “…ada cara lain.” Nayara terdiam. Tubuhnya menegang, napasnya memburu. Ia melangkah mundur, tetapi tubuhnya menabrak dinding kayu rapuh. “Jangan macam-macam sama aku!” teriaknya, meski suaranya bergetar. Ketegangan itu pecah saat tiba-tiba terdengar suara bersepeda mendekat. Suara rantai berdecit, ban sepeda menabrak kerikil. Dari balik kabut, muncul sosok Arga dengan kemeja sederhana yang masih sedikit berlumur lumpur sisa kemarin. Ia berhenti tepat di depan rumah kontrakan, menatap situasi dengan tatapan tajam. “Masalah apa ini?” suaranya tenang, namun mengandung wibawa. Ketiga pria itu menoleh bersamaan. Salah satunya mendengus. “Bukan urusanmu, orang desa. Pergi sana sebelum ikut campur.” Arga menaruh sepedanya perlahan, lalu berjalan mendekat. Tatapannya menusuk, dingin, seperti seorang pemimpin yang terbiasa menghadapi ancaman. “Dia bilang ini bukan urusannya. Jadi pergi sekarang, sebelum kalian menyesal.” Suasana mendadak mencekam. Pria bertato yang tadi bicara meludah ke tanah. “Kamu kira siapa? Pahlawan kesiangan? Jangan sok jagoan di hadapan kami!” Namun sebelum pria itu sempat melangkah lebih jauh, Arga bergerak cepat. Dengan sekali gerakan, ia meraih pergelangan tangan pria itu dan memelintirnya ke belakang. Pria itu menjerit kesakitan. Dua orang lainnya langsung maju, tapi Arga hanya melemparkan tatapan dingin yang membuat langkah mereka ragu. “Saya kasih kalian waktu lima detik untuk pergi,” ucapnya pelan, namun penuh ancaman. Mereka saling berpandangan. Lalu, dengan terpaksa, mereka mundur, membawa temannya yang masih meringis. “Ini belum selesai, Nayara! Kamu nggak akan bisa sembunyi selamanya!” teriak mereka sebelum menghilang di balik jalan tanah berdebu. Sunyi kembali menguasai desa kecil itu. Nayara jatuh terduduk di lantai kayu, napasnya terengah. Tubuhnya gemetar hebat. “Mereka… mereka hampir—” Arga menatapnya tajam. “Kamu harus berhenti berpikir bahwa dunia masih seindah pesta dansa yang kamu jalani. Realita tidak seindah itu, Nayara.” Air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak minta semua ini terjadi! Aku tidak pernah minta hidupku hancur dalam semalam!” Arga terdiam sejenak, lalu menarik kursi reyot dan duduk di depannya. “Dengar. Mereka tidak akan berhenti hanya karena kamu pindah ke desa ini. Mereka akan datang lagi. Dan kalau kamu tetap lemah begini, kamu akan jadi mangsa empuk.” Nayara menatapnya dengan mata merah, antara marah dan putus asa. “Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan tidak punya uang sepeser pun! Bahkan… bahkan harga diri pun sudah direnggut semua orang!” Keheningan menyelimuti. Arga menatapnya lama, lalu tiba-tiba berdiri. “Mulai dari sekarang, kamu ikut aku.” Nayara terbelalak. “Apa maksudmu? Aku bahkan tidak kenal kamu!” Arga tersenyum samar, tatapannya penuh misteri. “Justru karena itu. Kalau kamu tinggal di sini sendirian, kamu tidak akan bertahan seminggu. Tapi kalau bersama aku… kamu mungkin masih punya kesempatan.” Nayara menatapnya bingung, hati yang kacau mulai dipenuhi rasa penasaran. Siapa sebenarnya pria ini? Kenapa dia begitu berbeda dari warga desa lain? Namun sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, dari kejauhan terdengar suara gemuruh mesin mobil mewah. Bukan mobil desa biasa, melainkan SUV hitam mengilap dengan kaca gelap. Mobil itu berhenti tak jauh dari kontrakannya. Dua pria berjas hitam keluar, menatap sekeliling dengan tatapan curiga. Arga mendengus pelan. “Sepertinya hidupmu lebih rumit dari yang aku kira.” Nayara menegang, tubuhnya bergetar lagi. “Mereka… siapa lagi itu?” Arga menoleh sekilas, lalu menatap Nayara serius. “Kalau kamu ingin bertahan, mulai sekarang kamu harus percaya sama aku. Jangan banyak tanya. Ikuti aku sekarang juga.” Nayara terpaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia sadar: dunia barunya bukan hanya tentang lumpur dan sawah… tapi juga tentang rahasia besar, bahaya, dan konflik yang jauh lebih gelap daripada yang pernah ia bayangkan. Dan semuanya dimulai dari pria misterius bernama Arga. “Kenapa… kenapa semua ini terjadi padaku?” gumamnya lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri. Arga menatapnya dari samping, wajahnya datar tapi matanya penuh perhitungan. Ia sudah terbiasa melihat orang menangis, meratap, kehilangan. Tapi ada sesuatu yang berbeda pada Nayara—bukan hanya karena ia wanita kota yang tiba-tiba terdampar di desa, tapi karena tatapan matanya penuh dengan kejatuhan, seperti seseorang yang seluruh dunianya benar-benar dicabut dalam semalam. Arga menarik napas dalam-dalam, lalu menghela perlahan. “Kalau kamu terus begitu, kamu nggak akan bertahan.” Suaranya datar, namun tajam. Nayara menoleh, matanya merah. “Kamu pikir aku nggak tahu? Aku… aku bahkan nggak tahu harus mulai dari mana. Semuanya hancur. Rumah, keluarga, uang, tunangan… semuanya pergi begitu saja!” Ia meremas ujung gaun tidur lusuh yang dipakainya, tubuhnya berguncang. Arga mendekat, lalu jongkok di hadapannya. “Dengar baik-baik, Nayara. Orang-orang itu—yang tadi datang—mereka bukan cuma tukang tagih biasa. Mereka bisa melakukan hal-hal yang jauh lebih buruk dari sekadar mengetuk pintu. Dan mereka tidak akan berhenti sampai dapat apa yang mereka mau.” Nayara menelan ludah, tubuhnya makin kaku. “Jadi… aku harus apa? Aku nggak punya apa-apa lagi. Mereka mau ambil apa dariku?” Arga menatapnya lama, sampai Nayara merasa ditelanjangi oleh sorot mata itu. Lalu, perlahan, Arga mengalihkan pandangan ke luar jendela, ke arah suara gemuruh mesin mobil hitam yang masih parkir tak jauh dari rumah. “Mereka bukan orang biasa. Dan aku yakin… orang yang baru datang itu juga bukan kebetulan.” Nayara mengikuti tatapan Arga, menatap mobil SUV hitam dengan kaca gelap. Mobil itu berkilat kontras dengan jalanan tanah desa yang becek. Dua pria berjas hitam berdiri di sampingnya, jelas-jelas bukan warga desa. Aura mereka kaku, dingin, berwibawa—seperti bodyguard atau utusan seseorang. “Astaga…” bisik Nayara. Tubuhnya langsung dingin. “Jangan bilang… mereka juga datang mencariku?” Arga berdiri perlahan, wajahnya berubah serius. “Nggak ada waktu buat mikir. Ambil barang penting kamu, sekarang.” Nayara panik. “Barang penting? Aku bahkan cuma punya koper usang itu!” Arga menatapnya, lalu mengangguk. “Bagus. Ambil koper itu, kita pergi.” Nayara terpaku. “Pergi? Ke mana? Aku bahkan nggak kenal kamu!” Arga menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu tetap di sini, kamu bisa hilang besok pagi, dan nggak ada satu pun orang yang peduli. Tapi kalau ikut aku… setidaknya ada kemungkinan kamu selamat.” Kata-kata itu membuat Nayara terdiam. Jantungnya berdetak cepat, kepalanya penuh dengan kebingungan. Ada ketakutan, ada keraguan, tapi juga ada semacam rasa percaya yang entah darimana datangnya. Dengan tangan gemetar, Nayara menyeret koper bututnya. Roda kecilnya berdecit, hampir copot dari pegangan. “Aku benci hidupku sekarang,” gumamnya lirih. Arga sempat melirik sekilas, lalu menarik koper itu dari tangannya. “Diam. Jangan banyak komentar. Ikuti langkahku.” --- Ketika Arga membuka pintu rumah, udara pagi bercampur bau tanah basah langsung menyergap. Kabut tipis masih menutup jalan desa. Mobil hitam itu tetap di sana, dan kedua pria berjas langsung menoleh ketika melihat Arga keluar bersama Nayara. “Sepertinya… bukan hanya kamu yang mereka cari,” bisik Arga, hampir tak terdengar. Nayara menoleh cepat. “Apa maksudmu?!” “Diam. Jalan cepat.” Arga menggenggam pergelangan tangannya, menariknya menyusuri jalan setapak di samping rumah. Nayara terlonjak, hampir tersandung batu, tapi genggaman Arga terlalu kuat untuk dilepaskan. “Hey! Kamu bikin tanganku sakit!” desis Nayara, tapi ia tidak berani berteriak keras. Arga tetap fokus, wajahnya dingin. “Lebih baik sakit sekarang daripada hilang nyawa.” Langkah mereka makin cepat, menyusuri jalan setapak yang dipenuhi ilalang. Dari belakang, suara pintu mobil terbanting terdengar. Dua pria berjas itu mulai mengikuti, langkah sepatu kulit mereka menghantam tanah basah dengan ritme yang teratur. “Astaga! Mereka benar-benar mengejar kita!” Nayara menoleh panik. “Berhenti menoleh ke belakang. Fokus jalanmu!” Arga menariknya semakin kencang. --- Mereka akhirnya tiba di sebuah jalan sempit di antara sawah. Pematang licin, lumpur masih basah. Nayara menggerutu dalam hati—pengalaman buruk kemarin saat jatuh ke lumpur masih segar di ingatannya. “Tidak! Jangan bilang kita lewat sini lagi!” protesnya. Arga hanya menoleh sebentar dengan tatapan menusuk. “Kamu mau dikejar mereka, atau jatuh ke lumpur? Pilih salah satu.” Dengan wajah meringis, Nayara menguatkan langkahnya. Namun, seperti yang bisa ditebak, tumit sandalnya kembali tersangkut. “Tidak… jangan sekarang…!” Dan benar saja. bruk! Nayara kembali terperosok, kali ini lututnya mengenai tanah lebih dulu. Lumpur menodai pakaiannya, rambutnya berantakan. “Arghhh! Kenapa selalu aku yang sial!” teriaknya frustasi. Arga menoleh sekilas, wajahnya jelas menahan kesal. Tapi tanpa banyak bicara, ia menarik Nayara dengan kasar, hampir menggendongnya keluar dari lumpur. “Berhenti mengeluh. Kamu ini… repot sekali.” “Aku nggak minta dilahirkan di desa seperti ini!” Nayara balas berteriak, meski napasnya tersengal. Arga menahan diri untuk tidak tertawa sinis. Situasi terlalu serius untuk itu. Dari kejauhan, suara pria berjas mulai terdengar semakin dekat. --- Setelah hampir setengah jam berlari, mereka akhirnya sampai di sebuah bangunan tua yang tersembunyi di balik rerimbunan bambu. Bangunan itu seperti gudang tua, dengan pintu besi karatan. “Masuk,” perintah Arga. Nayara menatapnya ragu. “Kamu yakin ini tempat aman? Tempat ini terlihat… menyeramkan.” Arga tidak menanggapi. Ia membuka pintu besi yang berderit, lalu mendorong Nayara masuk. Di dalam, ruangan itu tampak kosong, hanya dipenuhi rak-rak kayu lapuk dan debu tebal. Namun ada sesuatu pada cara Arga melangkah—ia tahu persis ke mana ia akan pergi. Arga menyingkirkan sebuah papan kayu besar di lantai. Di bawahnya, tersembunyi sebuah pintu kecil yang menurun ke bawah tanah. Nayara terbelalak. “Apa-apaan ini?!” Arga menatapnya datar. “Kalau kamu mau tetap hidup, turunlah.” Nayara menatapnya lama, lalu menatap pintu kecil itu dengan rasa takut. Hatinya dipenuhi pertanyaan: siapa sebenarnya pria ini? Bagaimana bisa di desa sekecil ini ada tempat rahasia semacam itu? Namun langkah kaki berat di luar gudang membuatnya tidak punya pilihan. Dengan jantung berdegup kencang, ia akhirnya menuruni tangga sempit itu, diikuti Arga yang menutup pintu rapat dari atas. Dan untuk pertama kalinya, Nayara sadar—hidupnya baru saja masuk ke dalam babak yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar kehilangan harta.Fajar baru saja merekah. Cahaya oranye muda menembus celah-celah jendela bambu, menyingkap debu tipis yang berterbangan di udara. Suara ayam jantan dari kejauhan bersahut-sahutan, menandakan hari baru dimulai. Namun bagi Arga, pagi ini bukan sekadar awal biasa. Ia sudah terbangun sejak sebelum adzan Subuh. Tubuhnya tegap berdiri di teras rumah, kedua matanya menyapu ke arah jalan setapak yang masih sepi. Dari wajahnya, jelas terlihat kewaspadaan penuh. Semalam, setelah kejadian dua pria berjas itu, ia sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Arga menegakkan punggungnya, lalu menghela napas panjang. Tangannya refleks meraih secangkir kopi hitam yang sudah dingin di meja bambu. “Mereka pasti balik,” gumamnya pelan. “Pertanyaannya… kapan?” --- Dari dalam kamar, Nayara baru saja bangun. Rambutnya masih kusut, matanya bengkak karena tangis semalam. Ia berjalan pelan keluar kamar, mengenakan cardigan tipis untuk menutupi tubuhnya yang kedinginan. Ia mendapati Arga masih berdiri di teras d
Senja di desa itu terlihat berbeda sore ini. Langit memerah jingga, awan tipis berarak pelan seperti kapas yang terbakar cahaya. Burung-burung gereja pulang ke sarang, sementara dari kejauhan, suara kentongan tanda waktu Maghrib mulai terdengar sayup. Suasana tenang itu seolah kontras dengan hati Nayara yang sedang berkecamuk hebat. Ia duduk di bangku bambu depan rumah sederhana tempat ia menumpang. Tangannya sibuk mengusap-usap rok yang sudah agak kusut, namun pikirannya tidak ada di situ. Sejak insiden “cium tak disengaja” dengan Arga beberapa hari lalu, ia merasa hidupnya seperti berputar aneh. Ada rasa malu, ada rasa kesal, tapi juga ada sesuatu yang aneh… sebuah rasa hangat yang diam-diam mengganggunya. “Kenapa sih aku jadi kepikiran terus?” gumam Nayara, menunduk sambil menendang kerikil kecil di bawah kakinya. Tak jauh darinya, Arga muncul sambil membawa dua gelas teh hangat. Ia tampak biasa saja, wajahnya tetap tenang, seolah tidak pernah terjadi insiden memalukan itu. Pada
Suara gedoran pintu semakin keras, menggema di seluruh ruangan kayu yang berdebu itu. Papan pintu bergetar seperti hampir copot dari engselnya. “Bukaaaa! Atau kami bakar rumah ini!” teriak seseorang dari luar, suaranya parau, penuh ancaman. Nayara terlonjak mendengar kata “bakar”. Dadanya sesak, tangannya spontan mencengkeram erat lengan Arga. Jantungnya berdegup seperti genderang perang. Arga tetap tenang, meski sorot matanya penuh waspada. Ia menoleh ke arah Sari. “Ambil kunci mobil dan siapkan jalan keluar. Kalau pintu depan jebol, kita harus lari lewat belakang.” Sari mengangguk cepat. “Siap, Bos.” Nayara mendelik. “Bos? Kamu manggil dia bos?” Sari tersenyum kecut, buru-buru menghindar. “Eh… slip of the tongue. Pokoknya ikut aja, Nay!” Nayara makin bingung, tapi tak sempat bertanya. Karena detik berikutnya, jendela samping dihempas batu besar hingga pecah berkeping-keping. Pecahan kaca beterbangan. “Aaaahhh!” Nayara menjerit kecil, tubuhnya reflek terlempar ke arah Arga. I
Mobil bak itu akhirnya keluar dari jalan hutan yang penuh bebatuan. Langit sudah mulai berubah warna, jingga senja perlahan merambat jadi biru tua, diselimuti awan tipis. Jalanan desa yang lebih rata sedikit memberi rasa lega, meski suasana hati mereka masih tegang setelah kejadian barusan. Sari yang menyetir mendengus panjang. “Rasanya, kalau hidup kita ini film, penontonnya pasti sudah lelah lihat kita dikejar-kejar terus.” “Kalau film, penontonnya juga pasti jatuh simpati sama tokoh perempuan yang… hmm, selalu terjerat masalah,” celetuk Arga tanpa menoleh. Nayara menoleh cepat. “Hei! Maksudmu aku?” Arga menahan senyum. “Aku nggak bilang gitu.” “Ya, tapi nadamu jelas-jelas mengarah ke aku.” Nayara memelototinya, meski wajahnya memerah karena sadar ia masuk ke perangkap kecil Arga. Sari terkekeh. “Hahaha, tenang, Naya. Kalau ini film, ratingnya pasti tinggi banget. Adegan romantisnya natural sekali.” “Diam, Sar!” Nayara langsung menutupi wajahnya dengan tangan, teringat kejadi
Suara ayam jantan samar-samar terdengar dari kejauhan, bercampur dengan kokok lain yang bersahut-sahutan. Embun masih tebal di daun bambu, jatuh pelan tiap kali angin pagi menyapu. Lumbung tua itu kini berfungsi seperti markas darurat—bau gabah basi dan kayu lembab bercampur dengan aroma tanah basah seusai hujan. Arga berdiri di depan jendela kecil loteng, matanya menatap lurus ke horizon. Langit belum sepenuhnya terang, hanya semburat oranye tipis yang mulai muncul. Dari cara bahunya menegang, jelas ia belum tidur sama sekali. Nayara mengusap wajah dengan tangan, mencoba menghilangkan rasa kantuk yang masih menggantung. Ia sempat tertidur sebentar dengan kepala di bahu Arga, dan itu membuat pipinya panas setiap kali mengingatnya. Namun, pagi ini ia memutuskan tidak akan menyinggungnya dulu. “Jam berapa sekarang?” tanyanya dengan suara serak. “05:02,” jawab Arga singkat tanpa menoleh. Nayara menarik nafas dalam, lalu berdiri dan merapatkan jaket yang semalam dipinjamkan Arga. Jak
Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit desa itu tampak kelam, awan tebal menutupi bintang, dan angin dingin berhembus menusuk tulang. Dari luar rumah kayu sederhana itu, suara dedaunan bergesekan menambah kesan mencekam. Nayara duduk di tepi ranjang kayu, tangannya menggenggam erat selimut tipis yang ia tarik sampai ke dada. Pandangannya kosong menatap lantai, sementara pikirannya berputar kacau. Kata-kata Arga sore tadi masih terngiang jelas di kepalanya. "Aku bukan orang biasa. Aku seorang CEO. Dan aku berhutang budi pada keluargamu." Setiap mengingatnya, Nayara merasa dadanya sesak. Di satu sisi, ada rasa syukur karena akhirnya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya, seseorang yang siap melindungi. Namun di sisi lain, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan—seolah Arga menyimpan banyak rahasia lain yang belum terungkap. Suara langkah kaki pelan terdengar dari ruang depan. Nayara menoleh spontan, jantungnya berdetak lebih cepat. Namun ia segera mengenali suara