"Mas berhenti Mas! Coba lihat itu! Ada yang mau bunuh diri!" Teriak Hani istriku, seraya menunjuk ketepi jembatan.Aku yang sedang fokus menyetir, segera menghentikan mobilku, saat kulihat seorang perempuan, sudah naik dipagar pembatas. Aku segera berteriak memanggilnya. Hai, apa yang kamu lakukan? Cepat turun!" Teriakku kencang. Namun rupanya orang itu tak mendengarnya.Tiba tiba saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri, perempuan itu, menjatuhkan dirinya kedalam sungai, yang berada dibawah jembatan. Mau apa lagi, kalau bukan untuk bunuh diri."Apa yang kamu pikirkan Mas?! Cepat segera tolong dia!" teriak Hani.Seketika aku tersentak, segera aku keluar dari mobil, bersama Hani.Tin.Tin.Tin.Kudengar dari belakang pengendara mobil yang lain, berteriak."Woy jalan!""Nggak tau macet apa!" teriak para pengendara lain."Maaf Mas, ada orang bunuh diri, lihat itu!"ucapku seraya menunjuk kebawah jembatan.Kudengar istriku, berteriak -teriak minta tolong, aku mencoba turun kebawah untuk
"Dek, kalau boleh tau, nama kamu siapa?"Tanya Hani setelah duduk disamping gadis itu. "Namaku Ayyara kak?"sahutnya lemas."Aku Hani. Itu,suamiku, namanya Mas Aditya," Ujar Hani seraya menunjuk kearahku.Aku hanya tersenyum melihat gadis itu menatapku. Ada rasa iba dihatiku, kenapa gadis secantik itu, sampai frustasi, hingga ingin mengakhiri hidupnya. Entah apa masalah yang sedang dihadapinya.Aku segera mendekati gadis itu. "Ayyara, bagaimana, kalau kamu pulang kerumah kami saja?"ucapku pelan."Iya Ra, kamu ikut kami saja ya, mau kan?" ujar Hani."Tapi kak, aku..."Ayyara, kalau kamu ada masalah, nanti bisa ceritakan pada kami ya. Sekarang bersiaplah, kita akan segera pulang," sela Hani, membujuk gadis yang bernama Ayyara itu.Setelah Ayyara setuju, kami pun segera membawanya pulang. Sepanjang perjalanan Ayyara hanya terdiam, ada banyak yang ingin kami tanyakan, tapi mungkin nanti saja, kalau sudah nyampe rumah."Nah Arra, ini rumah kami. "Masuk yuk!" Hani mengajak Ayyara masuk.***
Sejak Dokter memfonisku terkena kanker rahim stadium tiga, aku merasa terpukul. Hatiku hancur, karena aku belum bisa memberikan keturunan untuk mas Adi. Sunguh aku ingin sekali, membuat mas Adi bahagia, dan tak menyesali pernikahan ini, karena perjodohan.Aku tidak mengetahui penyakitku sejak dini, karena aku tak pernah pergi ke Dokter.Setelah mas Adi, menyuruhku untuk memeriksakan kandunganku, yang mungkin bermasalah, karena kami tak kunjung punya anak. Saat itulah aku baru tau, kalau aku ternyata terkena kanker rahim, dan sudah stadium tiga."Kamu sudah ke Dokter Han?" tanya mas Adi setelah pulang dari kerja.Aku bingung entah mau jawab apa. Tidak mungkin, aku katakan yang sebenarnya, karena aku tidak mau mas Adi kecewa, dan nantinya akan meninggalkanku.Aku sudah tak punya siapa siapa lagi. Sejak aku menikah dengan mas Adi, aku sudah tak punya orang tua lagi. Ibuku sudah lama meninggal, sedang Ayahku yang sedang sakit keras, terpaksa menjodohkanku, dengan mas Adi. Anak dari sahaba
"Kak, aku bosan tiduran terus kak. Bolehkan aku jalan jalan sebentar?" tanyaku pada kak Hani, saat dia mengantar segelas susu untukku.Kulihat kak Hani tampak sedang berpikir,mungkin saja dia takut, aku akan melakukan hal nekat lagi. "Boleh kok. Tapi nanti, tunggu kak Adi pulang ya. Biar kita bisa pergi sama sama," jawabnya. "Baiklah Kak."Setelah kak Adi pulang, kak Hani pun mengajakku jalan jalan. Dengan di antar kak Adi kami pun pergi ke sebuah taman."Arra, apa kamu suka tempat ini,"tanya kak Hani."Iya kak, aku suka banget. Rasanya damai banget kalau lihat bunga bunga yang bermekaran,"Aku memang benar benar merasa tenang dan damai, mungkin karena ditaman ini, pemandangannya menyejukan mata, atau mungkin karena kak Hani yang begitu perhatian padaku."Mas, kalau kamu bosen temenin kita. Kamu pulang aja nggak apa apa. Nanti pulangnya, kita naik taxi saja," ucap kak Hani, pada mas Adi."Nggak kok. Aku juga suka lihat pemandangan disini,"Kak Adi tersenyum melihat kearahku dan kak
Seperti biasanya, setelah sarapan pagi, kak Hani selalu membuatkan, susu untukku."Arra,di minum ya susunya,"ucap kak Hani sembari menaruh segelas susu di atas meja."Terimakasih ya kak,"Sungguh kak Hani begitu baik, dan perhatian padaku."Jangan lupa minum vitaminnya. Nanti sore cek kandungan kamu ya? Kakak temenin."ujarnya seraya mengusap usap perut buncitku."Iya kak,""Kak,boleh Arra tanya sesuatu kak?"Kak Hani menatapku seraya tersenyum."Boleh, kamu mau tanya apa?""Kak,sebenarnya Kakak kenapa? Sepertinya tante Dina sangat mengkhawatirkan kakak,""Kakak nggak apa apa kok. Kamu jangan cemas ya,""Jangan bohong Kak, katakan padaku, aku tau ada yang kakak sembunyikan."Kak Hani mengehela nafas panjang, terlihat sekali, dia punya beban yang sangat berat."Baiklah Arra. Kakak mau cerita, tapi kamu harus janji, kamu akan menuruti permintaan kakak," ujarnya."Pasti Kak. Apapun akan Arra lakukan demi kakak,"Ya,apapun permintaan kak Hani, sebisa mungkin akan aku lakukan,aku sudah ber
"Kak, kak Hani. Kakak kenapa?" mata kak hani terpejam, sungguh aku merasa takut sekali. "Hani, bangun sayang," Karena tak ada jawaban, Mas Adi, segera membawa kak Hani ke rumah sakit."Mas, jangan bawa aku kerumah sakit. Aku cuma lelah saja Mas, mau istirahat di kamar saja," pinta kak Hani, saat sudah berada di dalam mobil. "Tapi Han, kamu harus di rawat." Sepertinya kak Adi tidak mau menuruti ucapan kak Hani. "Mas, aku mohon. Aku lelah Mas," ucapnya lagi. "Baiklah, tapi kamu janji, kamu akan baik baik saja," ucap kak Adi akhirnya.Tepaksa kak Adi, membawa masuk kak Hani, kedalam kamarnya."Sayang, sekarang kan, Adi dan Arra sudah menikah, jadi kamu sudah mau kan minum ramuannya,"Tante Dina berusaha membujuk kak Hani, seraya mengusap air matanya."Iya Ma. ,Hani mau kok minum obat terus, walaupun pada akhirnya Hani akan tetap pergi,"Ucapan kak Hani membuat kami semua sedih, termasuk kak Adi."Han, kamu harus semangat. Apa kamu nggak kasihan sama aku," ujar kak Adi sembari mengge
"Semuanya sudah terlambat."Jawaban dokter, membuat kami semua, merasa sedih. Apa lagi kak Adi, dia merasa sangat terpukul. "Yang sabar ya kak!"Kucoba menenangkan kak Adi.Sekilas kak Adi melirikku "Ini salahku Arra. Aku seorang Dokter, tapi aku tak tahu, kalau isteri ku sendiri mengidap penyakit,"ucapnya seraya membenturkan kepalanya ke tembok."Adi, apa yang kamu lakukan?"Tante Dina segera menghentikan dan menahan pundak kak Adi, untuk tidak melakukannya lagi."Ma, aku kecewa pada diriku sendiri, apa gunanya aku jadi Dokter, aku bisa mengobati orang lain, tapi aku tidak bisa mengobati istriku sendiri,"mas Adi berucap kesal, ada rasa penyesalan terlihat dari sikapnya."Sabar sayang, ini semua sudah terjadi, sekarang lebih baik kita do'akan yang terbaik untuk Hani"Tante Dina memeluk kak Adi, dan mencoba menenangkannya.Aku mengerti apa yang dirasakan kak Adi. Seandainya, kak Hani mau berterus terang tentang penyakitnya, pasti kak Adi akan berusaha mengobatinya. Tapi mungkin kak Ha
"Maafkan aku Ara." Ucap kak Adi, setelah duduk di tepi ranjang. "Maaf untuk apa?" Tanyaku heran. "Maaf, karena aku, masih belum bisa, menjadi suami yang sesungguhnya." Kak Adi beranjak dari duduknya, dan pergi begitu saja, sebelum aku sempat menyahut ucapannya.Sejak saat itu, kak Adi terkesan cuek padaku. Bicara hanya seperlunya saja. bahkan sekarang, jarang pulang kerumah, dengan alasan lembur.Sepi kini hari hari yang kujalani, tapi aku harus tetap bertahan, sungguh nasib seolah telah mempermainkanku. Aku bagaikan terjebak di tengah tengah lorong yang sempit, tak bisa maju, ataupun mundur sekalianHidupku sudah terikat dengan janji, yang terlanjur aku berikan, dan aku tak mungkin mengingkarinya. Sementara hatiku, merasa bagai terpenjara. Bagaimana tidak, kak Adi benar benar tak mau dilayani aku. Semua masakan, pakaian, dan lainnya yang selalu aku siapkan, selalu di abaikan.Sekarang aku bersetatus sebagai seorang istri, seharusnya aku bisa belajar melayani kebutuhan suamiku,