Di depan rumah Pak Dedeng, Regi menabur pakan burung dua kali. Seketika gerombolan merpati langsung menyambar dan menukik ke bawah, mematuk-matuk pakan yang sudah di tebar, suara bekur mereka terdengar kian rusuh. Seulas senyum terukir jelas pada bibirnya.
Langkah terdengar dari belakang, Regi menoleh dan mendapati Pak Dedeng berjalan sembari membawa sangkar burung yang ditutup kain hitam.
“Jang Regi gak mau salat dulu? Udah jam empat lebih sekarang,” tanya Pak Dedeng lalu bersila di teras rumah.
Regi menirukan gaya duduk Pak Dedeng di sisi lain. “Saya enggak salat, Pak,” jawabnya seraya tersenyum canggung.
Sementara Pak Dedeng segera menyadari dan membalas dengan terbata. “Oh? Ma-af, Jang. Saya pikir sama gitu. Soalna Jang Regi bilang ‘assalamu'alaikum’ duluan.”
“Gak papa, Pak. Teman-teman saya kebanyakan orang Islam. Jadi, terbawa logatnya.”
“Oh gitu ... jadi, ini teh merpati yang dipilih Jang Regi, langsung dimasukin sangkar biar gak lupa sayana,” ujar Pak Dedeng seraya menepuk bagian atas sangkar.
“Yang baru dijodohin itu ‘kan, Pak?”
“Uhun, Jang.” [Iya, Nak.]
Kain hitam lalu disingkap, Regi menggeser pintu sangkar ke atas kemudian menangkap merpati betina jenis Show King itu. Netra gelapnya mengamati bulu seputih susu sang merpati, kemudian membentangkan sebelah sayapnya.
“Sangar parah! Bulunya kinclong gini! Bapak pakek campuran pakan apa aja?” tanya Regi antusias.
“Soal pakan enggak terlalu spesial, Jang. Hampir sama kayak merpati biasa.”
Regi mengembalikan merpati betina ke dalam sangkar, kemudian menangkap merpati jantan dan membentangkan sayapnya juga dengan alis berkerut. “Mmm, pasti pakek campuran lain. Ini lar-nya bagus gini. rapat dan gak pecah. Bagi-bagi resepnya dong, Pak.”
“Saya teh agak lupa kalau disuruh sebutin satu-satu. Pokokna mah jagung bulat harus ada, kacang hijau, kacang tanah, beras merah, sama kuaci. Vitamin dan antibiotik harus ada, biar semua burungna sehat-sehat. Kalau mau ngasih makan juga jangan terlalu banyak, cukup dua kali sehari. Saya gitu biasana, tapi setiap orang ‘kan beda-beda cara ngeracikna,” jelas Pak Dedeng, kedua lengannya bergerak seirama dengan nada bicaranya.
Regi manggut-manggut sembari menjunjung merpati di genggaman segaris dengan irisnya. Tampak si jantan hampir mematuk wajah Regi, beruntung refleks tubuhnya masih normal, sehingga tangannya otomatis dijauhkan. “Waduh, galak banget ini, Pak! Jantannya. Apa emang begini?”
“Gak, kok, biasana jinak. Mungkin karena baru kawin jadi gak mau diganggu.”
“Ah, Bapak bisa aja. Saya yang jomblo jadi ngerasa tersindir.”
Kedua lelaki berbeda generasi pun tergelak, mereka berbincang bersama hingga tak sadar waktu menunjukan pukul enam kurang sepuluh menit. Damayanti, istri Pak Dedeng keluar di pintu mengajak Regi masuk. Regi juga diberi kesempatan untuk makan bersama dengan putra-putri Pak Dedeng yang masih belia. Sempat Pak Dedeng menawarkan Regi untuk menginap semalam karena di luar sudah gelap, tapi Regi menolak, ia bilang harus segera pulang karena faktor pekerjaan. Jadi, Regi akhirnya pamit, membawa sebuah sangkar masuk ke mobil.
***
Dalam perjalanan, jalan tampak lengang. Hanya ada beberapa mobil pribadi dan motor matic menyalip sisi kanannya. Ada juga mobil bus dan mobil angkutan berat lain. Regi memilih melajukan mobil dengan santai. Lagi pula, tujuan kali ini bukan ke rumahnya di Jakarta, melainkan ke sebuah tempat yang sudah disepakati oleh Regi dan seseorang.
Regi menarik tuas, kemudian mengerem sampai mobil terhenti dengan sempurna. Dia bangkit seraya menyambar sangkar, keluar mobil.
Di luar sudah ada seorang wanita dengan pakaian formal, berdiri di depan gubuk. Samping kiri terdapat mobil silver yang terparkir. Rambut pendek sebahunya mengalun, melangkah dengan anggun.
Regi terkesiap ketika sangkar itu sudah berada di tangan si wanita. Fokusnya sempat hilang berkat perawakan si wanita yang begitu menakjubkan, bagai super model.
Belum sempat mengumpulkan kesadaran, tangannya ditarik pelan.
“Ini, bayaranmu,” bisik wanita itu sambil memberikan segepok uang, “jika masih kurang, sisanya ada di koper. Terima kasih sudah mau membantu kami,” lanjutnya tersenyum menyeringai.
Tahu-tahu, si wanita sudah ada di dalam mobil, menghidupkan mesin, dan pergi begitu saja tanpa permisi.
Tunggu sebentar, orang yang janjian denganku itu seorang paman bukan wanita, bisiknya dalam hati.
Alisnya berkerut hampir menyatu. Regi menoleh, menatap linglung kepergian si wanita. Netranya berkedip beberapa kali melihat segepok uang di tangan.
“Njir! Duit!” Regi terperanjat hingga uang itu jatuh ke tanah.
Mendadak bulu kuduk berdiri. Regi baru menyadari ada yang tidak beres ketika si wanita mendekat padanya. Seakan terhipnotis, ia bertingkah layaknya orang bodoh. Tapi, uang tersebut tampak mengiurkan. Dia mengambil uang yang sempat jatuh, kemudian menenteng koper yang tergeletak dalam gubuk dan memasukannya ke mobil.
“Bodo amat soal burung! Yang penting duit ini harus gue bawa dulu.” Regi buru-buru menyalakan mobilnya. Segera pergi dari tempat horor dan minim penerangan itu.
***
Sementara, sepasang merpati yang berada dalam sangkar, kesulitan untuk melihat sekitar berkat kain hitam yang menutupinya, hanya ada lubang-lubang kecil untuk oksigen agar mereka bisa bernapas dengan bebas.
Keduanya tidak bertengger pada ranting, mereka justru saling berdempetan dengan betina yang bersembunyi di balik sayap pejantan. Sesungguhnya, si jantan merasakan takut. Namun, dirinya tetap berusaha berdiri tegak, meski guncangan-guncangan kecil terkadang mengejutkannya.
Beberapa jam kemudian, kain hitam tersingkap. Sang merpati berkedip, mereka menangkap sebuah gambaran rumah kayu dengan penerangan redup. Sangkarnya tergantung di atap.
Tiba-tiba sebuah tangan keriput memasukan pakan burung dan air. Perlahan sepasang merpati itu mendekati makanannya sembari membekur—suara khas merpati. Walau merasa asing, sedikit demi sedikit sepasang merpati itu memakan pakan yang diberikan si tangan keriput. Mereka berciuman dan saling meloloh satu sama lain sebagai bentuk pelepas stres. Alhasil, mereka tertidur sambil bertengger pada ranting dan saling menyandarkan kepala.
Beberapa hari sekali, si tangan keriput memberi mereka makan. Wajahnya sulit dikenali karena setiap kali memberi pakan, si tangan keriput selalu datang ketika mereka masih tidur. Sedangkan orang-orang yang membersihkan sangkar, mereka masih bisa melihat wajahnya yang berganti setiap sehari sekali. Pakan yang diberikan pun beragam, bahkan ada yang rasanya tidak enak—bagi si merpati.
Lalu, pada suatu hari, betinanya tertidur. Lama sekali, sampai seharian penuh. Sang jantan menjadi kalut, karena betinanya tertidur setelah melahirkan sebutir telur. Dirinya membekur berkali-kali, memanggil betinanya dan berputar di sekitar sangkar, tapi usahanya sia-sia. Sampai dirinya merasa lelah dan tertidur di samping kekasihnya.
Sekelebat ingatan berputar layaknya kaset rusak. Salah satunya merupakan kenangan saat si pejantan masih sangat muda, lalu kenangan bersama kedua orang tuanya sampai bisa mencari makan sendiri, kemudian kenangan pertama kali bertemu dengan kekasihnya. Perlahan tapi pasti kenangan tersebut berangsur-angsur retak dan pecah kemudian.
Si pejantan kembali pada kesadarannya. Mata kelamnya terbuka dengan jemari yang meremas tanah berumput basah. Kicauan berbagai burung liar saling bersahutan satu sama lain, membuat kepalanya berdenyut sakit.
Dia menengadah, rambut putih sebahunya jatuh ke bawah. Terlihat pohon-pohon menjulang tinggi menutup rapat akses sang surya untuk menyinari seluruh bagian bumi.
Aku di mana? suara hatinya bertanya.
Namun sayang, tak ada jawaban. Dia mengedarkan pandangan, dan tak ada siapa pun. Dia sendiri. Benar-benar sendiri.
Istriku... ke mana dia... dan bayi kami...
Dia menunduk beserta mata yang terpejam erat. Tak lama, netranya membeliak saat menatap tanah berumput. Tubuhnya pun tersentak kebelakang, membentur pohon tua. Sang jantan meringis, dengan jelas terlihat sepasang tangan manusia menggantikan sayap indahnya.
Ini apa? Sayapku mengapa jadi seperti ini?
Bersambung...
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis