Seekor burung merpati jantan yang baru saja menemukan kekasih hatinya, mendadak terbangun dalam bentuk manusia. Kaki, sayap, kepala, serta seluruh anggota tubuhnya berubah total! Bulu-bulu yang dulunya dia miliki, habis tak tersisa. Hanya di bagian-bagian tertentu saja yang masih ada. Bagaimana bisa hal itu terjadi? Apa yang harus dia lakukan setelahnya? Dan, kekasihnya ke mana disaat si pejantan berubah?
view moreSuara sumbang seorang pemuda terdengar memekakkan, mengikuti alunan musik dari lubang-lubang radio yang tidak kalah kerasnya. Pemuda tersebut melajukan kendaraan beroda empat menuju Kota Bandung, tampak di google maps dari layar ponselnya, menempel erat pada dashboard mobil.
Dari mulai bangunan perkantoran, supermarket, hingga mall yang tinggi menjulang beralih menjadi bangunan-bangunan sedang dan kecil. Perjalanannya tak lama lagi berakhir setelah melewati pepohonan berjejer di sepanjang jalan. Hawa sejuk semakin terasa pada setiap inci kulitnya. Dia memilih mematikan AC agar tubuh tidak membeku. Suasana Bandung mulai terasa kental setelah melewati beberapa persimpangan jalan dan stasiun-stasiun di sana.
Pemuda tersebut memberhentikan kendaraannya tepat di sebuah rumah dengan halaman depan yang cukup luas. Ketika menengok google maps, lingkaran biru menunjukan lokasinya berada di Kecamatan Majalaya.
Dia menurunkan kaca mobil, sudah ada seorang pria menunggu di depan rumah, terdapat garasi mobil di samping kanan rumah. Pemuda itu segera memarkirkan mobil kesayangan di luar garasi berlantai semen setelah pagar besi digeser oleh pemiliknya.
Dia keluar dari mobil berlogo ‘T’. Pakaian yang digunakannya sangat sederhana sekali. Hanya kaus hitam bertuliskan 'Komunitas Pecinta Merpati' dengan sablon bergambar merpati tepat di tengah dada. Tak lupa celana pendek berwarna abu-abu di bawah lutut dengan saku di kedua sisinya. Dia menyisir rambut hitamnya kebelakang, sambil mematut diri di depan kaca mobil.
“Assalamu'alaikum!” seru si pemuda dengan senyum melintang, lalu melangkah lebar menghampiri pria berkaus putih dan bercelana hitam itu. “Bapak Dedeng Koswara, ‘kan?”
“Wa'alaikumussalam. Iya, ini saya, Dedeng. Asli,” jawab Pak Dedeng langsung menyalami pemuda di depannya dengan tersenyum ramah sekali.
“Ah, kirain salah alamat, hehe. Ini saya Regi Aerlangga, Pak. Yang mau beli merpati hias bapak,” jelas Regi, cengirannya terlihat jelas setelah mengusap dada. Lega.
“Oh, hayu atuh, Jang Regi. Urang ngopi hela,” ajak Pak Dedeng sambil merangkul Regi masuk ke rumahnya. [Oh, ayo, Nak Regi. Kita ngopi dulu].
“Engh, ngopi?”
“Iya, ngopi,” ujarnya seraya memperagakan tangan mengaduk kopi.
Regi menolak. Kedua tangannya terangkat dan menggeleng pelan. “Enggak, deh, Pak. Saya mau liat-liat merpatinya dulu, boleh?”
“Boleh-boleh. Kandangna sebelah sini,” jawabnya sembari mempersilakan Regi berjalan terlebih dahulu. Mereka melangkah beriringan menuju ke belakang rumah Pak Dedeng.
Kicauan merpati anakan sudah terdengar sejak tadi. Semakin nyaring ketika mereka sampai di sebuah kandang burung berbentuk rumah, berdinding kawat, dengan atap dari seng bercat putih. Banyak sekali jenis merpati di dalam, ada juga yang terbang keluar lewat pintu kayu—di dekat atap—bercat putih yang sengaja di buka oleh pemiliknya.
Sisi luar terdapat beberapa pohon tertanam. Dahan dan daunnya menutupi atap, membentuk kesan asri di sekitar kandang. Padahal arloji pada tangan menunjukkan pukul dua belas lewat tiga puluh menit, yang seharusnya mentari menyorotkan hawa panas dari sinarnya. Namun, ini Bandung. Tetap terasa sejuk meski bayangan diri hanya terlihat seperempat dari badan.
Pak Dedeng membuka pintu, mempersilakan Regi masuk terlebih dahulu. “Maaf, ya, Jang. Sedikit kotor kandangna.”
“Enggak juga, Pak. Bersih kok di sini.”
Kondisi di dalam kandang benar-benar bersih sebenarnya—mungkin Pak Dedeng sekadar berbasa-basi. Lalu karena warna kandang dominan putih, jadi lebih enak di pandang. Regi menengok sisi kiri dan kanan kandang, terbentang meja panjang, di atasnya berjejer rumah burung layaknya kos-kosan berbentuk kotak. Dia langsung mengenali bahan dasar rumah burung, terbuat dari aluminium sehingga mudah untuk dibersihkan.
“Jadi, kalau Jang Regi lagi nyari indukan, ada di sebelah sini," ujar Pak Dedeng mengacu pada kotak di kanan, terhitung lima kotak dari depan, "kalau sebelah sana kebanyakan masih piyik[1] dan baru di lepas dari indukna. Jadi, suarana teh masih 'kikk kikk kikk' gitu.”
Regi hanya mengangguk-angguk saja sambil memicingkan mata. “Kalau merpati yang baru dijodohkan ada enggak, Pak?” tanyanya seraya mengapit jempol di dagu.”
“Ada, sebelah sini,” ujar Pak Dedeng beralih pada kotak sebelah kiri. Regi ikut memutar tubuh kemudian menunduk bersamaan dengan Pak Dedeng.
“Oh! Sepasang Merpati Show King!” seru Regi, matanya mengerjap, berbinar cerah ketika pintu kotak dibuka. Sedangkan sepasang merpati di dalam kotak perlahan mundur ke pojokan.
“Bapak menangkarkan merpati hias apa saja selain jenis ini?” tanya Regi setelah puas menatap merpati dengan bulunya yang putih bersih itu.
“Ada banyak, kalau di sini cuma ada 4 jenis. Termasuk yang ini, Lahore, Fantail, sama satu lagi Saxon Fairy Swallow.”
“Waduh, sangar-sangar, ya.” Dengan senyuman yang tidak pernah pudar, Regi menolak pinggang seraya berucap, “Saya boleh liat-liat yang lain 'kan, Pak?”
“Oh, boleh atuh. Silakan diliat-liat dulu, Jang.”
Mendengar persetujuan dari pemiliknya, Regi tersenyum lima jari, telapak tangan digosokkan sampai terasa hangat. Satu per satu rumah para merpati ia buka.
Pada rumah pertama, sepasang Merpati Show King tadi mundur kembali ke sudut. Warna bulunya sangat bersih dan seputih susu. Merpati jantan berdiri dengan dada membusung, sementara betinanya berlindung di balik si jantan. Pada sarang kayu berisi jerami, belum ada bekas retakan cangkang telur ataupun lelehan lendir dan air, menandakan bahwa mereka belum menjadi indukan.
“Benar-benar baru dijodohin ya. Cara breeding-nya gimana nih, Pak?” tanya Regi, tangannya berusaha menangkap si pejantan, namun lolos berkali-kali.
“Saya mah cuma pakek satu cara aja kalau di sini. Biarin aja indukna meloloh anakna sampe siap dipisahin. Kalau di penangkaran yang satuna saya pakek cara babuan juga,” jelas Pak Dedeng.
Regi mengangguk lagi, cukup paham dengan penjelasan Pak Dedeng, “Jadi selain di sini, bapak menangkarkan beberapa jenis merpati hias di tempat lain juga?”
“Uhun, Jang. Soalna kalau di dieu sadaya mah terlalu sempit kandangna.” [Iya, Nak. Soalnya kalau di sini semua terlalu sempit kandangnya.]
Untungnya Regi sedikit belajar tentang bahasa Sunda, sehingga dirinya cukup mengerti perkataan dari Pak Dedeng.
Regi kembali membuka rumah merpati. Kali ini, giliran Merpati Lahore yang terlihat begitu anggun. Corak hitam dari paruh dan pialnya membelah leher hingga punggung dan sayap, mirip seperti penguin. Tampak si betina sedang mengerami telur-telurnya dan membekur pelan agak terganggu. Sementara sang jantan berdiri di dekat betinanya, melirik-lirik waspada.
“Yang ini udah bertelor toh, Pak?”
“Iya, kalau yang itu baru kemarin bertelur.”
“Wah, keren!” seru Regi, melanjutkan kembali melihat-lihat yang lain.
Pada rumah burung ke tiga ada sepasang Merpati Fantail. Ciri yang paling menonjol yaitu pada ekor mereka yang menyerupai kipas.
Yang terakhir memiliki nama cukup panjang, yaitu Saxon Fairy Swallow. Sesuai dengan namanya 'peri', jenis merpati yang satu ini menang sangatlah menarik. Bagian kepala sampai ekor berwarna dasar putih. Sedangkan sayap dan bulu-bulu kaki berwarna lain—sesuai induknya. Pada kepalanya terdapat noktah warna—yang hanya memenuhi dahinya saja. Sementara kakinya terbungkus oleh bulu-bulu hias. Jika dirawat dan tidak banyak yang patah, kakinya akan terlihat seperti mengenakan sandal bulu.
Dari kejauhan terdengar kumandang azan asar, tidak terasa sudah selama ini Regi berada di kandang merpati, rasanya tidak ingin keluar.
“Saya mau salat dulu, ya, Jang. Istri saya lagi buat kopi, Jang Regi bisa duduk dulu di teras rumah,” jelas Pak Dedeng, memasukan kembali ponsel ke dalam saku celana setelah mengetik sesuatu pada layarnya.
“Oke, Pak. Siap!” Regi mengacungkan jempolnya dengan senyuman seperti biasa. Seketika netranya melirik rumah kotak berisi Merpati Show King setelah Pak Dedeng tak tampak keberadaannya.
Regi membuka lagi pintu seukuran rumah kotak itu. Tatapannya tajam dengan seringai aneh mencuat dari bibir. Sang merpati jantan tampak waswas, menatap Regi dengan mata bulatnya.
“Kalian akan kubeli sebentar lagi. Jadi, siap-siap, oke?”
Sang jantan merasakan aura aneh dari manusia di depannya. Itu sebabnya dari pertama melihat Regi, si pejantan refleks melindungi betinanya.
Bersambung...
________________________________________
Ket:
[1] Merpati anakan, masih belum lengkap lar-nya.
Hari ini, Zaara sudah boleh pulang. Tanpa dipinta, Tante Putri membereskan beberapa barangnya. Zaara tidak enak hati, sebab Tante Putri tampak tulus membantunya. Dia merasa jadi orang jahat karena terlanjur berpura-pura menjadi pacar Theo. Sudah begitu, dia keceplosan mengungkap perasaaannya selama menjalin hubungan tidak nyata ini.Zaara menyesali kelakuannya minggu lalu. Mungkin hal itu pula yang membuat Theo jarang menengoknya. Entah sejak kapan rasa itu dimulai.Apa mungkin karena terlalu sering bertemu, cinta tumbuh begitu saja tanpa diminta? Atau hanya napsu belaka? Entah, Zaara tidak tahu.Yang pasti, saat ini hatinya sedang merindu. Ingin saling bercanda dan tertawa seperti dulu. Namun, bila berhadapan langsung ... Zaara tidak berani untuk memandang.“Za, coba sini. Tante udah masukin barang kamu ke tas. Cek dulu, takut ada yang ketinggalan,” seru Putri memanggil Zaara yang mematung di ranjang.
Pagi-pagi sekali, sekitar jam 06.30 WIB, Tante Putri sudah ada di depan pintu rumah Lalisa. Rumah tersebut memiliki dua lantai dengan desain modern minimalis. Beliau menekan bell berkali-kali tanpa henti. Membuat penghuninya kebisingan dan tak bisa melanjutkan tidur dengan tenang.Waktu itu, Lalisa tidak tahu siapa orang yang bertamu. Napasnya berhenti di kerongkongan ketika melihat sosok Putri yang menatapnya.“Ta-tante?” Lisa memundurkan tubuh selangkah, “kok ke sini? Ada apa?”“Ayo bicara. Tante tunggu kamu di cafe biasa,” tandasnya kemudian pergi terlebih dahulu meninggalkan Lisa.Melihat kepergian Tante Putri, membuatnya sedikit lega. Namun, perlakuan Putri pada Lisa tidak berakhir sampai disitu saja.Terbukti ketika Lisa sudah duduk di cafe langganan Tante Putri, beliau tak ubahnya mertua jahat yang sedang menatap penuh kebencian. Begitulah sosok Putri di mata Lisa sekarang, padahal nyatanya i
Di perjalanan menuju rumah Zaara, Theo sempat mengirim chat. Fokusnya kembali pada setir mobil sambil memandangi aspal rata di depan. Beberapa menit menunggu tak ada balasan. Ponselnya tidak menunjukkan getaran pertanda pesan. Ah, mungkin sedang siap-siap, pikirnya.Selama setengah jam lebih dua puluh, Theo sampai di depan rumah Zaara. Dirinya menekan pagar lalu berjalan memasuki pekarangan rumah, ia menekan bell dekat pintu masuk. Cukup lama menunggu, pintu tidak di buka juga. Dia berinisiatif membuka pintu dari luar, dan terbuka tanpa kendala. Dari sini kecurigaannya terbentuk.Alis bertaut hingga bersatu. Theo mengamati kesuluruhan rumah itu. Tak ada siapa-siapa. Hanya terdapat ponsel tergeletak di lantai dekat meja tamu. “Ini?” gumamnya dengan tatapan yang berubah cemas. Ini ponsel Zaara, anehnya kenapa ada di lantai?“Zaara!” Theo refleks memanggil nama. Lalu berjalan menuju kamar Zaara dan tidak mendapati siapapun.
“Hai!! Tante bawa makan siang, nih,” seru Tante Putri dengan raut riang gembira. Beliau menyambar lengan Zaara dan duduk di sopa ruang tamu tanpa izin. Rantang modern yang sedari tadi ditenteng, lekas disimpan di meja kaca.Zaara tak bisa berkata-kata. Kehadiran Tante Putri diluar perkiraannya. Zaara berpikir Lalisa yang ada di depan pintu, tapi nyatanya bukan. Setelah Tante Putri menyiapkan lauk dan nasi di meja makan, muncul Theo dari balik pintu yang terbuka. Awalnya ia terkejut melihat pintu tidak dikunci, kemudian berlari ke dapur. Mulutnya menganga tak percaya melihat ada Tante Putri dengan Zaara yang duduk di kursi, tersaji berbagai jenis lauk pauk di meja. Segera ia merapat di samping Zaara, karena Tante Putri menyuruhnya duduk.“Tan—eh maksudku Ma, kok ada di sini? Papa gak di rumah?”“Nanya begitu, emangnya kenapa? Gak boleh?”Selalu dan selalu saja begitu. Setiap ditanya soal Om Regi, beliau seperti tidak
Pukul 08.30 malam, Theo sudah rapi, memakai jas dan parfum dengan tatanan rambut seperti hari biasa. Saatnya menjemput Zaara menggunakan mobil pribadi yang terparkir di garasi. Sebetulnya, mobil ini kembali saja sudah untung. Ia pasrah jika mobil silvernya tidak kembali berkat insiden bersama Lisa tempo hari. Tak tahunya Tante Putri yang mengembalikan dengan kondisi utuh. Baguslah, Theo tak usah repot-repot lagi menunggu bus di halte.Ketika sampai depan rumah Zaara, pemiliknya sudah menunggu di depan pintu. Dress brukat warna pastel benar-benar cocok dengan imaje Zaara. Theo tersenyum seraya mengulurkan tangan. “Terima kasih sudah bersedia mengikuti permainanku,” tuturnya menampilkan gigi yang berderet rapi.Zaara memukul lengan Theo dengan tas tangan, sungguh malu mendengar kata-kata tersebut. Berhari-hari mereka latihan menjadi sepasang kekasih, akhirnya ia bisa mengikuti permainan Theo.
“Theo, Mama tadi hubungi Papa, katanya perjodohan kamu sama Lalisa gak bisa dibatalin.”“Terus gimana, Ma? Aku udah punya Zaara,” rengek Theo seraya menggenggam pergelangan ibu angkatnya.Tante Putri menggeleng lemah, ia sendiri bingung, sebab perjodohan Theo dan Lalisa sudah ditentukan sejak lama; saat mereka masih remaja.Sebenarnya Theo sudah menduga hal ini. Seketika mendengkus kesal. Karena Om Regi tidak mungkin setuju perjodohan tersebut dibatalkan, karena orang tua Lalisa bersahabat baik dengan Om Regi, bisa hancur hubungan mereka jika salah satu anaknya tersakiti.Theo pun duduk pada di kursi, depan ruang rawat Zaara. Saat berpikir dia menautkan jemari. “Ma, gimana kalau Lisa yang minta bantalin perjodohannya?”Putri duduk di samping anaknya dengan sebelah alis yang mencuat. “Maksud kamu gimana?”“Aku pengin Lisa yang nyerah sama perjodohan ini. Mungkin kalau kayak gitu, bis
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments