Share

Chapter 6: Perjalanan

Si pejantan sudah tak telanjang lagi. Kaus putih dan celana pendek kakao membungkus tubuhnya. Dia berjongkok di sisi dalam ambulans. Surai putih bersihnya tampak mengkilat terkena sinar lampu jalan yang menelusup kaca mobil. Kondisinya sekarang tidak kotor seperti sebelumnya.

Tiba-tiba mobil yang dia tumpangi terguncang karena parkir di sebuah rest area, Bandung. Terdapat plang raksasa bertuliskan ‘Rest Area Saduma’.

Pejantan sempat mematung, ia berjinjit kemudian menuju kaca mobil. Samar-samar terlihat empat manusia berkumpul di sisi kanan ambulans.

Di luar, cahaya matahari sudah hilang diganti oleh bulan yang berpendar menghiasi malam. Seorang gadis dengan rambut diikat membawa sekotak nasi, tampak berjalan mendekati ambulans beserta dua pemuda lainnya.

Pemuda dengan topi hitam terbalik membuka pintu belakang ambulans. Ia berkata pada gadis itu, “Gua baru pertama kali liat pasien kayak gini. Lu aja yang kasih makan, Nad.” Manik cokelatnya meneliti pergerakan si pejantan.  Sorot matanya menunjukkan rasa takjub dan heran secara bersamaan.

Sementara gadis yang dipanggil ‘Nad’ menghela napas enggan. “Mentang-mentang aku suka pelihara binatang ... enak banget ya, suruh-suruh?” hardiknya dengan mata mendelik.

Si pemuda bertopi langsung menampilkan senyum lebar tanpa dosa. “Tapi, emang lu yang bikin dia mau mandi dan pake baju. Dari pada sama kita, ya gak, Dil?” tanyanya pada Fadil—pemuda yang memakai tas selempang hitam—tepat di sisi kanan ambulans.

“Betul, kalau Mas Jaka sama saya yang kasih makan takutnya kabur. Kayaknya cuma Mbak Nadya yang bisa ngurusin pasien kali ini, hehe,” tutur Fadil, cari aman.

“Bilang aja kalian takut.”

Nadya malas meladeni dua lelaki bernyali kecil. Kedua kakinya lekas menginjak tepi ambulans dan berjinjit masuk. Dia menampilkan senyum terbaik pada si pejantan.

Awalnya, kotak nasi memang ditepis dengan kedua tangan mengepak layaknya sayap, sebab belum terlihat jelas wajah Nadya. Namun, setelah begitu dekat, hanya tinggal beberapa buku jari lagi, pejantan berhenti membekur.

Dua pemuda yang menonton tampak terkagum-kagum. Jaka bertepuk tangan secara otomatis. Dia pun menyenggol Fadil agar bertepuk tangan juga. “Hebat! Hebat! Udah cocok jadi ibu kamu, Nad!” serunya antusias.

“Ibu apaan?”

Meski tidak begitu terlihat, si pejantan bisa memastikan bahwa Nadya tersenyum sesaat. Sayangnya, dia sama sekali tidak mengerti apa arti dari lengkungan bibir itu. Irisnya kembali fokus pada tangan Nadya yang menyodorkan sendok beserta nasi dan lauk.

Pejantan tidak tahu harus bagaimana, karena paruhnya sudah hilang. Rasanya ingin sekali memakan itu, tapi sulit. Bahkan sekarang dia bingung dengan diri sendiri. Mengapa pemikirannya menjadi serumit ini?

“Kenapa? Adik enggak lapar?” tanya Nadya.

“Dia gak ngerti omongan lu, Nad,” kata Jaka.

“Aku tau!”

“Mending simpen aja nasi kotaknya. Nanti juga dimakan sendiri.”

“Gak! Aku mau suapin dia sampe kenyang.”

Jaka menghela napas kemudian. Jika seorang Nadya sudah keras kepala, memang susah untuk dirayu. “Ya, oke. Gua sama Fadil mau ke minimarket dulu beli rokok ya?”

“Nur, ke mana?” tanya Nadya tanpa menoleh.

“Dia masih salat di mushola. Tunggu aja, entar juga balik.”

Dengan suara datar Nadya berucap, “Yaudah.”

Jaka mulai dongkol, ia membuka topi seraya mengacak-acak rambut lalu memakainya lagi. “Yuk, lah. Cabut!” ajaknya segera beranjak menuju minimarket diikuti Fadil.

***

Selama berbelanja di minimarket dekat rest area, mereka terpisah. Masing-masing membeli barang sesuai kebutuhan. Jaka membeli lima kotak rokok lalu mengantri di kasir. Lain halnya dengan Fadil, dia justru membeli satu keranjang cemilan berbagai jenis, bentuk, dan rasa. Melihat itu semua, membuat rahang Jaka menganga.

“Gila! Lu beneran pengin makan itu semua?”

“Saya baru sembuh dari sakit kemarin, jadi kurusan. Ibu nyuruh makan banyak biar gemukan.”

“Geli banget gua denger kata-katanya,” gumam Jaka. Saat di tatap Fadil, ia mengalihkan pandangan pada kaleng-kaleng susu di samping.

Tampak Fadil keheranan dengan tingkah Jaka kemudian bertanya, “Mas Jaka bilang apa tadi?”

“Enggak, bukan apa-apa.” Jaka menggeleng dengan bola mata membesar.

Selepas orang di depannya pergi, Jaka langsung menaruh lima kotak rokok dengan bungkus warna putih di meja kasir. Sambil menunggu semua belanjaan dihitung, dua bungkus permen dia ambil. Hal tersebut dilakukan untuk menyembunyikan rasa sungkannya pada Fadil.

Mbak kasir membungkus lima kotak rokok dan dua bungkus permen Mint lalu menyebutkan jumlah pembelian. Jaka mengambil dompet dari saku celana kemudian membayar.

Sebelum melepas kembalian dan kresek putih, mbak kasir mulai kepo, “Mas, yang punya ambulans di luar ya?”

Jaka melirik dua ambulans yang masih setia menunggunya. Ia menjawab, “Iya.” Lalu menarik kembalian uang kertas dan kresek putih dengan ogah-ogahan.

Si mbak kasir malah menarik lagi uang kertas di tangan. “Isinya manyat ya, Mas? Kalau orang sakit gak mungkin masnya sempet belanja di sini.” 

Jaka tidak menjawab, maniknya justru mengernyit pertanda tak suka.

Bukannya berhenti mbak kasir malah menambah pertanyaan sambil cekikikan. “Kok gak jawab, Mas? Lagi sariawannya? Hihihi.”

Seketika uang ditarik paksa. Mbak kasir langsung tersentak dan mematung di tempat. Sebelum pergi Jaka berucap, “Kerja tuh yang bener. Jangan sambil ngurusin hidup orang, Mbak. Ngerti?!”

“Ng-ngerti, Mas.”

Wajah Fadil ikut menegang, dia bergegas membayar belanjaannya setelah dihitung oleh mbak kasir. Kemudian menyusul Jaka dengan satu kresek besar di tangan.

“Mas, kenapa? Kok ngegas?” tanya Fadil setelah menyelaraskan langkahnya dengan Jaka.

Namun, Jaka sekadar menjawab, “Gak papa.

Seketika Fadil menutup mulutnya rapat-rapat. Tak ingin terkena dampaknya seperti mbak yang tadi.

Jaka dan Fadil telah sampai ambulans berbarengan dengan Nadya yang menutup pintu belakang mobil.

Nadya berbalik. Seketika alisnya bertaut melihat raut wajah Jaka. “Tuh muka kusut amat. Ada apa?”

Bukannya menjawab, Jaka malah salah tingkah. Dia berdeham, kedua pipinya memanas. “Gak, bukan apa-apa.”

“Oh, yaudah,” ucap Nadya menimpali.

Dari jauh, gadis muda berkerudung baru saja selesai sembahyang. Dia Nur, bergegas menghampiri teman-temannya dari arah mushola.

“Duh, maaf ya, guys. Gue kelamaan,” ujarnya dengan napas putus-putus. Dia memeluk tas kecil berisi mukena[2].

Dari atas sampai bawah Nadya memandangi Nur, perempuan itu sudah rapi dengan lipstik warna coral kegemarannya. “Gak masalah. Lagian kita juga masih lama di sini. Makan malemnya jadi, kan?” tanyanya pada teman-teman yang lain. 

“Jadi dong. Saya udah bawa banyak cemilan buat kita berempat nih,” jawab Fadil sambil menyerahkan kresek yang dari tadi ia jinjing. Nadya menyambutnya dengan hati berbunga. Memang cemilan selalu bisa menaikan mood-nya.

“Loh, katanya itu semua buat lu sendiri?”

“Kapan saya bilang begitu?”

Jaka bungkam. Memang Fadil tidak pernah bilang kalau semua cemilan itu untuk sendiri. Rasanya Jaka semakin tidak enak hati karena telah mengumpatkan sesuatu yang tidak sopan pada Fadil.

“Gua gak ikut makan, deh. Belum laper,” ucap Jaka mengalihkan fokus obrolan.

“Tumben. Biasanya paling garcep, apa lagi kalau makan-makannya dibayarin,” ujar Nadya.

“Buat sekarang ada kecualinya, ha ha ha.” Jaka tertawa garing. Tidak lucu sama sekali padahal Nadya termasuk orang yang mudah tertawa. Apa lagi Fadil dan Nur, mereka justru heran melihatnya.

“Yaudah. Nih, jatah buatmu,” ucap Nadya lalu melempar sebungkus kripik kentang pada Jaka. “Kita makan-makan dulu ya? Bye bye, Jaka.” Lalu melambai dengan wajah berseri.

Jaka menatap lekat Nadya hingga punggungnya menghilang bersama Nur dan Fadil. Netranya memandangi bungkus kripik dan tersenyum tipis. “Kekanakan banget. Masa gue cemburu sama pasien,” gumamnya.

Penasaran dengan kondisi pasien, Jaka mengintipnya sebentar dari balik kaca mobil. Sayup-sayup terlihat pasien yang tertidur dengan posisi duduk. Pasien kali ini emang keliatan beda banget, pikirnya.

Bersambung...

______________________________________

Ket:

[1] Orang Dalam Gangguan Jiwa.

[2] Kain selubung berjahit untuk menutup aurat wanita Islam pada waktu salat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status