Sampai di kantor, Valerie langsung menuju ruangannya. Ia masuk ke dalam ruangan dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sendal jepit lagi. Tanpa basa-basi, Valerie langsung duduk dan membuka laptopnya.
Intan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan beberapa dokumen yang harus ia tandatangani. Beberapa perjanjian kerjasama dengan klien-klien baru. Dan repeat order dari klien yang sudah menjadi langganannya menjadi pemandangan setiap hari yang Valerie lihat.
Meeting sana sini, menjelaskan produk kesana kemari, menandatangani perjanjian kerjasama menjadi tugas utama Valerie. Untung ada Intan, sahabatnya yang sekarang menjadi sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Ketika pertama Valerie naik ke jabatan ini, posisi sekertaris diisi oleh orang kantor, tapi ia mereasa tidak cocok dan meminta direktur untuk menggantinya.
Pada waktu itu, Intan sedang tidak bekerja, karna Valerie tau Intan orangnya seperti apa, ia mengajukan Intan untuk menjadi sekertarisnya, dan akhirnya sampai sekarang sudah 4 tahun mereka bekerja bersama.
Valerie mengerutkan keningnya, Intan tidak main-main ketika ia bilang harus menghabiskan hari ini untuk me review semua pekerjaan-pekerjaan yang tertunda kemarin karna meeting. Dokumen yang harus di review tidak main-main rupanya.
“Kenapa Val? Pusing lo?” tanya Intan. Valerie bahkan tidak sadar ada Intan masuk ke dalam ruangannya.
“Iya nih,” Valerie hanya mengangkat mukanya dan kembali fokus membaca perjanjian yang harus ia tandatangani.
“Tumben, biasanya oke-oke aja. Kayaknya gue baca, ga ada yang ribet perjanjiannya, lo pusing yang mana?” tanya Intan.
“Bukan, bukan isi perjanjiannya ribet, tapi mereka perusahaan-perusahaan gede banget. Mereka pasti order bukan dalam jumlah sedikit atau menengah, pasti banyak banget. Gue lagi mau analisis, ini kalo kita kasih diskon ini nutup gak gitu,” kata Valerie.
“Val, plis deh. Kita lakuin ini ga sekali dua kali dan lo selalu cemas. Kita udah itung Val, I swear!” suara Intan hampir berteriak.
“I just wanna make sure, Intan,” ujar Valerie.
“You overthinking everythink tau ga. Semua udah kita itung berkali-kali dan ketika injury time kayak gini lo masih aja ga yakin?” omel Intan.
“Intan..”
“Valeriee… Please.. Kalo lo begini terus, yang ada kita lama dan kalo sampe lo mau rubah perjanjian di saat kita udah deal on the spot, apa gak bakal ngecewain klien dan dampaknya ke perusahaan kita juga?” todong Intan.
Valerie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dirinya yang terlalu teliti dan Intan yang pemikirannya praktis selalu menjadi kombinasi yang ideal. Terkadang Intan terlalu ingin memanjakan klien dan menyetujui semua syarat yang disetujui klien hanya demi tidak mengecewakan klien, tapi satu sisi perusahaan merugi. Disaaat seperti itu, Valerie yang akan menjadi rem Intan.
Namun ketika keadaan mepet deadline begini, dan Valerie masih terlalu teliti dengan klien, membuat pekerjaan jadi banyak yang terhambat, Intan selalu menjadi remnya.
“Udahlah, yuk kita makan siang dulu. Udah lewat jam makan siang malah.”
“Oh ya?” Valerie menengok ke jam tangannya. 12.45. Huh dirinya kembali makan siang terlambat hari ini.
“Yaudah yuk kita makan siang dulu. Tunggu ya gue ambil dompet dulu,” Valerie mengambil dompet dan tasnya, kemudian mengunci ruangannya dan mengikuti Intan untuk pergi ke food hall di geudng kantornya.
Valerie dan Intan turun ke lantai 3, tempat dimana food hall kantornya berada. Berada di gedung yang besar di tengah kota, Valerie sangat bersyukur masih ada food hall yang menjual makanan-makanan tradisional rumahan.
Nasi, ayam goreng dan sayur asem adalah favoritnya.
“Sumpah sih, gue kalo jadi cowo seneng banget cewe gue selera makannya gak mahal,” ujar Intan melihat menu yang dipesan Valerie dari hari ke hari tidak pernah berubah.
“Hahaha gue mah fleksibel, diajak makan mahal ga malu-maluin, diajak makan murah juga hayuk,” ujar Valerie.
“Diajak komitmen yang gamau,” ujar Intan cuek.
“Sialan lo,” kata Valerie.
“Jadi gimana Juno?” tanya Intan.
“Ga gimana-gimana,” jawab Valerie.
“Maksudnya ga gimana-gimana tuh gimana ya?” tanya Intan lagi.
“Ya biasa aja, we are nothing. No comitment. Dia juga lagi ngurusin kerjaannya di Ausie hari ini, gue kerja. Nothing’s special. We have our own life.” Ucap Valerie tak acuh.
“Jadi dia siapa lo? Pacar lo?” tanya Intan.
“No, he’s not. Kita ga pacaran, ya gini aja.”
“Lo bener-bener ogah nikah atau pacaran ya?” Intan yang tadinya asik menikmati makanannya jadi menunda makan. Ia benar-benar bingung dengan sahabatnya satu ini. Sudah ada beberapa laki-laki yang mendekatinya.
Ada beberapa yang di tolak oleh Valerie, ada yang berhasil dekat. Tapi hubungan paling jauh adalah sampai tempat tidur, tidak akan lebih dari itu.
“Kalo gue single aja bahagia, buat apa ada komitmen? Gue bahagia kayak gini Tan, gue gamau di repotin sama komitmen, apalagi kalo harus begini harus begitu. Males ah. Gue kerja, gue punya uang, buat apa lagi komitmen?” jawab Valerie.
“Emang lo ga kepikiran buat bangun rumah tangga? Punya anak? Punya suami?”
“Nope. Punya anak dan punya suami bukan tujuan gue hidup. Gue Cuma mau bahagia aja.”
“Hm let me guess? Apa lo trauma karna Faris?” tanya Intan.
Deg.
Valerie langsung diam.
Ck.
Valerie mendecak. Ternyata pengaruh Faris di hidupnya masih begitu kuatnya. Hanya dengan mendengar namanya saja Valerie kesal bukan main. Dadanya terasa sesak seketika. Ada rasa sakit yang tiba-tiba hinggap.
Tiba-tiba kepalanya penuh dengan semua kenangan dengan Faris, mantan kekasihnya yang memberi luka amat dalam kepada Valerie. Rasa sakitnya masih sama, kenangannya masih sama. Apa ia benar-benar bisa move on?
“Ekspresi lo berubah. Berarti bener.” Intan menarik kesimpulan. Jika bukan karna suara Intan, kepala Valerie pasti masih dipenuhi dengan Faris.
“Val, ga semua cowo brengsek kok kayak si Faris. Gue yakin deh,” kata Intan.
Valerie mengangkat bahunya, ia tidak pernah bisa bohong dengan sahabatnya yang satu ini.
“I just, terlalu sakit Tan, ya mungkin bener semua karna Faris. Gue belom berani lagi buat komitmen, gue belom berani lagi buat mulai sebuah hubungan.”
Valerie tersenyum getir.
“Gue yakin kok nanti lo bakal nemuin orang yang bisa bikin lo percaya sama komitmen lagi. Gue yakin,” kata Intan.
“Hahaha we’ll see. Yaudahlah yuk kerja lagi. Deadline udah mepet masih aja sempet-sempetnya curhat,” Valerie beranjak dari tempatnya diikuti oleh Intan. Intan tersenyum di belakang Valerie. Ingin rasanya ia bisa berbagi kesakitan yang dirasakan sahabatnya.
Intan tau, kesan yang ditampilkan Valerie selama ini menjadi wanita yang kuat, independen dan seperti tidak membutuhkan laki-laki hanya topeng. Valerie yang sebenarnya adalah Valerie yang lembut dan penuh cinta.
Ia hanya terlalu sakit oleh masa lalu, sebuah kisah yang menggores luka teramat dalam bagi Valerie. Luka yang tidak akan sembuh hanya dalam hitungan hari ataupun minggu, ia yakin sakit yang dirasakan Valerie membutuhkan waktu tahunan untuk sembuh.
Valerie bekerja sampai larut malam. Untung besok akhir pekan, ia bisa beristirahat sebelum senin jadwalnya sudah full lagi dengan meeting-meeting. Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Valerie meregangkan badannya. Sudah 20 Surat Perjanjian yang berhasil ia sign hari ini. Benar-benar melelahkan.“Val ayo pulang, gue udah teler banget,” ujar Intan dari luar ruangannya.“Duluan duluan, gue masih mau beberes,” ujar Valerie.“Yaudah gue duluan yaa,” ujar Intan sambil berlalu dari ruangan Valerie.Valerie mengedarkan pandangannya. SPK yang sudah di sign sudah bertumpuk rapih di mejanya, tinggal dikirim ke masing-masing klien. Ia melihat laptopnya, sudah semua rapih, ia tinggal mematikannya. Valerie teringat, ia belum membuka hp nya sama sekali seharian, dan seingatnya tadi ada notifikasi ketika ia di mobil.Valerie membuka hpnya, muncul sebuah nama yang mengirimkan pesan, Risko. Valerie mengerutkan kening. Ia berfikir ada revisi dengan perjanjiannya, akan sangat memakan waktu
Risko datang tepat jam 2. Ia mengetuk pintu. Sekali, tidak ada jawaban. Dua kali, masih tidak ada jawaban. Akhirnya Risko membuka pintu dan masuk ke dalam, sesuai dengan pesan yang diterimanya dari Valerie.Warna monokrom langsung memenuhi penglihatan Risko. Semua barang yang ada di rumah Valerie hanya memiliki 3 warna. Hitam, putih dan abu-abu. Itupun abu-abu hanya sedikit sekali, hitam dan putih yang mendominasi segalanya.Tatanan ruang tamu Valerie sangat rapih, tidak ada satupun barang yang tidak pada tempatnya. Lebih tepatnya, tidak terlalu banyak barang di ruangan itu. Hanya sofa berukuran sedang 2 buah, dengan lemari buku di sampingnya. Sisanya hanya terbentang karpet bulu berwarna hitam. Suasana yang nyaman untuk ngobrol tanpa terkesan formal.Kemudian bergeser sedikit ada sebuah meja makan besar berbentuk bulat, dan 3 buah kursi yang mengelilinginya. Juga sebuah kulkas di dekatnya.Risko duduk di sofa sambil masih mengamati ruangan ini. Di depan ruangan yang sedang di dudukin
“Usaha hamburger kamu masih jalan sampe sekarang?” tanya Valerie.“Masih. Tapi jangan kamu bayangin usaha hamburger saya usaha yang besar, berkembang pesat dan punya franchise dimana-mana. Usaha hamburger saya usaha keluarga yang bahkan orangtua saya gamau anaknya ada yang colek-colek resep mereka hahha," Risko tertawa. Satu hal yang Valerie dapat dari Risko adalah, di luar pekerjaan, Risko orang yang sangat suka tertawa. “Orang tua kamu keren. Saya mau banget usaha makanan dari dulu tapi ga bisa-bisa. Mungkin karna masih kerja kali ya. Ajak saya dong ke usaha keluarga kamu,” pinta Valerie.“Boleh, kapan-kapan kamu saya ajak yaa ke warung hamburger punya orangtua saya,” janji Risko.“Kalo kamu emang niat mau usaha yang beneran, kamu harus berani buat keluar dari zona nyaman kamu di kantor Val,” nada bicara Risko semakin lama sudah semakin santai. Sudah seperti bicara dengan teman dan bukan partner bisnis lagi.“Itu yang belom saya bisa. Saya ngerasa kayak saya ga akan bisa kayak seka
Valerie mengulat. Senin pagi. Saatnya ia bekerja kembali. Valerie melihat ke arah jam di kamarnya, baru pukul 2. Ia masih memiliki banyak waktu.Semalam, Valerie tertidur terlalu cepat, sekitar pukul 7, jadilah ia bangun terlalu dini. Valerie menguncir rambutnya, membawa hpnya bersamanya dan keluar dari kamarnya.Valerie meletakkan hpnya di atas meja, mengambil gelas yang berukuran sedang. Membuka toples kopi, menuangkan kopi 3 sendok dan gula pasir 1 sendok. Menyeduhnya dengan air panas sedikit, dan sisanya di masukkannya es batu.Es kopi kesukaan Valerie sudah siap dinikmati. Ia tidak peduli pagi, siang, sore atau malam, es kopi tetaplah juaranya. Valerie duduk di meja makan, menikmati kopi sambil membuka hpnya. Ada 1 pesan dari Risko yang belum ia buka semalam.-Oke goodnight Valerie. Have a very best dream-Valerie tersenyum membaca pesan dari Risko.Hari Sabtu, mereka mengobrol sampai sore sekali, sampai Valerie hampir lupa mengeluarkan
Valerie berangkat ke kantor, berharap pikirannya akan teralihkan dengan setumpuk pekerjaan yang menumpuk. Valerie melewati kumpulan ibu-ibu yang masih berbelanja di tukang sayur, mereka terdiam melihat mobil Valerie lewat. Tersenyum padanya.Munafik, pikir Valerie.Setelah mobil Valerie lewat, mereka kembali melanjutkan menggunjing.“Tuh bener kan, pagi banget berangkatnya. Karyawan apaan berangkat jam segini coba, emangnya OB,” ucap salah satu ibu-ibu.“Ya mungkin kantornya jauh Bu, jadi berangkat pagi-pagi,” kata Si Tukang Sayur.“Ah si Mamang emang ga bisa nih kalo dibilangin. Ya bu yaa,” Ibu-ibu yang lain mengangguk mengiyakan.Valerie melihatnya dari kaca spion mobilnya, ia kembali kesal. Ia kesal karna beberapa fakta menyakitkan yang selama ini ia hindari.Pertama, fakta bahwa dirinya belum menikah bahkan takut untuk menikah atau sekedar memiliki komitmen. Kedua, fakta bahwa orang-orang mengira dirinya memiliki banyak uang karna bekerja yang bukan-bukan, padahal untuk mencapai p
“Ah selesai juga. Cepet kan kalo saya bantuin, coba tadi kamu sendirian pasti jam segini belum selesai cuci piringnya,” kata Valerie.“Bu, saya minta maaf ya sama sekali saya ga ada maksud buat nyuruh Bu Valerie bantuin saya cuci piring. Tangan Ibu jadi kotor pasti,” ucap Daus dengan nada panik.“Kamu kenapa?” Valerie yang bingung kenapa Daus sepanik itu.“Saya takut dipecat Bu, karna Bu Valerrie udah bantuin saya cuci piring,” ujar Daus.“Hahaha ga bakalan. Udah ah, saya mau masuk dulu ya. Mau ganti baju. Masa saya kerja pake kaos begini,” Valerie memang masih menggunakan kaos dan celana jeans. Ia membawa baju kerjanya, sengaja ia belum berganti pakaian agar ketika kerja, bajunya tidak lecek.Valerie masuk ke ruangannya, mengeluarkan dari tasnya baju kerja yang akan ia pakai. Hari ini ia akan memakai blouse berwarna pink dan celana hitam panjang. Hari ini tidak ada pertemuan dengan klie
“Ehm..”Valerie berdeham. Ia, Intan dan ketiga staffnya sudah duduk di ruang meeting. Suasana tegang menyelimuti mereka. Valerie yang memimpin meeting duduk di paling pojok, dimana semua peserta meeting dapat melihatnya secara langsung.Disa, Dewi dan Kumala hanya bisa menunduk, sama sekali tidak berani memandang Valerie. Aura Lady Boss yang keluar dari diri Valerie benar-benar kuat. Intan saja yang sahabatnya, tidak berani sama sekali menegur Valerie jika auranya sudah seperti ini.“Tadinya hari ini saya ingin meeting membahas kinerja dan pencapaian kita bulan lalu, namun saya urungkan karna ternyata ada hal yang lebih penting..” Suara Valerie menggantung di udara. Intan mengernyitkan dahi. Tidak biasanya Valerie mengesampingkan masalah kinerja, ia adalah orang paling strick dan tepat waktu yang ia tahu. Jika ada yang digeser atau dibatalkan, berarti hal ini benar-benar penting.“Barangkali ada yang belum tahu mengapa pembahasan kinerja saya geser, saya akan menceritakan sebuah kis
Selama menunggu Intan di mobil, Valeri membuka-buka pesan whatsapp. Ia melihat siapa saja klien-klien besar yang harus ia temui. Namun ia terdiam dan ingat bahwa ia tidak memakai pakaian yang cukup formal untuk bertemu klien besar.Ia kembali mengingat kira-kira klien yang bisa didatangi hanya dengan menggunakan pakaian semi formal. Ah Risko.Valerie membuka kontak Risko. Menekan tombol panggil. Diangkat pada panggilan kedua. Ini berarti Risko sedang tidak terlalu sibuk.“Yes Val,” jawab Risko.“Kalo saya ke kantor kamu sekarang untuk review hasil kerjasama kita selama sebulan, gimana?” tanpa basa-basi, Valerie langsung bertanya pada Risko.“Oh iya boleh, kebetulan saya lagi di kantor. Kamu udah tau kantor saya?” tanya Risko.“Belum tau, boleh tolong do share location?” tanya Valerie.“Oke habis ini saya shareloc” jawab Risko.“Oke,” ujar Valerie. Ia