Share

Bab 3 Intan dan Valerie

Sampai di kantor, Valerie langsung menuju ruangannya. Ia masuk ke dalam ruangan dan mengganti sepatu high heelsnya dengan sendal jepit lagi. Tanpa basa-basi, Valerie langsung duduk dan membuka laptopnya.

Intan masuk ke dalam ruangan untuk memberikan beberapa dokumen yang harus ia tandatangani. Beberapa perjanjian kerjasama dengan klien-klien baru. Dan repeat order dari klien yang sudah menjadi langganannya menjadi pemandangan setiap hari yang Valerie lihat.

Meeting sana sini, menjelaskan produk kesana kemari, menandatangani perjanjian kerjasama menjadi tugas utama Valerie. Untung ada Intan, sahabatnya yang sekarang menjadi sekertaris sekaligus asisten pribadinya. Ketika pertama Valerie naik ke jabatan ini, posisi sekertaris diisi oleh orang kantor, tapi ia mereasa tidak cocok dan meminta direktur untuk menggantinya.

Pada waktu itu, Intan sedang tidak bekerja, karna Valerie tau Intan orangnya seperti apa, ia mengajukan Intan untuk menjadi sekertarisnya, dan akhirnya sampai sekarang sudah 4 tahun mereka bekerja bersama.

Valerie mengerutkan keningnya, Intan tidak main-main ketika ia bilang harus menghabiskan hari ini untuk me review semua pekerjaan-pekerjaan yang tertunda kemarin karna meeting. Dokumen yang harus di review tidak main-main rupanya.

“Kenapa Val? Pusing lo?” tanya Intan. Valerie bahkan tidak sadar ada Intan masuk ke dalam ruangannya.

“Iya nih,” Valerie hanya mengangkat mukanya dan kembali fokus membaca perjanjian yang harus ia tandatangani.

“Tumben, biasanya oke-oke aja. Kayaknya gue baca, ga ada yang ribet perjanjiannya, lo pusing yang mana?” tanya Intan.

“Bukan, bukan isi perjanjiannya ribet, tapi mereka perusahaan-perusahaan gede banget. Mereka pasti order bukan dalam jumlah sedikit atau menengah, pasti banyak banget. Gue lagi mau analisis, ini kalo kita kasih diskon ini nutup gak gitu,” kata Valerie.

“Val, plis deh. Kita lakuin ini ga sekali dua kali dan lo selalu cemas. Kita udah itung Val, I swear!” suara Intan hampir berteriak.

“I just wanna make sure, Intan,” ujar Valerie.

“You overthinking everythink tau ga. Semua udah kita itung berkali-kali dan ketika injury time kayak gini lo masih aja ga yakin?” omel Intan.

“Intan..”

“Valeriee… Please.. Kalo lo begini terus, yang ada kita lama dan kalo sampe lo mau rubah perjanjian di saat kita udah deal on the spot, apa gak bakal ngecewain klien dan dampaknya ke perusahaan kita juga?” todong Intan.

Valerie menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dirinya yang terlalu teliti dan Intan yang pemikirannya praktis selalu menjadi kombinasi yang ideal. Terkadang Intan terlalu ingin memanjakan klien dan menyetujui semua syarat yang disetujui klien hanya demi tidak mengecewakan klien, tapi satu sisi perusahaan merugi. Disaaat seperti itu, Valerie yang akan menjadi rem Intan.

Namun ketika keadaan mepet deadline begini, dan Valerie masih terlalu teliti dengan klien, membuat pekerjaan jadi banyak yang terhambat, Intan selalu menjadi remnya.

“Udahlah, yuk kita makan siang dulu. Udah lewat jam makan siang malah.”

“Oh ya?” Valerie menengok ke jam tangannya. 12.45. Huh dirinya kembali makan siang terlambat hari ini.

“Yaudah yuk kita makan siang dulu. Tunggu ya gue ambil dompet dulu,” Valerie mengambil dompet dan tasnya, kemudian mengunci ruangannya dan mengikuti Intan untuk pergi ke food hall di geudng kantornya.

Valerie dan Intan turun ke lantai 3, tempat dimana food hall kantornya berada. Berada di gedung yang besar di tengah kota, Valerie sangat bersyukur masih ada food hall yang menjual makanan-makanan tradisional rumahan.

Nasi, ayam goreng dan sayur asem adalah favoritnya.

“Sumpah sih, gue kalo jadi cowo seneng banget cewe gue selera makannya gak mahal,” ujar Intan melihat menu yang dipesan Valerie dari hari ke hari tidak pernah berubah.

“Hahaha gue mah fleksibel, diajak makan mahal ga malu-maluin, diajak makan murah juga hayuk,” ujar Valerie.

“Diajak komitmen yang gamau,” ujar Intan cuek.

“Sialan lo,” kata Valerie.

“Jadi gimana Juno?” tanya Intan.

“Ga gimana-gimana,” jawab Valerie.

“Maksudnya ga gimana-gimana tuh gimana ya?” tanya Intan lagi.

“Ya biasa aja, we are nothing. No comitment. Dia juga lagi ngurusin kerjaannya di Ausie hari ini, gue kerja. Nothing’s special. We have our own life.” Ucap Valerie tak acuh.

“Jadi dia siapa lo? Pacar lo?” tanya Intan.

“No, he’s not. Kita ga pacaran, ya gini aja.”

“Lo bener-bener ogah  nikah atau pacaran ya?” Intan yang tadinya asik menikmati makanannya jadi menunda makan. Ia benar-benar bingung dengan sahabatnya satu ini. Sudah ada beberapa laki-laki yang mendekatinya.

Ada beberapa yang di tolak oleh Valerie, ada yang berhasil dekat. Tapi hubungan paling jauh adalah sampai tempat tidur, tidak akan lebih dari itu.

“Kalo gue single aja bahagia, buat apa ada komitmen? Gue bahagia kayak gini Tan, gue gamau di repotin sama komitmen, apalagi kalo harus begini harus begitu. Males ah. Gue kerja, gue punya uang, buat apa lagi komitmen?” jawab Valerie.

“Emang lo ga kepikiran buat bangun rumah tangga? Punya anak? Punya suami?”

“Nope. Punya anak dan punya suami bukan tujuan gue hidup. Gue Cuma mau bahagia aja.”

“Hm let me guess? Apa lo trauma karna Faris?” tanya Intan.

Deg.

Valerie langsung diam.

Ck.

Valerie mendecak. Ternyata pengaruh Faris di hidupnya masih begitu kuatnya. Hanya dengan mendengar namanya saja Valerie kesal bukan main. Dadanya terasa sesak seketika. Ada rasa sakit yang tiba-tiba hinggap.

Tiba-tiba kepalanya penuh dengan semua kenangan dengan Faris, mantan kekasihnya yang memberi luka amat dalam kepada Valerie. Rasa sakitnya masih sama, kenangannya masih sama. Apa ia benar-benar bisa move on?

“Ekspresi lo berubah. Berarti bener.” Intan menarik kesimpulan. Jika bukan karna suara Intan, kepala Valerie pasti masih dipenuhi dengan Faris.

“Val, ga semua cowo brengsek kok kayak si Faris. Gue yakin deh,” kata Intan.

Valerie mengangkat bahunya, ia tidak pernah bisa bohong dengan sahabatnya yang satu ini.

“I just, terlalu sakit Tan, ya mungkin bener semua karna Faris. Gue belom berani lagi buat komitmen, gue belom berani lagi buat mulai sebuah hubungan.”

Valerie tersenyum getir.

“Gue yakin kok nanti lo bakal nemuin orang yang bisa bikin lo percaya sama komitmen lagi. Gue yakin,” kata Intan.

“Hahaha we’ll see. Yaudahlah yuk kerja lagi. Deadline udah mepet masih aja sempet-sempetnya curhat,” Valerie beranjak dari tempatnya diikuti oleh Intan. Intan tersenyum di belakang Valerie. Ingin rasanya ia bisa berbagi kesakitan yang dirasakan sahabatnya.

Intan tau, kesan yang ditampilkan Valerie selama ini menjadi wanita yang kuat, independen dan seperti tidak membutuhkan laki-laki hanya topeng. Valerie yang sebenarnya adalah Valerie yang lembut dan penuh cinta.

Ia hanya terlalu sakit oleh masa lalu, sebuah kisah yang menggores luka teramat dalam bagi Valerie. Luka yang tidak akan sembuh hanya dalam hitungan hari ataupun minggu, ia yakin sakit yang dirasakan Valerie membutuhkan waktu tahunan untuk sembuh.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status