London, UK.
Seorang wanita cantik berlari menghampiri sahabatnya yang tengah menikmati makan siangnya di salah satu caffe. Wanita cantik ini melepaskan heels-nya, berlari ke arah sahabatnya.
“Miranda, lari!” Suara teriakan wanita cantik bernama Helen membuat Miranda terkejut.
“Ada apa, Helen?” tanya Miranda yang panik dan cemas melihat Helen berlari ke arahya.
“Tidak ada waktu sekarang! Kita harus berlari! Anak buah ayahmu mengejarku!” seru Helen dengan napas yang tersengal-sengal. Dia menyentuh dadanya, mengatur napasnya.
Miranda menoleh ke belakang, seketika dia terkejut mendapati enam orang anak buah ayahnya sedang berlari menghampirinya. “Damn it!” umpatnya dengan tangan terkepal kuat.
Tanpa menunggu lama, Miranda langsung melepas sepatu heels-nya, menarik tangan Helen dan berlari meninggalkan caffe itu. Suara teriakan memanggil nama Miranda membuat Miranda semakin menambah kecepatannya.
“Miranda sialan, kenapa kau harus menyusahkanku!” gerutu Helen, sahabat Miranda yang ikut berlari kini napasnya begitu tersengal-sengal. Kaki Helen sudah tidak mampu lagi berlari kencang. Sesaat dia melirik ke belakang, keenam anak buah dari ayah Miranda masih terus mengejarnya.
“Berisik kau, Helen! Ini bukan waktunya kau mengeluh.” Miranda terus berlari, sesekali dia pun menoleh ke belakang. Kini mata Miranda menatap sebuah gudang kosong. Dengan cepat Miranda menarik tangan Helen untuk bersembunyi di gudang kosong itu.
Miranda dan Helen langsung duduk di lantai dengan kaki yang diluruskan. Mereka tidak lagi memedulikan pakaian yang mereka pakai akan kotor atau tidak. Napas mereka tersengal-sengal. Kaki mereka bahkan tidak mampu lagi berdiri.
“Miranda, kau sungguh menyusahkan hidupku! Anak buah ayahmu terus mengikutiku! Kenapa kau tidak pulang? Orang tuamu sudah menunggumu! Jika aku tahu seperti ini, aku akan lebih dulu berangkat ke Las Vegas. Menikmati liburanku mencari pria tampan di sana,” seru Helen kesal. Dia memijit pelan kakinya yang sakit karena berlari kencang. Kakinya begitu sakit, akibat terus berlari. Sejak tadi Helen berlari kencang karena menghindari anak buah dari ayah sahabatnya ini.
“Kau ini kenapa perhitungan sekali! Anggap saja kau sedang berolahraga,” jawab Miranda seenaknya.
Helen mendengkus. “Lari dari kejaran anak buah ayahmu, kau katakan sama dengan berolahraga? Hebat sekali kau Skyla Miranda Spencer. Otakmu begitu cerdas.”
“Sudahlah jangan mengeluh, besok penerbangan kita ke Las Vegas. Aku ingin menikmati hidupku sebelum mendapatkan tanggung jawab sialan itu,” jawab Miranda yang kesal.
Perkataan Miranda sukses membuat Helen tertawa rendah seraya menggelengkan kepalanya. “Tanggung jawab sialan? Kau sungguh lucu, Miranda. Kau diminta ayahmu memimpin hotel keluargamu. Kau juga sudah menyelesaikan master degree-mu. Tiga bulan sudah sejak kau lulus, tapi kau masih belum kembali ke Roma. Itulah yang membuat ayahmu murka dan meminta anak buahnya menarik paksa dirimu. Jika saja kau menurut, kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Kau sangat mengenal dengan baik sifat keras ayahmu, tapi kau malah selalu membuat ayahmu marah.”
Skyla Miranda Spencer, seorang wanita yang sangat cantik berusia 22 tahun. Berambut pirang dan berkulit putih serta memiliki warna mata perak, membuat dirinya tampak begitu sempurna. Miranda baru saja menyelesaikan master degree di University of Cambridge. Miranda lulus dengan nilai yang memuaskan. Lulus dengan predikat cumlaude membuat kedua orang tuanya bangga atas dirinya.
Namun Miranda tidak sesempurna itu. Di balik parasnya yang cantik dan otaknya yang cerdas. Miranda terkenal pemberontak. Miranda selalu menentang keinginan sang ayah. Sifat Miranda yang keras, sering kali bertengkah dengan ayahnya. Lebih tepatnya, Miranda tidak pernah ingin menerusakan bisnis keluarganya. Jika saja Miranda memiliki pilihan, sudah pasti dia memilih meninggalkan Roma dan memilih tinggal di negara yang dia inginkan. Tentu jauh dari ayahnya yang selalu melarang dirinya itu.
Miranda mendengkus, menatap kesal Helen. “Aku tidak ingin memimpin hotel keluargaku. Aku ingin menjadi model. Tapi orang tuaku menentang. Memangnya apa salahnya menjadi seorang model? Aku yakin jika nanti aku menjadi seorang model, pasti aku akan menjadi model yang sangat terkenal. Tidak bukan hanya itu, tapi aku juga yakin, diriku mampu berada di puncak tertinggi karirku. Jika saja ayahku tidak menentang impianku, maka sudah pasti aku akan mewujudkan apa yang telah menjadi mimpiku sejak dulu.”
Helen terkekeh pelan. “Kau sungguh menyusahkan hidupmu, Miranda. Kau cukup duduk manis tanpa harus bekerja keras kau sudah sangat kaya. Kau sangat aneh, jika aku berada di posisimu maka aku akan menikmati hidupku. Aku tidak perlu lagi memikirkan sulitnya mencari uang. Dengan apa yang aku miliki, aku bisa membelikan apa pun yang aku inginkan. Andai posisi bisa ditukar, maka aku akan menukar menjadi dirimu.”
“Diamlah, Helen! Aku tidak ingin mendengar nasihatmu. Lebih baik pikirkan besok. Besok kita harus bersenang-senang, aku ingin menikmati kebebasan, sebelum kembali ke Roma,” ujar Miranda dengan senyuman di wajahnya.
“Ya, ya. Kau benar. Kita memang harus bersenang-senang. Aku juga ingin mencari pria tampan di sana,” balas Helen yang juga tersenyum seraya membayangkan dirinya mendapatkan pria impiannya di sana.
“Terserah! Sekarang aku ingin tanya, bagaimana dengan koperku? Apa semuanya sudah pindah ke apartemenmu?” tanya Mirada sambil menatap Helen.
Helen berdecak pelan. “Sudah, aku sudah memindahkan kopermu ke apartemenku. Sungguh, kau itu benar-benar menyusahkan hidupku, Miranda. Barang-barangmu begitu banyak di dalam apartemenku. Dan kau harus tahu, karena aku membantumu memindahkan barang-barangmu itu, aku jadi gagal pergi berkencan dengan seorang pria yang baru saja kemarin aku berkenalan dengannya.”
Miranda tertawa renyah. “Pria mana yang sedang dekat denganmu? Kau ini bahkan selalu mengganti priamu dalam hitungan minggu. Aku saja sampai tidak bisa mengingatnya.”
Helen mendengus. “Kau ini sungguh menyebalkan. Itu namanya tidak ada kecocokan. Lagi pula, aku yakin suatu saat akan menemukan pria yang terbaik di hidupku,” jawabnya dengan penuh percaya diri.
Miranda menggeleng pelan. “Terserah kau saja, Helen. Kepalaku pusing melihat kau begitu banyak berkencan dengan pria yang berbeda.”
“Apa kau ini ingin menjadi biarawati, Miranda? Bahkan kau tidak pernah berkencan. Kau sungguh menyukai seorang pria, kan? Aku hanya takut kau tidak normal. Kita terlalu dekat, orang sering berpikir kau ini tidak menyukai pria,” tukas Helen yang sengaja mnyindir Miranda. Kedekatannya selama ini dengan Miranda, membuat banyak orang yang menganggap mereka sepasang kekasih. Pasalnya, Miranda belum juga memiliki pasangan. Jika ditanya alasannya, tentu karena Miranda menginginkan pria yang sempurna untuk hidupnya. Sejak dulu, Miranda terkenal pemilih dalam pria. Dia tidak mudah jatuh cinta pada seorang pria.
Miranda berdecak pelan. “Sialan kau, Helen. Siapa yang ingin menjadi biarawati. Aku hanya menunggu seorang pria yang membuatku jantungku berdetak kencang ketika berada di dekatnya. Selain itu aku juga menginginkan pria sempurna untukku. Aku tidak mungkin memilih pria sembarangan. Aku ingin pria yang tepat dan pantas bersanding denganku,” jawabnya dengan nada angkuh.
Helen memutar bola matanya malas. “Terserah, lebih baik kita pulang ke apartemenku. Aku ingin segera berendam. Tubuhku sangat lelah berlari sekencang tadi. Pengalaman gila bersamamu selalu dikejar anak buah ayahmu, membuat tubuhku remuk. Sudah, aku tidak ingin lagi dikejar oleh ayahmu.”
“Setelah ini, aku harus segera melakukan berbagai perawatan kulitku. Besok kita sudah berangkat. Aku ingin tampil sempurna ketika bertemu pria-pria tampan di sana.” Helen melanjutkan perkataannya seraya membayangkan pria-pria yang nanti dia temui di Las Vegas.
Miranda menggeleng tak percaya dengan apa yang dia dengar itu. “Ya sudah, kita pulang ke apartemenmu sekarang. Hari ini, aku akan mentraktirmu makan. Besok kita akan ke Las Vegas, kita akan bersenang-senang. Tenang saja, anak buah ayahku tidak akan lagi mengejar kita.”
“Good, itu yang aku harapkan,” tukas Helen. “Ingat, kau juga harus membayar perawatanku, karena anak buah ayahmu, tubuhku jadi remuk seperti ini.”
“Berisik sekali kau, Helen. Nanti aku akan membayarnya. Kau tenang saja,” balas Miranda dengan tatapan kesal pada sahabatnya itu.
Kemudian, Miranda bangkit berdiri, lalu dia mengulurkan tangannya membantu Helen berdiri. Dengan kaki telanjang dan tangan yang memegang sepatu heels mereka. Mereka meninggalkan gudang kosong itu dan segera kembali ke apartemen, mempersiapkan barang yang akan mereka bawa ke Las Vegas.
Para pelayan tengah sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan dan minuman. Tak hanya pelayan saja yang sibuk, tapi juga tiga wanita cantik tengah sibuk menyiapkan tempat untuk suami dan anak-anak mereka agar nyaman.Kini Miranda, Angela, dan Helen tengah menyiapkan tempat, membantu para pelayan. Hari ini adalah hari di mana mereka berkumpul bersama. Tentu mereka sudah menunggu moment ini. Kebersamaan adalah hal manis yang menjadi memori indah untuk mereka.“Miranda, ke mana Athes, Marco, dan Darren? Kenapa mereka dan anak-anak belum juga muncul?” tanya Angela seraya mengedarkan pandangan ke sekitar taman belakang, melihat taman belakang megah itu masih kosong. Belum ada suami dan anak-anak mereka.Miranda mendesah panjang. “Kalau Athes, Marco, dan Kak Darren sudah berkumpul pasti mereka tengah membahas pekerjaan. Aku yakin mereka semua ada di ruang kerja Athes.”Miranda sudah tak lagi terkejut akan hal ini. Pasti kalau ada moment berkumpul, maka Athes bersama dengan Marco dan Darren ak
Athes dan Miranda melambaikan tangan mereka ke arah mobil yang membawa Audrey dan Zack. Pun bersamaan dengan Rainer yang ada di gendongan Athes turut melabaikan tangan mungilnya. Seperti biasa Audrey dan Zack berangkat ke sekolah mereka diantar dengan sopir. Sedangkan Rainer—si bungsu masih baru berusia 2 tahun. Itu kenapa Athes masih belum memasukkan Rainer ke sekolah. Namun meski belum masuk ke dalam sekolah, tapi Athes sudah mendatangkan guru terbaik ke rumah untuk mengajarkan Rainer.“Athes, kau benar akan bekerja di rumah?” tanya Miranda pada Athes. Sebelumnya, Athes mengatakan padanya kalau akan bekerja di rumah. Well, seperti sedang hujan di padang gurun. Belakangan ini Athes sangat jarang bekerja di rumah. Bahkan terbilang suaminya itu sangat sibuk. Tapi kenapa malah sekarang suaminya memilih bekerja di rumah?“Ya, aku akan bekerja di rumah. Nanti sebentar lagi Marco juga akan datang,” jawab Athes yang sontak membuat Miranda terkejut.“Marco akan datang? Apa dia datang bersama
“Sayang, kau sudah pulang?” Angela sedikit terkejut melihat Marco sudah pulang. Padahal terakhir suaminya itu mengatakan kalau akan pulang terlambat.“Iya, tadi rekan bisnisku berhalangan hadir. Anaknya kecelakaan.” Marco melangkah mendekat pada Angela, dan memberikan pelukan serta ciuman lembut di bibir istrinya itu. Pun Angela membalas pelukan serta ciuman Marco. “Tadi Athes menghubungiku, dia bilang Audrey datang. Apa Audrey sudah pulang?” tanyanya seraya membelai pipi Angela.“Sudah, Audrey sudah pulang. Xander yang mengantar Audrey pulang menggunakan motor,” jawab Angela yang sontak membuat Marco terkejut.“Xander mengantar Audrey menggunakan motor? Kau tidak salah?” Alis Marco bertautan. Pasalnya Marco sangat tahu Audrey belum pernah satu kalipun naik motor. Angela menghela napas dalam. “Aku juga tadinya tidak setuju. Tapi Audrey memaksa meminta diantar menggunakan motor. Tenanglah, Sayang. Audrey pasti baik-baik saja. Putra kita sudah biasa mengendarai motor.”Alasan kuat Ange
“Xander, terima kasih sudah mengantarku pulang ke rumah. Kau mau masuk atau tidak?” tanya Audrey dengan suara yang riang kala Xander menurunkan tubuhnya dari motor. Gadis kecil itu tampak begitu senang dan bahagia.Bisa dikatakan setiap moment yang Audrey lewati bersama dengan Xander selalu saja membuat gadis kecil itu senang. Walaupun Xander selalu bersikap dingin dan seakan mengabaikannya tetap saja Audrey tak pernah mau ambil pusing. Lihat saja jutaan kali Xander menolak, maka jutaan kali juga Audrey mengabaikan penolakan Xander. Skyla Audrey Russel memang gadis kecil yang tak pernah mengenal kata menyerah.“Tidak usah. Aku langsung pulang saja. Kau masuklah. Sampaikan salamku pada kedua orang tuamu,” jawab Xander dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi. Xander jengah berlama-lama dengan Audrey. Pemuda itu ingin segera pulang dan menyelesaikan hal-hal yang jauh lebih penting ketimbang masih bersama dengan gadis kecil yang kerap membuatnya sakit kepala.“Kau benar tidak mau masuk, X
“Xander tunggu aku!” Audrey berlari mengejar Xander yang berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Gadis kecil itu tampak kehabisan energy mengerjar Xander. Pasalnya langkah kaki Xander tak mampu Audrey imbangi. Jelas saja Audrey pasti akan kalah dan tertinggal. Tetapi tampaknya gadis kecil itu tak mudah menyerah.Saat Audrey mengejar Xander, tiba-tiba langkah Audrey terhenti kala berpapasan dengan Angela—ibu Xander yang baru saja keluar dari salah satu ruangan yang ada di sudut kiri. Tampak raut wajah Angela sedikit terkejut melihat Audrey ada di hadapannya.“Audrey? Kau di sini, Sayang?” Angela melangkahkan kakinya mendekat pada Audrey.Audrey tersenyum manis. “Iya, Bibi. Aku ingin bertemu dengan Xander.”“Apa Xander sudah pulang?” Angela mengedarkan pandangannya, wanita itu tadi sibuk menata pajangan di ruangan kosong sampai tak tahu putranya sudah pulang atau belum.Audrey menganggukkan kepalanya. “Sudah, Bibi. Xander sudah pulang. Tadi aku bertemu dengan Xander di depan. Tapi sekarang
“Athes, apa kau masih sibuk?” Miranda duduk di ranjang tepat di samping Athes yang sejak tadi sibuk pada iPad yang ada di tangannya. Entah pekerjaan apa yang sedang diurus sang suami. Belakangan ini memang kesibukan suaminya itu berkali-kali lipat.“Tinggal sedikit lagi. Kau tidurlah duluan, Sayang. Nanti aku akan menyusul,” jawab Athes tanpa mengalihkan pandangannya dari iPad-nya itu.Miranda mendesah pelan. “Ini sudah malam, Athes. Kau mau tidur jam berapa? Belakangan ini kenapa kau selalu saja bergadang. Kau bisa belanjutkan pekerjaanmu lagi besok.”Mendengar keluhan Miranda membuat Athes langsung meletakkan iPad-nya itu ke atas nakas. Athes tak ingin membuat istrinya itu marah padanya. Detik selanjutnya, Athes menarik tangan sang istri, berbaring di ranjang dalam posisi Athes memeluk Miranda.“Maaf. Ada beberapa project baru yang tidak bisa ditunda. Itu kenapa belakangan ini aku sangat sibuk.” Athes mengecupi pipi Miranda. Memeluk erat dan hangat istrinya itu. “Ya sudah, lebih bai
“Mommy, aku ingin barbie baru. Yang kemarin aku sudah bosan, Mommy.” Suara gadis kecil berambut cokelat tebal panjang nan indah memprotes bosan pada koleksi barbie-barbie miliknya. Tampaknya gadis kecil itu tak mau lagi bermain dengan koleksi berbie-barbie miliknya. Padahal total barbie yang dimiliki gadis kecil itu sangat banyak.“Sayang, barbie milikmu kan sudah keluaran terbaru. Kenapa kau sudah bosan? Baru saja kemarin barbie-mu diantar. Tidak mungkin Mommy membelikan yang baru lagi, sedangkan koleksimu sangat banyak dan sangat bagus, Sayang,” ujar Angela dengan suara lembut pada putrinya.“No, Mommy. Aku sudah bosan dengan barbie lamaku. Aku ingin barbie baruku, Mommy,” ucap gadis kecil itu dengan bibir yang mencebik kesal. Nada bicaranya terdengar manja dan keras kepala. Seolah tersirat apa yang diinginkan adalah hal yang wajib dituruti.Angela menghela napas dalam meredakan rasa kesal yang terbendung dalam dirinya. Xena Marco Foster adalah putri bungsu Angela dan Marco. Usia Xe
“Mom, I’m home!” Dakota—gadis kecil cantik melangkah masuk ke dalam rumah masih lengkap dengan seragam sekolahnya. Di belakang gadis itu ada dua pengasuh yang selalu menemaninya. Lantas Dakota melangkah menuju ruang makan. Gadis itu memiliki feeling kalau ibunya pasti ada di ruang makan. Karena di jam-jam seperti ini pasti ibunya selalu menyiapkan makanan.“Mom, aku sudah pulang.” Dakota kembali bersuara karena tadi ibunya tak mendengarnya. Dan benar saja, ketika Dakota tiba di ruang makan, ibunya itu tengah sibuk menata makanan. Jarak depan rumah ke ruang makan memang sangat jauh. Tak heran jika ibunya tak mendengar dirinya.“Oh, Sayang? Kau sudah pulang?” Helen langsung memeluk Dakota hangat dan memberikan kecupan lembut di kening putrinya itu.“Sudah, Mom. Aku sudah pulang. Mommy masak apa? Aku lapar sekali,” ujar Dakota seraya mengurai pelukannya.Helen tersenyum. “Mommy membuat pasta, salmon, steak, dan masih banyak lainnya. Ayo duduk. Sebentar lagi pasti Daddy dan adikmu turun.
Brakkk!Suara benda yang dibanting keras sontak membuat Miranda yang baru saja melangkah keluar kamar langsung terkejut. Refleks, Miranda berjalan cepat menghampiri sumber suara itu berasal. Dan seketika kala Miranda tiba di ruang tamu—dia terkejut melihat Audrey—putri sulungnya menbanting tumpukan buku hingga berserakan ke lantai.“Astaga, Sayang, kau kenapa membanting buku-bukumu seperti ini?” Suara Miranda berseru menatap tegas putri sulungnya yang tampak tengah marah.“Mama! Aku ingin menikah sekarang saja dengan Xander! Ayo bilang Papa, segera nikahkan aku dengan Xander!” Audrey melipat tangan di depan dada. Bibirnya tertekuk manja seperti biasanya. Wajah gadis cantik itu memancarkan kemarahannya.Kening Miranda mengerut, menatap bingung Audrey. Lantas wanita itu melangkah mendekat pada putrinya itu. “Ada apa, Sayang? Kenapa kau tiba-tiba pulang malah meminta menikah dengan Xander? Kau dan Xander memang dijodohkan, tapi kalian berdua belum cukup umur untuk menikah, Nak.” Miranda