“Apa yang kamu lakukan Mas? Kenapa kamu keluar dari kamar Arni?” Nafas Nana memburu. Wajah Nana memerah karena marah dan cemas. Semua pikiran buruk menghantui kepalanya.
Nana berusaha berpikir positif, tapi tidak bisa. Di tengah keremangan malam, dia tidak bisa memperhatikan bagaimana kondisi Roni sekarang. Apakah dia memakai baju lengkap? Apakah Roni kelelahan dan lain-lain? Dia ingin memastikan kalau pikiran buruknya tidak terbukti. Nana merasa jantungnya berdebar-debar saat berusaha memastikan keadaan Roni “Kamu salah paham Na.” Roni menekan saklar. Terangnya lampu membuat Nana bisa melihat semuanya dengan jelas. Roni berpakaian lengkap. Wajah pria itu terlihat khawatir. Ia mendekati sang istri lalu memegang tangan Nana erat. Nana merasa sedikit lega saat melihat Roni berpakaian lengkap “Jawab aku. Kenapa kamu keluar dari kamar Arni tengah malam seperti ini?” Suara Nana bergetar. Matanya berkaca-kaca. Siap menumpahkan air mata. “Saat aku keluar cari minum di atas, aku dengar Arni memanggil kita. Perutnya sakit karena dia baru datang bulan. Jadi aku belikan obat di apotek dua puluh empat jam. Baru saja aku memberi Arni obat lalu keluar kamar. Kamu malah curiga padaku,” ucap Roni meyakinkan. “Kamu serius?” tanya Nana. Matanya menatap tajam sang suami. Mencari kebohongan disana. “Tentu saja aku serius. Kamu bisa lihat kondisi Arni sekarang. Aku tidak tahu apa dia sudah tertidur atau belum.” Roni menunjuk kamar Arni. Tidak ada kebohongan yang terpancar dari wajahnya. Roni menjelaskan dengan sabar dan peduli “Tolong jangan curiga padaku Na. Apalagi menuduhku selingkuh dengan adik ipar. Walaupun Arni adalah adik tirimu. Kamu tahu sendiri aku paling takut dengan murkamu dan kemarahan Mama.” Roni memohon. “Baiklah. Aku percaya padamu. Naiklah ke lantai dua dulu. Aku mau memeriksa kondisi Arni.” Nana melepas pegangannya. Entah kenapa dia tidak percaya pada Roni. Padahal selama ini dia selalu percaya apapun yang Roni katakan. Perasaannya tidak nyaman. Seperti ada yang salah, tapi Nana tidak tahu apa yang terjadi. Nana merasa seperti ada yang menghantui pikirannya “Ya sudah aku naik dulu. Kalau Arni belum sembuh panggil aku, kita bisa pergi ke IGD sekarang.” “Iya Mas.” Nana memandang kepergian Roni. Dia memastikan sang suami masuk ke kamar mereka. Pintu kamar yang terlihat dari bawah tangga membuat Nana bisa memastikan kalau suaminya memang sudah masuk ke kamar mereka. Ia melangkah ke kamar adik tirinya. Mengetuk pintu tiga kali. “Kamu sudah tidur Ar?” tanya Nana. Tidak ada jawaban dari dalam. Nana memutar gagang pintu. Terbuka. Saat masuk ke kamar Arni, adiknya berbaring memunggungi pintu. Nana melihat plastik dengan logo apotek dua puluh empat jam di nakas samping tempat tidur. Dia menempelkan tangannya di kening Arni. Tidak panas. Nana memeriksa plastik berisi obat nyeri haid. Sayangnya dia masih curiga dengan Roni dan Arni. Ia mengambil salah satu obat. Memeriksa tanggal kadaluarsa. Matanya membulat saat melihat tanggal kadaluarsa desember 2024. Tangannya bergetar. Nana menggigit bibirnya untuk menahan amarahnya. Siap meledak jika dia tidak teringat dengan reaksi Roni tadi. Dengan tangan gemetar, Nana meletakan obat itu di tempatnya lagi. Dia memperhatikan punggung Arni yang naik turun. Matanya nyalang memeriksa sekitar. Biasanya jika Arni datang bulan, dia meletakan pemba*** di nakas. Arni bukan tipe orang yang rapi. Kamarnya cukup berantakan. Jika sedang niat, Arni akan merapikan kamarnya agar bersih. Namun Nana tidak melihat keberadaan benda itu. Dia ingin memeriksa laci nakas, meja rias hingga lemari. Sayangnya Nana harus menahan keinginannya karena tidak ingin Arni curiga. Perlahan dia keluar dari kamar Arni. Langkahnya goyah menuju dapur. Nana membekap mulut agar isak tangisnya tidak keluar. Air matanya mengalir deras. Rasa curiganya semakin besar. Nana takut jika Roni main api dengan Arni. Sekuat tenaga menghentikan tangis, akhirnya Nana bangkit. Dia tidak mau membuat Roni curiga. Nana membasuh wajahnya di kamar mandi. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah membasuh wajahnya lalu naik ke lantai dua. Saat masuk kamar, Roni sudah terlelap tidur. Dengkurannya nyaring seiring dengan dadanya yang naik turun. Wanita itu membuka laci nakas. Hendak mengambil obat karena kepalanya mendadak pusing. Namun dia justru menemukan obat tidur yang hampir habis. Setahu Nana, Roni tidak pernah mengkonsumsi obat itu. Ia berbalik hendak membangunkan Roni. Ingin bertanya apakah obat itu milik suaminya. Namun urung ia lakukan. Roni pasti akan mengelak. “Lebih baik aku cari tahu sendiri,” gumam Nana. Ia meremas bajunya untuk meredakan ketegangan. Menghela nafas berulang kali hingga tenang lalu meraih ponsel. Mengirim pesan pada kakak kandungnya yang punya toko kamera CCTV dan bisa meminta pegawainya memasang kamera tersembunyi di rumah ini. [Mbak. Besok tolong minta pegawaimu pasang kamera CCTV kecil di rumahku ya. Aku mau kamera CCTV yang bentuknya seperti bohlam lampu. Kameranya akan dipasang di seluruh penjuru rumah.] Nana memandang suaminya. Menaiki tempat tidur lalu melambaikan tangan di depan wajah Roni. Setelah memastikan jika Roni tidur, Nana turun. Memeriksa setiap laci dan lemari untuk mencari barang bukti. Tidak ada yang mencurigakan. Bahkan ia juga memeriksa hp Roni. Semua chat dan telepon tidak ada yang dihapus. Karena kakaknya adalah mantan programmer, Nana tahu cara membajak aplikasi pesan. Melihat pesan apa saja yang dihapus dalam riwayat dan trik kecil lainnya. Namun setelah memeriksa hp Roni, tidak ada yang mencurigakan. Barang terakhir yang belum ia periksa adalah keranjang cucian. Hanya ada baju kerja Roni selama dinas. Jika dipikir lagi saat Roni pergi, Arni juga pergi keluar kota dengan alasan mengunjungi desa tempat KKN bersama teman-teman sekelompoknya. Arni pulang sehari sebelum Roni dengan wajah bahagia. Ia membuka keranjang cucian itu. Nana merasa jantungnya berdebar-debar saat memeriksa keranjang cucian. Memeriksa satu per satu baju Roni. Mengendus kemeja dan kaos kotor. Nana mencium bau parfum yang tidak biasa pada kemeja Roni. Ia hafal bau sang suami. Termasuk parfum yang disukai Roni dan bagaimana baunya menempel lalu bercampur dengan keringat pria itu. “Parfum wanita,” gumam Nana. Hampir semua pakaian yang ia keluarkan punya aroma sama. Parfum wanita dengan bau yang familiar. Detak jantungnya kembali bertalu cepat. Nana yakin ini aroma parfum Arni. Sejak remaja, Arni menyukai parfum mahal yang bisa membuat wanginya menempel seharian. “Tidak salah lagi.” Nana memasukan semua baju kotor Roni dalam keranjang cucian. Dia masuk ke kamar mandi. Menyalakan keran wastafel lalu menangis sesenggukan. Hatinya sangat hancur. Pecah berkeping-keping. “Aku berjanji. Ini terakhir kalinya aku menangisimu Mas. Jika aku menemukan bukti valid kamu berselingkuh dengan Arni atau wanita lain, tunggu pembalasanku.” *** Pagi hari berjalan seperti biasa. Nana sudah memakai sedikit mekap untuk menyamarkan matanya yang bengkak karena menangis semalaman. Kakaknya juga sudah mengirim pesan kalau akan mengirim pegawainya jam sembilan pagi. Meskipun kakaknya sempat bertanya kenapa ia memesan kamera CCTV, Nana memendam kecurigaannya sendiri. [Akan aku ceritakan saat waktunya sudah tepat. Tolong jangan beri tahu Ayah, Mbak.] “Selamat pagi,” sapa Arni saat masuk ke ruang makan. Adik tirinya duduk disamping kiri Roni yang sudah siap dengan pakaian kerjanya. Nana merasa seperti ada yang menusuk hatinya saat melihat Arni dan Roni bersama. Si sulung bernama Arka duduk disamping kanan Arni. Menyapa tantenya dengan senyum ceria. Nana berusaha mengatur ekspresinya. Dia membalas senyum Arni. Nana memaksakan senyumnya untuk tidak memperlihatkan kecurigaannya.“Pagi. Hari ini kamu di kampus sampai malam Ar?” tanya Nana. Dia menata semua makanan yang sudah matang ke meja makan yang bundar.
Arni membantu menata piring. Mengisi setiap gelas dengan air. Termasuk gelas milik Roni. Dulu Nana menganggap sikap Arni wajar untuk membantunya. Namun sekarang dia baru menyadari kalau Arni dan Roni bertatapan penuh arti. Nana merasa seperti ada yang menusuk hatinya saat melihat tatapan Arni dan Roni. Ia merasa kesal dan tidak percaya saat melihat tatapan mereka. “Ehem.” Deheman Nana membuat suami dan adik tirinya membuang pandang. “Iya Mbak. Aku mau mengerjakan skripsi di perpustakaan. Ada skripsi senior yang ingin aku pinjam.” “Oh begitu.” Nana mengangguk. Dia tahu kalau skripsi senior yang dikumpulkan di perpustakaan tidak boleh dibawa pulang. Sejak mengerjakan skripsi, Arni kerap memakai alasan itu jika ia pulang malam. Tiba-tiba ia ingat Roni selalu lembur di saat yang bersamaan dengan Arni. “Ya sudah kami berangkat dulu sayang.” Roni bangkit. Mengecup kening Nana yang duduk disampingnya. Maher dan Arni menyalami tangannya. Dengan langkah perlahan Nana mengikuti di belakang. Baru ia sadari kalau mereka terlihat seperti keluarga kecil. Roni dan Arni menggandeng tangan Maher. Bercanda layaknya keluarga kecil. Roni dan Arni tidak menyadari kehadirannya. Ia memperhatikan dari balik pintu garasi, Roni membukakan pintu untuk Maher yang duduk di belakang. Setelah itu membukakan pintu depan untuk Arni. Pria itu mengecup bibir Arni cepat. Nana merasa seperti hatinya hancur saat melihat Roni mengecup bibir Arni.Pandangan Roni beralih pada Maher yang duduk di belakang. “Maher janji rahasiakan ini dari Mama ya.”
“Oke Yah.”Wajah Roni memucat. Begitu juga dengan Arni yang langsung menunduk. Tidak berani menatap Nana yang tengah mengamati ekspresi mereka. Saat Roni menatapnya, Nana pura-pura terkejut. Wanita itu batuk sampai menyemburkan sedikit air yang diminumnya.“Kok Maher bilang gitu sama Ayah?” tanya Nana pura-pura heran.“Soalnya.”“Maher salah paham saat melihatku dan Arni Dek. Posisi kami seperti berciuman padahal aku hanya membantu Arni memasang sabuk pengaman.” Roni buru-buru bicara.“Nggak kok,” bantah Maher kesal.“Sudah sayang. Nanti Maher ceritakan setelah pulang sekolah. Mama akan dengarkan,” kata Nana menengahi. Tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah Arni kian pucat. Nana takut adik tirinya akan pingsan sekarang.“Dek,” seru Roni memelas.“Tenang saja Mas. Aku percaya padamu. Namanya juga anak kecil. Maher hanya butuh didengar. Nanti aku yang luruskan setelah dia cerita.” Nana mengusap bahu sang suami mesra. Mengambil tisu lalu mengusap dahi Roni yang berkeringat dingin.Ia melirik A
“Kamu bicara apa sih Dek?” Roni membantah. Dengan tenang dia duduk disamping Nana.Pria itu mengangkat tangannya. Seolah menunjukkan perban yang tiba-tiba membelit pergelangan tangan kanannya. Nana tahu kalau Roni mengambil perban itu dari kotak P3K di mobil.“Lihat nih. Tadi tanganku nggak sengaja kena air panas waktu aku mau buat kopi. Jadi aku pergi ke apotek dua puluh empat jam lagi. Namun sampai sana apoteker menyuruhku periksa di klinik yang masih menyatu dengan apotek agar bisa diresepkan antibiotik. Ada beberapa orang yang sedang periksa. Jadi aku menunggu.” Roni menjelaskan kebohongannya dengan lancar. Mengalir begitu saja dari mulutnya.Nana berusaha mengatur wajahnya sebaik mungkin karena Roni terus menatapnya dengan pandangan menyelidik. Pria itu pasti sudah dengar alasannya tidak minum air yang disiapkan oleh Roni. Nana ingin berakting seapik mungkin seperti suaminya agar bisa mengambil semua hak yang sudah ia berikan pada Arni.“Oh begitu.” Nana mengangguk. Mengikuti per
Nana tidak sanggup lagi melihat layer ponselnya. Dia menutup rekaman itu. Hatinya memang hancur berkeping-keping, tapi tidak ada lagi air mata yang membasahi pipinya. Jika menuruti kata hati, Nana ingin memanggil ketua RT dan para warga lalu menggerebek mereka. Menelepon mertuanya agar datang kesini dan menunjukkan kalau Roni selingkuh.Semua bukti yang Nana dapat sudah lebih dari cukup. Dia bisa berpisah dari Roni, mendapat semua harta dan hak asuh anak-anak. Namun melihat perhiasan di kamar Arni, Nana ingin mengambil semuanya. Akan ia buat suami dan adik tirinya berada di titik terendah karena berani bermain api di belakangnya.“Aku harus tahu rencana mereka.” Nana membuka rekaman lagi.Ternyata Arni dan Roni baru saja berhubungan. Mereka bersandar ke tempat tidur. Arni bersandar di dada Roni. Memakai selimut hingga ke dada. Memperlihatkan bahu yang terbuka.“Apa kamu sudah memberi obat tidur ke Mbak Nana?”“Dia tidur sebelum aku memberinya air berisi obat tidur.”“Bagaimana kalau M
“Ma cium disini.” Maher menunjuk bibirnya.“Oke.” Nana mengecup sang putra cepat lalu mencium pipi gembil bayinya.“Kalau sama Mama dan Papa boleh, tapi Maher tidak boleh minta cium sama orang asing ya.” Nasihat Nana setiap kali Maher meminta ciumannya.“Kenapa Ma? Soalnya aku juga punya rahasia tentang itu.” Maher terkikik geli. Bocah itu mengayunkan kakinya pelan. Nana membantu Maher memakai sepatu. Posisi anaknya yang duduk di tempat tidur membuatnya lebih mudah membantu sang anak.“Rahasia sama temannya Maher ya?” tanya Nana penasaran. Bocah itu hanya menggeleng sambil tertawa. Lalu pergi ke ruang tengah untuk menonton TV.Nana teringat percakapannya dengan Maher beberapa hari lalu. Melihat adegan mesra di depan matanya, Nana yakin inilah rahasia yang dimaksud Maher. Meskipun dadanya terasa sangat sesak, tidak ada air mata yang mengalir. Dia sudah menumpahkan semuanya tadi malam. Nana bertekat tidak akan menangisi pria brengsek seperti Roni.Berbagai rencana tersusun di kepalanya.
“Apa yang kamu lakukan Mas? Kenapa kamu keluar dari kamar Arni?” Nafas Nana memburu. Wajah Nana memerah karena marah dan cemas. Semua pikiran buruk menghantui kepalanya.Nana berusaha berpikir positif, tapi tidak bisa. Di tengah keremangan malam, dia tidak bisa memperhatikan bagaimana kondisi Roni sekarang. Apakah dia memakai baju lengkap? Apakah Roni kelelahan dan lain-lain? Dia ingin memastikan kalau pikiran buruknya tidak terbukti. Nana merasa jantungnya berdebar-debar saat berusaha memastikan keadaan Roni“Kamu salah paham Na.” Roni menekan saklar.Terangnya lampu membuat Nana bisa melihat semuanya dengan jelas. Roni berpakaian lengkap. Wajah pria itu terlihat khawatir. Ia mendekati sang istri lalu memegang tangan Nana erat. Nana merasa sedikit lega saat melihat Roni berpakaian lengkap“Jawab aku. Kenapa kamu keluar dari kamar Arni tengah malam seperti ini?” Suara Nana bergetar. Matanya berkaca-kaca. Siap menumpahkan air mata.“Saat aku keluar cari minum di atas, aku dengar Arni m
“Bagaimana kalau aku menikah lagi Dek?” tanya Roni pada sang istri yang sibuk mengambil baju kotornya dari koper.Nana menghentikan gerakannya. Dia menoleh dengan kening mengernyit heran. Dadanya berdegup kencang, seolah ada gendang yang bertalu di dadanya. Nana merasa gelisah.“Kamu serius Mas?” Nana berusaha menahan getar dalam suaranya.Dia melihat pantulan diri di cermin. Matanya sudah berair. Wajahnya menyimpan bara amarah yang siap meledak jika perkataan Roni menjadi kenyataan.“Kamu tahu sendiri seperti apa sifatku Mas? Kalau kau benar-benar menikah lagi, kau tahu apa konsekuensinya,” jawab Nana ketus.Roni meneguk ludahnya gugup, merasa takut akan reaksi Nana. Pria itu paham sekali bagaimana sifat sang istri. Nana adalah orang yang lembut, ramah dan pengertian. Namun wanita itu tidak suka jika ada yang mengusik keluarganya. Nana akan berubah jadi orang yang pemarah dan mengeluarkan semua emosinya secara membabi buta.“Aku bercanda Dek.” Roni mengalihkan pandang ke jendela yang