Masuk
“Bagaimana kalau aku menikah lagi Dek?” tanya Roni pada sang istri yang sibuk mengambil baju kotornya dari koper.
Nana menghentikan gerakannya. Dia menoleh dengan kening mengernyit heran. Dadanya berdegup kencang, seolah ada gendang yang bertalu di dadanya. Nana merasa gelisah.“Kamu serius Mas?” Nana berusaha menahan getar dalam suaranya.
Dia melihat pantulan diri di cermin. Matanya sudah berair. Wajahnya menyimpan bara amarah yang siap meledak jika perkataan Roni menjadi kenyataan. “Kamu tahu sendiri seperti apa sifatku Mas? Kalau kau benar-benar menikah lagi, kau tahu apa konsekuensinya,” jawab Nana ketus. Roni meneguk ludahnya gugup, merasa takut akan reaksi Nana. Pria itu paham sekali bagaimana sifat sang istri. Nana adalah orang yang lembut, ramah dan pengertian. Namun wanita itu tidak suka jika ada yang mengusik keluarganya. Nana akan berubah jadi orang yang pemarah dan mengeluarkan semua emosinya secara membabi buta. “Aku bercanda Dek.” Roni mengalihkan pandang ke jendela yang terbuka untuk menghindari tatapan Nana. Terlihat langit malam dengan butiran bintang yang terlihat dari lantai dua kamar mereka. Jarum jam yang menunjukkan pukul sembilan malam membuat taburan bintang semakin terlihat jelas. “Bercandamu nggak lucu Mas.” Nana mendengkus kesal lalu melanjutkan kegiatannya. Menumpuk baju kotor sang suami ke dalam keranjang cucian. “Ehem. Ada salah satu teman kantor yang menikah lagi karena istrinya belum hamil,” jawab Roni tidak berani memandang Nana. “Tetap saja temanmu salah. Aku tidak tahu mereka sudah ikhtiar atau belum. Mencari letak masalahnya ada pada suami atau istri. Kalau memang mau punya keturunan, kembalikan dulu istri pertama pada keluarga, baru mencari wanita lain.” “Benar juga sih.” “Lagian aku sudah melahirkan anak-anak yang tampan dan cantik untukmu. Apa masih kurang juga?” Nana berkacak pinggang. “Tidak Dek. Maaf karena sudah membuatmu marah.” Roni bangkit. Mengecup kening istrinya mesra. Kebiasaan yang selalu bisa meredakan amarah Nana. Ekpresi Nana langsung berubah. Sudut bibirnya terangkat naik. Tidak bisa menyembunyikan senyum. “Aku maafkan. Jangan ulangi lagi ya.” “Siap.” Roni memberi hormat. Mereka tertawa karena tingkah konyol pria itu. Roni mengusap kepala istrinya sayang. Pernilkahan Roni dan Nana sudah berjalan delapan tahun. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang berusia tujuh tahun dan anak perempuan yang berusia tiga belas bulan. Dengan pekerjaan Roni sebagai manajer di kantor cabang perusahaan multinasional yang ada di Yogyakarta, dia bisa mendapat gaji pokok dua puluh juta per bulan. Gaji pokok Roni masuk ke rekening Nana. Sedangkan bonus-bonusnya masuk ke rekening Roni. Nana tidak ingin menguasai semua uang suaminya agar Roni bisa membeli kebutuhannya sendiri saat diluar rumah. Gaji sang suami yang ada di rekeningnya Nana gunakan untuk kebutuhan rumah tangga mereka dan anak-anak. Di awal pernikahan, jika dia ingin membeli baju atau perhiasan baru, Nana selalu ijin. “Apapun yang ingin kamu beli, lakukan saja. Toh uangku juga uangmu. Aku punya pegangan sendiri dari bonus perusahaan. Tidak perlu ijin padaku,” kata Roni kala itu. Sikap pengertian sang suami membuat Nana seperti diratukan. Ada asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan rumah. Saat anak pertama lahir, Roni pernah menawarkan mencari jasa baby sitter, tapi Nana menolak. Dia ingin mengasuh anaknya sendiri. “Anak-anak sudah tidur?” tanya Roni membuyarkan lamunan Nana. Wanita itu mengangguk. “Mungkin. Aku keluar dulu. Mau melihat anak-anak.” “Kalau begitu Mas mandi dulu ya. Gerah.” Nana menengok kamar bayi di sebelahnya. Si bungsu masih terlelap. Ia turun ke lantai satu dimana kamar si sulung berada. Baru saja menuruni tangga, ia melihat adik tirinya, Arni duduk di sofa ruang tengah. Sudah enam bulan Arni tinggal bersama mereka agar bisa melanjutkan kuliah. Setelah perusahaan ayah tirinya bangkrut dan tidak bisa membayar kuliah Arni lagi. Posisi sofa yang membelakangi tangga membuat Nana bisa melihat layar ponsel Arni. Perlahan dia berjalan mendekat. Membaca pesan yang dikirim pada kontak bertuliskan My Love R. [Jangan lupa malam ini ya Mas.] Kening Nana berkerut heran. Dia menepuk bahu adik tirinya hingga Arni terlonjak kaget. “Kamu mau keluar malam-malam begini Ar?” tanya Nana heran. Arni masih di posisinya. Belum menoleh pada Nana. Perempuan itu terdengar menghela nafasnya berulang kali. Setelah rasa kagetnya reda, Arni menoleh pada Nana. “Nggak Mbak.” Arni menyembunyikan ponselnya dibalik punggung. Wajahnya yang cukup pucat membuat Nana semakin curiga. Sejak tinggal di rumah ini, Arni jadi tanggung jawabnya. Tidak hanya masalah uang kuliah, tapi juga keamanan gadis itu. Nana memang melarang Arni keluar saat malam hari. Jika ingin jalan bersama teman kuliahnya, dia akan menyuruh Arni pulang maksimal jam delapan malam. “Aku janjian sama teman mau kirim tugas yang dikumpulkan besok. Dia baru sempat mengerjakan malam ini. Makanya aku kirim pesan biar dia nggak lupa sama tugasnya,” jawab Arni gugup. “Teman kuliahmu lebih tua?” tanya Nana heran. “Iya. Dia seniorku di kampus, tapi mengulang dua mata kuliah yang nggak lulus. Ya sudah aku masuk kamar dulu Mbak. Mau periksa tugas.” Arni bangkit lalu segera masuk ke kamarnya yang ada disamping kamar si sulung. Nana melanjutkan langkahnya menuju kamar si sulung. Memastikan anaknya sudah tidur lalu pergi ke dapur. Menuangkan air hangat untuknya dan Roni. Nana membawa kedua gelas air itu naik ke atas. Roni yang sudah selesai mandi sedang berganti baju dengan kaos berwarna putih dan celana abu-abu selutut. Pria itu mengambil alih gelas dari tangan Nana. “Kamu cuci tangan sama kaki dulu di kamar mandi Dek. Biar aku yang taruh gelasnya di nakas.” “Iya Mas.” Nana masuk kamar mandi. Mencuci tangan dan kakinya lalu keluar. Di tempat tidur, Roni memberikan salah satu gelas padanya. Pria itu sudah meminum airnya sendiri dengan mata yang terpaku pada Nana. Suara tangis bayi yang terdengar membuat Nana batal minum airnya. Wanita itu membawa gelas menuju kamar si bungsu. Bayi mungil yang baru berumur lima belas bulan. Setelah anaknya kembali terlelap, Nana meletakan bayinya di tempat tidur khusus bayi. Ia tidak sengaja menyenggol gelas hingga airnya membasahi lantai. “Astaghfirullah.” Wanita itu pergi ke dapur yang ada di lantai dua. Mengambil lap lalu membersihkan tumpahan air. Nana meletakan gelasnya di dapur lalu kembali ke kamar. Roni masih duduk di tempat tidur. Menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Kamu sudah minum airnya Dek?” “Hem,” gumam Nana karena ia sibuk mengancingkan dasternya setelah menyusui si bungsu. “Tidurlah sekarang. Kamu pasti lelah.” “Iya Mas.” Mereka berbaring. Nana menatap Roni yang menghela nafas lega. Wanita itu berpikir mungkin Roni juga khawatir dengan bayi mereka. Tangannya memeluk tubuh sang suami erat dengan mata yang terpejam. Betapa Nana merasa bersyukur memiliki suami sebaik Roni. *** Nana terbangun tepat saat jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam. Tangannya yang terulur ke depan hanya bisa meraba tempat tidur. Perlahan kelopak matanya terbuka. Tidak ada Roni yang berbaring disampingnya. “Mas kamu di kamar mandi?” tanya Nana dengan suara seraknya. Wanita itu perlahan bangkit. Menoleh ke kamar mandi yang ada di belakangnya. Lampu kamar mandi padam. Itu tandanya Roni tidak ada disana. Ia turun dari tempat tidur. Berjalan keluar kamar. Masuk ke kamar si bungsu. Tidak terlihat keberadaan Roni disana. “Dimana Mas Roni?” gumam Nana heran. Tidak ada tanda-tanda keberadaan sang suami di lantai dua. Akhir-akhir ini dia memang selalu terlelap sampai pagi saat tidur. Padahal dulu Nana adalah orang yang sensitif dengan suara berisik. Karena itulah Nana tidak tahu apakah Roni sering keluar pada malam hari atau tidak. Entah kenapa ia merasa sangat penasaran. Langkah kakinya membawa Nana turun ke bawah. Lantai satu juga tampak sepi. Tiga kamar yang terpakai di lantai satu redup karena semua penghuninya sudah tidur. “Apa Mas Roni keluar ya?” Baru saja ia akan memeriksa garasi, terdengar suara aneh dari kamar Arni. Nana tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Dia terpaku di tempat. Tidak lama kemudian, pintu kamar Arni terbuka. Dari cahaya lampu teras dan remangnya malam dia bisa melihat sosok yang keluar dari kamar adik tirinya. “Mas Roni.”“Apa maksud, Mbak Nana?” Arni pura-pura tidak tahu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arni masih ingin mendengar kata maaf dari Nana atas kemalangan yang selama ini menimpanya. Arni tidak ingin dinyatakan bersalah seorang diri.“Aku sudah tidak memikirkanmu lagi sejak perceraianku dengan Mas Roni. Bahkan setelah kau berusaha mengirim guna-guna padaku. Aku tidak berusaha membalas karena harus fokus bekerja dan membesarkan anak-anak seorang diri. Tidak ada Mas Roni yang membantu karena seperti yang kau tahu, dia dipenjara.” Nana menghela nafas sedih di seberang telepon. Arni tidak tahu kenapa Nana harus sedih saat menceritakan tentang Roni.Bukanklah Nana sudah tutup buku tentang kisah masa lalunya dengan Roni? Seperti yang sudah Arni lakukan sekarang. Tutup buku untul selamanya akan kisah cintanya yang benar-benar tragis. Arni tidak hanya kehilangan Roni, tapi juga kehilangan calon anak mereka. Seandainya anak itu masih ada, setidaknya Arni bisa menuntut bagian untuk dirinya sen
“Bagaimana bisa?” Arni kehilangan kata-kata. Dia tidak menyangka jika keluarga Roni akan mengetahui rencana busuk Pak Lucky dan Harno lebih dulu. Meskipun sampai sekarang dia tidak tahu rencana busuk apa yang pernah mereka rencanakan. Jika Nana tidak meneleponnya kala itu dan memberi tahu isi percakapannya dengan Harno, Arni tidak akan tahu kalau dia pernah masuk dalam jebakan Harno.“Karena ada kerabat Bu Retno yang baru bertugas menjadi sipir saat papaku dan Roni masuk penjara di rumah tahanan Sleman. Bu Retno meminta bantuan kerabatnya untuk selalu mengawasi Roni karena Bu Retno tidak ingin Roni berbuat hal buruk di penjara yang bisa menambah masa tahanannya,” kata Sania yang masih berbaik hati menjelaskan. Walapun dengan nada datar dan ekspres tak acuh.“Saat tahu rencana yang papaku dan Roni susun, kerabat itu memberi tahu Bu Retno. Kemudian, Bu Retno dan Diah meminta bantuan Nana agar aku dan Sahira bisa membantu,” ucap Sania.Arni terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Kehidupan di dalam penjara tidak begitu buruk untuk Arni. Setidaknya karena kesalahan yang ia lakukan bukan karena kasus yang dibenci oleh tahanan lain. Arni dipenjara karena terlibat dalam lingkaran korupsi yang dilakukan oleh Danu. Tidak ada laporan dari Suci sebagai istri sah Danu yang melaporkan Arni ke polisi. Jadi, dia merasa aman hingga sekarang.Rutinitasnya memang berjalan monoton, makanan di dalam penjara juga terasa hambar. Bahkan kadang tidak enak sama sekali, tapi itu jauh lebih baik daripada Arni terkurung di apartemen Harno lalu masuk dalam jebakan pria itu.Sesungguhnya sekarang Arni ingin melakukan proses pemindahan rumah tahanan. Agar sewaktu-waktu Pak Indra juga bisa mengunjunginya jika tidak ada ancaman dari Harno lagi. Namun, semua keluarga Pak Indra sudah memutus kontak dengan mereka sejak perusahaan keluarga bangkrut. Apalagi semua keluarga juga menyalahkan Pak Indra atas kebangkrutan itu dengan dalih tidak bisa mengurus perusahaan.Dulu saat Pak Indra dan Bu Ni
“Tidak mungkin. Bagaimana mereka bisa nekat menemuimu?” tanya ibu Harno dengan nada tidak percaya.Meskipun sekarang mereka bicara melalui sambungan telepon, tapi Harno bisa membayangkan ekspresi sang ibu sekarang. Dari nada suaranya yang sangat terkejut hingga mimik wajahnya yang tidak akan percaya dengan ucapan anaknya sendiri.“Aku akan mengirim rekaman CCTV di apartemen melalui email setelah ini agar Ibu bisa percaya. Selain itu, pokok percakapan yang ingin aku sampaikan adalah rencanaku dan Pak Lucky untuk menjebak Arni gagal karena ibu Roni punya kerabat di rumah tahanan itu dan menjadi informan untuknya. Karena itulah ibu Roni bisa meminta bantuan Sania lewat mantan menantunya yang merupakan sahabat Sania,” kata Harno menjelaskan awal mula duduk permasalahannya.“Rencanamu dan Pak Lucky sudah sempurna. Walaupun akhirnya anak-anak itu dan keluarga Roni tahu, tapi kau berhasil menyekap Arni dan Pak Indra. Bukankah cukup untuk melanjutkan rencana?” tanya ibu Harno yang menyela uca
Sekali lagi Harno dibuat terdiam oleh ancaman yang diberikan Sahira. Dia tidak bisa memungkiri jika Sahira amat terkenal sebagai pimpinan yang bijak untuk karyawannya sekaligus bengis untuk orang luar. Banyak orang yang bilang kalau sifat Sahira benar-benar turunan dari Pak Lucky dan kakeknya. Berbeda dengan Sania yang bisa menoleransi musuh dalam beberapa hal. Sahira tidak akan segan untuk menggunakan cara yang sama liciknya dengan para musuh.Harno berpikir cepat. Dia tidak mungkin melawan Sahira sekarang dan kehilangan semua harta yang sudah ia kumpulkan sejak masih bekerja di perusahaan ZY. Tidak. Harno tidak akan berani merelakannya. Apalagi sekarang dia juga sudah mendapat posisi strategis di perusahaan tempatnya bekerja sekarang dengan gaji yang sama besarnya seperti dulu.“Anda benar. Saya berjanji tidak akan berhubungan dengan Pak Lucky lagi ke depannya,” jawab Harno. Saat ini keputusan terbaik adalah mundur dengan cepat. Tidak ada lagi celah baginya untuk melawan Sahira.Uru
Mata Harno terbelalak lebar. Dia tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Selain sosok Sania, ada juga Sahira yang berdiri di belakang kakaknya. Empat pria dengan tubuh tinggi tegap, memakai kemeja dan celana berwarna hitam,serta dengan rambut mengkilap berdiri mengelilingi lift di belakang Sahira.Harno menelan ludahnya gugup. Pemandangan ini mengingatkannya seperti saat ibu Harno membawa pria itu ke hadapan Pak Lucky dua puluh tahun yang lalu. Mungkin hampir seperempat abad. Saat itu usia Harno masih kecil.“Bisa kita bicara di dalam unit apartemenmu. Ada yang harus aku dan adikku katakan padamu malam ini juga,” ucap Sania yang terdengar seolah berasal dari kejauhan. Padahal posisi Sania ada tepat di hadapannya.Baru Harno sadari kenapa pintu lift tidak tertutup setelah sekian lama dia berdiri diam dan tidak melangkah keluar. Rupanya ada pria kelima yang menekan tombol lift agar tidak tertutup. Harno ingin menekan tombol lift dari dalam dan kabur dari kepungan mereka. Namu







