LOGIN“Ma cium disini.” Maher menunjuk bibirnya.
“Oke.” Nana mengecup sang putra cepat lalu mencium pipi gembil bayinya.
“Kalau sama Mama dan Papa boleh, tapi Maher tidak boleh minta cium sama orang asing ya.” Nasihat Nana setiap kali Maher meminta ciumannya.
“Kenapa Ma? Soalnya aku juga punya rahasia tentang itu.” Maher terkikik geli. Bocah itu mengayunkan kakinya pelan. Nana membantu Maher memakai sepatu. Posisi anaknya yang duduk di tempat tidur membuatnya lebih mudah membantu sang anak.
“Rahasia sama temannya Maher ya?” tanya Nana penasaran. Bocah itu hanya menggeleng sambil tertawa. Lalu pergi ke ruang tengah untuk menonton TV.
Nana teringat percakapannya dengan Maher beberapa hari lalu. Melihat adegan mesra di depan matanya, Nana yakin inilah rahasia yang dimaksud Maher. Meskipun dadanya terasa sangat sesak, tidak ada air mata yang mengalir. Dia sudah menumpahkan semuanya tadi malam. Nana bertekat tidak akan menangisi pria brengsek seperti Roni.
Berbagai rencana tersusun di kepalanya. Dengan langkah mantap, Nana kembali ke dapur. Membereskan meja makan dalam hening. Menyisakan lauk untuk asisten rumah tangganya sepulang dari pasar lalu naik ke lantai dua.
Nana berdiam diri di kamar bayinya yang bernama Dinda. Melihat wajah yang sangat mirip dengan papanya. Bak pinang di belah dua. Hatinya memang sakit, tapi Nana tidak akan pernah membenci Dinda hanya karena mirip dengan ayahnya. Helaan nafasnya terdengar sangat berat. Padahal pagi ini ada pekerjaan via online yang harus ia lakukan. Namun Nana tidak punya semangat bekerja.
“Apa aku libur hari ini?” tanya wanita itu dalam keheningan kamar.
Jam sembilan pagi, pegawai kakaknya datang. Nana menemui asisten rumah tangganya yang bernama Mbak Wiwin. Wanita seumuran kakaknya yang berasal dari desa yang sama. Mbak Wiwin bekerja dari hari senin sampai jumat dengan gaji dua juta. Hari sabtu dan minggu Mbak Wiwin pulang ke rumah karena punya suami dan anak remaja yang harus ditengok.
“Mbak Wiwin ada yang mau aku bicarakan.” Nana menarik dua kursi meja makan. Tangannya mengisyaratkan agar Mbak Wiwin duduk disampingnya.
“Ya Mbak Nana. Sebentar.” Mbak Wiwin membilas tangannya lalu mengambil lap tangan. Matanya berkilat penasaran apa yang akan dibicarakan majikannya saat ia masih bekerja.
“Ada apa Mbak?” Mbak Wiwin duduk disampingnya.
“Aku minta pegawai kakakku memasang kamera CCTV berbentuk bohlam lampu di rumah ini. Tolong rahasiakan dari Mas Roni dan Arni. Rahasiakan juga dari Maher karena aku takut anak itu akan kecelosan bicara.” Nana menunjuk salah satu pegawai yang terlihat memasang kamera CCTV di ruang tengah.
Wajah Mbak Wiwin kaget. Matanya membulat dengan bibir sedikit terbuka. Ekspresi anehnya menarik perhatian Nana.
“Mbak Nana sudah tahu ya?” tanya Mbak Wiwin penuh misteri. Kelopak mata Nana mengerjap kaget. Dadanya berdegup kencang. Sepertinya Mbak Wiwin tahu sesuatu.
“Tentang apa?”
“Tentang Pak Roni dan Mbak Arni,” jawab Mbak Wiwin lugas.
“Mbak Wiwin tahu sesuatu?” tanya Nana berharap.
Sepertinya ada secercah harapan dimana dia bisa mengorek informasi. Setelah melihat kecupan Roni untuk Arni tadi.
“Sepertinya mereka selingkuh Mbak. Namun saya tidak bisa memberi bukti seperti foto atau video. Saya hanya memergoki mereka beberapa kali sangat dekat. Seperti Pak Roni yang merangkul Mbak Arni saat menemani Maher belajar. Mbak Arni besandar ke bahu Pak Roni hingga saya tidak sengaja melihat mereka ciuman. Sayangnya setiap saya datang mereka berlagak tidak terjadi apapun. Saya juga pura-pura tidak tahu, tapi memikirkan cara bagaimana memberi tahu Mbak Nana,” ucap Mbak Wiwin geram.
“Berapa lama Mbak Wiwin tahu tentang keanehan mereka?” tanya Nana datar. Berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
“Dua bulan lalu. Pertama kalinya saya melihat mereka pelukan di kamar Mbak Nana.” Jawaban Mbak Wiwin membuat pandangan Nana sedikit buram.
Dia menghela nafas perlahan. Membaca surat-surat pendek untuk menenangkan hati. Meredam amarah yang seperti api meletup. Meskipun sudah bertekat tidak akan lemah, Nana tetap goyah saat tahu kenyataan baru. Kemana dia selama ini? Kenapa bisa lengah?
“Maaf tidak memberi tahu Mbak Nana dulu. Saya takut Mbak Nana tidak percaya.” Mbak Wiwin memegang tangannya erat. Amarah di dada Nana sedikit turun. Emosinya lebioh stabil.
“Nggak masalah Mbak. Kamu benar. Kalau memberi tahuku tanpa bukti, aku mungkin menunduhmu berbohong. Lebih baik melihat langsung kebusukan mereka agar aku yakin menyusun langkah ke depannya.” Nana menghela nafas. Tangannya yang sangat dingin menghangat karena genggaman Mbak Wiwin.
“Kalau begitu saya boleh jemput Maher di sekolah? Mbak Nana istirahat dulu di rumah sambal mengawasi pemasangan CCTV. Nanti saya lanjutkan pekerjaan rumah. Tinggal mencuci piring dan menggosok baju kerja Pak Roni.”
“Iya Mbak. Terima kasih. Nanti tolong ajak Maher beli makanan di resto fried chicken agar tidak melihat pemasangan CCTV. Kalau sudah selesai makan, ajak saja main ke playground.” Nana memberikan uang dua ratus ribu.
“Waktunya berapa lama Mbak?”
“Dua jam.”
Mbak Wiwin mengangguk. Setelah kepergian Mbak Wiwin, Nana duduk di ruang tengah. Melihat pegawai yang sibuk memasang kamera CCTV. Nana menatap foto pernikahan yang terpajang di ruang tengah. Hatinya yang sudah hancur semakin remuk hingga tidak berbentuk lagi.
Ingatannya kembali ke masa lalu. Dulu Nana dan Roni menikah karena dijodohkan. Orang tua Roni adalah rekanan bisnis perusahaan papa tirinya. Ibu Nana sengaja menjodohkan mereka agar Nana tidak menikah dengan pria yang tidak ia setujui. Seperti kakaknya yang menikah dengan pria yang ibunya anggap miskin.
Roni memberikan mahar yang cukup dan menyediakan rumah ini sebelum mereka menikah. Selain itu, ibu mertuanya membuat surat perjanjian, jika Roni selingkuh atau menikah lagi maka semua harta yang akan diwariskan untuk Roni, dihibahkan atas nama Nana.
“Mungkin surat perjanjian itu yang membuat Mas Roni tidak berani mengakui hubungannya dengan Arni,” gumam Nana.
Dua jam berlalu tanpa terasa. Pemasangan kamera CCTV sudah selesai. Nana juga sudah menguji coba kamera yang terhubung dengan ponsel dan laptopnya. Saat Mbak Wiwin dan Maher pulang, anak itu menghambur dalam pelukannya. Nana berusaha menahan tangis. Membayangkan mata anaknya sudah ternoda dengan perbuatan tidak bermoral ayah dan tantenya.
“Mama tadi aku beli gantungan kunci angry bird. Bagus bangetkan?” Maher menunjukkan gantungan tasnya. Tersenyum riang seperti mendapat hadiah besar.
“Wah bagus banget. Sekarang kita masuk kamar yuk. Maher ganti baju, cuci tangan dan kaki baru bisa main sama Adek.” Nana menurunkan anaknya. Menggandeng si sulung menuju kamar.
Bibirnya bergerak samar. Mengucapkan terima kasih. Mbak Wiwin mengangguk.
***
Jarum jam terus berputar hingga menunjukkan pukul setengah lima sore. Anak-anak sedang bermain dengan Mbak Wiwin. Nana sedang di kamar Arni menggunakan kunci cadangan. Membuka satu per satu laci di nakas. Tidak ada pemb***. Berpindah ke lemari Arni. Banyak gaun tidur transparan dengan berbagai warna.
“Apa mereka sering bermain?”
Nana mengambil semua gaun tidur itu. Ingin tahu reaksi adik tiri dan suaminya jika tidak ada barang ini. Lalu ia berpindah ke laci meja rias. Barang pertama yang ia lihat adalah kotak perhiasan. Matanya membulat tidak percaya melihat kalung berlian. Belum lagi dengan cincin, gelang dan anting. Jika ditotal harganya tiga puluh juta. Dua kali lipat perhiasan yang dibeli Roni untuknya. Jantungnya seperti tersayat sembilu. Membayangkan jika Roni yang membelikan perhiasan ini.
Tangan Nana gemetar. Dia melihat tanggal pembelian di nota. Satu bulan lalu. Tidak mungkin papa tirinya yang membelikan perhiasan ini. Pasti Roni, suaminya. Nana memotret semua perhiasan itu dengan luka di hati yang menganga. Ia mengembalikan ke tempatnya semula. Tidak ada lagi barang yang mencurigakan.
Ponselnya yang bergetar mengalihkan perhatian Nana. Ada pesan dari Roni.
[Hari ini aku lembur Ma. Kamu mau dibawain apa?]
Senyum sinis tersungging di bibir tipisnya. Nana terus merutuki kebodohannya yang tidak peka dengan tanda-tanda perselingkuhan suami dan adik tirinya.
[Tolong belikan buah nanas Mas. Nanti kita makan bersama Arni.]
[Oke.]
Jam setengah tujuh malam, Roni pulang. Pria itu melebarkan tangannya saat Maher berlari. Menghambur dalam pelukan papanya.
“Assalamualaikum jagoan.”
“Waalaikumsalam Yah.”
Nana menyalami tangan suaminya. Dia mengambil kantung plastik berisi dua nanas yang sudah dikupas.
“Terima kasih Mas. Kamu mandi terus ganti baju.”
“Iya sayang.” Roni mengecup kening Nana lalu berjalan menuju lantai dua. Nana menyeka dahinya jijik. Tidak nyaman dicium suaminya sendiri. Padahal dia belum punya bukti konkrit kalau suami dan adik tirinya selingkuh.
Jam delapan malam, Arni baru pulang. Jantung Nana berdegup kencang melihat kedatangan adik tirinya. Dia menyapa anak-anak dengan gaya centil lalu masuk kamar. Nana menghela nafas. Berusaha sabar menjalankan rencananya malam ini.
Saat waktunya tidur, Nana pura-pura tidur lebih dulu. Dia mendengar Roni masuk kamar lalu duduk disampingnya.
“Yah Nana sudah tidur. Aku masukan saja obatnya sekarang.”
Dari balik punggung Roni, Nana mengintip. Dia melihat Roni memasukan obat tidur dalam segelas air lalu keluar kamar. Terdengar derap langkah suaminya yang berjalan turun. Nana mengunci pintu lalu meraih ponsel. Melihat rekaman di kamar Arni.
Terlihat suami dan adik tirinya duduk di tempat tidur. Saling berciuman mesra lalu membuka baju satu sama lain.
“Aku cinta kamu Ar. Melebihi cintaku pada Nana.”
“Apa maksud, Mbak Nana?” Arni pura-pura tidak tahu. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Arni masih ingin mendengar kata maaf dari Nana atas kemalangan yang selama ini menimpanya. Arni tidak ingin dinyatakan bersalah seorang diri.“Aku sudah tidak memikirkanmu lagi sejak perceraianku dengan Mas Roni. Bahkan setelah kau berusaha mengirim guna-guna padaku. Aku tidak berusaha membalas karena harus fokus bekerja dan membesarkan anak-anak seorang diri. Tidak ada Mas Roni yang membantu karena seperti yang kau tahu, dia dipenjara.” Nana menghela nafas sedih di seberang telepon. Arni tidak tahu kenapa Nana harus sedih saat menceritakan tentang Roni.Bukanklah Nana sudah tutup buku tentang kisah masa lalunya dengan Roni? Seperti yang sudah Arni lakukan sekarang. Tutup buku untul selamanya akan kisah cintanya yang benar-benar tragis. Arni tidak hanya kehilangan Roni, tapi juga kehilangan calon anak mereka. Seandainya anak itu masih ada, setidaknya Arni bisa menuntut bagian untuk dirinya sen
“Bagaimana bisa?” Arni kehilangan kata-kata. Dia tidak menyangka jika keluarga Roni akan mengetahui rencana busuk Pak Lucky dan Harno lebih dulu. Meskipun sampai sekarang dia tidak tahu rencana busuk apa yang pernah mereka rencanakan. Jika Nana tidak meneleponnya kala itu dan memberi tahu isi percakapannya dengan Harno, Arni tidak akan tahu kalau dia pernah masuk dalam jebakan Harno.“Karena ada kerabat Bu Retno yang baru bertugas menjadi sipir saat papaku dan Roni masuk penjara di rumah tahanan Sleman. Bu Retno meminta bantuan kerabatnya untuk selalu mengawasi Roni karena Bu Retno tidak ingin Roni berbuat hal buruk di penjara yang bisa menambah masa tahanannya,” kata Sania yang masih berbaik hati menjelaskan. Walapun dengan nada datar dan ekspres tak acuh.“Saat tahu rencana yang papaku dan Roni susun, kerabat itu memberi tahu Bu Retno. Kemudian, Bu Retno dan Diah meminta bantuan Nana agar aku dan Sahira bisa membantu,” ucap Sania.Arni terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
Kehidupan di dalam penjara tidak begitu buruk untuk Arni. Setidaknya karena kesalahan yang ia lakukan bukan karena kasus yang dibenci oleh tahanan lain. Arni dipenjara karena terlibat dalam lingkaran korupsi yang dilakukan oleh Danu. Tidak ada laporan dari Suci sebagai istri sah Danu yang melaporkan Arni ke polisi. Jadi, dia merasa aman hingga sekarang.Rutinitasnya memang berjalan monoton, makanan di dalam penjara juga terasa hambar. Bahkan kadang tidak enak sama sekali, tapi itu jauh lebih baik daripada Arni terkurung di apartemen Harno lalu masuk dalam jebakan pria itu.Sesungguhnya sekarang Arni ingin melakukan proses pemindahan rumah tahanan. Agar sewaktu-waktu Pak Indra juga bisa mengunjunginya jika tidak ada ancaman dari Harno lagi. Namun, semua keluarga Pak Indra sudah memutus kontak dengan mereka sejak perusahaan keluarga bangkrut. Apalagi semua keluarga juga menyalahkan Pak Indra atas kebangkrutan itu dengan dalih tidak bisa mengurus perusahaan.Dulu saat Pak Indra dan Bu Ni
“Tidak mungkin. Bagaimana mereka bisa nekat menemuimu?” tanya ibu Harno dengan nada tidak percaya.Meskipun sekarang mereka bicara melalui sambungan telepon, tapi Harno bisa membayangkan ekspresi sang ibu sekarang. Dari nada suaranya yang sangat terkejut hingga mimik wajahnya yang tidak akan percaya dengan ucapan anaknya sendiri.“Aku akan mengirim rekaman CCTV di apartemen melalui email setelah ini agar Ibu bisa percaya. Selain itu, pokok percakapan yang ingin aku sampaikan adalah rencanaku dan Pak Lucky untuk menjebak Arni gagal karena ibu Roni punya kerabat di rumah tahanan itu dan menjadi informan untuknya. Karena itulah ibu Roni bisa meminta bantuan Sania lewat mantan menantunya yang merupakan sahabat Sania,” kata Harno menjelaskan awal mula duduk permasalahannya.“Rencanamu dan Pak Lucky sudah sempurna. Walaupun akhirnya anak-anak itu dan keluarga Roni tahu, tapi kau berhasil menyekap Arni dan Pak Indra. Bukankah cukup untuk melanjutkan rencana?” tanya ibu Harno yang menyela uca
Sekali lagi Harno dibuat terdiam oleh ancaman yang diberikan Sahira. Dia tidak bisa memungkiri jika Sahira amat terkenal sebagai pimpinan yang bijak untuk karyawannya sekaligus bengis untuk orang luar. Banyak orang yang bilang kalau sifat Sahira benar-benar turunan dari Pak Lucky dan kakeknya. Berbeda dengan Sania yang bisa menoleransi musuh dalam beberapa hal. Sahira tidak akan segan untuk menggunakan cara yang sama liciknya dengan para musuh.Harno berpikir cepat. Dia tidak mungkin melawan Sahira sekarang dan kehilangan semua harta yang sudah ia kumpulkan sejak masih bekerja di perusahaan ZY. Tidak. Harno tidak akan berani merelakannya. Apalagi sekarang dia juga sudah mendapat posisi strategis di perusahaan tempatnya bekerja sekarang dengan gaji yang sama besarnya seperti dulu.“Anda benar. Saya berjanji tidak akan berhubungan dengan Pak Lucky lagi ke depannya,” jawab Harno. Saat ini keputusan terbaik adalah mundur dengan cepat. Tidak ada lagi celah baginya untuk melawan Sahira.Uru
Mata Harno terbelalak lebar. Dia tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya. Selain sosok Sania, ada juga Sahira yang berdiri di belakang kakaknya. Empat pria dengan tubuh tinggi tegap, memakai kemeja dan celana berwarna hitam,serta dengan rambut mengkilap berdiri mengelilingi lift di belakang Sahira.Harno menelan ludahnya gugup. Pemandangan ini mengingatkannya seperti saat ibu Harno membawa pria itu ke hadapan Pak Lucky dua puluh tahun yang lalu. Mungkin hampir seperempat abad. Saat itu usia Harno masih kecil.“Bisa kita bicara di dalam unit apartemenmu. Ada yang harus aku dan adikku katakan padamu malam ini juga,” ucap Sania yang terdengar seolah berasal dari kejauhan. Padahal posisi Sania ada tepat di hadapannya.Baru Harno sadari kenapa pintu lift tidak tertutup setelah sekian lama dia berdiri diam dan tidak melangkah keluar. Rupanya ada pria kelima yang menekan tombol lift agar tidak tertutup. Harno ingin menekan tombol lift dari dalam dan kabur dari kepungan mereka. Namu







