Mata Arni membulat kaget. Wanita itu menggeleng dengan tangan menyilang. “Nggak Mbak. Aku nggak bilang apapun kok.”“Arni benar sayang. Dia salah bicara.” Roni maju. Merangkul. Bahu Nana mesra.Acara ulang tahun Bu Retno diadakan di rumahnya yang cukup besar. Karena hari ini adalah hari minggu semua anak, cucu dan kerabat berkumpul. Ada kue ulang tahun dan tumpeng yang sengaja dipesan agar anak-anak senang. Nana sengaja berkumpul bersama kedua adik iparnya. Mengabaikan Arni sendiri. Padahal setiap diajak ke rumah ini, Nana tidak pernah meninggalkan Arni karena tahu adik tirinya tidak akrab dengan siapapun.Tidak terasa suara adzan dhuhur bergema. Nana menidurkan Dinda dan Maher di kamar Roni saat bujang dulu. Entah dimana suaminya sekarang. Nana tidak perduli. Mbak Wiwin yang sudah salat dhuhur masuk menjaga anak-anak.“Kunci pintunya Mbak. Nanti aku bilang sama Mas Roni kamu ada di kamarnya sedang menjaga anak-anak biar dia nggak sembarangan masuk.”“Iya Mbak Nana.”Wanita itu keluar
“Mama.” Suara Maher membuyarkan lamunannya.Nana jongkok dengan kedua tangan terbuka. Balas memeluk Maher yang menghambur dalam pelukannya. Wanita itu menahan tangis. Pikirannya kembali bercabang. Ia ingin berpisah dari Roni, tapi bagaimana dengan anak-anak?“Adek mau sama Mama juga,” ucap Tari mendengar celoteh Dinda.“Sini sayang. Mama masih kuat gendong Mas dan Adek.” Nana mengambil alih Dinda dari gendongan kakaknya.Menguatkan hati dan pikiran yang terhimpit beban berat. Dia tidak bisa memutuskan semua ini sendiri. Nana butuh kakak dan ayahnya untuk memberi masukan. Setelah hatinya tenang, Nana menurunkan Maher. Wanita itu tetap menggendong si bungsu. Mereka masuk ke lift bersama.“Kamu sudah punya punya kartu akses Na? Bukannya kalau mau dapat kartu akses harus menunggu satu kali dua puluh empat jam?” tanya Tari heran.“Tenang saja Mbak. Aku mengambil kartu akses Mas Roni saat kami mau turun tadi.” Nana menepuk tasnya.Saat Roni memeluk pinggangnya erat, diam-diam Nana mengambil
“Loh Arni. Kamu tahu apartemen ini juga?” tanya Nana heran. Berusaha menahan gemuruh dalam dadanya.Apalagi tadi ia melihat senyum bahagia Arni di foto pernikahan dengan Roni. Dadanya kembali sesak mengingat itu semua.“A—aku, aku,” ucap Arni bingung.Nana bangkit. Berjalan mendekati Arni yang sudah bergetar ketakutan. Ia menatap mata adik tiri sekaligus adik madunya yang berair. Siap menumpahkan air mata ketakutan. Nana tidak segan memperlihatkan wajah curiganya di depan Arni. Melihatnya ketakutan sungguh menyenangkan.“Kenapa kamu tegang seperti ini Ar. Ayo masuk.” Nana merangkul Arni. Mencengkram bahunya erat. Menyalurkan emosi yang selama ini dia tahan.Roni hanya bisa bergeming. Tidak berani mendekati kedua istrinya yang duduk di sofa. Alih-alih menutup pintu yang masih terbuka. Dadanya berdegup kencang seperti hampir meledak. Jika ada pintu kemana saja, Roni ingin pergi dari situasi ini sekarang juga.“Tolong bawakan air untuk Arni lalu tutup pintunya Mas.” Perintah Nana lembut.
Lututnya lemas. Matanya memanas. Siap menumpahkan air mata. Nana tersungkur. Menahan isak tangis yang hendak keluar. Ditatapnya foto pernikahan suami dan adik tirinya. Di foto itu pasangan pengantin tersenyum sumringah. Papa tirinya duduk disamping Roni. Menunjukkan senyum lima jari dan wajah bangga. Sedangkan ibunya duduk disamping Arni. Menatap datar ke arah kamera.“Ya Allah. Rasanya sesak sekali.” Nana tergugu. Tidak bisa menahan isak tangisnya.Air matanya sudah habis untuk penghianatan Roni. Namun melihat ibu kandungnya ada di foto ini membuat Nana merasa dihianati untuk yang kedua kalinya. Nana kira selama ini ibunya selalu ada di pihaknya, tapi justru ada di pihak Arni.Ia menghela nafas berulang kali. Berusaha menenangkan diri. Menyibak rambut panjangnya yang menutup telinga. Setelah tenang, Nana mengambil foto lain lalu memasukannya dalam tas. Tidak hanya foto pernikahan, mereka juga melakukan foto pre wedding. Bagus sekali. Ini semua bisa jadi bukti untuknya.Selain foto, a
Nana sembunyi dibalik mobil yang berhenti di depannya. Ia melihat kaca jendela mobil itu diturunkan. Tampak Arni yang duduk disamping Roni tengah merengut kesal. Suaranya yang menggelegar menarik perhatian banyak orang.“Tolong pelankan suaramu Ar. Kita sedang di tempat umum.” Roni melotot tajam.Pria itu menghela nafas kesal. Menatap sekitar takut. Matanya terpaku pada mobil Nana yang terparkir di depan gerbang apartemen. Namun ia tidak menyadari keberadaan istrinya saat ini.Sementara itu, Nana yang melihat kalau Roni tahu mobilnya ada disini, segera mengambil hp. Perlahan keluar dari persembunyian. Ia memandang mobil Roni yang sudah menutup kaca jendelanya.“Mas Roni,” panggil Nana berlari mendekati suaminya.Ia harus berakting panik dan mencari tahu kenapa suaminya bisa ada disini. Firasatnya mengatakan kalau Roni sudah terbiasa ke tempat ini. Nana menggedor kaca jendela disamping Roni yang buram. Dia melihat Arni berpindah ke kursi belakang lalu sembunyi di bawah.Roni menurunkan
Wajah Roni memucat. Begitu juga dengan Arni yang langsung menunduk. Tidak berani menatap Nana yang tengah mengamati ekspresi mereka. Saat Roni menatapnya, Nana pura-pura terkejut. Wanita itu batuk sampai menyemburkan sedikit air yang diminumnya.“Kok Maher bilang gitu sama Ayah?” tanya Nana pura-pura heran.“Soalnya.”“Maher salah paham saat melihatku dan Arni Dek. Posisi kami seperti berciuman padahal aku hanya membantu Arni memasang sabuk pengaman.” Roni buru-buru bicara.“Nggak kok,” bantah Maher kesal.“Sudah sayang. Nanti Maher ceritakan setelah pulang sekolah. Mama akan dengarkan,” kata Nana menengahi. Tidak sanggup menahan tawanya melihat wajah Arni kian pucat. Nana takut adik tirinya akan pingsan sekarang.“Dek,” seru Roni memelas.“Tenang saja Mas. Aku percaya padamu. Namanya juga anak kecil. Maher hanya butuh didengar. Nanti aku yang luruskan setelah dia cerita.” Nana mengusap bahu sang suami mesra. Mengambil tisu lalu mengusap dahi Roni yang berkeringat dingin.Ia melirik A