Share

Kedatangan Aluna.

Author: iva dinata
last update Huling Na-update: 2025-10-20 17:37:41

Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memaninkan ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papa juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini.

"Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget.

"Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar.

Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus.

"Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju.

Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram.

Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan.

Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih berdiam diri di tempatnya menatapku dengan sorot mata sendu.

"Kenapa masih berdiri? Tidak ada yang melarangmu duduk." Dirga berbicara. Ekspresinya datar tapi nada bicara seperti sedang menyindir.

Sejak kecil Dirga memang tidak menyukai Mbak Aluna. Dan awal mula aku selalu bertengkar dengan Dirga, juga karena putra Om Dimas itu selalu membuat Mbak Aluna menangis.

Mbak Aluna menatap Dirga beberapa saat, lalu tersenyum tipis. "Halo, Dirga. Apa kabar? Lama tidak bertemu," sapanya dengan ramah.

"Baik," jawab Dirga acuh tak acuh. Lagi-lagi wajah Mbak Aluna dibuat masam. "Aku di ruang tamu, kalau ada apa-apa panggil saja," imbuhnya sembari memandangku dan langsung kujawab anggukan.

Setelahnya pria itu pun masuk, dan Mbak Aluna mulai berbicara.

"Kamu masih marah?" tanyanya diluar ekspektasiku.

Aku mengangkat satu alisku. "Masih perlu itu ditanyakan?"

Hanya orang yang memiliki kesabaran seluas lautan yang tidak akan marah saat dikhianati. Dan itu pastinya bukan aku.

Mbak Aluna menarik nafas panjang, wajahnya berubah memerah dan matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat aku merasa iba, namun segera kutepis jauh-jauh rasa itu. Dia jauh lebih tega padaku.

"Aku minta maaf, aku tahu kamu kecewa tapi aku dan Mas Arka punya alasan."

"Ok, jelaskan!" Tak ingin basa-basi dan banyak drama. Aku pun langsung memintanya menjelaskan.

Mbak Aluna nampak kaget. Dahinya berkerut. Mungkin tidak menduka responku akan seperti ini.

Selama ini aku selalu bersikap lunak padanya. Apapun yang dia katakan aku percaya. Apapun yang dia suruh aku lakukan. Meskipun itu melanggar peraturan yang Papa buat.

Setiap kali dia membuatku kesal, aku akan langsung memaafkannya hanya karena wajah memelasnya

"Mungkin penjelasanku akan membuatmu sakit hati dan kecewa. Tapi... inilah kenyataannya."

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, rasa tak sabar menunggu kelanjutan kalimat Mbak Aluna.

"Sebenarnya aku dan Mas Arka sudah sejak lama saling mencintai."

Degh.....

Ada yang berdenyut nyeri di dalam sana. Jawabannya menusuk jantungku. Membuat luka baru diantara luka lama yang masih menganga.

"Sejak lama saling mencintai?" Kutatap kakakku itu lekat.

"Iya."

"Mbak sadar kan, Mas Arka itu kekasihku?" Setega itukah dia, mencintai kekasih adiknya sendiri?

"Aku sadar Nara. Tapi yang sebenarnya Mas Arka cintai itu aku. Dia mendekatimu untuk mencari perhatianku. Kamu salah faham dan malah menyatakan cinta padanya. Karena tidak ingin membuatmu patah hati, Mas Arka terpaksa pura-pura mencintaimu."

Berpura-pura mencintaiku?

Tanganku mengepal erat, berusaha menahan gemuruh di dalam dada.

"Saat kamu kuliah di luar negeri, kami sering bertemu karena pekerjaan, itu membuat kami semakin dekat. Dan hari itu Mas Arka menyatakan perasaannya. Awalnya aku sudah menolak tapi Mas Arka tak menyerah, dia melakukan banyak hal untukku. Aku sendiri juga tak ingin lagi membohongimu perasaanku, aku mencintai Mas Arka. Aku menerimanya dan kami memutuskan untuk menikah."

Seperti hujaman pisau, setiap kata yang keluar dari mulut Mbak Aluna menembus dada dan menggoreskan ribuan luka di hatiku. Sakit, sangat sakit sekali.

Meski begitu, aku berusaha menahan air mataku agar tidak meluruh. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya. "Harusnya kalian jujur dari awal, jangan mengkhianatiku seperti ini."

Mbak Aluna tak menimpali. Hanya menatapku sendu. Entah merasa bersalah atau menyesal, aku juga tidak bisa memahami arti ekspresi wajahnya.

"Nara, aku tahu kamu marah dan kecewa. Tapi tolong fahamilah perasaan kami. Cinta tidak bisa dipaksakan."

"Bagaimana dengan perasaanku? Apa kalian bisa memahaminya?"

Mbak Aluna terdiam.

"Pulanglah, Mbak. Aku ingin sendiri,"

Mbak Aluna menggeleng, diraihnya tanganku. "Pulanglah bersamaku. Mama sangat merindukan,"

"Aku tidak mau,"

"Nara, aku mohon. Ayo pulang. Kasihan Mama sama Papa. Gara-gara kamu pergi, setiap hari mereka bertengkar. Pagi tadi Mama bahkan mengancam akan menggugat cerai Papa,"

Mataku seketika melebar. "Mama mau cerai?"

"Iya. Makanya, kamu ikut aku pulang," ajaknya lagi menarik tanganku, namun segera kutepis.

"Pulanglah sendiri! Nanti aku akan menelpon Mama."

Seperti tak mendengar, Mbak Aluna terus membujukku untuk pulang. Dia juga berjanji akan keluar dari rumah asalkan aku ikut pulang bersamanya.

Mendengar bujukannya membuatku jengah. Aku pun bangkit lalu melangkah pergi. Namun Mbak Aluna mengikuti.

"Nara, kamu mau kemana? Mbak belum selesai bicara," katanya masih menjajari langkahku yang mulai menuruni tangga. Berulang kali aku menepis tangannya yang terus memegangi lenganku.

"Nara aku tahu kami marah tapi jangan seperti ini."

"Lepas!!" bentakku menyentak tangannya kasar.

Dan tak kusangka gerakanku itu membuat tubuhnya oleng dan...

"Akh...." teriak Aluna.

"Astaga.... Mbak." Aku berusaha meraih tangan Mbak Aluna namun tak sampai. Wanita dengan sepatu high heels itu pun akhirnya terjatuh.

"Nara ada apa?" Dari dalam rumah Dirga berlari.

"Mbak Aluna jatuh." Aku menunjuk Mbak Aluna.

Tanpa bicaraa, Dirga merunduk hendak menolong Mbak Aluna saat sebuah teriakan terdengar.

"Aluna!!" Seorang pria keluar dari mobil lalu berlari mendekat.

"Mas, kakiku sakit," keluh Mbak Aluna sambil menangis. Aku yang masih dalam keterkekjutan hanya terpaku sembari menatap pria itu dalam diam.

"Kamu apakan Aluna?" bentak pria itu menatapku tajam.

"Mas Arka?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku    Kondisinya kritis dan tak sadarkan diri selama dua hari.

    Keyra menarik paksa Nara masuk ke dalam mobilnya. Setelahnya mendekati Tristan menjelaskan sesuatu, lalu kembali masuk ke dalam mobilnya. "Sebenarnya ada apa sih?" tanya Nara sambil mengeritkan dahi. Sikap Keyra membuatnya bingung juga takut. "Ini darurat. Kamu harus ikut aku ke rumah sakit, kalau kamu gak mau menyesal nantinya." Nara menatap sepupunya itu tajam. "Kamu itu kalau bicara yang jelas! Jangan bikin orang takut dan panik gara-gara tingkahmu yang mendadak aneh. Sekarang jelasin siapa yang sakit?" omelnya. Ceritanya nanti saja di rumah sakit. Sekarang pasang sabuk pengamanmu. Aku mau ngebut," jawab Keyra menatap lurus ke depan. Jalanan pagi ini cukup ramai. Dia butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai lebih cepat. Detik berikutnya mobil pun melaju. Tak sampai setengah jam mereka sudah sampai di rumah sakit kota. Keyra turun lebih dulu. Lalu menggandeng Nara masuk. "Tunggu!" Nara menahan tangannya. Dan seketika langkah keduanya terhenti. "Kamu belum jawab, sebenarnya

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku   Hilang respect.

    "Mana Mama, Pa?" tanya Nara saat melihat papanya sarapan seorang diri. "Sudah berangkat duluan," jawab Rendy di sela-sela mengunyah makanannya. "Kamu mau keluar?" lanjutnya memandang putri bungsunya yang sudah rapi. Nara mengurai senyum tipis sambil mengangguk. Tanganya menarik sandaran kursi dan mendudukkan dirinya. "Mau nambah, Pa?" tanyanya basa basi sembari menyendok nasi goreng ke atas piringnya. "Sudah cukup," tolak Rendy. Pria paruh baya itu menelan makanannya lalu menyesap jus jeruknya. Sementara Nara menikmati sarapannya sambil memainkan ponselnya. "Kamu mau kemana?" Nara mengangkat kepalanya sebentar lalu kembali fokus dengan benda pintar di tangannya. "Mau fitting baju sama Tristan," jawabnya. Senyum lebar seketika muncul di bibir Rendy. Ada kelegaan di wajah yang sudah mulai keriput itu. "Papa lega, kamu memilih menikah dengan Tristan. Papa lihat dia benar-benar mencintaimu," Ucapan Rendy mengusik Nara. Ada rasa tak percaya mendengar kalimat yang kelua

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku   Pergi.

    "Bun, anterin ke rumah temanku," pinta Raka tiba-tiba merengek sambil menarik ujung jilbab bundanya yang sedang mencuci piring di dapur. "Mau apa ke rumah temanmu? Besok sekolah. Belajar sana," ujar Ratih masih sambil mlanjutjan pekerjaannya. "Buku aku kebawa temenku. Besok ada PR. Nanti aku kena hukum kalau gak ngumpulin." Raka menghentakkan kakinya. "Kok bisa kebawa teman kamu?" Ratih menghentikan kegiatannya. Mendelik pada putra bungsunya. "Kan Bunda sudah bilang kalau mau pulang buku-buku diberesin dimasukkan tas. Diperiksa ada yang ketinggalan nggak?" omel Ratih kesal. Sejak siang moodnya sudah rusak karena putra pertamanya. Dan sekarang putra bungsunya. "Maaf, Bundaku sayang.... Adek salah. Sekarang anterin ya Bun, nanti gak keburu ngerjain PR-nya," ucap Raka memelas. Bocah itu memegangi tangan bundanya sambil sesekali mencium punggung tangan yang basah itu. "Maaf ya Bun, besok gak lagi...." mohonnya yang membuat hati Ratih luluh. Putra bungsunya itu lebih pinta

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku   Rasa kecewa Dirga pada bundanya.

    "Bun, berikan ponselku," pinta Dirga menatap Bundanya tajam. Rasa kecewa di hatinya sudah tak terbendung lagi. Entah karena hasutan siapa wanita yang dulunya tak pernah berbohong itu kini malah mendukung kebohongan. Kalau bukan karena Raka, adiknya yang mengadu. Mungkin Dirga tidak akan tahu bundanya itu bersekongkol dengan Nirmala membohongi Nara. Ratih seperti menulikan diri. Tak sekalipun menyahut. Pandangannya lurus kedepan tanpa menghiraukan putra sulungnya yang sejak tadi menatapnya tajam. "Bun, kesabaranku juga ada batasnya. Tolong berikan ponselku. Aku harus menjelaskan semuanya pada Nara," katanya lagi dengan nafas yang sudah memburu karena menahan amarah yang berkumpul di dadanya. Rasa sakit ditubuhnya tak dihiraukannya. Baru semalam Dirga dibebaskan oleh ayahnya dan diizinkan pulang ke rumah. Dan itu karena penyakit tipes Dirga kambuh. Putra sulung Dimas itu menolak makan selama berhari-hari. Pagi tadi dia dibawa ke rumah sakit di kecamatan dan saat pulang Raka m

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku   Memilih konsep pernikahan.

    "Kamu sakit?" tanya Tristan pada Nara yang baru saja datang. Wajah gadis itu nampak lesu dan agak pucat. "Nggak," jawab Nara setelah mengambil duduk di hadapan Tristan. Dua orang itu bertemu di sebuah kafe yang biasa mereka datangi. "Minumlah!" Tristan mengangsurkan segelas jus jambu yang sudah dia pesankan tadi. "Mau makan apa?" lanjutnya sembari membuka buku menu. Nara menggelengkan. "Aku sudah makan. Kamu saja," jawannya tak bersemangat. Tristan menutup kembali buku menu. Menatap sendu gadis yang hanya mengaduk minumannya. Ada yang berbeda dengannya hari ini. Sepertinya sedang ada masalah. "Soal Dirga.." Tristan urung melanjutkan kalimat. Ekspresi Nara yang tampak biasa saja membuatnya mengerutkan dahi. "Kamu sudah tahu?" Nara mengangguk. "Dia di desanya, kan?" "Iya. Maaf, tidak memberi info lebih cepat." "Nggak papa. Makasih sudah bantu." Tritstan mengangguk. "Sepertinya dia sengaja dikurung sama orang tunya." Nara tersenyum tipis, lalu menghela nafas. Dikurung?

  • Terjerat Cinta Terlarang Sepupuku   Masalalu.

    "Ini tidak benar," gumam Nara tangan kaki gemetaran. Gdis itu bergegas masuk mobil setelah mengusir Arka dari rumahnya. Dia sudah tak sabar menunggu mamanya pulang. Dengan mengendarai mobil sendiri, gadis itu menuju pabrik untuk menemui mamanya untuk mengonfirmasi kebenaran ucapan Arka. Matanya fokus pada jalanan di depannya namun otaknya masih memutar memori percakapan dengan Arka beberapa menit yang lalu. "Mas Arka pasti berbohong. Dia sengaja ingin menjadika Mbak Aluna kambing hitam. Aku nggak percaya Mbak Aluna sejahat itu," gumamnya pada diri sendiri. Namun saat ingatanny kembali mengingat ucapan mamanya yang berulang kali mengatakan Aluna bukan putrinya, mendadak rasa takut menyergap hatinya. Takut benar Aluna itu bukan putri kandung mamanya. Takut, benar. Aluna ingin menguasainya harta warisan keluarganya. Takut, benar Aluna sengaja memfitnahnya demi mendapatkan semua warisan keluarga. "Astaga.. jika itu benar. Kasihan sekali Mama..." ujarnya mencengkeram erat stir.

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status