Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memanin ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papanya juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini.
"Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget. "Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar. Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus. "Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju. Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram. Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan. Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih berdiam diri di tempatnya menatapku dengan sorot mata sendu. "Kenapa masih berdiri? Tidak ada yang melarangmu duduk." Dirga berbicara. Ekspresinya datar tapi nada bicara seperti sedang menyindir. Sejak kecil Dirga memang tidak menyukai Mbak Aluna. Dan awal mula aku selalu bertengkar dengan Dirga, juga karena putra Om Dimas itu selalu membuat Mbak Aluna menangis. Mbak Aluna menatap Dirga beberapa saat, lalu tersenyum tipis. "Halo, Dirga. Apa kabar? Lama tidak bertemu sekarang kamu sudah besar ya." sapanya dengan ramah. "Baik," jawab Dirga acuh tak acuh. Lagi-lagi wajah Mbak Aluna dibuat masam. "Aku di ruang tamu, kalau ada apa-apa panggil saja," imbuhnya sembari memandangku dan langsung kujawab anggukan. Setelahnya pria itu pun masuk, dan Mbak Aluna mulai berbicara. "Kamu masih marah?" tanyanya diluar ekspektasiku. Aku mengangkat satu alisku. "Masih perlu itu ditanyakan?" Hanya orang yang memiliki kesabaran seluas lautan yang tidak akan marah saat dikhianati. Dan itu pastinya bukan aku. Mbak Aluna menarik nafas panjang, wajahnya berubah memerah dan matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat aku merasa iba, namun segera kutepis jauh-jauh rasa itu. Dia jauh lebih tega padaku. "Aku minta maaf, aku tahu kamu kecewa tapi aku dan Mas Arka punya alasan." "Ok, jelaskan!" Tak ingin basa-basi dan banyak drama. Aku pun langsung memintanya menjelaskan. Mbak Aluna nampak kaget. Dahinya berkerut. Mungkin tidak menduka responku akan seperti ini. Selama ini aku selalu bersikap lunak padanya. Apapun yang dia katakan aku percaya. Apapun yang dia suruh aku lakukan. Meskipun itu melanggar peraturan yang Papa buat. Setiap kali dia membuatku kesal, aku akan langsung memaafkannya hanya dengan permintaan maaf. "Mungkin penjelasanku akan membuatmu sakit hati dan kecewa. Tapi... inilah kenyataannya." Tiba-tiba jantungku berdegup kencang, rasa tak sabar menunggu kelanjutan kalimat Mbak Aluna. "Sebenarnya aku dan Mas Arka saling mencintai." Degh..... "Saling mencintai?" Kutatap kakaku itu lekat. "Iya, kami saling mencintai." Ada yang berdenyut nyeri di dalam sana. Jawabannya menusuk jantungku. Membuat luka baru diantara luka lama yang masih menganga. "Mbak sadar kan, Mas Arka itu kekasihku?" Setega itukan dia, mencintai kekasih adiknya sendiri? "Iya, Nara. Tapi, yang sebenarnya Mas Arka mencintaiku. Dia mendekatimu untuk mencari perhatianku. Tapi kamu salah faham dan malah menyatakan cinta padanya. Karena tidak ingin membuatmu patah hati, Mas Arka terpaksa pura-pura mencintaimu." Tanganku mengepal erat, berusaha menahan gemuruh di dalam dada. "Saat kamu kuliah di luar negeri, kami sering bertemu karena pekerjaan. Dan hari itu Mas Arka menyatakan perasaannya. Awalnya aku sudah menolak tapi Mas Arka tak menyerah, dia melakukan segalanya untukku. Aku juga tak ingin membohongimu perasaanku, aku juga mencintai Mas Arka." Seperti hujaman pisau, setiap kata yang keluar dari mulut Mbak Aluna menembus dada dan menggoreskan ribuan luka di hatiku. Sakit, sangat sakit sekali. Meski begitu, sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak meluruh. Aku tak ingin terlihat lemah di depannya. "Harusnya kalian jujur dari, jangan mengkhianatiku seperti ini." Mbak Aluna tak menimpali. Hanya menatap sendu. Entah merasa bersalah atau menyesal, aku juga tidak bisa memahami arti ekspresi wajahnya. "Nara, aku tahu kamu marah dna kecewa. Tapi tolong fahamilah perasaan kami. Cinta tidak bisa dipaksakan." "Bagaimana dengan perasaanku? Apa kalian bisa memahaminya?" Mbak Aluna terdiam. "Pulanglah, Mbak. Aku ingin sendiri," Mbak Aluna menggeleng, diraihnya tanganku klau berkata. "Pulanglah bersamaku. Mama sangat merindukan," "Aku tidak mau," "Nara, aku mohon. Ayo pulang. Kasihan Mama sama Papa. Gara-gara kamu pergi, setiap hari mereka bertengkar karena kamu. Pagi tadi Mama bahkan mengancam akan menggugat cerai Papa," Mataku seketika melebar. "Mama mau cerai?" "Iya." Mbak Aluna mengangguk. "Ayo, ikut pulang," ajaknya lagi menarik tanganku, namun kutepis tangannya. "Pulanglah sendiri! Nanti aku akan menelpon Mama." Seperti tak mendengar, Mbak Aluna terus membujukku untuk pulang. Dia juga berjanji akan keluar dari rumah asalkan aku ikut pulang bersamanya. Mendengar bujukannya membuatku jengah. Aku pun bangkit lalu melangkah pergi. Namun Mbak Aluna mengikuti. "Nara, kamu mau kemana? Mbak belum selesai bicara," katanya masih menjajari langkahku yang mulai menuruni tangga. Berulang kali aku menepia tangannya yang terus memegangi lenganku. "Nara aku tahu kami marah tapi jangan seperti ini." "Lepas!!" bentakku menyentak tangannya kasar. Dan tak kusangka gerakanku itu membuat tubuhnya oleng dan... "Akh...." teriak Aluna. "Astaga.... Mbak," pekikku berusaha meraih tangan Mbak Aluna namun tak sampai. Wanita dengan sepatu high heels itu pun akhirnya terjatuh. "Nara ada apa?" Dari dalam rumah Dirga berlari. "Kamu nggak papa?" tanya Dirga merunduk hendak menolong Mbak Aluna saat sebuah teriakan terdengar. "Aluna!!" Seorang pria keluar dari mobil lalu berlari mendekat. "Mas, kakiku sakit," keluh Mbak Aluna sambil menangis. Aku yang masih dalam keterkekjutan hanya terpaku sembari menatap pria itu dalam diam. "Kamu apakan Aluna?" bentak pria itu menatapku tajam. "Mas Arka?"Sepanjang jalan beberapa kali aku mengangguk, membalas sapaan ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan denganku. "Mbak Nara," sapa beberapa orang sambil tersenyum ramah. Ya, mungkin karena Om Dimas termasuk orang yang cukup disegani di kampung, sehingga meski aku baru seminggu tinggal di sini tapi hampir semua warga mengenalku. "Iya Bu," kubalas sapaan ibu-ibu itu dengan senyum ramah pula. Meski sebenarnya dadakubsedang bergemuruh karena amarah. Ucapan Mas Arka masih terus terngiang di telinga. Belum lagi sikap Mbak Aluna yang seolah sengaja memojokkanku. Aku ingat betul, aku tidak mendorongnya sekeras itu sampai membuatnya terjatuh. "Neng cantik mau kemana?" tanya ibu-ibu paruh baya sambil membawa bakul anyaman. "Mau ke sawah nyusul Pak Dimas?" sambungnya sembari tersenyum. Tunggu, segera aku menoleh kiri dan kanan. Entah seberapa jauh aku bejalan, kini aku sudah berada di jalanan menuju pintu masuk desa. Gapura masuk desa hanya tinggal beberapa meter dari tempatku berdi
"Mas Arka?" Mata Kinara melebar begitu melihat Arka yang berlari mendekat. Wajah pria itu terlihat panik. "Aluna kamu nggak papa?" katanya, lalu merunduk menyamakan posisinya denga Aluna yang terduduk di bawah. "Kakiku sakit, Mas." Mbak Aluna merengek manja. Wanita itu seperti sosok yang berbeda. Matanya memerah seperti hendak menangis. Mas Arka menoleh padaku. Matanya menatapku tajam. "Kamu mendorong Aluna!" bentaknya kasar sampai membuatku kaget. Saking kagetnya, tubuhku terhuyung kebelakangan. Beruntung ada Dirga yang segera memegangiku. "Kamu nggak papa?" tanya Dirga sembari memegang pundakku. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Bisa bicara baik-baik nggak?" ujar Dirga menatap Mas Arka datar. "Cih.. baik-baik?" Mas Arka mencibir. Lebih dari sebelumnya, kini wajah pria itu sudah memerah dan sorot matanya penuh amarah. "Apa lagi yang mau dibicarakan baik-baik? Jelas-jelas dari dalam mobil aku melihat dengan Aluna jatuh karena di dorong Nara," lanjutnya sinis. "Ak
Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memanin ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papanya juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini. "Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget. "Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar. Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus. "Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju. Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram. Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan. Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih
"Tante belanja ke warung depan sebentar, kamu di kamar aja," kata Tante Ratih, setelah meletakkan segelas air putih di atas meja samping tempat tidur dan mengambil duduk di sisi ranjang tepat di sebelahku yang sedang terbaring sejak kemarin sore."Kaki kamu masih sakit?" tanyanya sambil memeriksa pergelangan kakiku yang diperban.Aku menggeleng. Setelah diurut semalam kaki kananku sudah tidak sesakit sebelumnya. "Sudah mendingan kok Te, maaf jadi merepotkan semua orang," ucapku menyesal."Tante yang harus minta maaf, harusnya gak nyuruh kamu ke sawah." Tante Ratih terlihat menyesal. "Sebenarnya Tante ingin kamu ada kegiatan agar tidak melamun saja, tapi kamu malah jatuh ke sawah dan kakimu keseleo. Bagaimana kalau Mamamu tahu, pasti marah sama Tante."Aku menggelengkan kepala. "Bukan salah Tante, aku aja yang gak hati-hati." Sedikitpun aku tidak menyalahkan Tante Ratih atas kejadian kemarin."Ya, sudah Tante tinggal sebentar ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Dirga. Dia ada di ruan
Mendadak lidahku kelu, tatapan pria itu sangat tajam dan dingin.Namun detik berikutnya, wajah dingin itu tiba-tiba mengulum bibir menahan tawa. Membuatku mengernyit."Sudah gede, tapi tingkahnya kayak anak kecil." Pria itu mencibir.Mataku sontak melebar. Mendadak aku jadi kesal. Tatapan matanya itu seperti mengejekku. "Kamu siapa? Maksudnya apa bicara seperti itu?" tanyaku sambil mengangkat dagu."Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Berani sekali bermain di sawah milikku?" tanya balik pria itu.Aku mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Lestari. "Bukannya ini sawah Om Dimas?" bisikku."Bukan, Mbak Nara. Sawah Pak Dimas di sebelah sana. Yang sini milik Bu Rosidah. Neneknya Pak Tristan Elgara," jawab Lestari tak kalah lirih sambil melirik pria yang berdiri sambil berkacak pinggang."Oh…." Mengangguk agak malu tapi kucoba tetap bersikap angkuh. "Baru punya sawah aja sombong," gumamku yang mungkin terdengar oleh pria itu, terlihat wajahnya makin masam."Maaf, tadi aku nggak sengaja terja
Sudah satu minggu aku tinggal di rumah Om Dimas. Setiap pagi aku diajak Tante Ratih pergi ke pasar, entah untuk belanja bahan makanan, atau hanya sekedar membeli jajanan tradisional.Aku tahu Tante sengaja membawaku keluar untuk mengalihkan pikiranku dari masalah dan sakit hatiku.Lalu, sepulang dari pasar, Tante Ratih akan memintaku membantunya memasak. Mengajariku banyak hal tentang cara membuat makanan.Kadang aku juga diajak berkebun, menanam sayuran juga menanam bunga dan tanaman hias di halaman depan. Dan tak jarang diminta ikut Dirga ke kota untuk membeli pupuk dan bahan-bahan pertanian.Keluarga Om Dimas benar-benar menjagaku dengan baik. Aku tahu mereka tulus. Karena itu aku berusaha untuk terlihat kuat, meski setiap kali sendirian rasa sakit hati dan kecewa kembali menyerang. Membuatku seperti manusia yang kehilangan separuh jiwanya.Aku hampa, kosong, dan sepi.Saat semua kegiatan selesai aku memilih menikmati kesendirian di halaman belakang rumah. Menatap hamparan sawah d