"Tante belanja ke warung depan sebentar, kamu di kamar aja," kata Tante Ratih, setelah meletakkan segelas air putih di atas meja samping tempat tidur dan mengambil duduk di sisi ranjang tepat di sebelahku yang sedang terbaring sejak kemarin sore.
"Kaki kamu masih sakit?" tanyanya sambil memeriksa pergelangan kakiku yang diperban.
Aku menggeleng. Setelah diurut semalam kaki kananku sudah tidak sesakit sebelumnya.
"Sudah mendingan kok Te, maaf jadi merepotkan semua orang," ucapku menyesal.
"Tante yang harus minta maaf, harusnya gak nyuruh kamu ke sawah." Tante Ratih terlihat menyesal. "Sebenarnya Tante ingin kamu ada kegiatan agar tidak melamun saja, tapi kamu malah jatuh ke sawah dan kakimu keseleo. Bagaimana kalau Mamamu tahu, pasti marah sama Tante."
Aku menggelengkan kepala. "Bukan salah Tante, aku aja yang gak hati-hati." Sedikitpun aku tidak menyalahkan Tante Ratih atas kejadian kemarin.
"Ya, sudah Tante tinggal sebentar ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Dirga. Dia ada di ruang tengah."
Selesai bicara Tante Ratih berdiri, lalu melangkah pergi. Tinggalah aku seorang diri. Kuhela nafas panjang, rasanya bosan dan penat di dalam kamar.
Sendirian akan membuat teringat dengan hal-hal yang membuatku sakit hati. Kuputuskan untuk keluar saja. Duduk di halaman belakang sambil menikmati hamparan sawah dan semilir angin sepertinya lebih menenangkan.
Dengan hati-hati aku turun dari tempat tidur, lalu berjalan terpincang-pincang keluar kamar.
"Mau ke mana?"
Aku menoleh ke arah suara. Dirga duduk di sofa ruang tengah sambil memangku laptop.
"Mau cari angin, bosen di kamar," jawabku sambil melanjutkan langkah.
"Mau main ke sawah lagi? Jatuh lagi?" ejek Dirga yang membuatku menghentikan langkah. Kuhadiahi sepupu jailku itu dengan tatapan tajam.
Dan pria itu malah tertawa. Malas meladeni aku memilih melanjutkan langkahku.
"Aku bantu." Dirga menyusul dan langsung memegangi tanganku.
"Nggak usah. Aku bisa sendiri," tolakku, tapi pria kekeuh memegangi lenganku. Aku pun pasrah. Malas sekali berdebat.
"Sudah jangan membantah. Nanti kalau kamu jatuh aku yang dimarahin Bunda. Mau ke belakang rumah kan?" tebaknya yang kujawab dengan anggukan pasrah.
"Duduk melamun di atas dipan, meratapi orang yang bahkan tak mengingatmu. Sampai kapan menyiksa diri?" tambahnya dengan nada mengejek.
Sungguh, aku benar-benar lelah, tak punya energi untuk berdebat. Biarlah ini orang bicara sesukanya. Toh apa yang dikatakannya memang benar.
Sepatah hati apapun aku di sini, Mas Arka dan Papa tidak akan peduli.
"Pelan-pelan naiknya," kata Dirga membantu naik ke atas dipan. Setelahnya pria itu malah ikut duduk di sampingku.
"Kenapa masih di sini?" Aku menatapnya datar.
"Memangnya kenapa? Nggak boleh?" tanyanya balik dengan muka tak kalah datar.
Astaga... pria ini benar-benar menguji kesabaran.
Kuhela nafas panjang, mencoba untuk bersabar. "Maksudku, aku gak perlu ditungguin." Aku berbicara selembut dan sepelan mungkin.
"Siapa juga yang nungguin kamu. Aku juga mau di sini sambil melamun."
Astaga!
Sabar, sabar Kinara....
Aku menghela nafas panjang, fokus pada hamparan sawah di depanku agar tidak terbawa emosi.
"Nara," panggil Dirga tiba-tiba.
Enggan aku menjawab dengan gumaman. "Hmm?"
"Menurutmu apa itu cinta?"
Aku menoleh, kulihat Dirga menatap lurus ke depan. Tidak kusangka ia akan tiba-tiba mengangkat topik semelankolis ini.
Namun, entah kenapa, aku memikirkan pertanyaannya itu.
"Entahlah, aku juga belum bisa memahami apa itu cinta. Kalau menurutmu?"
Dirga tersenyum, tatapannya menerawang jauh. "Menurutku… cinta itu, saat bahagiaku melihatmu bahagia."
Aku terdiam, menoleh ke arah pria itu, menunggu tawanya pecah. Tapi sampai hampir semenit, Dirga tidak tertawa.
Mendadak hatiku berdenyut nyeri. Kalimat itu seperti sebilah pisau yang menembus dadanya.
Sepertinya Dirga sedang berusaha menghiburku.
"Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia, Nara. Meski itu melukaiku, akan kulakukan dengan senang hati."
Ucapan Dirga membuatku terkekeh getir, "Itu cinta apa bodoh?"
"Coba tanyakan pada hatimu. Bukankah itu yang selama ini kamu lakukan?" Dirga menoleh, menatapku.
Entah kenapa aku tak bisa membantah. Kalimat itu memaksaku mengingat semua perjuangan yang telah kulakukan untuk menjadi kekasih Mas Arka Mahesa.
Demi Mas Arka, aku melakukan segalanya. Aku mengikuti banyak les, demi menjadi wanita pintar dan anggun seperti keinginannya. Mulai les bimbingan belajar, les piano, les biola sampai les kepribadian. Semua kulakukan meski aku tak suka.
Bahkan aku sembunyi-sembunyi saat mengikuti ekstra bela diri sewaktu masih SMA karena Mas Arka tidak suka. Jadi aku tidak boleh melakukannya.
Setelah semua yang kulakukan, apa yang aku dapatkan? Mas Arka mengkhianatiku. Pria itu malah menikahi kakak kandungku sendiri. Padahal Mas Arka sudah berjanji akan menikahiku setelah aku lulus kuliah.
Lamunanku buyar saat terasa lelehan bening merembes membasahi pipiku. Cepat-cepat kuusap. Tak ingin Dirga melihatnya.
"Kau tahu, Nara? Kadang cinta bukan hanya tentang kebahagian, tapi juga luka yang harus ditanggung seumur hidup."
Apa? Aku tergelak. "Hah… jadi sebodoh itukah aku?" Ada rasa tidak terima di hatiku. Bagaimana mungkin semua pengorbananku dibalas dengan luka yang harus ditanggungnya seumur hidup?
"Ini tidak adil," kataku kemudian.
"Kamu pernah dengar kalimat, mencintaimu ibarat menikam jantung sendiri, sekarat di setiap detiknya tapi tak kunjung menemui ajal."
Mendengar kalimat itu, air mataku meluruh. Aku menunduk, mencoba menyembunyikan tangisku yang sudah tak bisa kutahan.
Ternyata aku sebodoh itu? Menyiksa diri sendiri untuk seseorang yang bahkan tidak peduli padaku.
Aku merasakan telapak tangan hangat Dirga menyentuh puncak kepalaku. "Apapun makna cinta yang Tuhan berikan, terimalah dengan ikhlas. Mungkin sekarang sakit, tapi seiring berjalannya waktu kamu akan terbiasa," kata pria itu lembut.
Aku mengangguk. "Hmm... akan aku coba."
Di balik sikap jahilnya, ternyata Dirga bijaksana juga seperti Om Dimas.
"Sudah jangan nangis, jelek," Dirga mengacak rambutku gemas.
Huft, dia sudah kembali ke mode dirinya yang biasa. Secepat itu!
"Ih... apa sih?" Kutepis tangan tangannya dari kepalaku.
Tiba-tiba dari arah dapur terdengar derap langkah orang berlari dan memanggil namaku.
Itu suara Tante Ratih.
"Iya Te, aku di sini." Kinara setengah berteriak.
"Astaga kamu di sini, Tante cari kamu di kamar." Tante Ratih terlihat panik.
"Ada apa, Bun? Kenapa panik begitu?" Dirga yang bertanya.
Wanita yang masih membawa belanjanya itu mendengus kasar. "Di luar ada Aluna. Dia mencari Kinara."
Apa? Untuk apa dia ke sini?
"Kamu mau menemuinya, atau Tante perlu membuat alasan?"
"Biar saya temui Tante, saya juga penasaran tujuannya ke sini."
Sepanjang jalan beberapa kali aku mengangguk, membalas sapaan ibu-ibu yang tak sengaja berpapasan denganku. "Mbak Nara," sapa beberapa orang sambil tersenyum ramah. Ya, mungkin karena Om Dimas termasuk orang yang cukup disegani di kampung, sehingga meski aku baru seminggu tinggal di sini tapi hampir semua warga mengenalku. "Iya Bu," kubalas sapaan ibu-ibu itu dengan senyum ramah pula. Meski sebenarnya dadakubsedang bergemuruh karena amarah. Ucapan Mas Arka masih terus terngiang di telinga. Belum lagi sikap Mbak Aluna yang seolah sengaja memojokkanku. Aku ingat betul, aku tidak mendorongnya sekeras itu sampai membuatnya terjatuh. "Neng cantik mau kemana?" tanya ibu-ibu paruh baya sambil membawa bakul anyaman. "Mau ke sawah nyusul Pak Dimas?" sambungnya sembari tersenyum. Tunggu, segera aku menoleh kiri dan kanan. Entah seberapa jauh aku bejalan, kini aku sudah berada di jalanan menuju pintu masuk desa. Gapura masuk desa hanya tinggal beberapa meter dari tempatku berdi
"Mas Arka?" Mata Kinara melebar begitu melihat Arka yang berlari mendekat. Wajah pria itu terlihat panik. "Aluna kamu nggak papa?" katanya, lalu merunduk menyamakan posisinya denga Aluna yang terduduk di bawah. "Kakiku sakit, Mas." Mbak Aluna merengek manja. Wanita itu seperti sosok yang berbeda. Matanya memerah seperti hendak menangis. Mas Arka menoleh padaku. Matanya menatapku tajam. "Kamu mendorong Aluna!" bentaknya kasar sampai membuatku kaget. Saking kagetnya, tubuhku terhuyung kebelakangan. Beruntung ada Dirga yang segera memegangiku. "Kamu nggak papa?" tanya Dirga sembari memegang pundakku. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Bisa bicara baik-baik nggak?" ujar Dirga menatap Mas Arka datar. "Cih.. baik-baik?" Mas Arka mencibir. Lebih dari sebelumnya, kini wajah pria itu sudah memerah dan sorot matanya penuh amarah. "Apa lagi yang mau dibicarakan baik-baik? Jelas-jelas dari dalam mobil aku melihat dengan Aluna jatuh karena di dorong Nara," lanjutnya sinis. "Ak
Dengan dibantu Dirga, Aku keluar untuk menemui Mbak Aluna. Di kursi teras rumah, Mbak Aluna duduk sembari memanin ponselnya. Wanita itu masih mengenakan setelan kantor. Aku sangat yakin kakakku itu dari kantor. Dan kemungkinan besar Papanya juga Mama tidak tahu kedatangannya kesini. "Khem.. " Dirga berdehem dan kakak perempuanku itu langsung mendongak. Matanya melebar, kaget. "Astaga Nara, kamu kenapa?" tanya Mbak Aluna dengan raut wajah terlihat khawatir. Namun, aku hanya menatapnya datar. Entahlah, mungkin karena masih kesal sama Mbak Aluna, jadilah aku merasa kekhawatirannya itu tidak tulus. "Sini biar aku bantu," katanya lagi lalu melangkah maju. Aku langsung mengankat tangan. "Tidak perlu," tolakku yang langsung membuat wajah cantik itu berubah muram. Sejujurnya aku juga tak tega bersikap sekasar itu pada Mbak Aluna. Selama ini dia adalah saudara yang baik. Tapi, apa yang dia lakukan padaku kali ini, sungguh sangat menyakitkan. Sampai aku duduk, Mbak Aluna masih
"Tante belanja ke warung depan sebentar, kamu di kamar aja," kata Tante Ratih, setelah meletakkan segelas air putih di atas meja samping tempat tidur dan mengambil duduk di sisi ranjang tepat di sebelahku yang sedang terbaring sejak kemarin sore."Kaki kamu masih sakit?" tanyanya sambil memeriksa pergelangan kakiku yang diperban.Aku menggeleng. Setelah diurut semalam kaki kananku sudah tidak sesakit sebelumnya. "Sudah mendingan kok Te, maaf jadi merepotkan semua orang," ucapku menyesal."Tante yang harus minta maaf, harusnya gak nyuruh kamu ke sawah." Tante Ratih terlihat menyesal. "Sebenarnya Tante ingin kamu ada kegiatan agar tidak melamun saja, tapi kamu malah jatuh ke sawah dan kakimu keseleo. Bagaimana kalau Mamamu tahu, pasti marah sama Tante."Aku menggelengkan kepala. "Bukan salah Tante, aku aja yang gak hati-hati." Sedikitpun aku tidak menyalahkan Tante Ratih atas kejadian kemarin."Ya, sudah Tante tinggal sebentar ya. Kalau butuh apa-apa, panggil aja Dirga. Dia ada di ruan
Mendadak lidahku kelu, tatapan pria itu sangat tajam dan dingin.Namun detik berikutnya, wajah dingin itu tiba-tiba mengulum bibir menahan tawa. Membuatku mengernyit."Sudah gede, tapi tingkahnya kayak anak kecil." Pria itu mencibir.Mataku sontak melebar. Mendadak aku jadi kesal. Tatapan matanya itu seperti mengejekku. "Kamu siapa? Maksudnya apa bicara seperti itu?" tanyaku sambil mengangkat dagu."Harusnya aku yang tanya, kamu siapa? Berani sekali bermain di sawah milikku?" tanya balik pria itu.Aku mengerutkan dahi, lalu menoleh pada Lestari. "Bukannya ini sawah Om Dimas?" bisikku."Bukan, Mbak Nara. Sawah Pak Dimas di sebelah sana. Yang sini milik Bu Rosidah. Neneknya Pak Tristan Elgara," jawab Lestari tak kalah lirih sambil melirik pria yang berdiri sambil berkacak pinggang."Oh…." Mengangguk agak malu tapi kucoba tetap bersikap angkuh. "Baru punya sawah aja sombong," gumamku yang mungkin terdengar oleh pria itu, terlihat wajahnya makin masam."Maaf, tadi aku nggak sengaja terja
Sudah satu minggu aku tinggal di rumah Om Dimas. Setiap pagi aku diajak Tante Ratih pergi ke pasar, entah untuk belanja bahan makanan, atau hanya sekedar membeli jajanan tradisional.Aku tahu Tante sengaja membawaku keluar untuk mengalihkan pikiranku dari masalah dan sakit hatiku.Lalu, sepulang dari pasar, Tante Ratih akan memintaku membantunya memasak. Mengajariku banyak hal tentang cara membuat makanan.Kadang aku juga diajak berkebun, menanam sayuran juga menanam bunga dan tanaman hias di halaman depan. Dan tak jarang diminta ikut Dirga ke kota untuk membeli pupuk dan bahan-bahan pertanian.Keluarga Om Dimas benar-benar menjagaku dengan baik. Aku tahu mereka tulus. Karena itu aku berusaha untuk terlihat kuat, meski setiap kali sendirian rasa sakit hati dan kecewa kembali menyerang. Membuatku seperti manusia yang kehilangan separuh jiwanya.Aku hampa, kosong, dan sepi.Saat semua kegiatan selesai aku memilih menikmati kesendirian di halaman belakang rumah. Menatap hamparan sawah d