"Amiin!"
Kinanti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada setitik air bening yang hampir jatuh di sudut mata sayu itu.
Haidar, sang ayah membalikkan badan ke belakang. Mengulurkan tangan pada sang istri. Sang istri dengan takzim meraih punggung telapak tangan sang suami dan menciumnya.
Kini, giliran Kinanti yang mencium telapak tangan Ayahnya.
"Cepatlah bersiap-siap, setelah ini keluarga Imran akan datang," titah sang Ayah.
"Iya, Ayah. Sebentar lagi, Kinanti masih ingin membaca qur'an."
Haidar membalikkan badannya kembali, menatap sajadah di hadapannya.
Kinanti meraih sesuatu di atas sajadahnya, segera memakai kacamata dan membuka sebuah buku. Mirip buki tulis namun lebih tebal. Ia mencium sampul qur'an di tangannya. Mulai membuka lembar demi lembar halaman. Mencari pembatas berwarna kuning, penanda halaman terakhir yang dibacanya.
"Ibu, masih banyak pekerjaan di dapur. Tolong lipatkan sajadah ibu nanti, ya, Kinanti."
Kinanti menoleh ke arah suara lalu mengangguk, "Iya, Bu!"
Setelah menjawab perkataan dari ibunya, Kinanti mulai larut dalam ayat demi ayat yang dibacanya.
Haidar Baskoro tersenyum melihat anak sulungnya. Ada kebanggan sebagai orang tua memiliki anak sepenurut dan pintar bertadarus quran seperti Kinanti. Setelah melipat sajadah Ayah Kinanti keluar dari ruang salat. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat subuh berjamaah. Sementara, adik Kinanti sedang mendapat tamu bulanan. Ia masih tertidur pulas di atas ranjangnya.
"Ayah, coba lihat nasi di dalam magicom apa sudah matang?" teriak ibu Kinanti dari dapur.
Haidar Baskoro mendekat ke meja makan, membuka tutup magicom, asap mengepul ke udara, "Sudah, Bu."
Terdengar suara kompor yang dimatikan. Tak lama suara langkah kaki yang mendekat ke meja makan. Wajah ibu Kinanti muncul dari dapur.
"Alhamdulilah, sotonya juga sudah matang. Persiapan jamuan untuk keluarga Imran, sudah selesai."
"Di mana, Kinanti? Apa dia sudah bersiap-siap, Bu?"
Haidar bertanya pada sang istri. Ibu Kinanti menggelengkan kepala, tanda tak tahu, "Jangan-jangan dia masih berada di ruang salat?"
Ibu Kinanti melangkah dengan cepat menuju ruang salat. Benar saja, Kinanti masih memakai mukena berwarna putihnya.
"Kinanti, cepat siap-siap! Sebentar lagi keluarga Imran, akan datang!" pekik Ibunya.
Kinanti yang terkesiap langsung menyudahi bacaan Qurannya, "Sadaqallahuladzhim."
Kinanti bangkit dari duduknya, melepas mukena putih dari tubuh, "Apa Imran benar-benar mau berta'aruf denganku, Bu?"
"Tentu saja. Kamu itu cantik Sayang, tersenyumlah!"
Dua sudut bibir Kinanti terangkat naik, melukiskan gambar bulan sabit. Gadis itu terlihat senang. Sang Ibu memberi pujian, sebuah dukungan yang sanagat ia butuhkan. Di umurnya yang ke dua puluh tujuh, ia belum pernah merasakan apa itu pacaran. Bukan, karena dia tak cantik. Ia selalu patuh pada nasihat orang tuanya.
"Jika kamu sayang pada kami, orangtuamu. Jangan biarkan kami menanggung siksa neraka karena kamu mendekati zina, jangan berpacaran."
Kata-kata Ayah Kinanti saat ia masih duduk di kelas satu SMA waktu itu, selalu terngiang di kepala Kinanti. Perkataan yang akhirnya terpatri dalam hatinya hingga sekarang.
Kinanti tak tahu bagaimana caranya mendekati seorang pria. Terlebih cara berpakaiannya yang selalu mengenakan pakaian panjang dan kebesaran membuat Kinanti tampak lebih tua sepuluh tahun dari umurnya.
Ia meminta Haidar Baskoro yang mencarikan calon suami untuknya. Kinanti ingin menikah, di umurnya yang sekarang banyak gadis yang sudah memiliki dua orang anak. Namun, dari ke lima belas lelaki yang pernah mencoba datang dan menemui Kinanti, mereka mundur.
"Kinanti, ayo, cepat!"
Ibunya berlalu di pintu. Berteriak dengan nada panik menyuruh Kinanti lebih cepat merias diri.
Kinanti menyisir rambut kecokelatan yang panjang dan bergelombangnya lebih cepat. Mengikat dengan tiga kali putaran.
Kinanti menyemprotkan minyak wangi beberapa kali ke tubuhnya. Setelah dirasa cukup gadis itu pergi ke ruang tamu. Ia duduk di sebelah ayahnya, menunggu.
Terdengar nada dering dari ponsel Haidar. Ayah Kinanti cepat-cepat mengangkat ponselnya.
"Halo, assalamualaikum?"
Haidar bersemangat saat mengangkat panggilan. Namun, setelah beberapa saat menempelkan benda pipih di samping telinganya. Dua sudut bibir Haidar merosot turun.
"Oh, ba-baiklah! Tidak apa-apa." Kekecewaan tergambar jelas di wajah Haidar.
Ayah Kinanti menutup panggilan telepon itu. Tanpa mengucap salam.
"Ada apa, Ayah?" tanya Kinanti dengan penasaran.
"Itu tadi, Ibu dari Imran. Ia meminta maaf karena tidak jadi datang hari ini. Ibunya telah mengatur beberapa pertemuan ta'aruf untuk Imran. Ia mencari calon istri hafiz Al-quran untuk anaknya, atau paling tidak telah khatam Al'quran dan seorang lulusan universitas negeri terbaik," jelas Haidar.
"Lalu?" tanya Kinanti tak mengerti.
"Sepertinya, keluarga Imran telah menemukan kriteria calon istri yang mereka inginkan."
Haidar melemparkan pandangan ke luar jendela. Matahari telah bersiap memberi kehangatan ke seluruh dunia. Namun, tidak memberi kehangatan pada anak gadisnya. Perjodohan Kinanti gagal lagi.
Selalu seperti itu. Semua lelaki yang akan dijodohkan Ayahnya mundur karena sebuah alasan yang terkesan dibuat-buat.
Dua bulan yang lalu, seorang lelaki datang bersama keluarganya. Namun, ia tak memberikan kepastian akan melanjutkan berta'aruf dengan Kinanti atau tidak. Haidar merendah dan mencoba menelepon keluarga sang lelaki terlebih dahulu.
"Maaf, anak Bapak, sepertinya terlalu tua untuk saya!"
Haidar mengelus dadanya. Ia merasa nyeri. Anak gadis cantiknya dikatakan terlihat tua. Tanpa menjawab Haidar memutus sambungan telepon. Seorang Ayah tentu saja bertanggung jawab mencari pasangan untuk putrinya. Jika para lelaki itu hanya melihat fisik, maka suatu saat ia pun akan pergi karena fisik semata. Mudah tergoda.
"Jangan bersedih, Sayang. Nanti, pasti Ayah akan menemukan seorang lelaki yang benar-benar baik dan mau menerimamu apa adanya!"
"Aku tak sedih Ayah," ucap Kinanti. Gadis itu menutupi kekecewaannya dengan segaris datar senyuman. Mencoba tampil kuat di hadapan sang Ayah.
Kinanti berjalan dengan cepat menuju kamar tidurnya. Meninggalkan sang Ayah yang masih terduduk kecewa.
Kinanti menutup pintu kamarnya. Tanpa Ayah dan Ibunya tahu, ia menangis. Disekanya air mata yang turun membasahi pipi. Telah berkali-kali hatinya patah sebelum memulai suatu hubungan. Harapannya yang melambung tinggi kembali terjatuh ke tanah, hatinya remuk untuk berharap.
"Kenapa? Kenapa ... Ya Allah?" gumam Kinanti sambil menyeka air matanya.
"Tidak, aku tidak boleh sedih. Hidup terus berjalan. Jika aku terpuruk sekarang, aku takkan bisa membuktikan pada dunia bahwa Kinanti itu Kuat."
Kinanti menatap pantulan bayangannya di cermin. Ia segera berganti pakaian. Mengambil tas kerjanya. Berjalan keluar dari kamar masih dengan memakai topeng kuat.
"Kinanti pergi kerja dulu Ayah," pamit gadis berambut panjang itu.
"Tunggu Ayah, akan berangkat bersamamu."
Kinanti menghentikan langkahnya. Menunggu sang Ayah yang sedang berganti pakaian.
"Loh? Kalian akan bekerja?" ucap Ibu Kinanti.
"Iya, Ibu."
Kinanti tersenyum dan meraih punggung telapak tangan ibunya. Berpamitan.
"Bukannya kalian telah izin untuk mengambil cuti hari ini?"
Ibu Kinanti menatap suami dan anaknya bergantian, bingung.
"Keluarga Imran tak jadi datang, itu bagus. Kinanti tak perlu izin cuti. Toh, sekarang masih jam tujuh pagi. Masih cukup waktunya untuk berangkat bekerja," jelas Kinanti.
"Betul itu, hidup adalah uang. Dan uang adalah waktu," tambah Haidar Baskoro.
Ayah dan anak itu memiliki sifat yang hampir sama. Kinanti sangat mengagumi sosok Ayahnya. Prinsip-prinsip hidup yang ditanamkan sang ayah selalu dipegangnya kuat.
"Ayo, Kinanti kita berangkat!"
Haidar Baskoro telah berada di dekat pintu. Dengan kemeja putih dan celana berwarna hitam. Tak lupa sepatu pantofel berwarna hitam dan tas kerja dari kulit. Gagah, itulah satu kata yang tepat untuk mengekspresikan penampilan Ayah dua anak perempuan itu.
"Huuuaaahhhmm …."
Karenina baru saja terbangun. Ia menguap sambil berjalan, "Ayah dan kakak mau berangkat bekerja? Looh, tidak jadi pertemuan keluarganya?"
Tanpa menjawab Haidar Baskoro dan Kinanti membuka pintu keduanya melangkah keluar dari rumah.
"Pertemuannya tidak jadi!" jawab sang Ibu.
"Tidak jadi lagi?" celetuk Karenina. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.
"Lalu … bagaimana dengan pernikahanku dengan Bram, Ibu?"
"Tunggu sampai kakakmu, mendapatkan seorang lelaki. Apa kamu tak kasihan dengan, Kinanti? Apa kamu mau kakakmu jadi perawan tua, karena kamu melangkahinya?" gerutu sang ibu.
"Ya allah, ini sudah lelaki ke lima belas yang dicarikan Ayah untuknya, Ibu. Mungkin ada yang salah dengan Kakak. Suruh dia mengganti gaya berpakaiannya!" protes Karenina.
***
To be Continued…
Tunggu kisah Kinanti selanjutnya ya,
“Sepuluh ….” “Se-belas ….” Keringat Kinanti mulai bercucuran. “Dua … argghh.” Kinanti melepas kedua tangan di belakang tempurung kepala. Mulutnya terbuka, mengambil udara sebanyak mungkin. Seakan-akan lubang hidungnya tak cukup untuk menghirup udara. “Cas-sandra, ka … pan terakhir kali kamu berolahraga? Kenapa begitu berat dan kaku semua otot-ototmu?” Kinanti menyeka keringat di wajahnya. Dengan terengah-engah Kinanti berbicara pada tubuh yang ditempatinya. Setelah itu dia mengalah, merebahkan tubuhnya di atas lantai. Menatap langit biru yang penuh kapas putih. “Lihatlah Cassandra, langitnya indah. Apa kamu pernah menikmati langit seperti ini?” Kinanti mengangkat tangan kanannya, menarik segaris senyuman, “Mungkin suatu saat nanti kalo kita bertemu, aku akan mengajakmu bersantai di bawah langit seperti ini.” “Tapi … aku saja tidak tahu cara keluar dari tubuhmu, lalu kamu bagaimana? Jika aku menempati ragamu, di mana ruhmu? Apa kamu masih hidup? Dimana kamu sekarang?” “Sampai
“Jangan panggil aku gendut dan bodoh!” pekik Kinanti dengan penuh amarah.“Lalu harus kupanggil apa? Babi?”Kinanti menatap balik tanpa berkedip pada salah satu geng perisak di kelasnya, “Dasar gadis manja kekanakan. Kamu dan teman-temanmu pasti hanya tahu cara menghamburkan uang saku, mengoles lipstik di bibir dan mencibir orang lain. Otakmu pasti hanya berisi angin!”“Berani ngelawan lo sekarang?”Angela melirik ke kiri dan kanan, "Bin, Sophi … kita kasih pelajaran dia.”Seketika Kinanti berteriak, “Jangan sentuh rambutku, lepaskan!”“Hahaha ….” Ketiga anggota geng sok cantik tertawa. Mereka malah mendekat, mengerumuni Kinanti. Hingga dia terpojok ke dinding, “Lo, ikut perkumpulan apa, sih? kok, jadi pinter ngelawan sekarang?”“Arrrghh ….” Kinanti semakin kesakitan Angela makin menarik dengan kuat. Beberapa helai rambut Casandra jatuh ke lantai, “Hhentikaan, sakit!”Pemilik tubuh asli pasti sering diperlakukan seperti ini. Terbukti gadis yang menarik rambut di depan Kinanti tak terl
Josh berkonsentrasi penuh mengemudikan mobil. Namun, sesekali dia melirik anak majikannya lewat kaca spion. Ada yang berbeda pada gadis SMA itu.Kinanti bukan anak kecil lagi. Dia tahu Josh beberapa kali mencuri pandang lewat spion mobil yang menghadap ke belakang. Dalam hati Kinanti tahu, usahanya merubah penampilan tidak sia-sia. Tadi pagi, hampir setengah jam dia berada di depan kaca meja rias. Merapikan alis Casandra, mengikat rambut agar terlihat pantas untuk wajah chubby pemilik tubuh. Dia juga lari pagi sepuluh putaran mengelilingi rumah keluarganya itu sekitar satu jam lebih. Jika rutin melakukannya Kinanti pikir berat badan Casandra akan berkurang setidaknya dua sampai tiga kilogram.“Non Casandra hari ini terlihat beda.” Akhirnya Josh buka suara. “Perbedaannya bikin aku tambah cantik atau sebaliknya?” Kinanti merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain. Terlebih laki-laki, mereka punya selera yang berbeda dari perempuan.“Jadi lebih menarik, enak dilihat.”“Aahh, kamu m
Pukul 04.00 pagi ….Kinanti bangun lebih awal. Langit masih gelap. Burung-burung belum berkicau menyambut surya, mereka mungkin lelap mengerami telur di sarang. Matahari bahkan masih bersembunyi di belahan dunia lain. Di bawah ranjang Kinanti ada timbangan digital. Sepertinya Casandra yang asli selalu rajin menimbang berat badan. Dia turun dari ranjang, menarik keluar timbangan tadi. Segera naik di atas timbangan. Jarum timbangan dengan cepat bergerak ke kanan, hampir menyentuh batas, “Wow, 85 kg. Yang benar saja. Pantas aku susah bangun tanpa berpegangan.”“Mulai hari ini aku akan membantumu berdiet, ini juga demi diriku. Kau tau kan, Obesitas menjadi masalah juga penyumbang kematian terbesar. Jangan mati muda karena terlalu banyak makanan nikmat yang ternyata racun.”Sejak masuk ke tubuh Casandra, Kinanti jadi sering berbicara seorang diri. Dia merasa punya seorang teman. Raga yang ditempatinya adalah milik Casandra, tetapi jiwanya tetap Kinanti. Mereka berbagi tempat.Kinanti men
“Lain kali ajak om, jika ingin jalan-jalan. om bisa menunjukkan banyak hal baru jika kamu mau.”Kinanti tak habis pikir. Seperti apa hubungan Casandra dengan papa tirinya. Apa mereka sedekat itu? Hingga biasa jalan-jalan bersama saat malam?Teringat jika di buku diary yang ditulis Casandra dia justru memanggil papa tirinya dengan ‘lelaki itu’. Itu artinya hubungan mereka tidak sedekat itu. Kinanti malah merasakan ada kebencian mendalam Casandra.Sayangnya Kinanti belum selesai membaca buku diary itu. Dia bertekad akan membacanya saat naik ke kamar tidur Casandra nanti.“Oh, ok. Next time! Aku mau tidur dulu.” Kinanti menyudahi pembicaraan. Dia merasa tidak ada hal lagi yang bisa dibicarakan dengan papa tiri Casandra, ingin segera melanjutkan membaca diary Casandra untuk mengetahui semua hal tentang dunia baru dan lingkungan si pemilik tubuh.“Kenapa aku merasa papa tiri Casandra adalah tipe orang yang sama dengan Gunawan.” Sudut mata Kinanti melirik ke arah belakang. William, papa
Kinanti meraih jaket di belakang pintu. Sepertinya jaket hoodie hitam itu sering dikenakan oleh Casandra. Masih tersisa aroma parfum di sana. Dia mengikat asal rambutnya sebahunya. Berjalan keluar dari kamar. Menyusuri koridor untuk sampai anak tangga.Rumah mewah itu selalu sepi. Orang tua pemilik tubuh asli Kinanti pasti bekerja setiap hari. Casandra mungkin kesepian."Apa yang mungkin jadi masalah Casandra di rumah ini? Kedua orang tuanya terlihat menyayanginya?""Dia punya segalanya."Sambil menuruni anak tangga, dia melihat ke sekeliling rumah berlantai dua itu. "Kecuali di sekolah, sepertinya dia adalah target Bullyan teman sekelasnya."Kinanti memastikan tidak ada yang mengikutinya. Dia membuka pintu utama sangat pelan. Keluar dengan santai, itu rumahnya."Aku tak perlu takut, ini adalah rumahku sendiri." Kinanti berbicara seorang diri untuk mengurangi gugup dan ketakutannya. Mendekati gerbang, Kinanti segera mengintip dari sela jerujinya. Menatap keadaan di luar, itu adala
Semua hal yang tersaji di depan mata kadang tak sama dengan kenyataan yang ada. Ada beberapa orang yang selalu memakai topeng, menutupi wajah asli mereka. Netra melihat rupa, tetapi hati bisa melihat semua.Kinanti mulai memahami dunia ini. Ada banyak hal yang harus dirasakan dengan hati. Dipertimbangkan dengan logika agar semua menjadi jujur apa adanya.“Kamu belum tidur, Casandra?”Kinanti tersentak kaget. Dia tidak mendengar pintunya dibuka apalagi suara derap langkah. Tiba-tiba saja, Papa tiri Casandra sudah ada di belakang tempat duduknya. Kinanti berbalik, “Bb-elum, Om.”“Ada perlu apa, Om kemari?” Di balik punggungnya Kinanti menutup buku diary Casandra. Menggesernya lebih ke tengah meja belajarnya.“Kenapa jadi canggung lagi? Saat di meja makan tadi kamu lebih terlihat santai?”“Ah, itu hanya perasaan Om,” kilah Kinanti.Entah kenapa Kinanti merasa risih dan tidak suka dengan tatapan suami mama Casandra ini. Jadi dia beringsut. Melangkah ke samping. Setidaknya tidak berada di
“Kinanti … Kinanti … Kinanti ….” Sayup-sayup Kinanti mendengar suara ibunya memanggil. Dia menoleh ke segala arah, “Ibu … Ibu di mana? Ibu ….” Kinanti terus meracau dalam tidurnya. Memanggil ibunya berulang kali, kerinduan dan kesedihan yang menumpuk membuatnya bermimpi buruk. “Casandra … Casandra?” Dalam kebingungan dia melihat bayangan ibunya tergulung kabut gelap. Perlahan-lahan kian samar dan menghilang. Kinanti mengerjap, keningnya basah oleh keringat. “Ibu …,” panggilnya ketika sadar dari mimpi. “Ada apa, Sayang?” Seorang perempuan langsung memeluk Kinanti. Mengelus rambutnya yang berantakan, “Kamu kenapa, Casandra?” Perempuan di hadapan Kinanti ini masih memakai pakaian kerja. Ada aroma parfum mahal khas orang-orang kaya yang biasa Kinanti cium saat pelanggan di perpustakaannya datang. Tahulah Kinanti perempuan itu ada di sana karena pemilik tubuh asli. Dia pasti ibu dari Casandra pikir Kinanti, “Aku bermimpi Bu,” ucap Kinanti. Perempuan yang memeluknya merenggangkan pel
Berpijak di atas bumi yang sama, menatap matahari dan bulan yang tetap bersinar bergantian tiap harinya. Langit yang selalu berwarna dasar biru dengan sentuhan awan putih. Namun, di ruang dan waktu yang berbeda. Kinanti masih belum memahami di mana kini dia berada?Hidup keduanya lebih membingungkan untuk dijalani. Kenapa dia tidak mati saja. Setidaknya dia tahu tujuan kehidupan setelahnya, jika tidak ke surga pasti ke neraka.Bentuk gedung, jalan, lingkungan dan daerah yang sama, tetapi dengan nama berbeda. Dia hampir mati kebingungan saat memikirkan semua ini.“Seharusnya, jika ini benar tahun 2013. Presiden negara Indonesia sekarang adalah Bapak Susilo Bambang Yudoyono, benar?”Sang supir menatap Kinanti dengan aneh dari kaca Spion, “Nona, Presiden Indonesia sekarang adalah Max Muhammad. Siapa itu Bapak Susilo Bambang Yudoyono?””“Apa? Aah, kepalaku makin pusing.” Kinanti terkaget. Semua hal sangat berbeda. Bagaimana dia bisa pulang ke tempat asalnya. Di mana dia berada sebenarnya