Share

2. Kekecewaan Kinanti.

"Amiin!"

Kinanti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ada setitik air bening yang hampir jatuh di sudut mata sayu itu.

Haidar, sang ayah membalikkan badan ke belakang. Mengulurkan tangan pada sang istri. Sang istri dengan takzim meraih punggung telapak tangan sang suami dan menciumnya.

Kini, giliran Kinanti yang mencium telapak tangan Ayahnya.

"Cepatlah bersiap-siap, setelah ini keluarga Imran akan datang," titah sang Ayah.

"Iya, Ayah. Sebentar lagi, Kinanti masih ingin membaca qur'an."

Haidar membalikkan badannya kembali, menatap sajadah di hadapannya.

Kinanti meraih sesuatu di atas sajadahnya,  segera memakai kacamata dan membuka sebuah buku. Mirip buki tulis namun lebih tebal. Ia mencium sampul qur'an di tangannya. Mulai membuka lembar demi lembar halaman. Mencari pembatas berwarna kuning, penanda halaman terakhir yang dibacanya.

"Ibu, masih banyak pekerjaan di dapur. Tolong lipatkan sajadah ibu nanti, ya, Kinanti."

Kinanti menoleh ke arah suara lalu mengangguk, "Iya, Bu!"

Setelah menjawab perkataan dari ibunya, Kinanti mulai larut dalam ayat demi ayat yang dibacanya. 

Haidar Baskoro tersenyum melihat anak sulungnya. Ada kebanggan sebagai orang tua memiliki anak sepenurut dan pintar bertadarus quran seperti Kinanti. Setelah melipat sajadah Ayah Kinanti keluar dari ruang salat. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat subuh berjamaah. Sementara, adik Kinanti sedang mendapat tamu bulanan. Ia masih tertidur pulas di atas ranjangnya.

"Ayah, coba lihat nasi di dalam magicom  apa sudah matang?" teriak ibu Kinanti dari dapur.

Haidar Baskoro mendekat ke meja makan, membuka tutup magicom, asap mengepul ke udara, "Sudah, Bu."

Terdengar suara kompor yang dimatikan. Tak lama suara langkah kaki yang mendekat ke meja makan. Wajah ibu Kinanti muncul dari dapur.

"Alhamdulilah, sotonya juga sudah matang. Persiapan jamuan untuk keluarga Imran, sudah selesai."

"Di mana, Kinanti? Apa dia sudah bersiap-siap, Bu?"

Haidar bertanya pada sang istri. Ibu Kinanti menggelengkan kepala, tanda tak tahu, "Jangan-jangan dia masih berada di ruang salat?"

Ibu Kinanti melangkah dengan cepat menuju ruang salat. Benar saja, Kinanti masih memakai mukena berwarna putihnya. 

"Kinanti, cepat siap-siap! Sebentar lagi keluarga Imran, akan datang!" pekik Ibunya.

Kinanti yang terkesiap langsung menyudahi bacaan Qurannya, "Sadaqallahuladzhim."

Kinanti bangkit dari duduknya, melepas mukena putih dari tubuh, "Apa Imran benar-benar mau berta'aruf denganku, Bu?"

"Tentu saja. Kamu itu cantik Sayang, tersenyumlah!"

Dua sudut bibir Kinanti terangkat naik, melukiskan gambar bulan sabit. Gadis itu terlihat senang. Sang Ibu memberi pujian, sebuah dukungan yang sanagat ia butuhkan. Di umurnya yang ke dua puluh tujuh, ia belum pernah merasakan apa itu pacaran. Bukan, karena dia tak cantik. Ia selalu patuh pada nasihat orang tuanya. 

"Jika kamu sayang pada kami, orangtuamu. Jangan biarkan kami menanggung siksa neraka karena kamu mendekati zina, jangan berpacaran."

Kata-kata Ayah Kinanti saat ia masih duduk di kelas satu SMA waktu itu, selalu terngiang di kepala Kinanti. Perkataan yang akhirnya terpatri dalam hatinya hingga sekarang. 

Kinanti tak tahu bagaimana caranya mendekati seorang pria. Terlebih cara berpakaiannya yang selalu mengenakan pakaian panjang dan kebesaran membuat Kinanti tampak lebih tua sepuluh tahun dari umurnya.

Ia meminta Haidar Baskoro yang mencarikan calon suami untuknya. Kinanti ingin menikah, di umurnya yang sekarang banyak gadis yang sudah memiliki dua orang anak. Namun, dari ke lima belas lelaki yang pernah mencoba datang dan menemui Kinanti, mereka mundur.

"Kinanti, ayo, cepat!"

Ibunya berlalu di pintu. Berteriak dengan nada panik menyuruh Kinanti lebih cepat merias diri.

Kinanti menyisir rambut kecokelatan yang panjang dan bergelombangnya lebih cepat. Mengikat dengan tiga kali putaran.

Kinanti menyemprotkan minyak wangi beberapa kali ke tubuhnya. Setelah dirasa cukup gadis itu pergi ke ruang tamu. Ia duduk di sebelah ayahnya, menunggu.

Terdengar nada dering dari ponsel Haidar. Ayah Kinanti cepat-cepat mengangkat ponselnya.

"Halo, assalamualaikum?"

Haidar bersemangat saat mengangkat panggilan. Namun, setelah beberapa saat menempelkan benda pipih di samping telinganya. Dua sudut bibir Haidar merosot turun.

"Oh, ba-baiklah! Tidak apa-apa." Kekecewaan tergambar jelas di wajah Haidar. 

Ayah Kinanti menutup panggilan telepon itu. Tanpa mengucap salam.

"Ada apa, Ayah?" tanya Kinanti dengan penasaran.

"Itu tadi, Ibu dari Imran. Ia meminta maaf karena tidak jadi datang hari ini. Ibunya telah mengatur beberapa pertemuan ta'aruf untuk Imran. Ia mencari calon istri hafiz Al-quran untuk anaknya, atau paling tidak telah khatam Al'quran dan seorang lulusan universitas negeri terbaik," jelas Haidar.

"Lalu?" tanya Kinanti tak mengerti.

"Sepertinya, keluarga Imran telah menemukan kriteria calon istri yang mereka inginkan."

Haidar melemparkan pandangan ke luar jendela. Matahari telah bersiap memberi kehangatan ke seluruh dunia. Namun, tidak memberi kehangatan pada anak gadisnya. Perjodohan Kinanti gagal lagi.

Selalu seperti itu. Semua lelaki yang akan dijodohkan Ayahnya mundur karena sebuah alasan yang terkesan dibuat-buat. 

Dua bulan yang lalu, seorang lelaki datang bersama keluarganya. Namun, ia tak memberikan kepastian akan melanjutkan berta'aruf dengan Kinanti atau tidak. Haidar merendah dan mencoba menelepon keluarga sang lelaki terlebih dahulu.

"Maaf, anak Bapak, sepertinya terlalu tua untuk saya!"

Haidar mengelus dadanya. Ia merasa nyeri. Anak gadis cantiknya dikatakan terlihat tua. Tanpa menjawab Haidar memutus sambungan telepon. Seorang Ayah tentu saja bertanggung jawab mencari pasangan untuk putrinya. Jika para lelaki itu hanya melihat fisik, maka suatu saat ia pun akan pergi karena fisik semata. Mudah tergoda.

"Jangan bersedih, Sayang. Nanti, pasti Ayah akan menemukan seorang lelaki yang benar-benar baik dan mau menerimamu apa adanya!"

"Aku tak sedih Ayah," ucap Kinanti. Gadis itu menutupi kekecewaannya dengan segaris datar senyuman. Mencoba tampil kuat di hadapan sang Ayah.

Kinanti berjalan dengan cepat menuju kamar tidurnya. Meninggalkan sang Ayah yang masih terduduk kecewa.

Kinanti menutup pintu kamarnya. Tanpa Ayah dan Ibunya tahu, ia menangis. Disekanya air mata yang turun membasahi pipi. Telah berkali-kali hatinya patah sebelum memulai suatu hubungan. Harapannya yang melambung tinggi kembali terjatuh ke tanah, hatinya remuk untuk berharap.

"Kenapa? Kenapa ... Ya Allah?" gumam Kinanti sambil menyeka air matanya.

"Tidak, aku tidak boleh sedih. Hidup terus berjalan. Jika aku terpuruk sekarang, aku takkan bisa membuktikan pada dunia bahwa Kinanti itu Kuat."

Kinanti menatap pantulan bayangannya di cermin. Ia segera berganti pakaian. Mengambil tas kerjanya. Berjalan keluar dari kamar masih dengan memakai topeng kuat.

"Kinanti pergi kerja dulu Ayah," pamit gadis berambut panjang itu.

"Tunggu Ayah, akan berangkat bersamamu."

Kinanti menghentikan langkahnya. Menunggu sang Ayah yang sedang berganti pakaian.

"Loh? Kalian akan bekerja?" ucap Ibu Kinanti.

"Iya, Ibu."

Kinanti tersenyum dan meraih punggung telapak tangan ibunya. Berpamitan.

"Bukannya kalian telah izin untuk mengambil cuti hari ini?"

Ibu Kinanti menatap suami dan anaknya bergantian, bingung.

"Keluarga Imran tak jadi datang, itu bagus. Kinanti tak perlu izin cuti. Toh, sekarang masih jam tujuh pagi. Masih cukup waktunya untuk berangkat bekerja," jelas Kinanti.

"Betul itu, hidup adalah uang. Dan uang adalah waktu," tambah Haidar Baskoro.

Ayah dan anak itu memiliki sifat yang hampir sama. Kinanti sangat mengagumi sosok Ayahnya. Prinsip-prinsip hidup yang ditanamkan sang ayah selalu dipegangnya kuat.

"Ayo, Kinanti kita berangkat!"

Haidar Baskoro telah berada di dekat pintu. Dengan kemeja putih dan celana berwarna hitam. Tak lupa sepatu pantofel berwarna hitam dan tas kerja dari kulit. Gagah, itulah satu kata yang tepat untuk mengekspresikan penampilan Ayah dua anak perempuan itu.

"Huuuaaahhhmm …."

Karenina baru saja terbangun. Ia menguap sambil berjalan, "Ayah dan kakak mau berangkat bekerja? Looh, tidak jadi pertemuan keluarganya?"

Tanpa menjawab Haidar Baskoro dan Kinanti membuka pintu keduanya melangkah keluar dari rumah.

"Pertemuannya tidak jadi!" jawab sang Ibu.

"Tidak jadi lagi?" celetuk Karenina. Ia menggaruk-garuk rambutnya yang tak gatal.

"Lalu … bagaimana dengan pernikahanku dengan Bram, Ibu?"

"Tunggu sampai kakakmu, mendapatkan seorang lelaki. Apa kamu tak kasihan dengan, Kinanti? Apa kamu mau kakakmu jadi perawan tua, karena kamu melangkahinya?" gerutu sang ibu.

"Ya allah, ini sudah lelaki ke lima belas yang dicarikan Ayah untuknya, Ibu. Mungkin ada yang salah dengan Kakak. Suruh dia mengganti gaya berpakaiannya!" protes Karenina.

***

To be Continued…

Tunggu kisah Kinanti selanjutnya ya,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status