"Tunggu sampai kakakmu, mendapatkan seorang lelaki. Apa kamu tak kasihan dengan, Kinanti? Apa kamu mau kakakmu jadi perawan tua, karena kamu melangkahinya?" gerutu sang ibu.
"Ya allah, ini sudah lelaki ke lima belas yang dicarikan Ayah untuknya, Ibu. Mungkin ada yang salah dengan Kakak. Suruh dia mengganti gaya berpakaiannya!" protes Karenina.
"Diam kamu Karenina, jangan menambah masalah. Coba bayangkan jika kamu yang berada di posisi, Kinanti!"
"Aahhh, kalian pilih kasih!" sungut Karenina.
Adik Kinanti berdiri dari sofa ruang tamu. Ia berjalan menuju kamarnya. Menutup pintu dengan keras.
"Ini tidak bisa dibiarkan! Mau sampai kapan Kakak tak punya pacar, apalagi calon suami untuk diajak menikah?!"
"Kalau Kakak, tak mendapatkan calon suami. Kapan aku akan menikah? Bram akan meninggalkanku," gumam Karenina lagi.
Karenina berjalan hilir mudik di dalam kamarnya. Alisnya berkerut, ia sedang berpikir dengan keras.
"Aha!"
Dua sudut bibir Karenina terangkat ke atas. Adik Kinanti mendapatkan ide sepertinya. Ia berjalan menuju nakas samping ranjangnya. Mengambil benda pipih yang tergeletak di sebelah lampu hiasan duduk.
Karenina mengusap layar ponsel. Menekan tombol panggilan. Kini, gadis itu mengangkat ponsel ke samping telinganya.
"Halo …."
"Sayang, bisakah kamu mengatur jadwal bertemu untuk Kakakku dengan salah seorang temanmu yang jomblo?"
Panggilan dimatikan. Karenina menaruh ponselnya kembali di atas nakas, "Semoga semuanya berjalan lancar!"
Karenina mencoba mengatur pertemuan sang kakak dengan teman kerja pacarnya. Bram sang pacar ingin segera menikah dengan Karenina. Namun, Haidar belum menyetujui rencana mereka itu. Kinanti harus menikah lebih dulu atau akan menjadi perawan tua seumur hidup. Pamali melangkahi seorang kakak wanita menikah. Mitos, yang tidak beralasan tetapi banyak terjadi di Indonesia ini.
Sementara itu Haidar dan Kinanti berjalan di lorong apartemen. Keduanya sama-sama saling diam. Tiba di depan lift, Haidar menekan angka satu. Mereka akan menuju lantai dasar. Lama, lift itu tak kunjung terbuka.
"Ada apa ini? Apa liftnya macet atau listriknya mati? Kenapa liftnya belum juga turun?" gerutu Haidar sambil terus memencet angka satu di tombol dinding lift.
"Sabar, Ayah!"
Haidar melirik jam di pergelangan tangannya, "Sudah sepuluh menit, Nak! Ayo, kita turun lewat tangga darurat saja," perintah Haidar kemudian.
Kinanti menurut pada perintah ayahnya. Segera membalikkan badan dan mengikuti Haidar. Apartemen mereka terletak di lantai empat. Cukup melelahkan jika harus menggunakan tangga.
"Ada apa dengan liftnya?!" tanya Haidar saat bersisipan dengan seorang lelaki di tingkat tiga. Ia baru saja masuk dari pintu.
Lelaki berpakaian formal itu tampak terburu-buru. Ia akan berangkat kerja juga sepertinya, "Entahlah, saya juga sudah menunggu lama tadi."
Akhirnya mereka bertiga mencoba keluar dari tangga darurat menelusuri lorong di lantai dua menuju lift. Beberapa meter dari lift ketiga orang itu mendengar suara gaduh. Seseorang sedang bertengkar di dalam lift, pintunya terbuka.
"Kubilang semua hanya salah paham! Dengarkan aku Gisella." Giovani Agusta menatap tajam sang kekasih yang meronta.
"Lepaskan aku, Gio!" Perempuan di dalam lift mencoba menghempaskan tangan Gio. Ia akan keluar dari lift. Lelaki bertato memegang tangan perempuan cantik itu, menahannya. Mereka berdiri di tengah pintu lift yang terbuka, sekarang.
"Tidak sebelum kamu mengerti apa yang sebenarnya terjadi!" bentak lelaki bertato.
Mata Kinanti berbinar menatap wanita yang berada di dalam lift. Wajah wanita itu pernah muncul pada majalah yang dibacanya. Seorang ahli kecantikan juga consultant kecantikan.
"Kamu lagi! Semalam kamu menyetel musik dengan keras membuat kami tak bisa tidur. Sekarang kamu bertengkar di dalam lift, keterlaluan!" hardik Haidar pada lelaki bertato.
Lelaki bertato bukannya menjawab malah menatap tajam pada Haidar.
"Apa Bapak, tidak punya sopan santun? Menyela kami yang sedang berbicara? ikut campur urusan kami?" sergah lelaki itu dengan dingin.
Lelaki bertato kembali mengarahkan pandangannya pada sang kekasih. Tak menghiraukan keberadaan Haidar, Kinanti juga seorang lelaki lagi yang masih terheran menatap tingkahnya.
"Dengarkan aku Giselle, aku akan menjelaskan semuanya."
Agusta Giovani terus mencoba membujuk kekasihnya yang terlihat marah. Entah apa penyebab pertengkaran mereka.
"Kinanti, ayo, kita teruskan lewat tangga darurat. Percuma saja menyuruh lelaki gila itu keluar dari lift."
Tanpa menjawab Kinanti mengikuti langkah ayahnya yang berjalan menjauh dari lift.
"Dasar bajingan, lelaki pembuat onar! Bagaimana bisa kita tinggal dalam satu lingkungan dengan lelaki seperti itu? Bagaimana pemilik apartemen mengijinkannya menyewa!?"
Haidar terus menggerutu sepanjang menuruni tangga darurat. Wajahnya memerah, terlihat sangat kesal.
"Sudah Ayah, hemat tenaga. Percuma menggerutu di belakang orang itu. Lebih baik simpan tenaga Ayah. Sebentar lagi Ayah akan berangkat bekerja!"
Kinanti menggelengkan kepala melihat Haidar yang terus mengomel karena kesal.
"Pak Sanip, kenapa seorang kriminal pembuat onar bisa menyewa kamar di tempat ini?"
Ayah Kinanti menghentikan langkah, mereka berpapasan dengan Sanip. Security apartemen itu. Ia adalah orang kepercayaan pemilik apartemen.
"Aku juga tak tahu, Pak." Sanip mengangkat kedua pundaknya seirama dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"Katakan pada pemilik apartemen ini supaya mengusirnya!" hasut Haidar lagi. Ayah Kinanti itu terlihat sangat tidak menyukai pria bertato tadi, "Lingkungan apartemen kita jadi tidak nyaman karena ada dia!"
"Kalau aku pemilik apartemen ini. Sudah sejak lama kuusir dia, Pak! Bukan hanya Pak Haidar yang mengeluh, hampir semua penghuni juga tak suka padanya," terang Sanip lagi.
"Ayah, ayo!"
Kinanti mengangkat jam di pergelangan tangannya. Sebuah kode agar mereka meneruskan langkah, waktu semakin berputar dan perjalanan menuju tempat kerja mereka masih jauh.
Tanpa mengucap salam, Haidar yang berapi-api menyampaikan protesnya terhadap lelaki bertato melangkah pergi. Sanip sang security juga kembali berjalan menyusuri lorong.
Di tanggal muda seperti ini Sanip akan mengunjungi tiap apartemen mengambil uang iuran keamanan juga kebersihan.
Apartemen dengan lima lantai itu sudah dihuni Haidar sejak lama. Saat baru pindah, Kinanti baru kelas tiga sekolah dasar. Kini, anak sulungnya itu sudah berumur dua puluh tujuh tahun.
Di luar gerbang apartemen Haidar dan Kinanti berpisah. Arah tempat kerja mereka berbeda. Kinanti bekerja sebagai resepsionis di sebuah perpustakaan kota. Anak sulung Haidar sangat senang bekerja di sana, terlebih gadis itu suka membaca. Ia hampir hapal semua buku yang ada di perpustakaan itu.
"Kinanti berangkat kerja dulu Ayah," pamit Kinanti. Ia mencium punggung tangan kanan ayahnya sebelum mereka berpisah.
"Hati-hati di jalan, Nak!"
Tanpa mereka ketahui, di lantai empat seseorang mengamati tingkah laku ayah dan anak itu dari jendela kamarnya. Menatap wajah cantik Kinanti dengan terpesona.
Di depan apartemen itu ad halte bus. Haidar langsung menuju halte itu. Sementara Kinanti berjalan ke arah timur, di perempatan itu banyak taxi dan ojek online yang berlalu-lalang. Ia akan menaiki salah satu angkutan umum dari sana.
Tak berapa lama menunggu sebuah mobil berwarna biru mendekat pada Kinanti.
"Taxi?"
Sang supir melongok dari jendela, tersenyum ramah pada Kinanti. Menawarkan tumpangan.
Kinanti segera mengangguk. Menarik pintu mobil dan duduk. Kembali ia melirik pada jam di pergelangan tangan.
"Tolong cepat ya, Pak!" perintah Kinanti yang disusul oleh anggukan kepala sang supir.
***
To be Continued...
Hai-hai, jumpa lagi dengan author remahan rengginang. Ini adalah cerita keduaku. Semoga kalian sukaa...
Ikuti terus kisahnya ya... jangan lupa tinggalkan jejak, kritik dan saran kalian sangat membantu saya sebagai penulis.
"Tolong cepat ya, Pak!" perintah Kinanti yang disusul oleh anggukan kepala sang supir."Kemana ini, Neng tujuannya?""Ke Kebayoran Baru. Gedung perpustakaan kota, Pak."Lelaki di balik kemudi mobil itu mengangguk. Menekan pedal gas dan mengarahkan taxinya menuju pusat kota Jakarta Selatan. Ada sebuah gedung perpustakaan besar berlantai dua di sana.Kinanti terdiam, tak ada guratan senyum di wajahnya. Gadis cantik berkacamata itu melemparkan pandangan ke luar jendela. Merenungi nasib cintanya. Ia ingin memiliki seorang kekasih, kalau bisa langsung menikah karena umurnya yang sudah tak muda lagi. Namun, para lelaki tak ada yang melirik gadis itu.
Pov Kinanti Nur Cahyani.Aahhh … aku tak bisa tidur. Memikirkan janji bertemu dengan rekan kerja kekasih Karenina, besok. Entah kenapa membayangkan bertemu dengan seorang lelaki yang tak kukenal membuat jantungku berdebar-debar.Kembali aku merubah posisi tidur. Miring ke kiri lalu miring ke kanan. Semoga saja semuanya berjalan lancar. Lelaki itu tertarik dan mau melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius. Berta'aruf lalu segera menikah. Amiin.Aku harus segera tidur. Besok ada janji bertemu dengan seseprang. Malam makin larut tetapi kenapa mataku rasanya tak ingin terpejam.Kenapa hanya membayangkan bertemu dengan seorang lelaki saja membuat pipiku terasa panas?Salahkah aku berharap? Aku tahu saat berharap terlalu tinggi, kekecewaan yang didapat akan semakin besar. Sudah banyak lelaki kutemui. Namun, mereka semua mundur tak ingin melanjutkan proses ta'aruf.
Pov KinantiAku termenung sendirian di dalam kamar. Duduk menatap keluar jendela kamar. Anging berhembus perlahan menggerakkan pepohonan. Sinar lampu berwarna kuning di pinggir jalan itu tertutup dedaunan. Terkesan remang-remang."Tiga bulan lagi?"Bagaimana ini? Bisakah aku mendapatkan seorang lelaki yang mau menikahiku sebelum tiga bulan?Selama dua puluh tujuh tahun umurku ini belum pernah aku merasakan pacaran. Lalu bagaimana caranya mengajak seorang lelaki menikah?Ah, iya, lelaki bertato di kamar 5076 pasti bisa menolongku. Kekasihnya adalah konsultan kecantikan, pasti Gisella Parawansa itu bisa membuatku tampil cantik. N
Pov Kinanti. "Jangan-jangan, kalian …?" "Laporkan saja mereka. Ini termasuk tindakan asusila!" Pak Burhan, Pak Sanip dan beberapa warga lain berdiri di depan kamar tidur lelaki bertato, menatap kami dengan tajam. Seakan-akan menuduh kami melakukan sesuatu di luar norma agama. Tidak, aku tidak seperti yang mereka sangkakan. Aku langsung berdiri, menjauh dari pemilik kamar ini. Gio berusaha berdiri dari telengkupnya, ia meringis menahan sakit di punggung. "Ini semua tidak seperti yang kalian pikirkan." "Hallah, mana ada maling ngaku?" "Laporkan saja mereka! Nikahkan mereka!" "Cepat panggil Pak Haidar, kemari!" "Ti-tidak, jangan beritahu, Ayahku. Dia akan sangat marah. Tolong …!" Aku memelas, kembali mengatupkan kedua tangan. Memohon pada Pak Sanip agar ia tak memberitahukan hal ini pada Ayah. Air mataku kembali meleleh, keringat juga membasahi kening dan wajah. Aku sangat ketakutan, situasinya begitu menegangkan. Bagaimana jika ayah tahu aku berada di sini? Lelaki paruh baya
Pov Penulis. "Ayahmu, sedang benar-benar marah, Ibu akan membantu membujuknya. Sementara pergilah, tunggu sampai Ayahmu tenang dan menyadari kesalahannya," ucap Ibu Kinanti. Kinanti merasa tenang sang ibu masih menyayanginya. Tak marah seperti Haidar. Namun, kemana dia harus pergi? Kinanti mendesah, "Bagaimana ini?" "Apa yang harus kulakukan sekarang?" "Kenapa kamu masih ada di sini?" teriak Haidar Baskoro. Lelaki yang sangat dihormati Kinanti itu membuka pintu kamarnya, ia menatap marah pada Kinanti yang masih berpelukan dengan Aminah. Mata Kinanti kembali memanas. Lelehan lava bening akan tersembur keluar. Sangat sakit, diusir oleh ayahnya sendiri. Orang yang sangat disayang juga dihormatinya. "Cepat pergi dari rumah ini, seorang pezina sepertimu tidak diterima di sini!" Haidar mengangkat tangan, menunjuk pintu keluar. "Kasihan Kinanti, dengarkan dulu dia berbicara," bela Aminah. Wanita yang melahirkan Kinanti itu melepas pelukan. Berjalan menuju Haidar. Meminta belas kas
Keesokan paginya …. Kinanti sengaja bangun lebih pagi hari ini. Bersiap untuk berangkat kerja dan mengemasi beberapa potong pakaian. Selepas menunaikan salat subuh dia memasukkannya ke dalam tas plastik berwarna hitam. Berjalan mengendap-endap keluar dari kamar. Kinanti melirik kamar tidur Gio, "Apa aku harus meminta izin padanya?" "Apa ia akan mencariku nanti?" "Ah, tak usah. Paling juga masih tidur!" Kinanti bergumam sambil berjalan menuju pintu. Kinanti berlalu dari depan kamar lelaki bertato. Melewati dapur, menatap sekilas ke arah kompor. Saat membuka laci lemari, Dia sempat melihat sekarung beras, "Ah, akan kumasakkan Gio nasi. Sebagai balasan sudah mengizinkanku menumpang di apartemennya semalam." Kinanti mengurungkan niatkuntuk langsung berangkat bekerja, masih cukup waktu. Dia berbelok menuju dapur, mengambil penanak di dalam magicom. Mengisinya dengan tiga takar beras lalu segera mencucinya. Memberi segelas air, terakhir tinggal menyalakan magicom. Selesai. Terdengar
"Tuhan, terima kasih mempertemukanku dengan Abimanyu." Kinanti tersenyum menatap langit. Mengalihkan pandangan dari langit ke gedung di hadapan Kinanti. Bangunan dua lantai dengan beberapa kaca besar di tingkat duanya. Membuat suasana di dalam ruangan begitu terang oleh cahaya saat pagi dan siang. Perpustakaan Ilmu. Kinanti membaca sekilas sebuah plang kayu yang tertancap di depan gedung tadi. Dia berjalan memutar melewati samping gedung bercat warna putih. Ada satu kamar mess karyawan di sana. Kinanti ingin mencoba bertanya. Plastik hitam di tangan masih digenggam. "Dimana aku akan tinggal?" "Ayahku sendiri telah mengusirku karena kecewa. Sementara lelaki yang mengatakan akan menikahiku? Ah sudahlah!" "Sepertinya lelaki bertato itu hanya ingin mempermainkanku. Ia hanya menyuruhku ini dan itu. Terkadang aku lebih mirip seperti seorang pembantu di apartemennya." Kinanti berhenti bergumam seorang diri. Berdiri mematung di depan pintu, mengumpulkan keberanian. Harusnya para cleani
"Bye, see you in home!" ucap Hergio sambil melambaikan tangan. Lelaki itu berjalan menjauh. Kinanti menatap punggung atletis yang kian menjauh itu. Dua ciuman sehari ini, "Apa dia mencintaiku? Gio pasti tertarik padaku makanya dia menciumku. Iya, 'kan?" Kinanti berlari kecil ke toilet di belakang perpustakaan. Dia bukan ingin buang air kecil. Perempuan berusia dua puluh tujuh tahun itu ingin memastikan sesuatu. Sembari menatap pantulan diri di dalam cermin, dipegangnya kedua pipi. Ada warna merah menyebar di sana. Ya, pipi Kinanti merona merah. Perlakuan manis Gio tadi, sukses membuatnya terbang ke awan. Telunjuk tangan Kinanti kemudian turun ke bibir. Adegan saat Gio melumat paksa bibir dan akhirnya mereka berciuman di belakang pintu terputar di ingatannya lagi, "Ah … aku pasti sudah gila!" Mengingat semua itu jantung Kinanti berdegup dengan kencang. Pipinya kembali merona merah. Dia bergumam, "Kenapa aku menyukai sikap liar dan agresifnya?" "Jangan-jangan aku menyukainya?" Se