"Aku ingin pulang, kangen kalian semua."Tentu saja itu adalah hal yang ada dalam hati Kinanti. Tidak mungkin dia mengurai permasalahannya pada sang adik. Kinanti mencuri pandang ke dalam apartemen Haidar Baskoro. Tempat itu selalu rapi, letak perabotan yang selama berpuluh tahun tetap sama. Tidak ada yang berubah. Hanya dengan melihat perabotan dia merasa nyaman. "Ah, ngapain pulang. Ayah sama Ibu pasti pilih kasih lagi. Kalau ada Kak Kinanti, semuanya pasti lebih sayang dan perhatian ke Kakak!""Apa?" Kinanti mengernyit tidak begitu mendengar gumaman yang keluar dari mulut Karenina. "Ah, nggak! Masuk Kak, duduk." Karenina membukakan pintu. Saat berbalik menuju sofa bibirnya mengerucut. Kinanti masuk ke dalam apartemen ayahnya lagi. Rumah itu selalu hangat dan nyaman. Sama seperti matahari pagi. Dia tersenyum lebar. Karenina sudah lebih dulu duduk. Menatap Kinanti dengan tajam. Dia tidak suka senyuman di wajah kakaknya itu. Adik Kinanti terpaksa tersenyum dengan satu sudut bibir
***Kinanti langsung menoleh ke arah suara. Karenina dengan tergesa keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Dia menaruh ponselnya di meja, tanpa dimatikan. "Karenina, apa kamu sakit? Ada apa denganmu?" Ditaruhnya gelas air minum yang kosong. Berlari menuju Karenina. Sampai di kamar mandi, Kinanti bisa melihat Karenina berjongkok di dekat closed. Ada sisa air di dekat mulutnya. Wajahnya pucat, seperti kehabisan tenaga. "Ka-kak!""Apa kamu hamil?"Belum sempat Karenina menjawab pertanyaan Kinanti dia kembali mendekat ke closed. "Huekkk …." Karenina memuntahkan makanan dari perutnya. Kinanti dengan sigap mengelus-elus tengkuk adiknya. Wajahnya berubah cemas, khawatir Karenina kenapa-kenapa."Huekk!" Di muntahan terakhirnya hanya air liur yang keluar. Karenina menyeka mulut, bersandar ke dekat dinding. "Kakak bantu ke kamarmu." Kinanti memapah Karenina menuju kamar. Setelah mendudukkan Karenina di pinggir ranjang, Kinanti kembali ke dapur. Mengambil gelas dan menuangkan air hangat
Begitu membuka pintu angin berembus dari arah koridor apartemen, sedikit pengap bercampur debu. "Non Kinanti? Kebetulan ini mah!""Iya, Pak Sanip. Ada apa?""Ini kemarin penghuni kamar 5076, calon suaminya Non, kasih ini. Maaf, kemarin saya lupa."Pak Sanip security apartemen memberikan secarik kertas. Setelah itu dia pergi ke lantai bawah, kembali ke pos jaga. "Apa ini?"Kinanti masih berada di luar apartemen Haidar Baskoro. Dia membuka kertas itu. Di dalamnya ada pesan singkat dan sebuah nomor ponsel. 'Aku harus pergi. Ini nomorku 0812xxxxxxxx'Di bagian bawah pesan singkat itu ada nama Gio. Tentu saja orang cuek dan dingin seperti dia pasti irit kata saat menulis pesan. Hanya bagian penting dari apa yang ingin disampaikan yang ditulis. Dua sudut bibir Kinanti seketika mengembang. Secarik kertas itu laksana angin surga yang berembus di hatinya yang galau. "Dasar Gio, kenapa tidak dari kemarin!"Kinanti segera masuk dan menutup pintu apartemen. Dia berjalan cepat dan riang, menu
"Ha-halo, Assalamualaikum?"Terlalu senang dan bersemangat membuat Kinanti tidak dapat mengontrol nada bicaranya. "Gio? Apa ini kamu?"Untuk beberapa saat hening di seberang panggilan. Kinanti kesal setengah mati, si penelepon di seberang panggilan seperti mengajaknya bercanda. Jadi dia berteriak, "Giooo!""Kamu siapa, ya? Kenapa menelepon ke nomor ini?"Indera pendengaran Kinanti sangat hapal, tidak mungkin lupa. Suara di seberang panggilan bukan milik Gio, lebih berat, tenang dan dalam. Kinanti malu setengah mati. Mau bagaimana lagi? Dia tidak bisa menarik ucapan yang sudah keluar dari mulutnya. "Ma-maaf! Ini dengan siapa, ya?""Kamu yang menelepon ke nomor ini, malah balik bertanya.""Tidak Pak, sebelumnya nomor ini yang menghubungi saya dulu. Jadi saya kira ini nomor seseorang yang saya kenal.""Apa kamu mengenal Gio?"Mata Kinanti melebar demi mendengar orang di seberang panggilan menyebut nama calon suaminya. Artinya dia juga mengenal Gio. Siapa lelaki di seberang panggilan it
Detak jantung Karenina berlompatan mendengar suara menggelegar dari Haidar Baskoro. Dia masih sangat ingat ketika ayahnya mengetahui Kinanti tertangkap basah dalam kamar pemilik kamar 5076. Haidar Baskoro adalah tipe orang yang tidak mau disinggung atau dipermalukan. Kakaknya, Kinanti saja sampai diusir dari rumah, tidak dianggap anak gara-gara kedapatan sekamar dengan seorang lelaki. "Karenina, Jawab!" Sentakan keras dari Haidar Baskoro membuat seluruh tubuh Karenina melemas. Dia pikir anak dalam perutnya pasti sampai melonjak kaget. Ulu hatinya terasa sangat nyeri. "Ma-maafkan Karen, Yah," ucap Karenina dengan sangat pelan. Dia menunduk, tidak berani menatap wajah apalagi mata Haidar Baskoro, ketakutan. Haidar Baskoro merapat ke dinding. Lelaki tua itu kaget dan tidak menyangka kenyataan yang terjadi. "Bagaimana bisa, kalian berdua mempermalukanku sampai serendah ini? Putri-putri kecil yang kudidik dengan sangat baik kenapa semua berakhir seperti ini? Apa salah Ayah?" Ki
Sehari, dua hari, hingga seminggu kemudian Gio belum juga kembali. Kinanti makin gelisah menunggu calon suaminya. Dia mulai meragukan kesungguhan hati, bahkan berpikir jika Gio ingin lari dari pernikahan mereka. "Sebenarnya dia pergi kemana?"Kinanti menatap layar ponsel, "Kenapa setiap pesanku tidak dibalas?""Kakak, kenapa? Apa yang terjadi?"Kinanti menarik napas panjang. Mengembuskannya dengan sangat berat, "Gio, dia tidak dapat dihubungi.""Kubilang juga apa. Lelaki modelan kek dia gak bisa dipegang janjinya."Kinanti tahu yang dikatakan Karenina benar adanya. Dia tidak bisa marah atau mendebat perkataan itu. Dalam hatinya, Kinanti sama meragukan Gio seperti orang lain lain. "Ah, Kak," pekik Karenina. Matanya melebar dan bersemangat, "aku baru ingat. Kepala bagian tempat Mas Prasetyo bekerja baru saja bercerai."Kinanti mengernyitkan alisnya, tidak mengerti maksud Karenina, "Lalu?""Apa Kakak, mau kukenalin sama orang itu?"Kinanti sudah terlalu malas dengan fase berkenalan. Di
"Kamu Kakaknya Karenina?""Iya." Kinanti menarik segaris datar senyuman.Itu adalah pertanyaan yang sering dilontarkan banyak orang. Beberapa orang lagi akan berkata, 'Kok gak mirip? Cantikan adiknya!'Kinanti sudah terbiasa dengan semua pertanyaan itu. Banyak orang secara tidak sadar melakukan body shaming walau mereka tidak bermaksud seperti itu."Kamu cantik, kenapa belum menikah sampai sekarang?"Itu adalah kedua kali Gunawan mengatakan Kinanti cantik. Entah memang dia terpikat pada wajah ayunya atau memang sengaja memikatnya dengan pujian.Kinanti pikir Lelaki berumur sekitar empat puluhan di depannya mungkin sudah bertanya pada Karenina tentang kehidupan pribadinya."Yaa, begitulah. Terkadang manusia bisa merencanakan kapan dan dengan siapa akan menikah, tetapi semua itu adalah kehendak Allah. Mencintai itu nasib dan menikah adalah takdir."Mata Gunawan berbinar mendengar perkataan Kinanti yang begitu bijak."Berarti banyak lelaki tidak beruntung karena tidak bisa mendapatkan kam
Haidar Baskoro mendapat serangan jantung. Kata-kata Gunawan menusuknya seperti belati tepat di ulu hati. Kinanti, anak kesayangannya hamil. Bagaimana dia menghadapi dunia?Karenina sang adik juga sedang berbadan dua. Beruntung dia sudah menikah. Tidak ada yang akan membicarakan tentang itu. Namun, nasib Kinantinya berbeda.Anak kesayangannya yang polos itu tertangkap basah sekamar dengan berandalan, Gio. Lelaki bertato itu bahkan menghilang sebelum menepati janji menikahi Kinanti."Ibu … bagaimana keadaan Ayah?" Kinanti panik melihat ayahnya terbaring dengan alat bantu pernapasan di indera penciumannya.Siti Aminah menoleh ke arah pintu. Karenina, suaminya juga Kinanti baru sampai di ruang rawat."Sudah lebih membaik. Hanya napasnya masih tersengal." Siti Aminah menatap dengan iba ke atas ranjang. Lelaki yang sudah menemaninya menjalani hari itu tergeletak tak berdaya. Sudah beberapa kali serangan jantung menyerang Haidar Baskoro secara tiba-tiba.Karenina mendekat ke samping lain ranj