"Nayla! Siapkan makan siangku! Aku lapar!" teriak Zavier sambil memeluk bantal empuk dan masih enggan membuka matanya.
Hening ... Tidak ada sahutan, membuat pria tampan itu terpaksa membuka mata dan mengernyitkan alis.
Dengan malas, Zavier bangun dan terduduk di samping ranjang. Kedua matanya melirik koper yang berdiri kokoh di dekat pintu keluar. Dalam hatinya, Zavier tersenyum, berpikir bahwa Nayla tidak jadi pergi karena masih ada koper di sana.
"Nayla!" panggil Zavier sambil membuka pintu dan melihat ke luar kamar, mencari keberadaan Nayla, tetapi suasana di rumah itu tetap hening.
"Cuih! Selalu membuat marah!" Zavier masuk kembali ke kamar mandi dengan enggan dan menarik handuk lalu melangkah ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi, Zavier tidak bisa menemukan pakaiannya di atas ranjang. Biasanya, Nayla sudah menyiapkan pakaiannya untuk ke pesta.
"Apakah dia sedang memasak? Sungguh lamban sekali!" gerutu Zavier sambil membuka lemari dan mengeluarkan Tuxedo lalu memakainya.
"Mana dasiku?" Zavier masih juga berteriak dan merasa mulai terganggu karena Nayla juga belum muncul di hadapannya, seperti biasanya.
Wanita itu biasanya akan berlari dengan tergesa-gesa walau tubuhnya masih bau asap makanan.
Dengan menahan emosi, Zavier mulai membongkar laci berisi dasi yang sebelumnya tersusun rapi oleh Nayla.
"Bukan ini, ini juga terlalu panjang. Warna ini tidak cocok!"
Zavier membuang beberapa dasi yang sudah dicobanya ke lantai tanpa mempedulikan siapa yang akan menyusun kembali.
Setelah beberapa saat, Zavier berhasil mendapatkan dasi yang diinginkannya.
Pria itu bahkan kesulitan menemukan kaus kakinya dan semakin merasa kesal sambil menatap kosong ke arah pintu kamar. Sedikit curiga karena bayangan Nayla juga belum muncul.
"Nayla?"
Tanpa sengaja, mata Zavier melirik sebuah kertas catatan kecil di atas nakas samping tempat tidur.
"Selamat Tinggal, Zavier Abraham. Saya akan menunggu surat panggilan untuk menjalani persidangan cerai kita. Jaga dirimu baik-baik."
Zavier segera menggumpalkan kertas kecil itu dengan amarah yang sudah berhasil membungkus kepalanya.
"Kurang ajar!"
Zavier berdiri dan berjalan bolak-balik di kamarnya dengan gelisah sambil tetap menggenggam kertas kecil yang berisi kalimat menjengkelkan baginya. Kertas itu sudah mengumpal menjadi sebuah bola kecil nan kusut.
"Saya mau melihat kamu bisa bertahan sampai di mana tanpaku!" geram Zavier sambil mengertakkan gerahamnya.
Sementara di dalam bus, Nayla menerima panggilan dari Xander Abraham, sang mertua- Ayah dari Zavier Abraham.
"Kamu di mana? Papa mau mengunjungi rumah," ucap Xander tanpa menyadari apa yang sudah terjadi dalam kehidupan Rumah Tangga putranya.
Nayla tidak mampu menahan air mata dan tangisannya karena sungguh berat menceritakan kepada mertuanya itu.
"Saya akan bercerai dengan Zavier, Papa," sahut Nayla singkat.
"A-apa yang terjadi? Di mana kamu, Nak?" Xander merasa terkejut dengan berita yang baru diterimanya.
Nayla menggelengkan kepala dan berusaha menahan gejolak kesedihan yang ada dalam dirinya.
"Nayla, kemarilah. Singgah ke rumah Papa, Papa berjanji akan menyelesaikan masalah yang kamu alami. Mari kita bicara baik-baik. Zavier mungkin salah, tetapi saya sendiri yang akan memberikan pelajaran kepada putraku."
Xander berusaha membujuk Nayla, tetapi Nayla sudah berpikir sangat lama. Saat ini, dia sedang berada dalam sebuah bus yang akan membawanya ke kota lain.
Nayla bertekad untuk hidup bersama dengan sang adik yang masih dalam proses penyembuhan. Untuk apa tetap tinggal di rumah Zavier dan diperlakukan layaknya seorang pembantu Rumah Tangga?
"Tidak, Papa. Saya butuh waktu untuk menenangkan diri. Saya akan menghubungi Papa dan menanyakan kabar nanti. Selamat tinggal, Papa."
Usai mengatakan demikian, Nayla menutup panggilan dan segera mematikan ponselnya.
Sementara di pihak seberang, Xander mulai terbalut emosi dan segera menghubungi Zavier.
Dia merasa berhutang budi moral untuk menjaga Nayla karena hutang budi kepada Ayah Nayla. Ayah Nayla pernah membantunya sehingga dia terlepas dari jerat hutang dan hukum. Namun, waktu memisahkan keakraban dari kedua sahabat lama tersebut.
Sampai akhirnya, Xander menemukan Nayla di Rumah Sakit sedang menunggu operasi sang adik sementara Xander sendiri sedang menunggui Zavier yang baru saja kecelakaan.
Xander memutuskan agar Nayla menikah dengan Zavier juga atas dasar pertimbangan agar bisa menjaga anak sahabatnya tersebut.
Xander dapat membantu biaya pengobatan adik Nayla dan juga kebutuhan Nayla akan dipenuhi secara keseluruhan.
Namun yang Nayla alami adalah lain dengan kenyataan yang Xander harapkan. Zavier tidak pernah memperlakukan Nayla layaknya seorang istri.
Xander menghela napas panjang sebelum menghubungi Zavier.
"Zavier, kamu cari Nayla sampai ketemu atau aku akan mencoretmu dari daftar pewaris dan menyumbangkan semua hartaku kepada orang lain!"
Klik!
Panggilan diputuskan secara sepihak dan Zavier terduduk mematung di tepi ranjang. Menatap layar ponselnya tanpa berkedip.
Sebuah panggilan singkat namun suara sang Ayah terdengar jelas!
Pesannya sangat jelas!
Dia juga tidak pernah mengharapkan Nayla pergi. Walau demikian, dia tidak menginginkan sebuah pernikahan yang mengikatnya tanpa dia setujui.
Tahun saat dia sadar dari koma, dia terkejut karena tiba-tiba ada seorang wanita bernama Nayla yang mengaku sebagai istrinya.
Sementara Sefia Putri, mantan kekasih yang pernah berselingkuh dari Zavier berhasil merebut perhatian Zavier dengan licik.
Zavier merasa hutang budi karena mengira sang kekasih sudah merawat dan menjaganya dengan baik selama dia koma.
Tahun itu, Sefia sedang berada di samping Zavier tepat pada saat Zavier bangun dari koma, sehingga Zavier berpikir Sefia yang sudah merawatnya selama ini sementara Nayla sedang pergi ke pasar untuk membeli makanan.
Betapa terkejutnya Nayla pada saat dia pulang dari belanja dan mendapatkan Zavier sedang sarapan bersama Sefia dengan mesra.
Ingatan Zavier, tentu saja masih tentang Sefia Putri sebagai seorang kekasih yang dicintai olehnya.
Namun, hari demi hari berlalu dan entah sejak kapan, dia mulai merasa nyaman berada di samping Nayla.
Wanita itu juga sangat cantik dan menarik, serta telaten dalam pekerjaan rumahnya sehingga Zavier kehabisan akal untuk memperburuk hidup Nayla.
Zavier memecat semua ART di rumah besar itu agar dapat membuat hari-hari Nayla sangat sibuk dengan urusan rumah, sehingga dia bisa berhubungan terus dengan Sefia Putri.
Selain tidak menyukai keramaian, Zavier merasa hidup hanya perlu ada Nayla di dalam rumah besar tersebut.
Zavier bebas berjalan kemana-mana hanya dengan mengenakan handuk dan Nayla mampu melakukan semuanya. Demikian juga untuk kebutuhan biologisnya.
Selain itu, Zavier juga bisa bermesraan dengan Sefia Putri di luar rumah. Selayaknya masa pacaran yang indah dan ada seorang istri yang menunggunya dengan setia di rumah.
Zavier juga merasa Nayla mulai terbiasa dengan sikap yang dia tunjukkan karena wanita itu tidak pernah mengeluh. Sampai hari ini!
Zavier menatap kosong ke arah koper yang masih berdiri di samping pintu. Dia sudah mencari ke semua sudut rumah dan ruangan yang ada. Tidak ada bayangan wanita itu sama sekali.
"Sh*t!" teriak Zavier dengan marah. Dilemparnya telepon genggam ke atas ranjang. "Wanita sial itu bahkan tidak menghidupkan ponselnya!" Dengan gusar, Zavier menghempaskan pantatnya ke atas kasur yang dingin itu. Perasaannya galau dan kedua matanya penuh sklera merah, menandakan pria itu sangat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa. Sesaat kemudian, dia meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari rumah dengan tujuan ingin mencari Nayla. Sementara Nayla sudah sampai di depan rumah kecilnya. Rumah yang dibeli oleh Xander, mertuanya yang baik hati. Rumah kecil itu hanya memiliki dua kamar kecil dengan masing-masing ranjang single bed dan salah satu kamar ditempati oleh sang adik yang merawat dirinya sendiri."Kakak?" Nadira menyambut sang kakak yang terlihat sedikit pucat dan lelah. Nayla hanya tersenyum lalu memeluk sang adik. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya. "A-apa yang terjadi? Mengapa tidak menelepon?" Nadira sangat gusar dengan keadaan Nayla yang terlihat sepert
Pagi yang mendung dan Zavier masih terlelap dalam tidurnya walau alarm pada ponselnya sudah berdering semenjak tadi. "Nayla, suruh diam dulu alarmnya! Lagu tadi sungguh indah di telingaku!"teriak Zavier dalam tidurnya. Zavier bermimpi sedang mendengarkan lagu yang disenandungkan dengan melodi indah di telinganya, suara seorang gadis yang sangat lembut dan membuainya. Lagu yang sama dan lagu yang sudah menemani dirinya saat masih koma. "Tidak kah letih kakimu berlari. Ada hal yang tak mereka mengerti. Beri waktu tuk bersandar sebentar, selama ini kau hebat ... Hanya kau tak didengar" Zavier tersenyum puas dalam tidurnya, dia sangat menyukai lagu itu. Tapi deringan alarm pada ponselnya mulai terasa menganggu. "Nayla! Kubilang matikan alarmnya!" Zavier terduduk di atas ranjang dan merasa marah karena istrinya masih juga tidak bergerak. Pelan-pelan, Zavier kembali ke kondisi sadar. Nayla memang sudah meninggalkannya. Dengan kesal, Zavier meraih ponsel yang terus berdering itu lalu m
Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. Dia memandang mikrofon di depannya, merasa tegang namun juga penuh semangat untuk memberikan yang terbaik. Dia harus melakukan semua ini, dia tahu akan susah mendapatkan pekerjaan di negara yang dikuasai oleh keluarga Abraham. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengemis dan melayani Zavier lagi. Dia membutuhkan biaya hidup yang sungguh besar, sehingga ini akan menjadi langkah pertama baginya untuk berkarir. Dengan kualifikasi dan pengalaman bekerja di kantor yang hanya sedikit, tidak mungkin dia akan diterima oleh perusahaan untuk bekerja di dalam kantor. Tapi, dia memiliki suara yang merdu, sebelum mengenal Zavier, dia sering tampil di panggung-panggung untuk menyanyi di acara pernikahan ataupun pesta ulang tahun. Dengan hati-hati, dia memilih lagu yang akan dia nyanyikan, sebuah lagu yang memenuhi hatinya dengan emosi yang rumit. Ketika Nayla mulai menyanyi, dia berusaha melihat ke arah juri yang di
"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan." Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut. "Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur. "Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal. "Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya. Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu? Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikiran
Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya. Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar. Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat. Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael. "Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut. Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana. Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan
Nayla mencoba mengingat-ingat apakah dia telah memberi tahu adiknya tentang rencananya, tetapi dia tidak yakin. Rasa curiga mulai menggerogoti hatinya. Dia merasa terkhianati oleh seseorang yang seharusnya dia percayai. Namun, dia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa situasinya dengan Zavier sudah rumit sebelumnya, dan mungkin saja Zavier telah melakukan segala cara untuk melacaknya. Dengan perasaan campur aduk yang sulit dipahami, Nayla merasa semakin terjepit dalam labirin masalah yang rumit. Dia tidak tahu harus berbuat apa selanjutnya, namun satu hal yang pasti: dia harus menemukan cara untuk mengatasi semua ini dan menemukan jalan keluar dari situasi yang semakin memburuk. Zavier, setelah menutup pintu dan menguncinya dari dalam, merasa kesal karena tidak menemukan keberadaan Nayla di dalam kamar. Matanya menyapu ruangan dengan gerak yang cepat, mencari-cari jejak kehadiran istrinya. Namun, saat dia mendengar suara air yang mengalir dari arah kamar mandi, dia menyadari bahw
Zavier menatap Nayla dengan tatapan yang intens, mencoba memahami maksud di balik kata-katanya. Namun, dalam kebimbangan dan kebingungannya sendiri, dia tidak bisa menahan perasaan marah dan frustrasinya. "Apa yang kamu inginkan, Nayla? Apa yang harus aku lakukan agar kamu kembali padaku?" desak Zavier dengan suara yang memaksa, kebingungan dan ketidakmengertian mencuat dalam setiap kata. Nayla merasa tercekik oleh tekanan yang semakin meningkat. Dia tahu bahwa dia harus berpikir dengan jernih dan membuat keputusan yang tepat, tetapi di dalam hatinya, dia merasa terjebak di antara perasaan cinta yang masih terasa, dan realitas yang semakin rumit dan menyakitkan. Dengan napas yang terengah-engah dan hati yang berat, Nayla mencoba menemukan keberanian dan kekuatan untuk menjawab pertanyaan Zavier. Nayla menegaskan keputusannya dengan suara yang gemetar, "Tinggalkan Sefia!" Mendengar kata-kata itu, tatapan lembut milik Zavier langsung berubah. Pria itu langsung melepaskan kedua tang
Nayla tidak menyadari kehadiran Zavier di dalam kamar. Dia terlalu tenggelam dalam rasa sakit dan keputusasaan yang menghantamnya. Setiap isakan dan rintihan yang keluar dari bibirnya terasa seperti pukulan yang menyakitkan, mencerminkan kehancuran emosional yang dia rasakan di dalam dirinya. Zavier berdiri di ambang pintu, terdiam oleh pemandangan yang menyedihkan di depan matanya. Hatinya terasa hancur melihat istrinya yang sedang mengalami kesedihan yang mendalam, namun dia merasa tak berdaya untuk memberikan dukungan atau kenyamanan kepada Nayla. Meskipun hatinya penuh dengan ketidakpastian dan kebingungan, Zavier mendekati Nayla dengan langkah gontai. Dia merasakan getaran emosional yang kuat di dalam dirinya saat dia melihat istrinya yang terpukul oleh kesedihan yang mendalam. Tanpa sepatah kata pun, dia mendekap Nayla dalam pelukannya, membiarkan kehangatan tubuh mereka saling bersentuhan. Nayla terkejut oleh tindakan Zavier, merasakan kelembutan dalam pelukan suaminya. Dia m