"Sial!" teriak Zavier dengan marah. Dilemparnya telepon genggam ke atas ranjang.
"Wanita sial itu bahkan tidak menghidupkan ponselnya!" Dengan gusar, Zavier menghempaskan pantatnya ke atas kasur yang dingin itu.
Perasaannya galau dan kedua matanya penuh sklera merah, menandakan pria itu sangat gusar dan tidak tahu harus berbuat apa.
Sesaat kemudian, dia meraih kunci mobil lalu melangkah keluar dari rumah dengan tujuan ingin mencari Nayla.
Sementara Nayla sudah sampai di depan rumah kecilnya. Rumah yang dibeli oleh Xander, mertuanya yang baik hati.
Rumah kecil itu hanya memiliki dua kamar kecil dengan masing-masing ranjang single bed dan salah satu kamar ditempati oleh sang adik yang merawat dirinya sendiri.
"Kakak?" Nadira menyambut sang kakak yang terlihat sedikit pucat dan lelah.
Nayla hanya tersenyum lalu memeluk sang adik. Air mata kembali mengalir membasahi pipinya.
"A-apa yang terjadi? Mengapa tidak menelepon?"
Nadira sangat gusar dengan keadaan Nayla yang terlihat seperti sedang terguncang jiwanya. Dengan segera dia menuntun sang kakak menuju ke dalam rumah dan menyajikan minuman hangat.
Segelas air hangat mampu menenangkan perasaan Nayla saat itu. Setelah mengatur napasnya beberapa kali, Nayla baru mulai bercerita. Sementara Nadira menatap sang kakak dengan tatapan penuh pertanyaan.
"Zavier berselingkuh dan semua sudah jelas. Tidak ada alasan bagiku untuk bertahan di sana ... " Nayla menghentikan kalimatnya dan menyambungnya dalam hati, "... dan menjadi pembantunya serta tempat pelampiasan ... "
Nayla menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya, betapa kesal hatinya saat itu.
"Kak, kamu sudah menyelidikinya dengan benar?" Tentu saja Nadira berharap kakaknya tidak gegabah.
Dengan helaan napas berat, Nayla mengeluarkan dua lembar struk yang berhasil didapatkannya lalu menyodorkannya kepada Nadira.
"Struk pertama adalah struk pembelian barang berharga senilai ratusan juta. Aku berharap dia membeli sesuatu untukku, tetapi dari tanggal struk itu sudah berlalu setengah tahun dan aku tidak menerima apa pun." Suara Nayla terdengar parau dan tertekan.
"Struk kedua, adalah struk check-in hotel, atas nama Sefia."
Nadira menatap struk yang dipegangnya, wajahnya yang pucat semakin pucat karena dia sendiri tidak berada dalam kondisi sehat.
"Sefia adalah?"
Nayla menatap Nadira lalu menggangguk. "Dua tahun yang lalu, saat Zavier terbangun, wanita itu ... entah bagaimana caranya, sedang berada di sana, sehingga Zavier mengira dia yang merawatnya selama koma. Sementara aku ... "
Nayla kembali mengusap air mata yang turun, membasahi pipinya yang putih.
"Kakak ... Maafkan Nadira, karena aku ... Kakak harus menjalani pernikahan yang seperti ini," ucap Nadira dengan mata berkaca-kaca lalu memeluk sang kakak.
"Tidak, Sayang. Bukan salahmu. Zavier yang salah. Dia tidak pernah menghargai aku sementara aku ... aku begitu mencintainya," sahut Nayla dengan kedua mata berkaca-kaca.
Langkahnya sudah mantap, penceraian adalah sebuah jawaban atas apa yang harus dia lakukan. Dia tidak bisa menerima pada saat suaminya sudah melangkah terlalu jauh.
Bayangan wanita lain bermanja-manja di atas ranjang bersama suaminya sangat membuat hatinya terluka. Belum lagi bayangan bagaimana wanita itu dimanjakan Zavier dengan sentuhan yang lembut sementara Zavier tidak pernah memperlakukannya dengan penuh cinta, melainkan pemaksaan dan rasa sakit yang selalu diterimanya atas tuntutan Zavier, hampir setiap saat.
Tubuh dan bathinnya sudah sangat lelah sebagai seorang wanita. Dia tidak bisa menjalani kehidupan seperti ini lagi. Dia merasa harus bangkit dan berjuang, serta membuktikan bahwa perkataan Zavier adalah salah!
Dia tidak akan mengemis kepada keluarga Abraham lagi!
Malam semakin dingin dan kedua Kakak Beradik itu menangis sesunggukkan dan menghabiskan waktu malam bersama sampai pagi dengan saling bercerita.
Nayla membentangkan selimut di atas lantai untuk tidur sekamar dengan sang adik.
Sementara di kota Jakarta yang padat, sebuah mobil Bently hitam masih mengelilingi Jakarta tanpa tujuan yang jelas.
Zavier sudah mencari semua teman Nayla yang masih berhubungan dengan istrinya itu. Namun, tidak ada yang mengetahui tentang rencana Nayla sama sekali, apalagi mengenai keberadaannya.
Dengan lesu, Zavier kembali ke rumah yang kosong dengan tatapan hampa. Tidak ada yang membukakan pintu atau pun menyapa.
Drrt Drrttt.
Telepon genggam Zavier berdering terus, tetapi pria itu hanya menatap layar ponselnya dengan tatapan dingin. Nama Sefia Putri muncul di layar yang berkedip berulang kali, tetapi pria itu tidak berniat berbicara dengan siapa pun saat ini.
Zavier melangkah ke kamar mandi untuk membiarkan air hangat membasahi dirinya, tetapi entah kesialan apa yang dia alami, karena hanya air dingin yang keluar.
"Nayla! Air panas tidak keluar! Ini dingin sekali!" teriak Zavier tanpa sadar.
Zavier mematung di kamar mandi setelah menyadari keabsenan dari Nayla. "Sial! ini dingin sekali!" Zavier memeluk dirinya yang mengigil.
Pria itu pun memutuskan tidak jadi mandi walau tubuhnya sempat basah. Pria itu segera keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di pinggangnya.
"Mana kemeja tidu ... "
Hening !!!
Zavier menatap sekeliling kamar yang kosong. Biasanya kemeja tidur sudah ada di atas ranjang setiap dia selesai mandi. Hal ini kembali membakar emosinya.
"Sok sekali dia! Lihat bagaimana saat aku menemukannya nanti!" geram Zavier lalu segera berlari kecil ke arah lemari dan mengambil pakaian tidur.
"Sial!!! Di mana celana dalamku!"
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba