Nayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. Dia memandang mikrofon di depannya, merasa tegang namun juga penuh semangat untuk memberikan yang terbaik.
Dia harus melakukan semua ini, dia tahu akan susah mendapatkan pekerjaan di negara yang dikuasai oleh keluarga Abraham. Tapi, itu bukan alasan baginya untuk mengemis dan melayani Zavier lagi.
Dia membutuhkan biaya hidup yang sungguh besar, sehingga ini akan menjadi langkah pertama baginya untuk berkarir.
Dengan kualifikasi dan pengalaman bekerja di kantor yang hanya sedikit, tidak mungkin dia akan diterima oleh perusahaan untuk bekerja di dalam kantor.
Tapi, dia memiliki suara yang merdu, sebelum mengenal Zavier, dia sering tampil di panggung-panggung untuk menyanyi di acara pernikahan ataupun pesta ulang tahun.
Dengan hati-hati, dia memilih lagu yang akan dia nyanyikan, sebuah lagu yang memenuhi hatinya dengan emosi yang rumit.
Ketika Nayla mulai menyanyi, dia berusaha melihat ke arah juri yang dibatasi dengan kaca tetapi tidak bisa melihat wajah mereka dengan jelas.
Beberapa bayangan pria dan wanita tampak sedang berbisik-bisik dan ada yang terlihat sibuk dengan catatan-catatan di depannya, seolah tidak memperhatikan penampilannya.
Sementara Nayla menekuni lagunya, dia merasa kecewa dan sedikit kecewa oleh sikap juri yang terkesan acuh tak acuh. Namun, dia memutuskan untuk tetap fokus pada lagunya, berharap bisa membuat kesan yang baik. Audisi ini sangat penting baginya.
Ketika lagu selesai, Nayla menunggu dengan tegang.
Tiba-tiba, dia melihat ekspresi terkejut di wajah salah seorang pria. Sorot mata pria itu bertemu dengan mata Nayla, dan dalam sekejap, Nayla bisa melihat kebingungan dan keheranan di mata juri tersebut.
Michael, salah seorang juri ternyata adalah teman lamanya pada saat dia sekolah dulu. Pria itu segera membuka pintu ruang audisi dan mendekati Nayla.
"Nayla Pratama?" bisik Michael, suaranya terdengar gemetar.
Nayla mengangguk, tak percaya bahwa Michael akhirnya mengakui kehadirannya.
"M-Michael Almero?"
"Ya, itu aku!" seru Michael dengan mata berbinar-binar.
Nayla terkejut melihat perubahan pada Michael. Dia masih bisa mengenali ciri-ciri wajahnya yang dulu akrab, tetapi sekarang Michael tampak begitu berbeda. Dia telah tumbuh menjadi pria yang tinggi, tegap, dan tampan dengan wajah yang sudah dewasa. Cahaya langit-langit ruang audisi yang sempit menyinari pria itu, menyoroti raut wajahnya yang maskulin.
"K-kamu sudah dewasa," ucap Nayla terbata-bata.
Nayla tidak bisa menahan rasa kagum saat melihat perubahan ini. Dia melihat Michael dengan rasa kagum dan keheranan yang tak tersembunyi, merasakan sedikit kegelisahan di dadanya karena perasaan yang tak terduga yang muncul kembali dalam ingatannya.
Michael tidak lagi terlihat seperti murid sekolah yang dulu Nayla kenal. Dia telah berubah menjadi pria dewasa yang menawan, dan kehadirannya di audisi ini menambah lapisan kompleksitas pada situasi Nayla yang sudah rumit. Meskipun hatinya dipenuhi oleh perasaan yang rumit, dia terus berusaha untuk tetap fokus pada tujuan utamanya: memberikan penampilan yang terbaik di depan juri, termasuk Michael.
"K-kamu juri?" tanya Nayla dengan suara terputus-putus sementara Michael menganggukkan kepalanya dengan bangga.
"Ya, itu suaramu, bukan?" ujar Michael dengan nada terkejut.
"Indah sekali dan aku terpesona," lanjutnya.
Nayla mengangguk lagi, hatinya berdebar-debar saat dia menyadari bahwa Michael akhirnya mengenali suaranya dan menyatakan rasa bangganya.
"Aku tidak bisa percaya akan melihatmu di sini," kata Michael dengan suara yang penuh dengan emosi.
Nayla terkejut dan gugup, namun juga merasa hangat melihat wajah akrab tersebut. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nayla dengan penasaran.
Michael menjelaskan bahwa dia baru saja bergabung dengan tim juri untuk audisi ini. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Bagaimana kabarmu?" tanya Michael sambil menatap Nayla dengan perhatian.
Nayla tersenyum tipis, berusaha menutupi kecanggungannya. "Ah, cukup baik," jawabnya singkat.
Nayla tersenyum lebar, merasa lega bahwa keberadaannya akhirnya diperhatikan oleh salah satu juri. Meskipun situasinya rumit, kejutan ini memberinya semangat baru untuk melanjutkan audisinya dengan penuh keyakinan.
Nayla menatap Michael dengan mata penuh harap, merasakan kehangatan dari tatapan itu.
"Mengapa kamu melakukan audisi? Apakah kamu sedang membutuhkan uang lebih?" Michael bertanya dengan polos, selayaknya teman yang sudah lama tidak bertemu.
Nayla menundukkan kepalanya, Ya! Dia memang sedang membutuhkan uang yang sangat banyak. Itulah kenapa dia hanya bisa menjual kemampuannya untuk menyanyi.
Dengan sedih, dia mulai menceritakan kondisi rumah tangganya yang sedang bermasalah, mengungkapkan kebutuhan mendesaknya akan pekerjaan.
Michael mendengarkan dengan hati yang bergetar, penuh simpati terhadap Nayla yang dia kenal dari masa lalu. Dia mengangguk, menyatakan bahwa dia sangat menyesal mendengar apa yang terjadi padanya.
Saat itu, beberapa peserta audisi yang lain mulai merasa cemburu. Demikian juga beberapa juri yang ternyata adalah wanita cantik, teman Michael.
Mereka melihat tatapan penuh perhatian yang diberikan Michael kepada Nayla, merasa iri akan perhatian khusus yang diberikan padanya. Beberapa bahkan mulai menggertakkan gigi dengan iri, merasa terancam oleh kehadiran Nayla di audisi ini.
Namun, Michael tidak terganggu oleh perhatian mereka. Dia masih terfokus pada Nayla, merasa tergerak oleh ceritanya dan ingin membantunya dengan cara apa pun yang dia bisa.
Meskipun situasinya rumit dan penuh dengan ketegangan, kehadiran Michael memberi Nayla semangat baru untuk menghadapi audisi ini dengan penuh keyakinan.
"Baiklah, aku akan membantumu, kita akan ... "
Belum selesai Michael berkata-kata, suara dari balik speaker mengingatkan Michael untuk kembali ke tempatnya dan bahwa audisi untuk peserta lain akan dimulai.
Michael memegang kedua bahu Nayla dan menatapnya dalam-dalam.
"Nay ... "
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba