"Dengar, Nayla," ucap Michael dengan suara yang hangat, "Aku tahu kamu sedang dalam situasi yang sulit. Mengapa kamu tidak mau aku mengantarmu pulang? Aku yakin kita bisa mengobrol sepanjang perjalanan."
Nayla terkejut dengan tawaran tersebut, namun juga merasa terharu dengan kebaikan hati Michael. Meskipun hatinya terbagi antara rasa gugup dan rasa terima kasih, dia akhirnya mengangguk dengan lembut.
"Terima kasih, Michael. Aku menghargainya," ucap Nayla dengan suara yang penuh rasa syukur.
"Kamu tunggu aku di luar. Tiga orang lagi dan audisi akan selesai," ucap Michael sambil berlalu pergi sementara Nayla kembali ke ruang tunggu bersama dengan para audisi yang menyambutnya dengan wajah kesal.
"Kok lama sekali, huh!" Seorang peserta audisi melayangkan wajah tidak suka kepada Nayla lalu masuk ke dalam ruang audisi sesuai antriannya.
Nayla sedikit bingung karena mengingat pesan yang disampaikan Michael tadi. Apakah dia harus menunggu?
Namun, bayangan Zavier selalu memenuhi pikirannya saat ini. Dia duduk termenung di sudut ruangan dan menatap kosong ke arah jalan dari jendela kaca di depannya.
Hujan masih deras dan dia harus berlari sejauh satu kilometer untuk sampai ke terminal pemberhentian bus.
Tidak terasa lima belas menit berlalu dan Nayla yang kecapekan pun tertidur.
"Nayla adalah wanita yang akan memiliki hatiku," ucap Michael dengan suara lembut.
Tiba-tiba Nayla terbangun dan melihat wajah Michael yang begitu dekat dengannya. Sebuah kesadaran membuat dia panik dan bergerak mundur ke belakang sehingga hampir jatuh.
Dengan singgap Michael meraih pinggang Nayla dan menahan tubuh ramping milik wanita itu. Nayla mengedipkan matanya beberapa kali dan memperbaiki cara duduknya.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Michael dengan suara lembut.
Nayla menggelengkan kepala dan sebelah tangannya memegang leher kemejanya dengan canggung.
Nayla masih tidak dapat mempercayai apakah dia bermimpi atau memang Michael mengatakan sesuatu kepadanya.
"Hum, kamu tadi bicara apa?" tanya Nayla untuk memastikan.
Michael menatap wanita itu dalam-dalam lalu memberikan senyuman hangat, "tidak ada, aku baru datang dan hendak membangunkanmu, kenapa? Apakah kamu memimpikanku?"
Nayla menundukkan kepalanya dengan malu karena setengah jam sebelumnya, dia ingat sedang duduk di ruang tunggu untuk menunggu kedatangan Michael.
Waktu berlalu dengan perlahan, dan rasa lelah akibat perasaan tegang dan emosional yang dia rasakan dalam audisi membuatnya semakin terasa mengantuk. Meskipun dia berusaha untuk tetap terjaga, namun akhirnya kelopak matanya terasa begitu berat.
Tanpa disadarinya, Nayla pun tertidur di kursi ruang tunggu. Dia terlelap dalam tidurnya, dipenuhi oleh mimpi-mimpi yang tak jelas.
Dalam mimpinya, Nayla merasa seperti sedang berada di dunia yang berbeda. Dia dan Michael berjalan-jalan di sepanjang tepi pantai yang indah, cahaya matahari terbenam menyinari wajah mereka yang penuh tawa. Mereka tertawa, bercanda, dan berbagi cerita tentang masa lalu mereka.
Saat matahari semakin merunduk, Michael tiba-tiba berhenti di depan Nayla. Dia menatap Nayla dengan penuh kasih sayang, tangannya dengan lembut memegang tangan Nayla.
"Nayla," ucap Michael dengan suara yang lembut, "Aku selalu ada di sini untukmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sendirian."
Nayla tersenyum bahagia, merasa hangat dan terlindungi di dekat Michael. Mereka saling mendekat, bibir mereka hampir bersentuhan, ketika tiba-tiba...
"Nayla? ternyata ini kelakuanmu?"
Suara Zavier membuat Nayla panik!
Namun, sebuah suara lain membalas suara Zavier dan itu adalah suara Michael.
"Nayla adalah wanita yang akan memiliki hatiku."
Suara itu juga membuat Nayla terbangun dari mimpinya dengan kaget. Dia melihat Michael duduk di depannya dengan senyum hangat. Meskipun kehilangan dunia indah dalam mimpinya, namun senyum Michael yang nyata memberinya semangat dan kelegaan yang sama. Dia masih ingin menjaga statusnya yang belum selelsai dalam proses perceraiannya dengan Zavier.
Nayla masih terdiam dan melirik Michael sesekali.
"Nayla, kelihatannya kamu sangat capek, sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam, tapi kurasa lebih baik aku mengantarmu pulang sekarang," kata Michael dengan suara lembut.
"Kamu terlihat sedikit pucat," lanjutnya.
Nayla merasa sedikit kecewa bahwa mimpinya harus terganggu, namun dia juga merasa lega mendengar tawaran Michael untuk mengantarnya pulang.
Dalam hatinya, dia masih teringat mimpi singkat yang terasa indah, tetapi dia ingin menjaga batas diri dan tidak ingin terlibat terlalu jauh kepada Michael.
Dan kehadiran Zavier dalam mimpi yang singkat itu sungguh tidak dibutuhkan.
"Michael, aku... aku tidak sengaja tertidur," ucap Nayla dengan suara gemetar, rasa malu mulai menghampirinya.
Michael hanya tersenyum, lalu berdiri dan mengulurkan tangannya untuk membantu Nayla bangkit dari kursi. "Tidak apa-apa, Nayla. Ayo, aku akan mengantarmu pulang sekarang."
Nayla merasa lega mendengar kata-kata itu, merasa bersyukur atas kesabaran dan pengertian Michael.
Michael mengandeng tangannya dengan lembut lalu menuntunnya sampai di mobil. Nayla merasa hangat oleh sentuhan itu, merasa seperti dia sedang berada di pelukan keamanan. Namun, dia menarik tangannya dengan gusar karena dia tahu statusnya masih sebagai istri Zavier.
Menanggapi hal itu, Michael hanya membalas dengan senyuman hangat. Mereka lalu masuk ke dalam mobil dan Michael memulai perjalanan pulang.
"Bagaimana audisimu tadi?" tanya Michael dengan penuh perhatian, memulai percakapan.
Nayla tersenyum dan menjawab, "Agak gugup, tapi aku berusaha yang terbaik."
"Aku yakin kamu luar biasa," kata Michael dengan tulus, "Kamu memiliki bakat yang luar biasa."
"Kamu tahu? Aku memberikan nilai sepuluh untukmu," ucap Michael sambil memberikan senyuman hangat dan sesekali melirik ke arah wanita di sebelahnya.
Nayla tersenyum dan merasa bersyukur. "Terima kasih, Michael."
"Kamu tidak usah khawatir, aku akan membantumu sehingga audisi kali ini, kamulah pemenangnya."
Nayla melihat ke arah Michael, memang tidak ada kebohongan dari raut wajah pria yang menjadi teman masa kecilnya itu.
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba