Share

Bab 2

Author: Kholidah
Setelah beraktivitas cukup lama dan kelelahan, aku akhirnya tertidur pulas, tapi terbangun karena ingin buang air kecil.

Baru kusadari kalau waktu sudah tengah malam.

Dengan setengah sadar, aku bangkit dari tempat tidur, lalu membuka pintu kamar dan langsung terpaku.

Di ruang tamu, entah sejak kapan anakku sudah pulang. Dia sedang bersandar di sofa, menonton sesuatu dari proyektor di depannya.

Yang diputar di proyektor ternyata adalah rekaman acara menyanyiku bersama Vena, saat menghadiri pesta pertunangan teman kami.

Waktu itu, aku dan Vena mengenakan kostum panggung yang sangat tipis dan tembus pandang. Tubuh kami terlihat anggun dan terus bergoyang mengikuti irama musik.

Yang membuatku terkejut, bagian yang difokuskan di video itu adalah tubuh Vena dari jarak yang sangat dekat, bahkan samar-samar bisa terlihat pakaian dalam ungu di balik roknya.

Jelas sekali itu hasil dari video yang diambil diam-diam.

Anakku bersandar di sofa sambil tubuhnya tampak bergerak-gerak dan di tangannya ada celana dalam kecil berwarna merah muda, yang pernah dikatakan Vena padaku bahwa dia sudah membuangnya.

Aku terpaku di tempat, tidak bergerak cukup lama.

Tiba-tiba, aku teringat anakku yang terlihat lesu akhir-akhir ini, sering mengantuk dan linglung, wajahnya pun pucat.

Ternyata dia suka melakukan hal seperti ini di tengah malam selama ini!

Aku mulai khawatir.

Jika terus-terusan begini, bukankah kondisi tubuhnya bisa semakin memburuk?

Aku tak berani buka pintu dan keluar. Begitu teringat aku enak-enak menikmati di kamar sendirian, rasanya tingkah anakku itu masih bisa dimaklumi.

Namun, aku tahu ini tak bisa dibiarkan terus-terusan.

'Anakku belum pernah pacaran, dia nggak mengerti bagaimana rasanya perempuan yang sesungguhnya. Kalau dia terus-terus larut dalam hal beginian… nggak boleh. Banyak hal yang harus dia alami sendiri, biar dia mengerti dan nggak begini lagi.'

Aku pun kepikiran satu cara.

Daripada dia terus melakukan ini sendirian, mending aku coba jodohkan dia sama Vena.

Namun, bagaimana aku membicarakan hal seperti ini?

Aku menghela napas dan balik ke kamar. Berpikir kesana kemari, bolak-balik di kasur, tak bisa tidur juga.

Besok malamnya, aku sengaja tidur lebih awal. Tengah malam aku terbangun lagi dan benar saja, anakku mulai melakukan gerakan yang sama lagi.

Beberapa hari berturut-turut keadaannya terus seperti itu. Aku tahu, kalau tak dihentikan, ini bisa jadi masalah. Aku pun semakin cemas.

Sampai suatu hari, waktu makan bersama sahabatku, aku coba curhat tentang hal yang membuatku resah.

Namun, aku hanya bilang kalau anakku suka diam-diam melakukan itu tengah malam dan itu membuat kondisi fisiknya semakin menurun.

Aku tak bilang kalau dia sebenarnya melakukan itu sambil menonton video joget sahabatku sendiri.

Namun, setelah aku menceritakannya, aku pun sadar ekspresi sahabatku juga menjadi aneh. Seolah-olah dia juga ingin menceritakan sesuatu tapi ragu-ragu.

Dia duduk di sampingku, lalu tangannya tiba-tiba menyentuh punggungku yang terbuka.

Begitu tangannya sampai ke bagian bawah, menyentuh lekuk tubuhku, dia kelihatan sedikit getir.

“Tina, kita sahabat yang sudah begitu dekat, bahkan pernah tukar cara pakai mainan itu, jadi aku juga nggak perlu menutupin apa-apa lagi darimu.”

“Anakmu suka hal beginian? Sebenarnya anakku juga dan….”

Sahabatku tampak agak sulit untuk mengatakannya, tapi akhirnya dia tetap melanjutkan,

“Waktu kita minum-minum terakhir kali, dia diam-diam memotret kita dan ternyata dia melakukan hal itu malam-malam sambil melihat foto-fotomu.”

Aku langsung terkejut bukan main.

Tak kusangka anak-anak kita sama-sama menyukai sosok kita yang sudah dewasa ini.

Bahkan mereka suka menggunakan video kita untuk melakukan hal seperti itu.

Ekspresi sahabatku terlihat penuh pergolakan. Dia menggertak dan berkata padaku,

“Bagaimana kalau….”

Sahabatku mencubit keras bagian belakang tubuhku, sampai-sampai aku hampir berteriak.

Dia mendekati telingaku dan berbisik, “Bagaimana kalau biarkan anakku bersamamu dan aku bersama anakmu. Biarkan mereka tahu bagaimana rasanya perempuan sesungguhnya, mereka pasti nggak akan melakukan itu lagi.”

“Mereka sedang dalam masa puber, butuh bimbingan dari kita.”

Anakku memang sudah masuk masa pubertas dan butuh bimbingan.

Aku dan sahabatku berdiskusi cukup lama. Demi anakku, akhirnya aku menyetujui usul sahabatku.

Di dalam hati ada rasa malu, tapi entah kenapa juga ada sedikit rasa senang yang sulit dijelaskan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 8

    Di dalam foto itu, terlihat suamiku bersama seorang perempuan.Perempuan itu sedang hamil besar dan suamiku dengan hati-hati memapahnya. Wajahnya tampak penuh kasih sayang dan tersenyum lembut, terlihat sangat mesra.Sudah lama sekali aku tidak melihat suamiku tersenyum seperti itu. Setiap kali menatapku, yang ada hanyalah ekspresi kesal.Mungkin karena dia memang sudah tidak punya perasaan padaku.“Menurutmu, Hoshi itu orang baik? Kalian sudah berpisah lama dan dia juga sudah punya simpanan di kampung. Wanita itu bahkan sudah mengandung anaknya.”“Kamu masih mau terus bertahan di status menikah dengan orang seperti ini? Begitu tahu tentang kehamilanmu, dia sama sekali nggak peduli siapa yang menghamilimu. Yang ada dipikirannya hanyalah cerai, lalu mengusirmu tanpa mendapat sepeserpun.”“Apa artinya? Artinya dia sudah nggak ada perasaan padamu. Dia juga sudah nggak peduli, kamu bersama dengan siapa. Yang penting baginya hanyalah harta.”Nada bicara sahabatku semakin tinggi, penuh emosi

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 7

    Hingga suatu hari, aku tiba-tiba sadar kalau haidku sudah telat beberapa hari.Karena sudah berpengalaman, aku langsung paham kemungkinan apa yang akan terjadi. Aku pun buru-buru pergi ke apotek membeli alat tes kehamilan.Dan ternyata dugaanku benar, aku benar-benar hamil!Melihat dua garis merah di alat tes itu, aku sempat bingung sendiri, entah harus senang atau sedih.Aku duduk lama di kamar, lalu akhirnya membuat keputusan. Aku akan pergi ke rumah sakit untuk menggugurkan kandungan ini.Bagaimanapun, anak ini tidak boleh dilahirkan.Aku tidak tahu harus cerita ke siapa, jadi hanya bisa menghubungi sahabatku.Mendengar kabar ini, dia pun syok bukan main dan langsung datang ke rumahku.Namun, setelah memastikan aku benar-benar hamil, dia justru tidak mendukung keputusanku untuk menggugurkannya.“Tina, bisnisku sudah semakin membaik sekarang. Bagaimana kalau kamu pertahankan saja anak itu? Biarkan aku yang membesarkannya.”Aku menggeleng dan menolak, “Ini bukan soal siapa yang membes

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 6

    Mungkin karena baru pertama kali menjalani hubungan intim, dua anak muda itu punya kebutuhan yang besar. Hampir setiap hari mereka ingin makan masakan buatan aku dan sahabatku.Namun, melihat kondisi mental mereka yang jauh membaik dan semangat hidup mereka yang meningkat, aku dan sahabatku pun merasa cukup lega.Begitulah, ini berlangsung selama seminggu. Selain malam hari, aku dan sahabatku hampir selalu berada di rumah satu sama lain.Aku pun merasakan kebahagiaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya dan merasa kalau begini terus juga tidak masalah.Namun, hari itu aku mendapat telepon dari guru sekolah.“Ibu Hans, ada masalah di rumah ya akhir-akhir ini? Soalnya Hans nggak fokus belajar di kelas beberapa hari ini. Pelajaran-pelajaran utama juga banyak yang tertinggal.”Mendengar ucapan guru itu, aku membeku di tempat. Rasanya seperti dihantam palu besar tepat di kepala.Anakku bolos sekolah?!Namun, selama ini dia sama sekali tak pernah bilang apa-apa. Dia selalu pulang tepat wak

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 5

    Seperti sebelumnya, aku sengaja mengenakan pakaian yang sangat terbuka dan saat memasak di dapur, aku pun sengaja membuka pintu dapur.Supaya Freddy yang duduk di ruang tamu bisa melihatku.Aku bisa merasakan tatapan itu menempel padaku dari atas sampai bawah tanpa henti.Aku membawa makanan ke meja dan mengambilkan tiram untuk Freddy.“Freddy, makan yang banyak, biar tubuhmu semakin kuat.”Freddy mengangguk dan menunduk memakannya.Sesekali matanya melirik ke arahku.Aku pura-pura tak melihat, terus mengambilkan makanan untuknya dan dia tetap menunduk untuk makan.Semangkuk nasi hampir habis, tiba-tiba Freddy meletakkan sendoknya, seolah sudah membuat sebuah keputusan dan menatapku tajam.“Tante Tina, aku mau seperti waktu itu, merasakan besar kecilnya.”Aku kira dia tak merasakan apa-apa waktu itu, tapi ternyata dia masih ingat.Setelah berbicara begitu, dia pun menatapku dengan penuh harap. Sebelum aku menjawab, tangannya sudah meraih ke arahku.Kali ini, aku tidak perlu berinisiati

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 4

    Awalnya aku hanya mau membantu sahabatku, tapi sekarang malah larut dalam situasi ini.Kring-kring.Tiba-tiba, terdengar suara telepon berdering yang kencang dari meja ruang tamu.Itu ponsel sahabatku.Mata Freddy memerah dan pura-pura tidak peduli dengan suara deringan itu, hanya ingin menjelajahi tubuhku.Namun, ponsel itu terus berdering tanpa henti, seolah-olah tak akan berhenti sebelum diangkat.Sahabatku pasti juga dengar deringannya, dia pun keluar dari kamar dengan pakaian yang berantakan.Dia pun mengangkat teleponnya.Entah apa yang dibicarakan, wajah sahabatku langsung terlihat panik. Dia juga mengabaikan suasana canggung yang sedang terjadi dan buru-buru mengambil ponselnya, pergi keluar.“Tina, ada masalah di kantor, aku harus segera ke sana.”Melihat wajahnya yang cemas, pasti masalahnya cukup serius.Aku sadar kembali dan mendorong Freddy menjauh, lalu menunjuk pakaian sahabatku yang berantakan.“Kamu ganti baju dulu baru keluar.”Sahabatku menunduk dan baru menyadari ap

  • Cinta Tak Terhalang Usia   Bab 3

    Sesuai saran sahabatku, kami berdua mengganti pakaian yang lebih terbuka, bahkan cukup berani karena kami tidak memakai pakaian dalam sama sekali.Penampilan seperti ini benar-benar menonjolkan bentuk tubuh kami yang berlekuk-lekuk.Terutama aku yang punya tulang agak besar, sehingga terlihat begitu menonjol di bagian belakang dan depan.Sahabatku menatapku dengan mata berbinar.“Tina, bentuk tubuhmu memang sudah bawaan lahir. Kalau aku jadi pria, aku pasti suka. Nggak heran anakku bisa begitu terpesona denganmu.”Wajahku sampai merona malu mendengar pujian sahabatku.Kami memilih untuk melakukan ini di rumah sahabatku, karena rumahnya lebih besar.Setelah semuanya siap, aku menelepon anakku, Hans. Menyuruhnya datang ke rumah sahabatku.Sahabatku juga menghubungi Freddy.Setelah kedua orang itu kembali, kami membiarkan mereka bermain dulu, sementara aku pergi masak bersama sahabatku.Agar semuanya berhasil, kami bahkan menambahkan sedikit obat khusus ke dalam minuman alkohol.Soalnya k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status