"Pagi, Bun."
Bunda yang tengah bersiap di dalam kamar, terkejut saat melihat Ratna masuk ke dalam kamarnya yang pintunya ya memang sengaja di buka.
"Kamu mau kemana?"
"Aku mau mulai kerja, Bun. Lagian aku sudah sehat kok Bun."
Mendengar jawaban anak perempuannya, membuat Bunda memandangi Ratna dari ujung kaki hingga kepala.
"Makasih cincinnya ya Bun, ini aku pakai." Dengan senyum di bibirnya, Ratna sekalian memamerkan jari, tempat dua cincin ia sematkan semalam.
"Yang ini, cincin kawin milik bunda, jadi harus hati hati kamu menjaganya, ya." Bunda yang sudah tampak cantik, menunjuk cincin polos yang ada di ibu jari Ratna.
"Kenapa bunda berikan kepadaku?" tanya Ratna yang merasa tak enak, setelah mendengar jawaban bunda.
"Karena kamu anak bunda, sedangkan yang punya ayah ada di Delon." Bunda menjawab sambil berdiri dari duduknya, tangan kanannya mengambil tas kerja berwarna hitam yang ada di atas ranjang.
"Ooo
"Mbak, saya mau manicure dan pedicure."Ratna yang menunduk karena baru saja meletakkan ponsel barunya ke kembali ke dalam tas, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar permintaan seorang customer yang baru datang."Atas nama siapa?""Monalisa." Perempuan berwajah jutek itu menjawab sambil melirik tak simpati pada Ratna.Ratna yang paham kalau customer nya kali ini sedikit tak biasa, langsung mempersilahkan masuk ke dalam, karena memang tersisa tempat untuk satu orang."Mbak, kamu sudah punya anak belum?"Ratna mendengar suara yang sama dengan customer tak biasa tadi, kini sedang bercakap entah dengan siapa."Kalau kamu?"Terdengar lagi, entah kenapa perasan Ratna semakin tidak enak."Kalian tahu nggak kalau karyawan di sini ada yang mandul?""Kasihan kan, yaaa."Ratna mulai mendengar suara yang menjawab. Namun, tidak jelas."Makanya kalau jadi perempuan mandul tuh ya harusnya
"Ayolah, kita pergi sebentar." Ajak Diandra. Lagi!"Pergilah, lagi pula jam kerjamu memang sudah habis bukan?" titah pak Aldo pada Ratna yang saat itu langsung menatap meminta persetujuan melalui kontak mata."Iya, Pak." Ratna mengangguk."Nay, maaf ya," seru Ratna pada Nay yang berdiri di samping pak Aldo, yang juga mengangguk sambil tersenyum ke arahnya.Sempat ada janji makan siang bersama tadi antara Nay dan Ratna. Namun, batal karena kehadiran Diandra.Nay kembali mengangguk hormat pada pak Aldo, sambil tersenyum. Tangannya meraih tas dan mulai melangkah sambil mengenakan jaket untuk menutupi seragamnya."Diandra, jaga wanitaku, jangan kau kasari dia." Pak Aldo tampaknya mulai menyerang. Hingga membuat bola mata Ratna membesar karena kaget, walau dia paham pak Aldo hanya sekedar menggoda."Hei, cantik, jangan hanya jago di mulut saja, nikah kalau berani." Diandra membalas serangan pak Aldo dengan mengedipk
"Dari mana saja kamu, Mon? Aku sudah hampir lumutan yang nungguin di sini," tanya Rizal yang langsung berdiri, saat melihat Mona yang baru saja turun dari motornya."Dari salonlah, emangnya kamu mau kalau lihat aku berpenampilan kusut macam mantan istrimu, hah?!" sungut Mona yang langsung bergegas masuk ke dalam setelah membuka pintu dengan kunci yang ia bawa.Marah akibat di permalukan saat di salon tampak jelas saat ini di wajah Mona. Hingga tanpa sadar menjadikan Rizal sebagai tumpuan kekesalan nya."Lagian ada apa kamu ke sini, bukannya masih jam kerja?" tanyanya lagi tanpa menoleh ke arah lelaki yang menunggunya."Aku nggak enak badan, buatkan aku kopi dan cepatlah masak, aku lapar, tadi pagi lupa sarapan," pinta Rizal yang langsung tidur di sofa panjang."Mana uangnya? Aku nggak mau masak, mending beli aja, nggak baik orang hamil kalau terlalu capek." Mona datang dengan tangan menengadah."Uang? Bukannya aku sudah mem
"Zal, tadi pak Deni kesini, dia memintamu untuk segera menghadap pak Delon. Sepertinya kau akan menghadapi masalah besar."Rizal langsung mendengus kasar saat mendengar apa yang supervisornya katakan. Dengan tangan kanan meletakkan tas kerjanya kasar di atas meja."Rupanya ada kemajuan pesat dirimu, Zal! Sepagi ini sudah harus berurusan dengan CEO kita, sebutlah namaku kawan," seru Bahtiar, lelaki gempal yang duduk pas di depannya, hanya di batasi oleh dua meja saja.Rizal terdiam tak menjawab matanya berputar jengah karena merasa di goda. Menghempaskan pantatnya ke kursi yang hilang kenyamanan nya saat ini.Selang beberapa saat akhirnya dia berdiri dan melangkah gontai ke tempat pak CEO, lantai paling atas. Mau menghindar pun, sudah tak ada alasan lagi."Masuk!"Jantung Rizal seperti sedang berhenti berdetak, saat suara keras dari dalam ruangan yang pintunya tadi ia ketuk dengan perasaan ragu, terdengar.
"Jadi, apakah kau masih mau terus kerja di salon, Rat?" tanya Mila siang itu, saat mereka berempat, berkumpul di rumah Nay, sambil menikmati bakso yang tadi sempat di beli Ratna saat dalam perjalanan."Entah, aku pun masih tidak tahu," jawab Ratna dengan tangan meletakkan piringnya yang sudah kosong ke atas meja. Ternyata dia sudah menghabiskan bakso bagiannya."Ratna .... Aku, Mila dan Rafi mau mengucapkan terimakasih, atas hadiah yang di berikan Bundamu." Nay mewakili Mila dan Rafi, berkata dengan aura yang berbeda. Dan di sambut oleh picingan mata Ratna."Hadiah apa?""Itu!" Dengan isyarat mata, Nay menunjuk ke meja.Sontak Ratna menoleh ke arah meja, tampak di sana terlihat empat ponsel bercasing beda. Namun ber type sama.Dari awal datang dirinya memang tidak memperhatikan perubahan perubahan yang terjadi di diri tiga sahabatnya itu."Hei, kenapa ponsel kita bisa sama?" Ratna langsung terbeliak kaget, tangannya merengkuh semua po
"Ratna, bangun." Suara itu kini terdengar lebih jelas dari awalnya yang hanya sekedar sayup sayup. Bahkan kini badannya sedikit bergoyang karena goncangan tangan yang ada di bahunya."Mas ...." Ratna mengerjakan mata berulang kali saat melihat wajah mas Delon yang sudah berada di sampingnya."Kamu masih ingin mengambil barangmu di rumah itu, tidak?" tanya Delon yang masih berdiri menatap wajah sang adik yang tampak masih sangat mengantuk."Masih, Mas. Banyak naskah yang tersimpan di dalam ponselku yang lama." Ratna menjawab setelah sebelumnya menutup mulutnya yang menguap."Kalau begitu, ayo!" ajak Delon dengan tangan kanan mengacak lembut rambut Ratna, yang kemudian melangkah sedikit menjauh dan duduk di kursi kosong di samping Nay yang masih tersenyum melihat keakraban Ratna dan Delon."Mas kapan datang, terus yang lain pada ke mana, Nay? Kok sepi?" tanya Ratna yang mulai duduk dari rebahan. Matanya juga mulai menyapu setiap sudut rumah.&nb
"Mas Delon mau jadi mak comblangnya?" tanya Ratna yang memberi isyarat pada Delon dengan ujung matanya yang melirik ke arah Nay, yang tampak jengah, dan membuang muka ke arah luar rumah."Memangnya kamu mau?" tanya Delon yang menyipitkan matanya, tampak kalau Delon belum juga paham dengan kode yang Ratna berikan."Apa kata nasib deh, Mas. Tapi kalau untuk saat ini, aku nggak aja." Akhirnya Ratna memilih jawaban menggantung. Dia mulai berdiri, bersiap untuk pergi."Nay mau ikut nggak ke rumah mantan suaminya Ratna?" tanya mas Delon pada Nay yang masih memilih menatap ke luar rumah.Tampak Delon yang ikut berdiri saat melihat Ratna bangun dari duduknya."Nggak, Mas. Aku lagi ada yang harus di selesaikan malam ini." Dengan tersenyum yang di paksakan, Nay menolak halus ajakan Delon."Ya udah, kalau gitu" ujar Delon, kedua bahunya naik sesaat."Yuks! Kita berangkat sekarang ke rumahmu, mumpung belum terlalu sore," ajak De
"Alhamdulillah, sepi, Mas. Kalau banyak orang bikin keki, aku males yang mau basa basi," sahut Ratna yang melangkah mendekati Delon. Setelah memandangi sekitarnya."Hu um," ujar Delon yang kemudian melangkah sejajar dengan Ratna mendekati pagar rumah."Rizal tampaknya juga ada, tuh! Motornya sudah ada di teras." Ratna berucap setelah matanya melongok lewat celah celah pagar."Assalamualaikum!" Ratna dan Delon tanpa sadar mengucapkan salam bersamaan. Mereka pun saling pandang dan tersenyum bersama."Wa Alaikum salam."Ratna menggigit bibir bawahnya, saat melihat Rizal yang keluar dari rumah, dengan membawa kunci pagar di tangannya.Baju yang kusut dengan rambut acak acakan, Rizal mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sesaat setelah pintu pagar di bukanya lebar- lebar.Ratna membuang nafas panjang, ternyata getaran itu masih ada, walau mungkin hanya sebesar biji jagung. Mau di bantah seperti apa pun mereka