"Kamu punya uang nggak? Buat beli kosmetik."
"Ada, aku tadi sengaja ngambil lebih."
"Kita mampir ke toko dulu ya, buat beli, biar besok nggak repot lagi."
Ratna mengangguk sambil tersenyum, terenyuh hatinya melihat betapa perhatiannya Nay, teman dekatnya sejak mereka sekolah SMA dulu.
Agak lama Nay dan Ratna di toko kosmetik, sepertinya mereka tidak mau salah memilih, karena memilih kosmetik yang tepat dan sesuai dengan kulit itu penting.
Dengan meneteng tas berisi seragam dan kosmetik yang tadi di belinya, Ratna menepati janji untuk menginap di rumah Nay.
Melangkah bersama di trotoar, setelah sebelumnya membeli gado gado empat bungkus.
"Kenapa empat, Nay?"
"Rahasia," jawab Nay yang menaikkan alisnya berulang kali.
"Iiih ...," desis Ratna, pupilnya bergerak berputar, jengah dengan sikap yang di tunjukkan sahabatnya.
Ratna dan Nay berhenti di depan sebuah rumah sederhana di dalam sebuah gang yang lumayan sempit.
Nay membuka pagar kayu, dari dalam terdengar suara anak kecil menangis.
"Anak siapa, Nay?"
Lagi, Nay tak menjawab, dia hanya memberikan isyarat untuk diam dengan ibu jari yang ia letakkan di depan bibirnya.
"Assalamualaikum ...." Nay mengucapkan salam sambil membuka pintu utama hingga terdengar derit yang agak keras.
"Wa Alaikummus salam."
Dari dalam terdengar ada suara yang menjawab, dua jenis suara yang berbeda.
"Ratna ....?!"
"Mira ... kamu di sini?"
Ratna memeluk perempuan berjilbab yang baru saja keluar dari dalam bersama seorang anak perempuan kecil berumur mungkin hampir dua tahun.
"Iya, aku uda lama di sini, kamu kemana aja kok nggak ada kabar, sudah senang lupa sama kawan rupanya." sindir Mira dengan bibir sedikit dia monyong kan ke depan.
"Hei ...." tegur Ratna dengan pandangan tak suka pada Mira yabg setengah menggodanya. Tangannya sibuk menggoda anak perempuan yang ada dalam gendongan Mira.
"Siapa ... kok rame?"
Seorang lelaki berkaca mata, berpenampilan menarik dengan kulit sawo matang, datang dari dalam.
"Rafii ...." seru Ratna yang kaget saat tahu siapa lelaki yang baru saja datang.
Sungguh merupakan suatu kejutan bagi Ratna saat melihat semua sahabatnya saat SMU kini berkumpul di sini.
"Maaf, kamu siapa?" tanya pemuda yang Ratna panggil Rafi sambil menyipitkan matanya di balik kaca mata.
"Hahhhaha ...."
Semua tertawa hanya Ratna yang tidak, wajahnya di buat seolah sedang kesal karena sapa Rafi yang pura pura melupakannya.
"Sudah mau berangkat, Mir?" tanya Nay yang melihat Mira sudah berdandan dan menggunakan seragam.
"Mmm ... kayaknya aku tidak masuk malam ini, secara ada sahabat lama datang berkunjung, jadi aku harus menjaga perasaannya,. Bukan?" goda Mira yang kemudian meletakkan anak kecil itu ke alat bantu jalan yang berbentuk seperti donat tapi mempunyai roda. Baby moon walk.
"Kerja apa kamu, Mir?" tanya Ratna.
Saat ini mereka berempat duduk bersama, sambil terus memperhatikan si bayi, yang melangkah ke sana ke mari.
"Aku perawat, Na. Kamu sendirian apa sama suamimu?"
Ratna terdiam mendengar Mira bertanya.
"Na ...."
Ratna yang tak sanggup lagi menahan kepiluan hidupnya, tiba tiba sudah memeluk Nay dengan sangat erat, isak tangisnya pun mulai terdengar.
"Na ...."
Nay mengurai pelukan mereka, saat di tangannya sudah memegang segelas berisi air yang tadi diambil Mira.
"Sudah tenang kan?" tanya Nay saat melihat Ratna menghabiskan air di dalam gelas dalam sekali minum, dan Ratna mengangguk sebagai jawabannya.
"Sekarang ceritakan, ada apa?"
"Rizal mau menikah lagi, tapi dia tidak mau menceraikanku, aku harus bagaimana?" ujar Ratna sambil tersedu."Coba kau ceritakan semuanya, Rat. Jangan ada yang kau sembunyikan, kalau setengah setengah begini takutnya bikin kita berpikir yang enggak enggak." pinta Rafi, yang mampu berpikir tenang. Meski di wajah lelaki itu tampak sekali keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan. Pun di antara Mira dan Nay.Ratna pun mulai menceritakan semua yang terjadi tentang hubungannya bersama Rizal, juga musabab kenapa Rizal ingin menikah lagi, dari awal hingga akhir.Semua menghela napas panjang, terdiam, saling pandang."Terus ... apakah kamu bertekad tinggal di rumah itu terus, Rat? Dengan taruhan suatu saat Rizal akan kembali menyakitimu, menyiksamu?" Mira memberanikan diri bertanya, saat semuanya masih malu untuk mengorek lebih dalam lagi pada Ratna."Aku harus bagaimana, itu adalah mandat dari ayah mertuaku almarhum." Ratna memberikan
Ratna melangkahkan kakinya keluar dari tempatnya kerja, hari ini hari pertama dia menyelesaikan kerjanya, dan sesuai dengan rencana , hari ini dia akan pulang ke rumah untuk mengambil barang."Kau sudah mau pulang?" tanya seseorang dari balik punggungnya. Sontak saja Ratna menoleh dan mendapatkan bosnya, pak Aldo sedang melangkah bersama seorang pria tampan bermata tajam dengan rahang kokoh."Iya, Pak." jawab Ratna dengan yang sengaja menghentikan langkahnya hanya untuk menghormati si bos."Masuklah, biarku antar!" suruh si boss, yang lebih dulu masuk bersama temannya di jok depan."Tidak pak, tidak apa, saya naik pedesaan aja." Ratna yang masih merasa sungkan, mencoba menolak tawaran si bos."Ratna, masuklah." Kali ini suara si bos berubah tegas, tampaknya dia tidak mau ditolak.Ratna terdiam, dengan segan tangannya membuka pintu jok belakang, dan masuk ke dalamnya."Di mana alamatmu?" tanya si bos yang mulai menjalankan
Selesai pamit kepada pak RT. Mereka bertiga pun kembali ke mobil, sekarang dengan tujuan utama mengantarkan Ratna ke rumahnya."Terima kasih, Pak. Maap kalau saya tidak menawarkan bapak berdua untuk mampir, karena saya ingin lekas-lekas berkemas," ujar Ratna dengan sedikit takut takut."Pergilah, Rat. Biar kutunggu kau di sini." Pak Aldo malah mematikan mesin mobilnya dan menyuruh Ratna untuk lekas melakukan niatnya."Tapi, Pak ....""Cepat pergi, kau bilang ingin segera berkemas, bukan?" Pak Aldo memotong ucapan Ratna. Kali ini si bos memalingkan wajahnya menatap serius ke arah Ratna.Ratna mengangguk kemudian bergegas keluar dari mobil.Dengan langkah cepat, Ratna bergegas. Namun, Ratna sempat menghentikan langkahnya dan menghela nafas panjang. Rupanya Rizal ada di rumah, terlihat dari motor yang nangkring di teras. Hatinya sudah tidak enak."Akhirnya kamu pulang juga," sapa Rizal yang entah dari mana munculnya. Tiba tiba saja
"Ternyata dugaanmu benar tentang Ratna, untung saja kita membatalkan acara ke kafe tadi, kalau tidak, nyawa perempuan itu pasti tidak akan bisa di selamatkan," ujar Pak Aldo yang melangkah keluar dari ruang ICU di ikuti oleh Delon dari belakang. "Tapi bagaimana kamu bisa merasakan apa yang akan terjadi pada perempuan itu, Delon. Bukankah kalian baru bertemu hari ini?" tanya Aldo yang memilih duduk di kursi yang terbuat dari semen yang tersedia di bahu lorong. "Entah ...." Delon menjawab sambil mengangkat kedua bahunya sesaat, ikut duduk di sebelah Aldo. "Apa yang kau pegang?" tanya Delon saat melihat pak Aldo memainkan rantai berwarna kuning dengan liontin berbentuk hati. Semacam kalung. "Ini punya Ratna, tadi jatuh saat aku meletakkannya di brankar," jawab Aldo, dengan melebarkan jari tangannya, tampaklah kalau yang ia pegang adalah sebuah kalung. "Boleh aku memegangnya?" pinta Delon, dengan mata tak lekang menatap benda yang ada
"Kamu sudah siuman?" Mata Ratna yang awalnya hanya menghadap ke atap atap kamar, langsung bergerak ke arah sumber suara. "Nay ... kok kamu ada di sini?" Dengan suara serak, Ratna menyapa sahabatnya yang entah sejak kapan sudah berada di dalam kamar. "Pak Aldo yang menyuruhku untuk menjagamu, untung saja dia tepat waktu saat menolongmu kemarin, Rat. Kamu kehilangan banyak darah." Nay langsung menjelaskan apa yang mungkin tadi sempat dipikirkan Ratna. "Apa kau mengingat sesuatu?" Nay kembali bertanya, kini dia mengambil posisi duduk di kursi yang terbuat dari plastik yang tampaknya menjadi fasilitas kamar. "Entah, terakhir yang aku ingat aku menolak memasak untuk Rizal, dan sepertinya dia sangat marah hingga memukul ku dengan sesuatu yang sangat membuatku sakit, di bagian leher belakang, setelah itu aku tak ingat apa apa lagi," jawab Ratna dengan suara amat serak dan pelan. Matanya terpejam, seolah ingin buang kenangan buruk dari dalam
"Mila sudah cerai, Rat. Suaminya tidak mau menerima Lauren sebagai anak, bukan karena tidak percaya itu anaknya, tapi dia masih ingin bersenang-senang tanpa hadirnya anak," jelas Nay dengan muka sedih, menceritakan tentang Mila. "Astaugfirulllah ...." Ratna memandangi wajah Nay, di wajahnya terpancar rasa tak percaya, bagaimana mungkin ada manusia yang tak menginginkan anak di dalam hidupnya. Ratna mulai membandingkan dirinya dengan nasib Mila, sungguh sangat berbanding terbalik, dia cerai karena tidak mampu punya anak, sedangkan Mila cerai karena punya anak. "Kamu kaget karena mengira tak mungkin ada orang yang tak menginginkan keturunan, bukan? Tapi nyatanya ada." Nay seperti tahu apa yang ada dalam benak Ratna. "Mila memilih bercerai, untung saja dia masih bekerja, jadinya tidak bingung walau pun si mantan suami tidak memberikan dia sepeser pun uang, Mila masih bisa memenuhi kebutuhan diri dan anaknya," ujar Nay, lagi. "Ya ... k
"Ini, berikan pada temanmu yang miskin, jelek dan mandul itu! Suruh dia menandatanganinya. Besok aku ambil dan harus sudah ia tanda tangani."Masih dengan kata kata yang menghina Ratna, Perempuan itu menyodorkan map yang sedari tadi ia pegang kepada Nay."Nggak usah nunggu besok, mana bolpoinnya?" Tangan kanan Nay menerima map berwarna merah itu dengan sedikit diwarnai kesan seolah merampas.Nay membaca sedikit isi yang ditulis di dua lembar kertas yang ada di dalam map, kemudian menutupnya kembali.Mona memandangi Nay dengan raut muka kesal, tangannya merogoh tas yang dari tadi ia pegang, mengambil bolpoin dan menyodorkannya kepada Nay.Nay menerima dengan sebuah senyuman yang menghiasi bibirnya. "Hei! Apa yang kau lakukan?" Semua gerakan Nay tak ada yang luput dari pengawasan Mona."Ini, sudah aku tanda tangani, 'dah sana pergi dan jangan kembali lagi ke sini. Ingaaat!" Nay menyodorkan kembali map yang sudah ia tan
"Hei, apa yang kalian lakukan? Berhenti sekarang juga!"Bentakan suara berat yang mendekat, membuat Nay dan Mona yang sedang adu fisik, sontak berhenti bergerak seketika, malah kini sama- sama fokus pada lelaki yang baru datang dengan mengenakan seragam satpam."Ayo semua ikut saya ke kantor." Pak satpam berusaha menjangkau tangan Nay. Namun, Nay menepis halus."Tapi saya harus menjaga pasien, Pak. Orang ini yang tiba tiba datang dan langsung menghina saya," lapor Nay dengan tangan menunjuk ke arah Mona. Dan perempuan yang ditunjuk itu pun hanya bisa melirik sinis ke arah Nay."Benar, Pak. Mbak ini yang datang, dan langsung berkata kasar, saya dengar dan melihatnya sendiri." Entah darimana datangnya, tiba tiba seorang lelaki dengan jas kebanggaannya yang berwarna putih, sudah berdiri di dekat Nay.Nay yang kaget langsung melangkah mundur, seolah sedang bertemu dengan seorang hantu, tapi tampan sangat.