“Kamu sudah siap?” tanya Memey menyentuh pelan pundak sahabatnya.
Selepas sang ibu yang selalu mengatur hidup Cinta keluar kamar, Memey di minta untuk menjemput Cinta dan membawa pada tempat yang telah di tentukan.
Cinta tersenyum menatap mata hazel sahabat yang paling mengerti isi hatinya. Sejurus kemudian menggeleng pelan dan bibirnya bergetar menahan tangis.
“Kamu harus ikhlas, ini adalah takdir cinta kalian. Selama ini kamu telah membuktikan dengan tetap setia pada Ryan. Lima tahun kamu menunggu kepastian sampai-sampai kamu tidak pernah menjalin cinta dengan lelaki manapun.”
Memey berusaha membesarkan hati Cinta dengan mengingatkan betapa kuatnya Cinta menjaga hati sejauh ini.
“Ini sangat berat Mey,” lirih Cinta pelan.
“Aku tahu, ini tidak mudah. Percayalah pria yang ada di luar sana adalah orang yang paling tepat untukmu. Ta, Tuhan maha tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Mungkin saat ini, detik ini kamu merasa ini tak adil. Bisa saja suatu hari nanti kamu akan sangat mensyukurinya. Kamu akan merasa menjadi wanita paling beruntung telah menjadi rusuknya.” Memey menarik Cinta dalam dekapannya.
Cinta menurut membiarkan Memey memeluknya. Per sekian detik dua gadis itu berpelukan saling menguatkan. Karena bukan hanya Cinta yang bersedih Memey pun juga, mengingat beratnya hidup yang akan dihadapi sahabatnya nanti.
“Kamu wanita yang kuat dan pasti bisa melewati ini semua. Ayo semangat, sebentar acara akan dimulai,” ujar Memey mengurai pelukan dan membantu Cinta merapikan kembali penampilannya.
Lalu menggandeng lengan Cinta berjalan bersama keluar kamar menuju tempat yang telah disediakan.
Cinta sekilas mengedarkan pandangan pada semua yang hadir hingga tanpa sengaja tatapannya bertemu dengan pria yang sebentar lagi akan bergelar suami.
“Sial,” decis Cinta pelan mengangkat salah satu ujung bibir menandakannya sedang jijik.
Para tamu undangan memberi ruang untuk Cinta berjalan dan sampai pada tempat duduknya.
Sekuat jiwa raga lahir dan batin Cinta menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Cukup luka dan sakit ini dia yang rasa dan selamanya menjadi rahasia hatinya.
Cinta tulusnya pada seorang insan telah tergadai seharga 30jt dan tidak akan pernah bisa ditebus hingga maut bertamu.
“Saya terima nikah dan kawinnya Cinta Maulina Suherman binti Hamdan Suherman dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.” Dalam satu tarikan nafas pemuda yang bernama lengkap Abizar Uwais Dewantara telah berhasil menghalalkan gadis yang tidak pernah menyukainya.
Sama seperti halnya Cinta, Abizar juga menjalani pernikahan ini dengan amat sangat terpaksa.
“Bagaimana saksi? Sah,” ujar sang penghulu di balas anggukan kompak empat orang pria merupakan perwakilan dari kedua belah pihak.
“Sah.”
“Sah.”
Kata itu menggema di seluruh penjuru ruangan seperti tikaman belati dalam jiwa Cinta. Tangannya meremas sangat erat ujung lengan bajunya menguatkan diri untuk jangan sampai meneteskan satu tetesan air mata.
Abizar yang melirik Cinta sejenak dan tersenyum miring.
Acara sangat lancar, hampir semua undangan yang tersebar hadir. Dan itu tentu sangat melelahkan bagi kedua mempelai.
Mengulas senyum palsu pada semua yang hadir cukup membuat Cinta lupa dengan luka dan kesakitannya.
Namun, sejak dari resmi menjadi pasangan suami istri baik Cinta maupun Abizar tidak saling menyapa.
Mereka hanya duduk bersanding layaknya pengantin pada umumnya. Tanpa kata dan suara walau sekedar hay.
Hingga acara selesai dan para tamu satu per satu pulang kerumah masing-masing pasangan pengantin itu tak kunjung menyapa.
Saat akan meninggalkan pelaminan Cinta hanya melihat suaminya tanpa ekspresi lali melepaskan sepatu hak tingginya guna memudahkan menuruni tangga pelaminan.
“Tugasmu sangat besar Aby,” gumam Abizar menatap punggung gadis yang tadi pagi resmi menjadi istrinya.
Cinta meremas ujung bajunya seraya berlari kecil, dia sudah tidak tahan mengenakan pakaian yang melekat di tubuh langsingnya lebih lama lagi.
Selain itu juga dia juga ingin menghindar dari pria yang telah resmi menjadi suaminya.
“Ingat, kamu sekarang telah menjadi istri orang. Lupakan minta monyetmu itu.” Cinta meringis menahan sakit pada lengan yang di cekal sang ibu.
Cinta keluar dari kamar mandi dengan bersenandung kecil dan tangannya lincah mengusap rambutnya yang masih basah. Dia sengaja membawa pakaian ganti kedalam kamar mandi agar tidak perlu kucing-kucingan dengan pria asing yang bergelar suami. "Kau tak perlu takut aku akan menyentuhmu karena aku juga tidak tertarik padamu," ujar Abizar cukup membuat Cinta tersentak. "Baguslah." Cinta melihat Abizar sejenak lalu kembali melangkah menuju meja rias. "Kita akan saling mengenal dan mendalami sikap kita masing-masing terlebih dahulu. Namun sebagai suami aku akan tetap memberikan hakmu. Aku hanya minta jangan campuri urusanku dan aku juga tidak akan mencampuri urusanmu," sambung Abizar dengan wajah datar. “Iya ya, cerewet banget. Aku tetap pada posisiku dan kau tetap pada garismu. Itu kan yang ingin kau jelaskan ‘kan?” tanya Cinta pelan tapi dengan penekanan. Abizar menelan ludah dengan keberanian Cinta. Tadinya dia ingin menekan Cinta untuk tersiksa dengan pernikahan ini lalu merengek pad
Sejenak Cinta lupa dengan kedatangan dua wanita yang mungkin saat ini sedang bicara dengan mamanya. Hingga tepukan pelan pada lengannya oleh sang adik mengembalikan kesadarannya. “Cie-cie yang lagi bahagia jadi nyonya Abizar. Mamas tampan tajir melintir. Ah, tidak kebayang jadi kakak yang sebentar lagi turun naik mobil dan semua keinginan akan di turuti,” goda Dinda memainkan kedua alisnya dengan mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat pada sang kakak. “Apaan sih,” sahut Cinta sewot telunjuknya menyentuh dahi Dinda supaya menjauh. “Kak, di luar ada keluarga mantan terindah. Mereka ingin bertemu kakak,” ujar Dinda. “Mantan terindah? Maksud kamu keluarga Ryan? Untuk apa mereka datang. Bukannya dulu mereka yang terang-terangan menentang kedekatan kami. Datang sekarang mah dah terlambat,” omel Cinta kesal. “Mana saya tahu, sana coba temui. Mungkin mereka punya tujuan tersendiri.” Dinda menarik lengan sang kakak dan mendorongnya untuk segera keluar dari kamar. Sama seperti Cinta, Dind
“Mengapa kau tidak mengatakan selama ini mengabaikannya, kakak kehilangan muka dihadapan Cinta,” cerca Zenni mengawali sambungan telepon dengan sang adik di pulau seberang. “Apa kak?” tanya Ryan penuh heran. Berpegang teguh pada ucapan Cinta yang akan setia menunggu Ryan sengaja tidak menghubunginya hingga tiba waktu. Dia lupa sebesar apa rasa cinta gadis pujaan hatinya punya rasa cemburu dan batas kesabaran. “Dia telah menikah kemarin, bahkan pelaminannya masih berdiri kokoh. Sudah lupakan dia, kalian memang tidak berjodoh.” Zenni mengakhiri panggilan tanpa memberi kesempatan pada sang adik untuk menjawabnya. Ryan meremas ponsel jadulnya dan melemparkan kedinding meluapkan kekesalan hati. Bayangan untuk mengarungi biduk rumah tangga dengan Cinta kandas. Untuk kesekian kalinya hatinya hancur oleh cinta yang mati-matian diperjuangkannya. “Dasar wanita penghianat,” erang Ryan. “Aku tak akan membiarkan kau bahagia. Aku akan mencari cara untuk menghancurkan pernikahanmu, selama aku
Cinta mengatakan dengan menutup mata dan detak jantung yang berpacu. Sedang Abizar tersedak seolah tertelan biji kedondong. Nada tenang dan suara lembut dalam penyampaian baris kalimat yang memang di tunggu Abizar selama ini akhirnya terwujud. Pria tampan dan penyabar itu meletakan gawai lalu memutar tubuhnya agar bisa saling berhadapan. Kali ini dia yang akan bertanya, meski tidak ada kata saling cinta dia tidak ingin ada penyesalan saat semua telah terjadi. Tangan yang telah kosong terangkat menyentuh dagu gadis yang mungkin sebentar lagi akan dimiliki seutuhnya, kalau jadi. “Buka matamu dan lihat mas, kamu memang tanggung jawab mas namun, mas tidak ingin ada keterpaksaan dan penyesalan belakangan. Sebab setelah sekali saja melakukannya maka tidak akan bisa kembali seperti semula. Kamu tidak perlu merasa bersalah, seperti ini saja sudah membuat kita pasangan bahagia,” jelas Abizar sesaat setelah Cinta mengangkat kelopak matanya. “Ini yang menjadi alasan mengapa aku rela raga ini
“Apa dia mencintaiku atau hanya menjadikanku mainan saja.” “Atau dia ingin memanfaatkan aku?” “Atau-” Cinta menggeleng-gelengkan kepalanya sangat cepat lalu memukul-mukul berulang kali untuk membuang segala pikiran buruk yang menari dalam benaknya. “Tidak, dia pria yang baik. Tidak ada gunanya dia berbuat jahat padaku sedang dia bisa mendapatkan yang lebih baik seratus kali lipat dari aku,” pungkas Cinta mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan perintilannya yang akan dibawa. Setengah jam semua telah selesai, begitupun dengan Cinta yang siap dengan pakaian santai khas orang yang akan liburan. *** Sepanjang perjalanan tak banyak yang mereka bicarakan, keduanya dilanda kecanggungan yang teramat sangat. “Ini Villanya?” tanya Cinta keluar dari mobil seraya merenggangkan tubuhnya yang terasa sangat lelah. Semalaman dalam perjalanan cukup menguras tenaganya. Sebenarnya perjalanan bisa menjadi menyenangkan kalau dia dan Abizar tidak kaku. Sehingga meletakkan pembatas agar tidak bers
“Makanya itu otak dicuci bersih biar tidak kotor. Dalam sini pasti isinya sangat jorok,” bisik Abizar tepat ditelinga Cinta. Mulut Cinta terbuka sempurna mendengar bisikan Abizar yang terkesan mengejek. Tangannya menggelap sisi kiri kepalanya bekas telunjuk Abizar menempel. “Cinta, apa yang sedang kau pikirkan hingga mempermalukan diri sendiri seperti ini,” umpatnya setelah mendengar daun pintu tepat di belakangnya ditutup. Cinta memutuskan untuk beristirahat setelah menyantap hidangan yang disediakan oleh penjaga villa. Orang tua Abizar membayar sepasang suami istri untuk menjaga dan merawat setiap villa milik mereka. Suami sebagai tukang kebun dan istri sebagai pelayan dan juru masak jika ada yang berkunjung. Petang harinya baru Cinta merengek pada Abizar untuk jalan-jalan sekitar kampung. Hati Abizar sangat bahagia melihat Cinta yang antusias dan bersemangat saat keinginan berkeliling di turuti. Tidak peduli harus mengenakan sepeda ontel sebagai penyambung kaki agar tidak terl
Bulir bening lolos pada kedua ujung mata Cinta saat penyatuan mereka terjadi. Resmi sudah dirinya menjadi nyonya Abizar bersamaan dengan hilang harapan untuk menggapai rasa yang sampai detik ini tetap bersemayam utuh di hati. Derit ranjang dan deru nafas yang memburu melebur peluh yang menetes dalam dinginnya malam. Keduanya larut dalam hanyut dalam surga dunia yang hanya akan menjadi pahala saat di lakukan oleh pasangan halal. Abizar mengecup dahi Cinta penuh kasih dan kelembutan usai mereka meraih suatu kepuasan hanya bisa dirasa tanpa bisa diungkapkan. “Terima kasih, telah memberikan segalanya untuk mas. Mas berjanji selama kamu tidak mengundang badai dalam rumah tangga kita maka kamu akan menjadi wanita paling berbahagia di dunia ini,” ungkap Abizar memantapkan hati dalam pernikahan yang memang telah ditakdirkan untuknya. Cinta mengangguk dan menyembunyikan kepalanya dalam dada bidang yang mulai hari ini dan selamanya akan selalu menjadi tameng pelindung. “Maaf, aku masih bela
Beberapa hari sebelumnya.Cinta sedang terburu-buru tanpa sengaja menabrak seseorang mengenakan pakaian loreng-loreng. Pandangan mereka bertemu, untuk beberapa detik keduanya sama-sama mematung.Sadar siapa yang ada depannya dua pasang netra tampak berkaca-kaca. Sorot yang tetap sama dengan sepuluh tahun lalu penuh cinta dan kehangatan.“Cinta.”“Ryan.”Secara bersamaan keduanya menyebutkan nama.Bayang-bayang indah masa muda yang melenakan kini tengah membuai sepasang anak manusia yang sempat melukiskan kisah yang sama dalam satu nota.Cinta segera membuang wajah ketika sadar ini salah, dan bukan waktu untuk bernostalgia.“Maaf aku harus segara pergi, senang bisa bertemu denganmu. Salam untuk anak dan istrimu,” ujar Cinta mengakhiri suatu yang di sadari sangat salah.Tubuh langsing dan masih terlihat awet muda itu berbalik namun, baru saja akan melangkah tangan kokoh Ryan menarik lengannya.“Tunggu sebentar, aku hanya ingin memandangmu beberapa saat,” pintanya penuh harap.“Maaf aku