Share

Bab 5

"Mas Brian lepasin! Lengan aku sakit!" pinta Kaina berusaha untuk melepaskan genggaman keras tangan Brian di lengan mungilnya.

Brian langsung menghentikan langkahnya. Sekarang mereka berdua sudah berada di depan gudang.

"Sakit? Sudah tau sakit kenapa kau malah ikut campur urusan aku, Hn? Apa kamu sudah siap mati di hadapan aku sekarang?" tanya Brian. 

Kaina menunduk mendengar ancaman itu keluar dari mulut Brian dengan sangat jelasnya.

"Maaf mas tapi aku kasian sama Rangga dia____"

"APA HUBUNGANNYA RANGGA DENGAN KAMU GADIS TOLOL?"

Teriakan itu berhasil menghentikan ucapan Kaina. Sekarang Brian sudah benar-benar murka, ia tidak suka orang lain ikut campur dalam urusan pribadinya.

"I-iya mas, a-aku aku mengaku salah." Kaina gemetar.

"Aku sebenarnya capek sekali untuk selalu berurusan dengan perempuan bodoh tolol bahkan goblok seperti kamu. Tapi karena kamu sudah berani membuat aku murka jadi bersiap siaplah dengan hukuman mu ini." Brian menarik lengan Kaina lagi, ia menarik paksa Kaina untuk masuk ke dalam gudang.

"Mas aku mohon, jangan kunci aku di gudang! Aku berjanji aku gak akan ikut campur lagi, aku bersumpah itu mas, tolong mas." Kaina memohon mohon dengan berurai air mata.

Brian hanya diam. Dia mendorong tubuh Kaina agar masuk ke dalam.

"Tempat kamu itu sebenarnya di sini? Bukan di kamar tamu," ucapnya.

"Mas aku mohon! Tolong jangan kunciin aku di gudang! Aku berjanji aku gak akan mengulanginya lagi..."

"Mas Brian, aku mohon mas..."

Brian menarik pintu itu untuk tertutup kembali.

"MAS BRIAN! MAS, AKU MOHON MAS!"

Air mata terus mengalir di pipi mulus Kaina. Dia sudah memohon mohon agar tidak di kurung di dalam gudang namun Brian tidak bereaksi sedikit pun.

BRAK. 

Brian menutup pintu itu dengan sangat kencang hingga menimbulkan bunyi yang keras.

Bug...bug...bug! 

Kaina mengedor ngedor pintu itu agar Brian bisa menunda niatannya tersebut.

"MAS AKU MOHON! MAS BRIAN AKU MOHON KELUARKAN  AKU MAS." tangisan itu pecah dengan sangat deras.

Kaina duduk bersandar di depan pintu. Dia begitu lelah hari ini memikirkan jalan hidupnya yang selalu serba salah di mata orang lain.

Tangisan itu semakin lama semakin deras. Kaina memeluk erat kedua lututnya, ia menumpahkan semua air matanya di gudang tersebut.

Kaina mengingat semua kenangan waktu masa kecilnya, di mana dia selalu di manja bahkan di sayang. Rasa itu sekarang sudah menghilang, kerinduan datang menjelma sebagai angin lewat saja.

Kaina masih mengingat dengan jelas enam belas tahun yang lalu di saat usianya masih empat tahun. Anak laki-laki berusia dua tahun lebih tua darinya menangis di pinggir jalan karena di bully oleh temannya. Anak laki-laki berbadan gemuk, berkulit hitam dan bergigi behel. Kaina masih mengingat dengan jelas ucapan anak laki-laki itu.

"Hari ini kamu menyelamatkan aku. Tapi saat aku besar nanti aku yang akan selalu menjaga kamu dari para orang orang jahat dan aku gak akan membuat kamu menangis! Aku berjanji itu."

Ucapan itu masih terputar jelas di telinga Kaina. Anak laki laki bergigi behel yang memiliki badan gemuk mengatakan kata kata tersebut dengan sangat serius dan penuh keyakinan.

Kaina menjadi menangis mengingat itu, kenangan masa kecilnya jauh lebih menyenangkan dari pada sekarang.

"Aku rindu kamu laki-laki gemuk bergigi behel, seperti apa kamu sekarang? Sembilan belas tahun lamanya aku tidak pernah bertemu lagi dengan kamu."

Tetesan air mata terus membasahi pipi Kaina tanpa henti.

"Aku sekarang ingin menagih janji kamu laki-laki behel. Aku menangis hampir setiap hari karena orang orang jahat di sekitar aku. Apa kamu bisa membantu aku?"

Kaina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ia menangis sesenggukan.

[Ayah, Ibu. Aku tersiksa di sini, aku gak kuat disini, ] Seru Batin Kaina.

*

Brian berjalan menuju sofa ruang tamu sambil membawa sebuah laptop yang masih tetap menyala. 

"Dimana Kak Kaina?" tanya Rangga. 

Brian menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah belakang yang di sana sudah ada Rangga dengan ekspresi wajah kesal. Brian hanya menatap Rangga dengan sinis diam dan tidak bereaksi sedikit pun. 

"Lo budek? DIMANA KAINA BRIAN BRENGSEK?!"

Brian tersenyum mendengar teriakan tersebut. Dia tidak memperdulikan semua pertanyaan Rangga. 

"Gue tanya di mana Kaina? Di mana lo sembunyikan dia?" bentak Rangga. 

"Aku tidak akan memberitahu kamu" jawab nya singkat. 

Brian melangkahkan kaki kembali untuk menuju sofa. 

"BEDEBAH, DASAR BAJINGAN! Lo kira gue bisa mencari Kaina sendirian di rumah segede ini, ah? Lo pikir dong ini rumah semua ruangnya kedap suara bahkan gue sudah cari Kaina keliling semua ruangan tapi gak ada! Lo umpetin di mana Kaina Brian?!"

Rangga tersulut emosi dia sudah keliling mencari Kaina di rumahnya sendiri namun tidak ketemu hingga kemudian dia memilih untuk menanyakan di mana keberadaan Kaina yang di sembunyikan oleh kakak kandungnya itu. 

Brian sampai di sofa, ia menaruh laptopnya kemudian duduk. Brian menoleh ke arah Rangga. 

"Jangan melakukan kesalahan dua kali." kata Brian. 

"Gue gak peduli! Mau gue melakukan kesalahan berapapun, beribu ribu kali pun gue gak peduli! Percuma gue ngelakuin yang bener ujung ujungnya gue tetep salah di mata busuk lo itu."

"Dewasa itu perlu! Jangan menjadi anak kecil, usia kamu sudah akan menginjak masa dewasa! Tolong jaga sikap dan jangan coreng keluarga Wilson di mata semua orang karena kelakuan kotor kamu itu, " tutur Brian dengan santai. 

Rangga mengepalkan kedua tangannya. Dia mencoba untuk mengontrol emosinya meskipun sudah di ubun ubun. 

"Kelakuan gue emang kotor tapi gue gak pecundang seperti lo! Cowok kok kasar sama prempuan? Menyiksa anak orang dengan lebel menikahinya namun itu hanya alat untuk balas dendam, bukannya itu jauh lebih bajingan lagi?" tanya Rangga. 

"Jangan ikut campur! Duniamu duniamu dan duniaku adalah dunia aku. Jangan samakan aku dengan kamu, kita berbeda pemikiran dan sikap menghormati."

Rangga sudah mengangkat separuh tangannya untuk memukul Brian habis habisan namun dia menghentikan niatan itu. 

"Gue lebih baik jadi anak jalanan! Jauh lebih bebas bahkan menyenangkan tanpa harus di atur dengan berbagai aturan dan pasal pasal aneh seperti otak goreng lo itu!"

Brian hanya bisa tersenyum mendengar perlawanan Rangga tersebut. 

"Terserah kamu, kamu berhak memilih untuk hidupmu sendiri dan aku gak perduli sama sekali."

Rangga menatap sinis ke arah Brian, sekarang dia menahan amarahnya.

"Kenapa? Salah aku berbicara begitu?" tanya Brian.

Rangga tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dia memilih untuk membalikkan badannya lalu pergi.

"Maafin aku Rangga, aku lakukan ini agar kamu bisa berubah. Maaf jika aku keras dan kasar dalam mendidik kamu. Tapi aku ingin kamu berubah! gak seperti sekarang." ujar Brian. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status