"Mas Brian lepasin! Lengan aku sakit!" pinta Kaina berusaha untuk melepaskan genggaman keras tangan Brian di lengan mungilnya.
Brian langsung menghentikan langkahnya. Sekarang mereka berdua sudah berada di depan gudang.
"Sakit? Sudah tau sakit kenapa kau malah ikut campur urusan aku, Hn? Apa kamu sudah siap mati di hadapan aku sekarang?" tanya Brian.
Kaina menunduk mendengar ancaman itu keluar dari mulut Brian dengan sangat jelasnya.
"Maaf mas tapi aku kasian sama Rangga dia____"
"APA HUBUNGANNYA RANGGA DENGAN KAMU GADIS TOLOL?"
Teriakan itu berhasil menghentikan ucapan Kaina. Sekarang Brian sudah benar-benar murka, ia tidak suka orang lain ikut campur dalam urusan pribadinya.
"I-iya mas, a-aku aku mengaku salah." Kaina gemetar.
"Aku sebenarnya capek sekali untuk selalu berurusan dengan perempuan bodoh tolol bahkan goblok seperti kamu. Tapi karena kamu sudah berani membuat aku murka jadi bersiap siaplah dengan hukuman mu ini." Brian menarik lengan Kaina lagi, ia menarik paksa Kaina untuk masuk ke dalam gudang.
"Mas aku mohon, jangan kunci aku di gudang! Aku berjanji aku gak akan ikut campur lagi, aku bersumpah itu mas, tolong mas." Kaina memohon mohon dengan berurai air mata.
Brian hanya diam. Dia mendorong tubuh Kaina agar masuk ke dalam.
"Tempat kamu itu sebenarnya di sini? Bukan di kamar tamu," ucapnya.
"Mas aku mohon! Tolong jangan kunciin aku di gudang! Aku berjanji aku gak akan mengulanginya lagi..."
"Mas Brian, aku mohon mas..."
Brian menarik pintu itu untuk tertutup kembali.
"MAS BRIAN! MAS, AKU MOHON MAS!"
Air mata terus mengalir di pipi mulus Kaina. Dia sudah memohon mohon agar tidak di kurung di dalam gudang namun Brian tidak bereaksi sedikit pun.
BRAK.
Brian menutup pintu itu dengan sangat kencang hingga menimbulkan bunyi yang keras.
Bug...bug...bug!
Kaina mengedor ngedor pintu itu agar Brian bisa menunda niatannya tersebut.
"MAS AKU MOHON! MAS BRIAN AKU MOHON KELUARKAN AKU MAS." tangisan itu pecah dengan sangat deras.
Kaina duduk bersandar di depan pintu. Dia begitu lelah hari ini memikirkan jalan hidupnya yang selalu serba salah di mata orang lain.
Tangisan itu semakin lama semakin deras. Kaina memeluk erat kedua lututnya, ia menumpahkan semua air matanya di gudang tersebut.
Kaina mengingat semua kenangan waktu masa kecilnya, di mana dia selalu di manja bahkan di sayang. Rasa itu sekarang sudah menghilang, kerinduan datang menjelma sebagai angin lewat saja.
Kaina masih mengingat dengan jelas enam belas tahun yang lalu di saat usianya masih empat tahun. Anak laki-laki berusia dua tahun lebih tua darinya menangis di pinggir jalan karena di bully oleh temannya. Anak laki-laki berbadan gemuk, berkulit hitam dan bergigi behel. Kaina masih mengingat dengan jelas ucapan anak laki-laki itu.
"Hari ini kamu menyelamatkan aku. Tapi saat aku besar nanti aku yang akan selalu menjaga kamu dari para orang orang jahat dan aku gak akan membuat kamu menangis! Aku berjanji itu."
Ucapan itu masih terputar jelas di telinga Kaina. Anak laki laki bergigi behel yang memiliki badan gemuk mengatakan kata kata tersebut dengan sangat serius dan penuh keyakinan.
Kaina menjadi menangis mengingat itu, kenangan masa kecilnya jauh lebih menyenangkan dari pada sekarang.
"Aku rindu kamu laki-laki gemuk bergigi behel, seperti apa kamu sekarang? Sembilan belas tahun lamanya aku tidak pernah bertemu lagi dengan kamu."
Tetesan air mata terus membasahi pipi Kaina tanpa henti.
"Aku sekarang ingin menagih janji kamu laki-laki behel. Aku menangis hampir setiap hari karena orang orang jahat di sekitar aku. Apa kamu bisa membantu aku?"
Kaina menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, ia menangis sesenggukan.
[Ayah, Ibu. Aku tersiksa di sini, aku gak kuat disini, ] Seru Batin Kaina.
*
Brian berjalan menuju sofa ruang tamu sambil membawa sebuah laptop yang masih tetap menyala.
"Dimana Kak Kaina?" tanya Rangga.
Brian menghentikan langkahnya. Dia menoleh ke arah belakang yang di sana sudah ada Rangga dengan ekspresi wajah kesal. Brian hanya menatap Rangga dengan sinis diam dan tidak bereaksi sedikit pun.
"Lo budek? DIMANA KAINA BRIAN BRENGSEK?!"
Brian tersenyum mendengar teriakan tersebut. Dia tidak memperdulikan semua pertanyaan Rangga.
"Gue tanya di mana Kaina? Di mana lo sembunyikan dia?" bentak Rangga.
"Aku tidak akan memberitahu kamu" jawab nya singkat.
Brian melangkahkan kaki kembali untuk menuju sofa.
"BEDEBAH, DASAR BAJINGAN! Lo kira gue bisa mencari Kaina sendirian di rumah segede ini, ah? Lo pikir dong ini rumah semua ruangnya kedap suara bahkan gue sudah cari Kaina keliling semua ruangan tapi gak ada! Lo umpetin di mana Kaina Brian?!"
Rangga tersulut emosi dia sudah keliling mencari Kaina di rumahnya sendiri namun tidak ketemu hingga kemudian dia memilih untuk menanyakan di mana keberadaan Kaina yang di sembunyikan oleh kakak kandungnya itu.
Brian sampai di sofa, ia menaruh laptopnya kemudian duduk. Brian menoleh ke arah Rangga.
"Jangan melakukan kesalahan dua kali." kata Brian.
"Gue gak peduli! Mau gue melakukan kesalahan berapapun, beribu ribu kali pun gue gak peduli! Percuma gue ngelakuin yang bener ujung ujungnya gue tetep salah di mata busuk lo itu."
"Dewasa itu perlu! Jangan menjadi anak kecil, usia kamu sudah akan menginjak masa dewasa! Tolong jaga sikap dan jangan coreng keluarga Wilson di mata semua orang karena kelakuan kotor kamu itu, " tutur Brian dengan santai.
Rangga mengepalkan kedua tangannya. Dia mencoba untuk mengontrol emosinya meskipun sudah di ubun ubun.
"Kelakuan gue emang kotor tapi gue gak pecundang seperti lo! Cowok kok kasar sama prempuan? Menyiksa anak orang dengan lebel menikahinya namun itu hanya alat untuk balas dendam, bukannya itu jauh lebih bajingan lagi?" tanya Rangga.
"Jangan ikut campur! Duniamu duniamu dan duniaku adalah dunia aku. Jangan samakan aku dengan kamu, kita berbeda pemikiran dan sikap menghormati."
Rangga sudah mengangkat separuh tangannya untuk memukul Brian habis habisan namun dia menghentikan niatan itu.
"Gue lebih baik jadi anak jalanan! Jauh lebih bebas bahkan menyenangkan tanpa harus di atur dengan berbagai aturan dan pasal pasal aneh seperti otak goreng lo itu!"
Brian hanya bisa tersenyum mendengar perlawanan Rangga tersebut.
"Terserah kamu, kamu berhak memilih untuk hidupmu sendiri dan aku gak perduli sama sekali."
Rangga menatap sinis ke arah Brian, sekarang dia menahan amarahnya.
"Kenapa? Salah aku berbicara begitu?" tanya Brian.
Rangga tidak menjawab pertanyaan tersebut. Dia memilih untuk membalikkan badannya lalu pergi.
"Maafin aku Rangga, aku lakukan ini agar kamu bisa berubah. Maaf jika aku keras dan kasar dalam mendidik kamu. Tapi aku ingin kamu berubah! gak seperti sekarang." ujar Brian.
Brian berdiri di dekat jendela, ia menyibak korden lalu melihat ke arah luar dari kamarnya yang berada di lantai tiga. Brian terus memandangi hujan yang turun begitu deras malam ini, sudah beberapa hari hujan turun di malam hari.Brian memandangi hujan itu lumayan lama tiba-tiba dia teringat dengan anak perempuan bertubuh mungil. Anak perempuan baik hati yang mau berteman dengan dirinya di waktu kecil meskipun semua teman Brian yang lain sangat enggan untuk berteman dengan Brian."Aku merindukan kamu anak perempuan baik hati! Aku yakin kamu sudah besar sekali namun aku meninggalkan kamu tampa pamit terlebih dahulu maaf, maafkan aku yang tidak bisa menepati semua kata kata aku. Jujur, aku sangat merindukan kamu jika ada waktu aku akan pergi ke Surabaya untuk menemui mu lagi, bahkan meminta maaf kepada kamu," ujarnya.Brian memejamkan mata, berusaha untuk mengontrol dirinya agar tidak terlarut dalam suasana.Brian melihat
"Dia aku kurung!"Tita semakin geram dengan kelakuan Brian."Biadap! Laki laki gak ada akal sehat! Rendah sekali harga dirimu menjadi seorang laki laki! Bisa bisanya berbuat jahat pada perempuan. Kamu itu Eeeeeeeh.... BRENGSEK SEKALI! Cepat kasih tau di mana Kaina sekarang."Brian tetap diam dan tenang tanpa merasa bersalah sedikit pun."JAWAB BRIAN!" Teriak Tita.Brian diam beberapa detik. "Lebih baik kamu pulang saja. Gak ada gunanya juga kamu disini, lebih baik pergi." Brian menunjuk ke arah pintu."Sungguh menyesal aku pernah mencintai kamu Brian! Laki laki biadap paling gila yang pernah aku temukan di dunia ini adalah kamu. Brian Wilson." Tita menekan suaranya ketika menyebutkan nama panjang Brian dengan sangat kesalnya."Silahkan pergi Nona, aku sudah meminta mu dengan sangat lembut bukan? Jadi pergilah sebelum aku berperilaku kasar terhadap dirimu." ucap Brian
"Bos, gue mau lo bunuh kakak kandung gue! Gue capek liat dia yang selalu berlagak hebat dan selalu berperilaku benar, gue mau lo hajar kakak kandung gue hingga mati pun gapapa. Gue sudah ikhlas banget malahan terima kasih banget." Nyerosos Rangga tanpa rem di hadapan Kai.Pria yang bernama Kai hanya bisa menganga melihat salah satu anak buahnya tiba tiba aneh mendadak."Mau kan boss?" tanya Rangga memaksa."Gue mau tanya sama lo? Lo waras nyuruh gue habisin nyawa kakak kandung lo, ah?""Gue masih waras boss, gue mau ngelakuin ini karena gue udah gak kuat dengan semua kelakuannya yang semenah menah ke gue! Gue capek di larang dan selalu salah di mata nya."Kai menggaruk garuk kepala nya bingung. Dia masih belum tau persis seperti apa masalah Rangga tersebut namun Rangga sudah mendesak dirinya untuk menghabisi langsung kakak kandungnya sendiri."Masalahnya itu gue gak bisa hajar o
Kaina duduk di lantai sebelah kanan ranjang kamar tidur, memeluk erat kedua lututnya. Diam merenungi jalan hidupnya yang tidak sesuai dengan keinginan nya.Tangisan itu tidak pernah berhenti di pipi Kaina. Setiap hari dia akan selalu menangis bahkan di perlakukan kasar oleh Brian dengan seenaknya."Kapan aku mati? Aku sudah sabar dengan semuanya, aku sudah berusaha ikhlas dengan semuanya, tapi apa? Apa yang aku dapat? AKU MENANGIS SETIAP HARI DI DALAM KAMAR INI TUHAN!" teriak Kaina meluapkan kekesalannya.Nafas Kaina ngos ngosan, jantung nya berdetak kencang bahkan tangisan itu semakin deras. Setiap hari Kaina berteriak di dalam kamar nya meluapkan amarah nya tanpa seorang pun yang tau.Setiap ruangan di rumah Brian memang di buat kedap suara bahkan di gudang pun juga sama seperti itu, jadi semua orang bebas berteriak dan membicarakan sesuatu yang rahasia di dalam ruangan nya masing-masing. Ti
Rangga keluar dari dalam kamar mandi, di pinggangnya sudah terlilit handuk berwarna biru. Sekarang dia sedang mengeringkan rambut nya dengan handuk kecil.Rangga menatap tubuh nya di depan cermin. Tato di dada nya terlihat jelas bahkan dia masih mempunyai niatan untuk menato tubuh nya lagi di bagian punggung."Mama bakalan marah gak ya liat gue bertato seperti ini?" ucap nya berbicara sendiri di depan cermin.Rangga menatap tubuh nya di dalam cermin dengan sangat teliti."Bodoamat! Emang mereka mau marah ke gue? Memangnya mereka ngurusin gue tiap hari, enggak kan? Udahlah Rangga jangan hiraukan mereka cukup lakukanlah apa yang bisa buat lo senang oke." tutur nya sambil lalu menaik turunkan kedua alis nya.Tiba-tiba Brian membuka pintu kamar Rangga tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Dia langsung masuk seenaknya hingga membuat Rangga kaget dengan kehadiran Brian dari arah cermin di hadapan nya
Kaina bingung melihat Rangga tiba tiba membawa koper dan juga tas yang di gendongnya pada malam ini."Loh, loh loh mau kemana kamu Rangga?" tanya Kaina cepat, tadinya Kaina sedang merapikan meja makan untuk bersiap makan malam.Rangga tidak menjawab pertanyaan Kaina, ia terus berjalan ke arah pintu luar. Matanya sudah terlihat sembab akibat menangis tadi bahkan bajunya saja tidak begitu rapi, terlihat acak acakan namun ketampanan nya bisa menutupi kekurangan itu."Rangga kamu mau kemana?"Kaina masih tetap penasaran sedangkan Rangga tetap diam dan terus berjalan tanpa memperdulikan pertanyaan Kaina tadi. Kaina menyusul Rangga yang terus berjalan hingga sampai di ruang tamu."Rangga berhenti." pinta Kaina setengah berteriak.Rangga menghentikan langkah nya namun dia tidak menoleh. Dia berdiri membelakangi Kaina dengan pandangan kosong ke arah luar."Kamu mau kemana? Kenapa
Kaina merasakan ada sesuatu di dekat nya, sesuatu yang membuat dia merasa tidak nyaman.Kaina membuka matanya lalu mengusap usap mata tersebut. Dia melihat sesuatu yang membuat nya tidak nyaman itu, berapa terkejut nya dia ketika tau Brian sedang tidur di sebelahnya dan memeluk erat tubuh Kaina dari samping.Wajah angkuh dingin dan kasar tidak berlaku pada saat ini. Wajah yang sebelumnya terkenal jahat tiba tiba menjadi lembut saat tertidur, polos dan terlihat mengemaskan.Kaina bingung harus bagiamana sementara dia merasa tidak nyaman dengan posisinya itu. Jika Kaina bergerak sedikit saja sudah pasti Brian akan terbangun."Aku harus bagaimana ini? Jika aku bergerak aku yakin mas Brian akan terbangun, jadi harus bagiamana aku? Masak iya diam hingga Mas Brian bangun? Yang ada aku gak masak dan gak bisa bersihkan rumah ini," ucap Kaina bingung.Kaina mencoba menyingkirkan tangan Brian dari atas perutnya de
Di London...Rangga terus menatap ke arah luar jendela sambil memeluk erat foto dirinya bersama sang Oma tercinta, rindu dan penyesalan semakin menjadi di pikirannya. Tangisan pecah saat itu, di mana Rangga merasakan hancur yang sangat luar biasa melihat foto sang Oma tersenyum manis di foto."Oma, Rangga has returned to London. Tapi kenapa Oma malah pergi, pergi di saat Rangga tidak tau lebih dulu sakit nya kenapa Oma tidak mengabari Rangga, kenapa?" Air mata terus bercucuran di pipi Rangga.Seseorang membuka pintu kamar tersebut lalu terlihat lah wajah cantik Nyonya Wilson.Rangga tidak memperdulikan kehadiran siapapun itu, dia tetap pada posisi awal. Nyonya Wilson mendekat ke arah Rangga dengan membawa makan siang untuk nya."Rangga ini makanan kamu! Sudah jangan bersedih lagi, jika kamu bersedih kami juga akan ikut bersedih sayang," ujar Nyonya Wilson.Rangga diam, percum