INICIAR SESIÓNMeilissa kehilangan kata-kata. Tangannya refleks menutup mulut, seolah ingin menahan sesuatu yang hampir lolos dari dadanya. Kotak kecil di atas meja itu berwarna gelap, rapi, dengan logo sebuah merek ponsel yang begitu familiar—merek yang sering ia lihat di iklan, di tangan teman-teman seusianya, di etalase toko elektronik yang hanya bisa ia pandangi sekilas.Dari nomor seri yang tertera di bagian samping kotak, Meilissa langsung tahu. Ia tidak perlu membuka segelnya untuk memastikan. Itu adalah ponsel mahal, keluaran terbaru—jenis benda yang biasanya hanya ia bicarakan sebagai angan, bukan sesuatu yang benar-benar berada dalam jangkauannya.“Om… ini mahal sekali,” ucapnya akhirnya, suaranya pelan dan sungkan. Tangannya belum berani menyentuh kotak itu lagi. Ada rasa tidak enak yang mengendap di dadanya. Ia sudah merasa terlalu banyak berutang budi—pada Liora, dan terlebih lagi pada Lionel.Lionel memperhatikannya tanpa tergesa. Tidak ada ekspresi berlebihan di wajahnya, hanya ketena
Perjalanan itu tampak hening dari luar, tapi bergejolak di dalam batin Meilissa.Dari sudut matanya, dia melirik Lionel. Lelaki itu terlihat tenang, seolah kecupan singkat di kening tadi tidak meninggalkan apa pun. Bagi Lionel, mungkin itu hanya gestur biasa—seperti yang kerap dia lakukan pada Liora.Pikiran itu membuat dada Meilissa menghangat sekaligus murung. Dia senang diperlakukan seperti itu, tapi tidak ingin disamakan dengan Liora. Meilissa menarik napas dalam-dalam, berusaha meredam perasaan murung yang tiba-tiba muncul.“Bosan?” tanya Lionel tiba-tiba. Tangan lelaki itu sempat menyentuh kepala Meilissa sekilas, sementara matanya tetap fokus ke jalan.“Eh? Tidak kok, Om,” jawab Meilissa cepat. Dia menutupi terkejutnya dengan senyum, sedikit kaget karena Lionel menangkap perubahan suasana hatinya.“Kamu boleh nyalakan musik kalau mau,” ujar Lionel santai.Pandangan Meilissa beralih ke layar canggih di dashboard. Tidak ada pemutar CD. Dia pernah menggunakan alat itu di mobil Li
“Selamat pagi, Nona Meilissa.”Seorang laki-laki berseragam menyambutnya dengan sikap formal. Dia menyodorkan tangan dengan sopan. “Saya Frans Markus. Saya yang akan menangani kasus ini.”Meilissa mengangguk kecil. Tenggorokannya terasa kering. Dia berusaha mengucapkan sesuatu, tapi kata-katanya seakan tertahan di tenggorokan.Memutuskan dan menjalani adalah hal yang berbeda. Saat memutuskan, semua terasa begitu mudah. Tapi ketika menjalani, nyali Meilissa mendadak ciut.Refleks dia menoleh ke Lionel yang ternyata sedang melihat kearahnya seakan berjaga kalau-kalau Melissa berubah pikiran."Kita bisa menunda kalau...--""Tidak perlu, Om," kata Meilissa dengan suara bergetar. Dia berusaha mengatasi ketakutannya.Lionel terdiam sejenak. Tatapannya seakan meneliti setiap ekspresi yang tergambar di wajah gadis itu. Tidak hanya adantegang bercampur takut, tapi juga ada sebuah tekad terpancar di mata polos itu."Kamu yakin?" tanya Lionel lagi. Bersaksi atas kasus pelecehan bukan hal yang mu
Pagi itu, mata Meilissa terbuka perlahan.Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa dia sedang tidak berada di kamarnya yang sempit, bukan pula di rumah kecilnya yang selalu terasa pengap.Langit-langit di atas kepalanya tinggi dan bersih. Ada lampu kristal yang memantulkan cahaya pagi secara lembut. Cahaya matahari menyelinap dari celah tirai berwarna gading yang warnanya kontras dengan wallpaper coklat tua—memberi kesan hangat.Suasana ruangan begitu tenang.Tidak ada suara kendaraan bermotor lewat. Tidak ada suara tetangga yang sedang bercakap-cakap. Tidak ada teriakan Mamanya, atau suara musik bising yang biasa dinyalakan oleh Miranda.Meilissa duduk di atas ranjang, selimut masih menutupi setengah tubuhnya. Ranjang ini begitu empuk dengan seprai halus dari bahan berkualitas.Kemewahan ini terasa asing—meski asing yang hari ini dia rasakan bukanlah asing yang menakutkan.Iya. Dia sekarang berada di rumah Liora. Dan, ya, tentu saja ini juga rumah Lionel. Lebih tepatnya,
Lionel terdiam di tepi bathtub, pandangannya menatap jauh ke satu titik, entah kemana. Otaknya berputar memikirkan tentang Meilissa.Apa yang bisa dilakukan untuk meringankan perasaan Meilissa?Apa yang harus diucapkan untuk mengurangi rasa sakit yang mendera Meilissa?Sebagai dokter, dia tahu kalau kondisi mental seorang gadis tidak akan baik-baik saja paska pelecehan.Dia paham benar tidak semua luka bisa sembuh hanya dengan obat dan perawatan. Ada luka yang hanya bisa diringankan dengan kehadiran dan dukungan yang tulus.Dan, Meilissa butuh itu.Lionel pun mencoba melakukan tindakan sederhana yang dia lakukan dengan setulus hati. Dia bergeser dari tepi bathtub, turun ke lantai kamar mandi yang dingin dan duduk bersila disana. Punggungnya menghadap Meilissa.“Aku di sini, Mei. Menemanimu," katanya pelan, namun cukup jelas didengar oleh Meilissa.Meilissa tertegun. Pandangan matanya tertuju pada punggung Lionel yang lebar dan kokoh. Saat memandangi Lionel dari belakang, sesuatu di da
Lionel berdiri di depan pintu kamar mandi sambil memanggil nama Meilissa berulang kali. Tapi, tidak ada jawaban.Dari tempatnya berdiri di balik pintu, hanya terdengar suara shower yang mengalir deras, bercampur dengan bunyi air mengalir dari kran bathub yang terus terisi.Meilissa sama sekali tidak merespon panggilan dari Lionel. Kesadarannya tenggelam dalam kesedihan yang menyesakkan.Air mata mengalir deras menyatu dengan air shower, hingga tidak bisa dibedakan lagi. Bahunya terguncang hebat saat menangis, menampakkan kesedihan yang mendalam.Penyesalan berputar-putar di kepalanya, tanpa henti—menyiksa perasaan.Andai saja dia tidak pulang ke rumah malam itu.Andai saja sejak awal dia memilih hidup sendiri.Andai saja dia lebih berani mengambil keputusan sebelum semua ini terjadi..Penyesalan demi penyesalan datang, lalu menumpuk tinggi hingga mencapai puncaknya. Dia merasa jijik pada dirinya sendiri. Sekujur tubuhnya terasa kotor.Meilissa berdiri dengan gerakan gugup, lalu berjala







