Share

07 - Pulang

Matahari sudah berada di ufuk barat bersiap untuk kembali ke peraduannya, tetapi lelaki yang sejak pagi berada di rumah Ona belum juga berniat pulang. Lelaki itu masih asyik bercerita tentang kesehariannya dan dengan bangga memamerkan semua pencapaiannya yang sama sekali tidak menarik perhatian Ona.

Mela berusaha membantu kakaknya dengan memberi kode pada si lelaki untuk segera pulang. Sudah berkali-kali Mela meminta bantuan Ona untuk mengerjakan tugas supaya lelaki itu cepat pulang. Tetapi entah tidak paham atau pura-pura tidak paham dengan kode Mela, lelaki itu malah tambah semangat cerita dan mengabaikan rengekan Mela.

Untuk kesekian kalinya Ona memutar bola matanya menanggapi cerita Reno, anak teman Ibu. Ona menerima tawaran Ibu untuk kenalan dengan anak temannya semata-mata hanya untuk menenangkan Ibu dan tidak menanggap Ona aneh karena tidak mau kenalan dengan seorang lelaki. Tetapi lelaki yang Ibu kenalkan padanya benar-benar jauh dari dugaan Ona. Lelaki itu datang dengan kemeja maroon dan celana kain berwarna hitam lengkap dengan kaca mata bulat dan rambut klimis. Belum lagi cerita tentang pencapaian-pencapaian yang terus diulang-ulang sejak pagi tadi membuat Ona semakin muak. Dia sama sekali tidak tertarik.

Setelah beberapa kali Ona menguap lebar akhirnya Reno sadar diri untuk pamit. Ona mengantar lelaki itu sampai di depan rumah untuk basa-basi. Setelah Reno pulang Ona dapat bernapas lega.

“Reno udah pulang?” tanya Ibu dari belakang Ona. Ona tersentak sambil mengelus dadanya. “Dia pulang sendiri atau kamu usir?”

Ona memutar bola matanya. “Pulang sendiri.”

“Gimana sama dia?”

“Biasa aja,” jawab Ona berjalan ke rumah dan duduk di ruang tengah untuk menonton TV.

“Biasa aja? Kayak gitu kamu bilang biasa aja? Terus kamu mau yang kayak gimana, Na,” keluh Ibu. “Ibu capek ditanya kapan punya mantu.”

“Ya udah gak usah dipikirin omongan tentangga.”

“Kamu jangan jadi kayak Ayah kamu, jangan buat Ibu tertekan, jangan buat Ibu sedih.”

Ona menghela napas, selalu saja seperti ini. Hal ini lah yang membuat Ona malas pulang, Ibu selalu mengulang kejelekan Ayah lalu bayangan tentang Ibu yang berniat bunuh diri kembali berputar di benak Ona. Perempuan itu menggelengkan kepalanya, mengusir bayangan mengerikan itu sebelum hilang kendali dan menangis.

“Aku bukan Ayah,” jawab Ona kesal.

Ibu menghela napas dan menepuk bahu Ona pelan kemudian meninggalkannya di ruang tengah sendirian. Ona menatap punggung rapuh Ibu, ada harapan besar ketika mata Ibu tepat menatap matanya. Apa benar menikah bisa membuat Ibu bahagia? Tapi bagaimana dengan kebahagiaannya?

“Kenapa, Mbak? Ada masalah?” tanya Mela keluar dari kamar dan melihat kakaknya termenung di depan TV yang menyala.

Ona menggeleng. “Gimana sekolah kamu?”

“Baik, kok.”

“Jangan pacaran,” pesan Ona pada adiknya, dia sangat melarang Mela untuk pacaran supaya adiknya itu bisa fokus sekolah.

“Iya, Mbak, iya,” jawab Mela kesal. “Gak ada yang mau sama aku kalau Mbak Ona galak begini.”

“Emang tujuan Mbak gitu.”

“Mbak kapan nikah? Mbak Aisyah bulan depan, tuh,” sindir Mela mengalihkan pembicaraan.

“Udah tahu.”

“Mbak gak berencana bawa pacar pas nikahan Mbak Aisyah nanti?”

“Gak!” jawab Ona kesal dan meninggalkan Mela yang tertawa puas.

***

Pagi ini adalah hari kedua Ona berada di rumah, dia membantu Ibu untuk menyapu halaman rumah sedangkan Ibu sedang membeli sayur di jalan depan rumah barengan dengan tetangganya. Sejak Ibu berhenti kerja sebagai buruh pabrik sejak Ona bekerja, Ibu sibuk mengurus rumah dan semua keperluan rumah Ona yang tanggung. Alasan ini lah yang membuat Ona tidak melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi.

“Anaknya cantik banget, sudah nikah belum, Bu?” tanya tukang sayur. Dari tempat Ona berdiri dia belum pernah melihat tukang sayur itu, pasti tukang sayurnya udah ganti lagi.

“Loh, Bu Retno gak tau to kalau anaknya Bu Ratri sibuk kerja sampai lupa nikah,” sahut Bu Dian, tetangga Ona yang paling julid. Ona memutar bola matanya mendengar ucapan Bu Dian.

“Iya nih, Bu, kapan ngenalin calon mantunya, ini kita udah mau ngendong cucu lo, masak anaknya Bu Ratri masih sendiri aja,” ujar Bu RT, anak Bu RT adalah teman kecil Ona yang sering Ibu bandingkan dengannya.

Ona memegang sapunya erat untuk menyalurkan rasa kesalnya. Emang kenapa kalau dia belum menikah? Ya, terserah Ona mau menikah kapan, kenapa mereka yang repot? Tetapi memang itu lah lingkungan di desanya, kabar sekecil apa pun dengan cepat menyebar. Apalagi kabar Ona yang tidak pernah mengenalkan lelaki ke Ibu pasti sudah sampai ke desa sebelah dan menjadi perbincangan hangat.

Ibu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dan sindiran tetangga tetapi wajah Ibu terlihat sangat terganggu dan tertekan dengan pertanyaan itu. Awalnya Ibu hanya menganggap pertanyaan itu basa-basi saja, tetapi semakin lama pertanyaan itu terus datang membombardirnya membuat Ibu tertekan. Akhirnya Ibu melampiaskan pertanyaan itu langsung pada Ona.

Apa Ona sebaiknya mencari pacar pura-pura untuk membungkam mulut para tetangganya? Ona menggelengkan kepalanya, itu adalah pemikiran konyol yang akan menambah masalah bukannya menyelesaikan masalah.

Semakin lama Ona semakin tidak tega melihat Ibu yang terus didesak tetangga. Ini menyebalkan, kenapa mereka harus peduli dengan kehidupan Ona?

Tiba-tiba ponsel di saku piamanya bergetar, Ona mengalihkan pandangan dan mengambil ponsel itu. Nama Nafa tertera di layar 6 inchi. Ngapain Nafa pagi-pagi meneleponnya?

“Ada apa?” tanya Ona.

“Lo kapan balik ke Sukoharjo?” tanya Nafa dari seberang telepon yang suaranya hampir tenggelam dengan suara berisik.

“Nanti sore, kenapa?”

“Sial! Gara-gara lo gak ada gue sendirian ngebabu bantuin Habib pindahan,” gerutu Nafa.

“Katanya pindahan minggu depan.”

“Gak jadi, dia kebelet tidur bareng Rey.”

“Terus?”

“Ya, lo cepet balik ke sini, dong!”

“Iya-iya.” Ona mengakhiri panggilan Nafa. Kemudian Ona segera menyelesaikan menyapu halaman dan mengabaikan perkataan para tetangganya yang masih membahas seputar pernikahan. Ibu Ona yang tidak tahan dengan pembahasan itu segera pamit masuk ke rumah.

Setelah kembali ke Sukoharjo nanti Ona harus mencari solusi dari masalah ini, dia tidak bisa membiarkan Ibu tertekan karena masalah ini dan berakhir sakit.

***

“Gimana di rumah, Na? Masih ditanya kapan nikah?” tanya Habib jahil.

Sore ini sesampainya Ona di indekos, Nafa dan Habib langsung menyeretnya ke warung bakso depan indekos. Sebenarnya Ona ingin istirahat setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, jarak Boyolali-Sukoharjo memang tidak terlalu jauh, tetapi bagi Ona yang jarang berkendara jauh hal itu cukup menguras tenaganya. Tetapi Nafa tidak mau tahu hal itu dan menyeret Ona sampai lantai 1 untuk menemui Habib. Dan yang membuat Ona semakin kesal adalah ada Rey di sana. Setelah ini Rey pasti akan resmi masuk ke dalam circle pertemanan mereka.

Ona memutar bola matanya malas dan lebih memilih terus makan daripada menanggapi pertanyaan Habib.

“Ona gak di rumah gak di sini pertanyaannya kapan nikah terus,” sahut Nafa semangat. Ona tidak heran lagi, Nafa akan paling semangat jika sudah mem-bully Ona, apalagi ketika Ona memutar bola mata ataupun mendengus hal itu sudah membuktikan keberhasilan Nafa membuat Ona kesal.

“Ona sering ditanya kapan nikah?” tanya Rey penasaran.

“Iya, Pak, di mana pun dan kapan pun.” Nafa tertawa puas. “Padahal baru 25 tahun tapi udah kayak umut 40 tahun aja.”

“Panggil saya Rey aja, ‘kan ini di luar jam kerja.”

Nafa menggaruk tengkuknya canggung. “I-iya, Rey.”

“Lo sok kaku amat, Naf,” balas Habib. “Lo gerogi ya deket orang ganteng.”

“Apaan, sih!”

Habib tertawa melihat wajah merona Nafa. Ona menggelengkan kepalanya sudah biasa melihat sikap Nafa dan Habib yang heboh jika sedang berkumpul.

“Kamu sering ditanya kapan nikah, Na? Kebetulan banget saya juga sering didesak kayak gitu,” ujar Rey kalem.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status