Share

08 - Solusi

Udara malam masuk melalui celah jendela kamar indekos kedua perempuan yang duduk berhadapan di tempat tidur itu. Gerimis mulai turun yang lama-lama berubah deras dan meredam suara percakapan dari lantai 1. Mendung mengantung di langin malam membuat orang-orang malas dan memilih untuk segera tidur.

Tetapi yang dilakukan kedua perempuan itu malah bercerita melalui tatapan mata. Hanya ada satu dua kata yang keluar dari mulut itu, selebihnya hanya suara musik dari ponsel dan helaan napas yang beradu dengan derasnya hujan.

“Gue gak paham maksud cerita lo,” keluh Nafa putus asa. Pasalnya sedari tadi Ona hanya berkata satu dua kata dan Nafa sama sekali tidak menangkap maksud Ona selain air muka panik perempuan itu. Ona terus menghela napas lelah dan matanya bergerak tak tentu arah bertanda kalau dia sedang bingung dan panik.

Ona menghela napas dan bangkit untuk mengambil minum. “Nyokap gue nanya terus kapan gue nikah.”

“Itu ‘kan udah biasa, terus masalahnya di mana?” tanya Nafa penasaran.

“Masalahnya lama-lama gue gak tega liat nyokap tertekan karena pertanyaan itu. Kemarin aja nyokap nyuruh gue kenalan sama anak temannya yang gak banget.”

“Waahh, daebak!” ujar Nafa takjub. “Tujuh tahun kita tidur bareng akhirnya lo cerita banyak ke gue, Na.”

Ona memutar bola matanya menanggapi sikap lebay Nafa. “Jadi gimana?”

“Ya, lo cari pacar, dong, ajak ke rumah dan kenalin ke nyokap lo”

“Lo ‘kan tau gue gak mau pacaran.”

“Terus lo maunya langsung nikah?”

“Bukan gitu.”

“Jadi?”

“Sebenarnya … gue gak mau nikah.”

“Apa?” tanya Nafa kaget. “Lo gak mau nikah? Kenapa?”

Ona melangkah mendekati jendela dan menutupnya untuk mencegah hawa dingin masuk ke kamar kedua perempuan itu, hujan masih deras bahkan beradu dengan petir. Kemudian Ona duduk di lantai yang beralaskan karpen hangat. Menyadari tingkah Ona yang tidak berniat menjawab pertanyaannya, Nafa menghela napas dan bertanya lagi untuk mengalihkan pembicaraan.

“Terus lo maunya gimana? Cari pacar pura-pura kayak di FTV?”

“Gue gak tahu,” jawab Ona putus asa. Jika tidak ada jalan lain mungkin mencari pacar pura-pura itu jalan satu-satunya.

Nafa menggelengkan kepalanya tidak percaya. “Gila.”

Musik yang berputar dari ponsel Ona sudah dimatikan Nafa. Perempuan itu bangkit dan keluar kamar ke dapur umum untuk membuat mi instan. Ona menikmati kesendiriannya dengan merenung. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana jika dia bicara jujur saja dengan Ibu jika tidak mau menikah? Tetapi kalau Ibu sakit gimana?

Kekhawatiran yang berkumpul di dada dan kepala Ona rasanya seperti mau meledak. Meskipun dia jarang pulang tetapi kebahagiaan Ibu tetap yang utama baginya. Ona berpindah tempat duduk di meja rias dan memandang wajah bulatnya di kaca. Dengan mata bulat besar dan lesung pipi seharusnya tidak susah untuk Ona mendapatkan pasangan. Namun, sikap dingin dan pasif Ona membuat para lelaki segan dan memilih mundur.

 Tiba-tiba Nafa membuka pintu kamar membuat Ona tersentak. “Gue ada ide!” ujar Nafa ngos-ngosan, pasti perempuan itu berlari menaiki tangga.

Ona menatap Nafa bingung sembari menaikkan salah satu alisnya.

“Gimana kalau Rey yang jadi pacar pura-pura lo?”

Ona menatap Nafa tajam. Rey? Yang benar saja!

***

“Gimana saran gue kemarin, Na? Udah lo pertimbangin belum?” tanya Nafa di sela pekerjaannya.

“Belum,” jawab Ona dengan kedua tangan sibuk memegang labu ukur untuk melakukan pengenceran obat.

“Kenapa belum, sih? Seharusnya langsung lo iyain, siapa juga yang gak mau sama Pak Rey, udah ganteng, cekatan, ramah, humoris juga, udah mapan lagi, pokoknya paket lengkap, deh,” cerocos Nafa sambil menghaluskan tablet obat menggunakan mortar dan alu.

“Kerja woy kerja! Ghibah aja,” teriak Habib tepat di telinga kedua perempuan itu.

Tangan Nafa refleks memukul punggung Habib, sedangkan Ona mengusap telinganya. Habib tertawa renyah yang membuatnya menjadi pusat perhatian sesaat di laboratorium.

“Gue ada kabar hot, nih,” ujar Habib sambil mengambil sampel obat baru dan mulai membuka bungkusnya. Lelaki itu baru saja menyelesaikan preparasinya dan menyerahkan sampel ke Rey, pasti dia mencuri dengar percakapan Rey dan Bu Dama sehingga bisa dapat gosip baru. Preparasi adalah salah satu tahapan penting dalam pengujian obat karena sampel yang dianalisis harus bening dan tidak ada endapan. Setelah preparasi sampel di serahkan kepada analis untuk dilakukan pengujian HPLC (high performance liquid chromatography) atau pengujian kadar kalsium dan masih banyak lagi. Itulah salah satu tugas asisten analis.

“Apa-apa?” tanya Nafa semangat. Ona hanya diam menanggapi ucapan Habib, tetapi dia menyiapkan telinganya untuk mendengarkan gosip dari Habib.

“Bulan depan bakal ada anak PKL (praktik kerja lapangan) dari SMA di Boyolali.”

“Seriusan?” Mata Nafa berbinar senang, adanya anak PKL adalah kebahagiaan tersendiri bagi karyawan seperti mereka. Dengan adanya anak PKL pekerjaan mereka bisa menjadi lebih ringan karena dibagi dua dengan anak PKL.

“Iya, Rey minta satu, Bu Dama juga satu, jadi di meja kita nanti bakal ada 2 anak PKL.”

“Akhirnya…”

“Lebay,” sahut Airin yang duduk manis di depan meja Habib, dari gelagat perempuan itu pasti sudah tidak ada sampel dan tinggal menunggu waktu pulang. Makanya dia berkeliling mencari teman adu mulut. Benar-benar kurang kerjaan. “Gue juga ada anak PKL, tapi gue gak selebay kalian, tuh.”

“Gak nanya!” balas Habib ngegas.

“Lo kan sampelnya dikit, kalau ada anak PKL nanti yang ada anak PKL-nya nganggur atau suka cari gara-gara kayak lo,” sahut Nafa pedas.

“Syirik aja lo!” Airin bangkit dan meninggalkan meja mereka. Habib tersenyum mengejek sama halnya dengan Nafa.

“Terus-terus,” ujar Habib melanjutkan gosipnya. Nafa dan Ona mendengarkan dengan saksama. “Bu Dama bentar lagi bakal cuti.”

“Terus penggantinya siapa, dong?” tanya Nafa mewakili pertanyaan Ona.

“Nah itu, gue gak tau.”

“Yeee.” Napa menampol kepala Habib kesal. “Kasian Ona ditinggal Ibu tercinta.”

Ona memutar bola matanya dan segera menyelesaikan pengenceran obatnya. Dia sangat bersyukur bila Bu Dama cuti, artinya dia tidak perlu lagi kena marah setiap pulang kerja karena telat menyerahkan hasil preparasi padahal memang sampelnya yang datang terlambat. Tetapi bagaimana jika pengganti Bu Dama lebih menyebalkan daripada Bu Dama?

“Ngalamun aja, gak siap ditinggal Bu Dama, ya?” tanya Nafa menyadarkan Ona.

“Gak.”

“Atau ngalamunin Rey, ya?”

“Apaan, sih!”

“Gak usah malu-malu gitu, Na.” Nafa masih terus menggoda Ona.

“Gak diem gue lempar labu ukur,” ujar Ona galak sambil mengangkat labu ukur 100 ml.

“Iya-iya,” balas Nafa mengalah sambil tertawa, perempuan itu kemudian ke ruang timbang untuk menimbang sampel terakhirnya.

Beberapa menit kemudian, Ona sudah menyelesaikan preparasinya dan menyerahkan kepada Bu Dama. Namun, ketika dia melewati meja kerja Rey lelaki itu meraih tangannya dan menghentikan langkah Ona. Ona menatap genggaman tangan Rey di tangannya tajam.

“Gimana sama tawaran saya untuk jadi pacar pura-pura kamu?”

“Tawaran?”

“Iya, saya menawarkan diri untuk jadi pacar pura-pura kamu.”

Ona menatap Rey tajam kemudian menghempaskan tangan itu dan segera berjalan ke meja kerjanya. Nafa, iya Nafa pasti tau masalah ini.

Sesampainya di meja kerja, Ona segera menghampiri Nafa yang sedang mencuci alat kerjanya.

“Apa yang lo bicarakan dengan Rey semalam?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status