Share

06 - Arsip

“Sore ini kamu udah gak ada sampel ‘kan?” tanya Bu Dama setelah Ona menyerahkan sampel hasil preparasinya untuk pengujian yang akan dilakukan Bu Dama. Ona mengangguk, perasaannya tiba-tiba tidak enak.

“Ibu minta tolong anterin Pak Rey ke arsip, ya, ada obat lupa saya uji bulan lalu. Nanti kamu sekalian pulang gak papa.”

Ona melirik meja Rey yang berada di depan Bu Dama, Rey tersenyum manis ketika mata mereka bertemu. Ona mengela napas, dia ingin menolak tetapi untuk apa dia di lab kalau tidak ada kerjaan. Akhirnya Ona mengangguk pasrah.

Setelah itu Ona keluar menuju mejanya yang hanya terpisah dinding kaca dengan meja Bu Dama. Ona merapikan meja kerjanya dan menaruh alat yang kotor ke tempat pencucinya yang nantinya akan dicuci oleh Dena.

Melihat Ona yang sudah membersihkan meja kerjanya membuat Nafa dan Habib iri, pasalnya mereka berdua harus kejar target dan lembur. Pandangan iri kedua temannya terus mengikuti Ona sampai masuk ke loker. Ona menahan senyum melihat wajah memelas kedua temannya.

Di loker Ona segera melepas jas lab, topi, dan sepatu khusus yang dia kenakan. Dirasa cukup Ona merapikan rambut sebahunya dan memakai sandal biasa. Ketika Ona keluar loker, Rey sudah menunggu bersadar di dinding dan menyilangkan kakinya dengan kedua tangan masuk ke saku celana.  Ona memandang Rey malas.

Rey tersenyum manis menyambut kedatangan Ona sedangkan Ona hanya menatap Rey datar dan terus berjalan menuju tangga turun. Rey menghela napas dan mengikuti langkah perempuan itu. Mereka berjalan bersisihan menuju lantai 1 tempat ruang arsip berada.

Sepanjang perjalanan Rey menatap proses pembuatan obat dengan kagum. Mereka melintasi koridor dengan kanan dan kiri ruang produksi yang dapat dilihat melalui kaca. Ona terus berjalan hingga sampai di ujung koridor yang bersebelahan dengan pintu keluar.

Setelah membuka pintu arsip dengan kunci yang Ona bawa, mereka memasuki ruang arsip dan mencari sakelar untuk menyalakan lampu.

“Mau cari obat apa?” tanya Ona.

“Obat sakit kepala, bulan lalu Bu Dama kelewatan 1 batch,” jawab Rey senang untuk pertama kalinya diajak Ona bicara. Batch adalah pengelompokkan nomor dalam setiap produksi obat.

Ona dengan cekatan menuju lorong untuk mencari bagian obat sakit kepala. Rey mengikuti langkah Ona sambil membaca nama obat yang tertulis di setiap kardus. Tiba di bagian ujung Ona menemukan satu kardus berisi obat sakit kepala dengan nomor batch 1-10.

“Iya yang ini,” ujar Rey sambil mencari gunting untuk membuka kardus.

Sambil menunggu Rey mencari gunting, mata bulat Ona mengamati sekitar yang mana banyak rak menjulang tinggi dengan kardus berjajar rapi. Tiba-tiba tengkuk Ona meremang, pikiran Ona sudah melayang entah ke mana, bayangan tentang hantu-hantu kantor yang sering dia dengar memenuhi kepalanya. Ona takut.

“Akhirnya ketemu.” Ona menghela napas mendengar suara Rey dan melihat lelaki itu mulai melangkah mendekatinya.

Rey membuka kardus dan segera mencari obat dengan nomor batch 9. Setelah mendapatkan 1 bandel obat yang dia cari. Rey menutup kardus dengan rapat seperti semula dan mengembalikan ke dalam rak. Namun, ketika mereka melangkah untuk keluar ruangan tiba-tiba lampu mati dan ruang arsip gelap gulita.

Ona menegang, tangannya mulai berkeringat dan dada yang mulai sesak. Tiba-tiba ada yang mengenggam tangan Ona dari samping, itu pasti tangan Rey. Ona ingin melepaskan tangan itu tetapi yang dia lakukan malah mengenggam erat tangan itu dan memejamkan mata. Bayangan masa lalu itu kembali datang, Ona merasakan tubuhnya yang mulai basah oleh keringan.

Lelaki yang berada di samping Ona merasakan tangan Ona yang mulai bergetar dan berkeringat. Rey memandang Ona yang mematung di sampingnya dengan keringan bercucuran dan napas memburu seperti habis lari. Perempuan itu memejamkan matanya dan memegang tangan Rey erat sampai sakit, kuku Ona panjang seperti menusuk tangannya. Rey merasakan ada yang tidak beres dengan Ona. Apa perempuan dingin itu takut gelap?

“Kamu takut gelap?” tanya Rey pelan.

Tidak ada jawaban. Ona terus memejamkan mata dan mengenggam tangan Rey erat. Entah keberanian dari mata Rey mulai menyentuh bahu Ona dan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya. Dan yang membuat Rey senang adalah Ona tidak menolak hal itu.

“Ada saya di sini,” bisik Rey di telinga Ona. Rey merasakan napas Ona yang mulai kembali normal.

Beberapa menit bertahan dengan posisi pelukan, tiba-tiba lampu kembali menyala. Ona menyadari dirinya sudah melewati batas yang dia buat. Ona segera melepaskan pelukan Rey dengan cepat, setelah itu Ona mengalihkan pandangan sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Rey tersenyum melihat tingkah gugup Ona.

Ona melangkah cepat ke pintu keluar, Rey mengikuti langkah Ona. Setelah keluar Ona segera mengunci pintu dan melangkah cepat meninggalkan Rey. Dia ingin segera ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan melupakan kejadian yang baru saja terjadi.

***

“Lo gak jadi lembur?” tanya Ona ketika jam 6 sore Nafa sudah memasuki kamar dengan wajah lesu.

“Gak jadi, katanya nanti ada mati lampu lagi.” Nafa merebahkan tubuhnya di tempat tidur. “Capek banget, padahal masih pertengahan bulan tapi sampel banyaknya minta ampun.”

Ona mendengarkan keluhan Nafa sambil membaca buku.

“Rey juga, mentang-mentang masih baru bebas pulang cepet dan ninggalin kedua anak buahnya buat kerja rodi. Kayaknya dia perlu asisten analis tambahan, deh, gue sama Habib kalau berdua doang gak kuat.”

“Bilang ke manager kalau mau asisten analis tambahan, siapa tahu dikasih,” jawab Ona sekenanya.

“Gak mungkin, manager kita udah kayak diktator gitu.”

“Tuh tahu.”

Nafa mendengus kesal. Berkeluh kesah dengan Ona bukannya meringankan beban malah menambah beban. Apalagi jawaban Ona yang menyebalkan membuat orang yang berbicara dengannya harus menyiapkan tenaga ekstra.

By the way tadi pas mati lampu lo masih di arsip, Na?” tanya Nafa.

Ona menengang kembali mengingat kejadian di ruang arsip tadi. Nafa tahu betul Ona takut dengan gelap, makanya dia selalu bertanya jika Ona tidak bersamanya ketika mati lampu. Karena ketika gelap Ona akan menjadi sangat panik.

“Na? Kok ngalamun? Tadi ada sesuatu ya?” tanya Nafa penasaran.

“Gak.”

Nafa menghela napas, memang sulit memancing Ona bercerita. Tujuh tahun satu kamar juga Nafa tidak tahu persis apa masalah Ona sampai jarang pulang, yang Nafa tahu Ona hanya malas jika terus ditanya kapan nikah. Nafa juga tidak tahu masalah apa yang membuat Ona takut dengan gelap, atau kejadian apa yang membuat Ona bersikap dingin dan memandang sinis sebuah keluarga. Nafa dengan kehidupan keluarga yang harmonis dan hangat tidak akan paham dengan masalah Ona. Begitu pemikiran Ona yang membuatnya malas bercerita.

Azan maghrib berkumandang. Ona menutup novelnya dan bangkit untuk melaksanakan salat. Tetapi ucapan Nafa menghentikan langkahnya.

“Minggu depan Habib pindah ke indekos kita, sekamar sama Rey.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status