“Kalian itu bukannya mendukung malah ikut ngomongin aku, kan?” desis Calista lagi dengan jengkel. “Munafik!”
“Apa sih Calista?!” hardik Arabel dengan wajah kesal, tidak mempedulikan beberapa teman yang mulai melihat ke arah mereka.
“Kalian itu cemburu karena aku cantik, pintar dan punya pacar setampan Eden...” ujar Calista lagi dengan nada dingin, membuat kedua sahabatnya melongok karena kaget, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
“Aku malas bicara denganmu lagi, Calista...” ucap Arabel dengan wajah kesal. “Udah cukup, Inneke...biarkan saja Calista dengan kesenangannya sendiri. Toh, Calista yang dulu udah nggak ada lagi!”
Inneke juga ikut menatap Calista dengan pandangan marah, lalu mendengus dan membuang muka. “Sombong, punya pacar laki-laki nakal aja belagu!”
“Apa kamu bilang, Inneke?!” ucap Calista dengan nada tinggi yang membuat seluruh kelas melihat ke arahnya. Calista terdiam lalu memelankan suaranya...
“Dasar jomblo! Pantes kamu belum punya pacar, Inneke...kamu orangnya terlalu kaku!”
“Udah cukup, Calista...lihat Bu Riris sudah mau masuk ke kelas!” ucap Arabel dengan wajah ditekuk dan alis yang dikerutkan. “Sory Calista, kita malas temenan sama kamu sekarang!”
“Baik, siapa yang butuh teman seperti kalian?!” ucap Calista ketus dengan setengah berbisik, namun cukup jelas terdengar oleh Arabel dan Inneke. “Bisanya nyinyir aja!”
Arabel menggeleng-gelengkan kepala lagi dengan perasaan marah bercampur sedih, sementara Inneke memutar bola matanya dengan jengkel. Calista menatap Bu Riris yang sudah masuk ke dalam kelas dan berusaha memfokuskan diri pada mata pelajaran yang sedang dijelaskan namun nihil.
“Calista!” seru Bu Riris membuat Calista yang sedang melamun menjadi terhentak kaget. Menyadari kalau semua murid di kelas sekarang memperhatikannya.
“Kamu melamun dari tadi...!”
“Nggak, Bu...saya memperhatikan....” elak Calista dengan wajah yang merona merah. Dia sekilas melirik ke arah Arabel dan Inneke, namun keduanya melihat buku dengan wajah acuh tak acuh.
“Betul?” Bu Riris menunjukkan wajah tidak percaya. “Coba kamu jawab pertanyaan Ibu tadi!”
“Ehhmm....” kata Calista setengah bergumam. “Pertanyaan yang mana ya?”
Sontak seisi kelas tertawa dan wajah Calista semakin merona malu.
“Itu sudah jelas kalau kamu tidak memperhatikan, Calista...pikiranmu melantur ke mana-mana!” tegur Bu Riris sambil menatap dengan tajam.
Calista menunduk sambil mengamati bukunya...berharap pelajaran wali kelasnya ini akan segera berakhir. Calista kembali memfokuskan diri pada buku pelajaran di depannya sembari mendengarkan suara Bu Riris yang sedang menjelaskan tentang metabolisme jaringan.
Jenuh sekali....pikir Calista sambil sesekali memejamkan mata. Bu Riris sekilas melihat wajah Calista, namun dia hanya menghela nafas lalu tetap melanjutkan pelajarannya sebelum bel berbunyi...
Kringggg......!
“Ya....tugas essaynya ada di halaman lima belas, kumpulkan besok!” ucap Bu Riris sambil menutup buku, lalu berdiri dan melangkah ke pintu kelas. Dia menatap Calista, lalu memanggil gadis itu.
“Calista....saya mau bicara berdua denganmu di ruangan saya sebentar saja....”
“Ohh...baik, Bu...” ucap Calista dengan heran sambil sedikit kesal. Dia kan ingin buru-buru ke kantin, lalu jajan berdua dengan Eden. Ya sudahlah, sebentar ini katanya!
Calista berdiri dan berjalan ke pintu keluar kelas, tanpa menoleh sama sekali ke arah Arabel mau pun Sabrina yang melihat dia dengan tatapan kesal.
“Aku nggak peduli sama sekali dengan Calista sekarang, Ke...” ucap Arabel jengkel. “Lihat aja kelakuannya sekarang! Udah tengil gayanya, ngikutin anak baru itu!”
“Ya udah Ta...biarin aja. Kita udah nggak ada urusan sama dia sekarang!” balas Inneke sambil memutar bola matanya. “Mau ngapain mereka berdua, terserah! Mau Calista nggak lulus sekolah juga bodo amat, ya kan?!”
Arabel mengangguk sambil mengacungkan jempol. “Ya udah, sekarang kita ke kantin aja yuk...”
“Okeee....”
Mereka berdua pergi keluar kelas dan melihat Calista yang sedang berjalan masuk ke ruangan Bu Riris. Arabel dan Inneke saling menunjuk gadis itu lalu tertawa cekikikan, melanjutkan langkahnya ke kantin.
“Duduk, Calista,” ucap Bu Riris mempersilakan Calista yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
Gadis itu duduk menghadap sambil menatap wali kelasnya dengan tatapan yang bertanya-tanya.
“Tahu kenapa saya memanggilmu?”
“Karena nilai saya yang menurun?” tanya Calista dengan nada datar dan biasa saja, membuat guru itu menaikkan sebelah alisnya.
“Bukan cuma itu...kamu jadi bandel sekarang, Calista,” ucap Bu Riris sambil menatap tajam. “Bolos sekolah, sering tidak buat tugas, kabur-kaburan....”
Calista hanya terdiam sambil menatap ke ujung kuku-nya, tidak mengatakan apa pun.
“Ibu mengerti anak-anak remaja seperti kalian....sedang dalam masa pencarian jati diri. Tapi kamu, Calista, terutama....Ibu tahu kamu anak baik, anak teladan...nilai selalu bagus, nggak pernah bolos,” ucap Bu Riris sambil menghela nafas lagi.
“Jadi kamu harus berusaha mengejar nilaimu lagi, ya. Ingat kan target untuk masuk perguruan tinggi favorit?” lanjut BU Riris lagi sambil tersenyum menyemangati. “Semangat ya, Calista...untuk masa depanmu!”
Calista hanya terdiam sambil tersenyum mengangguk namun dalam hatinya, dia merasa ragu. Yang dia inginkan hanya bersama Eden, dan dia tak terlalu peduli lagi mau masuk ke kampus mana pun juga asal dengan Eden.
“Baiklah. Kamu sudah boleh pergi, Calista...” ucap Bu Riris lagi sambil membuka kacamata-nya.
“Terima kasih, Bu...” ucap Calista dengan sopan, lalu melangkah keluar dari ruangan. Dia jadi agak berpikir saat melangkah menuju ke kantin. Eden pasti sudah menunggunya di sana.
“Calista...!” seru Eden saat melihat gadis itu berjalan masuk ke kantin. Dia sedang duduk bersama beberapa temannya sambil tertawa-tawa gembira.
Calista melambaikan tangan sambil duduk di sebuah kursi yang kosong di pojokan, diikuti oleh Eden.
“Bakso satu, Bu...” ucapnya pada Ibu kantin yang sedang lewat, lalu mengalihkan perhatian pada
Eden yang sudah duduk di sampingnya.
“Kamu ke mana tadi, sayang? Kok nggak langsung ke kantin?” ucapnya sambil mencubit pipi Calista.
“Dipanggil Bu Riris dulu, dinasihati biar nggak sering bolos...lalu belajar biar nilainya bagus lagi,” jawab Calista sambil memperhatikan wajah Eden yang tampak berkeringat. Dia mengeluarkan tissue lalu mengelap kening lelaki itu.
“Cieee romantis....” seru beberapa teman Eden yang melewati mereka, sambil bersiul-siul menggoda.
“Berisik! Urus urusan kalian!” seru Eden yang diikuti tawa pingkal anak-anak lelaki itu.
“Eh..eh Arabel..lihat tuh Calista dengan pacar barunya,” ucap salah seorang gadis yang duduk bersama Arabel dan Inneke. “...sok romantis banget sama Eden. Pakai ngelapin wajah Eden segala. Aku aja udah pacaran sama Tino selama lima tahun, nggak pernah begitu-begitu amat!”
Dia tertawa cekikikan membuat Arabel tersenyum simpul sementara Inneke memandang keheranan.
“Wow...lima tahun? Lama banget...”
“Iya, udah kenal dari masih seragam merah putih...” ucap gadis berambut pendek itu sambil tersenyum-senyum. “Makanya lihat Calista sama Eden yang baru pacaran belum sebulan aja kayak gitu...jadi mau ketawa. Tapi ya udahlah, mungkin beda-beda ya cara mengekspresikan romantisme itu.”
“Iya, nggak apa. Emang Calista itu norak sekarang...” ucap Arabel sambil meneguk minumannya.
“Tapi Calista itu lumayan berani ya...” ucap gadis itu lagi. “Kalau aku, sama anak nakal begitu....nggak berani deh!”
“Emang nakal banget ya?” tanya Arabel penasaran. “Soalnya kalau di sekolah kan, dia sopan-sopan aja...”
Gadis itu hanya tersenyum simpul sambil ikut meneguk minumannya, “Ya itu kan penampakannya aja di sekolah. Eden itu anak nakal! Kakakku juga kenal sama dia....malah bukan nakal lagi, tapi...”
Arabel dan Inneke mendengarkan bisikan gadis itu, lalu keduanya menahan nafas dengan kaget.
“Beneran itu? Yakin kamu?” ulang Arabel lagi, dengan nada tak percaya.
“Lah kalau kamu perhatiin kan kelihatan sih!” balas gadis itu lagi dengan nada sewot.
“Tuh kan Arabel...aku udah bilang sama kamu!” cetus Inneke sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan bilang, kalau Calista nggak tahu!”
“Ya, mana aku tahu....Inneke! Calista kalau cerita sekedarnya aja. Aku jatuh cinta, aku udah jadian sama Eden. Selanjutnya ya begitu, kabur-kaburan dari sekolah...pulang larut malam...udah nggak mau denger siapa-siapa lagi!”
Mereka terdiam sesaat sebelum Inneke memecahkan keheningan itu lagi.
“Ya sudah...toh kita udah nggak temenan lagi sama Calista! Dia udah menghina kita...” ucap Inneke sambil mengunyah gorengannya. “Aku nggak peduli sama dia lagi...”
Arabel masih tampak berpikir, sebelum membuka mulutnya dengan berat... “Aku mau tanya ke dia, apa dia sudah tahu...”
“Nggak usah ikut campur lagi, Arabel....!” ucap Inneke sambil menggelengkan kepalanya.
“Nggak apa, nanti aku mau ngomong. Biarin dia marah....aku cemas sama dia...” ucap Arabel akhirnya. Tidak mengingkari kalau dia memang jengkel dengan sikap Calista, tapi dia tidak mau terjadi apa pun dengan sahabatnya itu.
Arabel sekilas menatap Calista yang sedang duduk berdua dengan Eden yang sedang tertawa-tawa gembira.
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela