Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Veronika yang tengah merias diri. Lantas, wanita itu segera membukakan pintu. Senyum tak luntur sedikit pun dari wajah cantiknya. Mendapati Carol yang berdiri di depan pintu kamarnya, membuat ia mengernyit. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Veronika, melainkan ... gaun yang tengah dipakai Carol sama persis dengan gaun pemberian Noah, suaminya.Ya. Tadi siang, Noah sudah berjanji akan mengajak Veronika dinner di sebuah restoran. Tak lupa, Noah juga mengirimkan hadiah berupa gaun berwarna biru malam yang harus dikenakannya. Namun, melihat Carol juga memakai gaun yang sama dengannya, membuat hati Veronika berdesir. "Bagaimana bisa dia memiliki gaun yang sama denganku? Apakah ... Tuan Noah membelikan gaun untuk mantan istrinya juga?" batin Veronika, bertanya-tanya. Carol tersenyum manis. Menatap Veronika dari ujung ke ujung, seolah meneliti penampilannya. "Wah! Aku tidak tahu kalau Noah membelikan kita gaun yang sama
Veronika terbangun saat merasakan sesuatu berhembus pelan di wajahnya. Bukan angin … bukan juga tiupan AC. Rasanya hangat, lembut, dan berulang-ulang. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, ia mencoba mengabaikannya, tapi anehnya, tiupan itu semakin lama justru terasa semakin dekat, berputar pelan di bibirnya, seolah sengaja.Dengan kening berkerut, Veronika membuka mata perlahan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah suaminya sudah begitu dekat, nyaris menempel di wajahnya. Jantungnya seketika berdebar kencang, matanya membelalak.Tepat saat itu, suara berat dan dalam itu berbisik di telinganya. Suaranya rendah, serak, namun terasa amat dekat, menusuk hingga ke dada."Good morning, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Atau … terlalu nyenyak sampai tak sadar aku di sini?"Nada suara Noah dibuat sengaja berat dan menggoda, seakan ingin menyeret Veronika keluar dari kantuknya dengan cara yang paling nakal. Tatapan mata Noah pun tak kalah berbahaya, tajam, penuh arti, dan meny
Veronika berdiri di teras balkon, membiarkan angin malam membelai lembut kulitnya yang hanya dibalut lingerie putih tipis. Malam-malam seperti ini selalu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menyendiri, mengatur napas, dan membuang resah tanpa suara.Matanya menerawang jauh menembus gelap, sementara pikirannya kembali dipenuhi kenangan dan perubahan sikap suaminya. Noah. Pria itu … belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Lebih hangat, lebih perhatian, seolah-olah benar-benar mencintainya.Tapi justru itu yang membuat hatinya sesak."Aku takut untuk senang, Tuan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh angin malam. "Aku takut kalau semua ini hanya sementara … hanya bayangan ilusi yang akan menghilang saat aku mulai percaya lagi."Vyora memeluk dirinya sendiri, berusaha meredam dingin yang merayap. Namun, dingin itu bukan hanya karena angin malam … melainkan karena rasa takut yang perlahan menggerogoti.Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat menyelimuti ba
Veronika tampak berusaha keras untuk bangkit saat melihat suaminya bersiap ke kantor. Gerakan pelan itu cukup membuat wajahnya meringis, tapi tetap dipaksakan. Melihat itu, Noah segera menghampiri, duduk di tepi ranjang dengan wajah khawatir."Kau ingin ke mana, Baby?" tanya Noah lembut, tangannya terulur meraih bahu Veronika."Aku ingin jadi istri yang berguna," ucap Veronika pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku bahkan tidak bisa bergerak untuk menyiapkan keperluan Anda." Wajahnya menunduk, matanya berkaca-kaca, menyembunyikan perasaan sedih yang nyaris tumpah.Noah menarik napas, lalu tersenyum tipis. "Aku masih bisa melakukannya sendiri," katanya tenang. "Yang paling penting sekarang, kau istirahat dan cepat pulih. Nanti, saat kau sudah sehat, baru kembali urusi aku, ya?"Ucapan itu membuat Veronika perlahan mengangkat wajah, menatap lekat suaminya. Tak ada sedikit pun amarah di sana, hanya tatapan teduh penuh perhatian. Hatinya menghangat seketika."Aku merasa bosan di kam
"Aku tidak mau pergi!" pekik Carol, suara wanita itu nyaris pecah. "Kumohon, Noah, tolong." Air mata mengalir membasahi pipinya, berharap mendapat simpati dari pria di hadapannya."Apa yang kau inginkan dariku, Carol? Perlindungan?" tanya Noah datar. "Kalau itu yang kau mau, aku bisa memerintahkan anak buahku untuk menghabisi suamimu. Dengan begitu, kau bisa hidup aman."Mendengar itu, Carol menggeleng cepat. "Kau tidak bisa melakukan itu, Noah," ucapnya lirih, membuat kening Noah mengernyit dalam."Apa maksudmu?"Perlahan, Carol menyentuh perutnya yang masih datar. "Aku ..." suaranya bergetar. "Aku sedang mengandung bayinya saat ini. Kalau aku kembali, aku takut dia akan menyakitiku, bahkan membuatku kehilangan anak ini."Noah terdiam. Tatapannya berpindah ke arah Aldrich yang berdiri tak jauh dari sana. Namun, Aldrich hanya menggeleng pelan, seolah memberi isyarat untuk tidak membiarkan wanita itu tinggal."Aku tidak ..." Perkataan Noah terhenti saat Carol tiba-tiba berlutut, memelu
"Aku..." suara Carol bergetar, nyaris tak terdengar.Noah menoleh setengah, bibirnya terangkat sinis."Kau kembali setelah dibuang oleh selingkuhanmu, ya?" tanyanya, diiringi tawa pendek yang dingin.Carol menunduk, air mata mengalir tanpa bisa ditahan. Luka-luka di wajahnya jelas terlihat di bawah temaram lampu malam itu."Aku tahu aku salah, Noah. Tapi ... apa kita masih bisa seperti dulu? Aku ... aku buta saat itu."Noah tetap membelakangi Carol, tapi seketika tubuhnya menegang saat mendengar suara isakan wanita itu. Akhirnya, perlahan ia berbalik. Wajahnya berubah ketika melihat kondisi Carol. Luka lebam di pelipis, sudut bibir yang pecah, dan goresan samar di pipi."Apa yang terjadi di wajahmu?" tanya Noah, pura-pura terkejut, meski sebenarnya dia sudah menduga.Carol menggigit bibir, mencoba menahan tangis. "Aku ... aku dipukuli, Noah. Orang itu, dia bukan seperti yang aku kira."Noah menghela napas berat, lalu memalingkan pandangannya, seolah tak ingin terlalu larut dalam simpa