"Selamat datang, Nona ...?""Aku Echa Aldinis. Kau bisa memanggilku Nyonya Echa," ujarnya dengan bangga.Mendengar itu, salah satu pegawai butik mengangguk sambil tersenyum ramah."Baik, Nyonya Echa. Apa yang Anda inginkan? Kami akan melayani Anda," ucapnya sopan.Sejenak, mata Echa tertuju pada sebuah gaun pengantin berwarna putih yang begitu memanjakan mata. Gaun itu benar-benar indah, detailnya memesona, menarik perhatiannya seketika."Itu! Aku ingin gaun itu di hari pernikahanku," katanya penuh semangat."Itu? Baiklah, saya akan menyiapkannya," sahut pegawai butik itu, bersiap mengambil gaun tersebut."Tidak bisa! Gaun itu sudah lebih dulu di-keep orang lain. Dia bahkan telah membayar gaun ini," sela pegawai lainnya, menghentikan aksi temannya.Echa tak terima. Sorot matanya seketika berubah."Apa maksudmu? Gaun ini saja masih terpajang di sini," protesnya, nada suaranya meninggi."Pihak kami lupa untuk melepasnya, Nyonya," jawab pegawai wanita itu sambil tersenyum kaku, berusaha
"Kau harus menikahiku, Narendra!" pekik Echa. Kini, wanita itu tengah berada di ruang kerja pria tersebut."Menikahimu? Atas dasar apa, Echa?" tanya Narendra sambil menatap ke arahnya. Ia sudah pusing memikirkan cara menghentikan pernikahan Veronika. Kini, dia harus mendengar keinginan bodoh Echa."Atas dasar apa? Benar kau bertanya seperti ini padaku, Narendra?!" Echa menatap Narendra tajam, tak percaya dengan pertanyaan pria itu."Ya, lalu? Salahnya di mana?" tanya Narendra. Ia benar-benar dibuat bingung."Aku sudah menyerahkan semuanya untukmu, Narendra! Termasuk ... tubuhku." Echa tak berhenti menatap tajam Narendra."Aku memintanya? Bukankah kau yang sukarela membuka paha di hadapanku," kata Narendra, balas menatap Echa."Memang ... tapi kamu seharusnya memiliki rasa tanggung jawab akan hal itu, Narendra," kata Echa. "Sekarang ... aku sudah mengandung."Mendengar perkataan Echa, Narendra sontak bangkit dari posisi duduknya. Ia benar-benar tidak percaya dengan penuturan wanita itu
Di sebuah kamar di dalam kediaman Echa, wanita itu tampak menghancurkan semua barang-barang di kamarnya sebagai bentuk kekesalan dan kemarahan yang meluap-luap dalam dirinya. Kemarin, wanita itu mengikuti Narendra, dan mendapati pria itu berbelok ke arah apartemen Veronika. Tampak jelas, Narendra benar-benar tidak bisa melupakan wanita yang begitu Echa benci — Veronika. “Aku tak terima ini! Argh! Aku benci kamu, Veronika!” desis Echa, napasnya memburu dan wajahnya memerah karena amarah. “Kenapa? Kenapa semua orang lebih tertarik padamu, hah? Kenapa?!” teriak Echa, bak orang gila di dalam kamar yang kini porak-poranda. Kamar wanita itu benar-benar hancur seperti kapal pecah. Pecahan-pecahan kaca berserakan di lantai. Foto-foto yang sebelumnya tergantung rapi kini berserakan, beberapa di antaranya robek tak berbentuk. Tangannya bahkan terluka, darah menetes dari sela-sela jemarinya, tapi Echa seolah tak merasakan apa pun. Hanya amarah yang menguasai, membakar habis akal sehatnya.
Veronika baru hendak membuka pintu kamar apartemennya saat seseorang tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar. Tubuh Veronika tersentak, punggungnya terhempas kuat ke dinding. Di hadapannya kini berdiri sosok Narendra, mantan kekasih yang dulu pernah mengisi hidupnya. Melihat kehadiran Narendra, refleks Veronika mendorong pria itu menjauh. Namun, Narendra tak bergeming. Ia justru mengunci pergerakan Veronika, tak ingin wanita itu pergi begitu saja. “Apa maumu, hah? Kenapa lagi kau berani muncul di depanku seperti ini?” tanya Veronika, matanya melotot tajam menatap Narendra. “Hentikan semua ini, Veronika!” bentak Narendra dengan nada penuh tekanan, membuat Veronika mengernyit bingung. “Hentikan apa? Apa maksudmu?” sahut Veronika, nadanya terdengar sinis. “Hentikan hubungan palsumu dengan Noah! Aku tahu, kalian sebenarnya tidak memiliki hubungan, bukan? Kau hanya berpura-pura karena ingin membuatku cemburu. Lihat! Kau berhasil, Veronika!” kata Narendra panjang lebar, emosinya t
Hari ini adalah hari di mana Veronika akan pergi bersama atasannya ke sebuah butik untuk memilih gaun pengantin. Veronika hanya diminta untuk memikirkan dirinya sendiri, tanpa perlu mengurus seluruh agenda pernikahan itu, sebab sang atasanlah yang akan menyiapkan segalanya. Mengenakan dress berwarna putih yang membentuk lekuk tubuhnya, Veronika beranjak keluar dari apartemen dan mendapati atasannya telah menunggunya di sana. Dengan senyum mempesona, atasan Veronika menyodorkan lengannya dengan senang hati dan Veronika menyambutnya. Ia menggandeng lengan pria itu lalu beranjak pergi. Keduanya memasuki lift. Veronika tak bisa menahan rasa gugupnya, sebab sang atasan terus memandanginya tanpa henti. “A-ada apa, Tuan? A-apakah ada yang aneh dengan penampilanku? Terlalu mencolokkah?” tanya Veronika, panik sendiri sambil mencoba mencari kemungkinan yang membuat atasannya tak bisa berpaling. "Ya, memang ada." Perkataan itu sontak membuat Veronika menatap atasannya dengan wajah panik.
Veronika baru saja memasuki ruang rawat neneknya ketika mendapati sang nenek meringkuk, dengan tubuh dan wajah yang tertutup rapat oleh selimut. Merasa ada sesuatu yang terjadi, Veronika segera menghampiri Anne, neneknya. "Nek, ada apa lagi? Kenapa Nenek meringkuk seperti itu? Apa ada yang mengganggu?" tanya Veronika bertubi-tubi. Anne hanya menggeleng pelan, tak sanggup memberikan jawaban. Melihat kondisi neneknya, Veronika segera meraih segelas air minum, lalu membantu neneknya duduk agar bisa meminumnya. Setelah dirasa Anne cukup tenang, Veronika duduk di sisi tempat tidur. Kekhawatiran begitu jelas tergambar di wajahnya saat menatap sang nenek. "Perlu Veronika panggilkan dokter, Nek?" tanya Veronika cemas, "Nenek tunggu sebentar, ya." Baru saja Veronika hendak bangkit, tangan Anne dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya, seolah memaksa Veronika tetap di tempat. Mata Anne sempat berpendar ke sekeliling ruangan, seakan mencari seseorang di sana. Gerak-geriknya membuat Ver
"Apa yang terjadi pada Nenek? Kenapa dia terlihat ketakutan saat melihat atasan ku?" gumam Veronika, yang tengah duduk merenung di balkon kamarnya. Ingatannya kembali melayang pada neneknya yang begitu ketakutan menatap atasannya.Flashback On...Saat itu, Veronika tersenyum kecil lalu menggandeng lengan Noah, membawanya masuk ke ruang rawat sang nenek."Nek, ini dia atasan Veronika," ucap Veronika, memperkenalkan Noah dengan penuh semangat."Halo, Nek!" sapa Noah ramah, sembari tersenyum.Namun, sapaan itu justru membuat Anne terkejut. Wajahnya pucat seketika, tangannya gemetar memegangi dadanya. Tatapannya terpaku pada sosok pria yang berdiri di hadapannya, seolah melihat hantu dari masa lalu. Melihat wajah panik sang nenek, Veronika sontak bergegas mendekat. Ia membantu Anne yang tampak gelisah, lalu menuangkan segelas air putih dan menyodorkannya dengan wajah khawatir."Nek, tenangkan dirimu... ini, minum dulu," ucap Veronika pelan, berusaha menenangkan.Noah, yang sejak tadi be
Veronika baru saja menyelesaikan percakapan di ruang dokter. Saat ia kembali ke ruang rawat neneknya, sosok atasannya sudah tidak tampak di sana. Sejenak, mata Veronika menatap ke sekeliling, berharap masih bisa menemukannya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Noah."Ke mana dia? Apa dia sudah kembali?" gumam Veronika pada dirinya sendiri.Di tengah kebingungan itu, sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi di ponselnya. Veronika segera meraihnya dan mendapati sebuah pesan dari Noah.“Aku akan datang untuk menjemputmu lagi, Baby. Maaf, aku harus pergi sebentar untuk mengurus sesuatu.”Pesan itu sukses membuat senyum merekah di wajah Veronika."Dia benar-benar menunjukkan perhatian. Aku semakin dibuat terpesona oleh atasanku sendiri," gumamnya, sembari tersenyum-senyum sendiri dan sesekali memeluk ponselnya, seperti orang yang sedang jatuh cinta.Menyadari kegilaannya sendiri, Veronika segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Ia lalu melangkah masuk ke ruang rawat neneknya,
Drrrtt... Drrrtt... Suara getaran ponsel di atas meja membuat Veronika tersentak. Ia yang tengah duduk di sofa ruang tamu segera meraih ponselnya, lalu mengernyit saat mendapati panggilan masuk dari nomor tak dikenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya hati-hati. "Benar, ini dengan Nona Veronika?" "Iya, itu saya. Ada apa?" balasnya, sedikit cemas. "Saya salah satu petugas rumah sakit. Ingin mengabarkan bahwa nenek Anda sudah siuman dan saat ini terus memanggil-manggil nama Anda," jawab suara di seberang. Veronika terdiam sejenak. Suara detik jam dinding terdengar begitu jelas di antara keheningan ruangan. Dadanya bergetar. Sekejap, air mata menetes di pipinya. Perasaan haru dan lega bercampur. "Te-terima kasih sudah memberikan kabar baik... Saya akan segera ke sana," ucap Veronika pelan, suaranya bergetar. Tanpa menunggu jawaban, ia langsung saja memutus panggilan. Tak berselang lama, Veronika sudah siap dan berniat keluar dari apartemen. Namun, langkahnya terhenti saat mendap