Ternyata nyeri sendi dan memar-memar yang sering dialaminya bukanlah akibat kelelahan biasa. Gadis itu terpukul sekali mengetahui penyakit berbahaya yang bersarang dalam tubuhnya.
“Kakak akan mengupayakan yang terbaik demi kesembuhanmu, Trid. Jangan patah semangat, ya,” ucap Miranda memotivasi adiknya kala itu.
Ibu mereka telah meninggal dua tahun sebelumnya akibat komplikasi diabetes. Sedangkan sang ayah meninggalkan kedua gadis itu semenjak mereka masih kecil.
Miranda merasa sedih sekali. Tak lama lagi dia akan kehilangan adiknya pula. Betapa malang nasibnya hidup sebatang kara di dunia ini!
“Astrid nggak mau meninggal sebelum menjadi wanita seutuhnya, Kak!” seru adiknya histeris. Air mata tak henti-hentinya mengalir membasahi wajahnya yang tirus.
Miranda menatap gadis itu tak mengerti. Apa maksud perkataan Astrid barusan? pikirnya galau. Menjadi wanita seutuhnya? Apa artinya?
Melihat sorot mata sang kakak yang penuh tanda tanya, Astrid langsung mengungkapkan isi hatinya, “Astri mau nikah dan punya anak, Kak. Sama seperti wanita pada umumnya.”
Miranda terhenyak. Apa?! Adiknya mau menikah dan mengandung? Laki-laki mana yang mau menikahi perempuan yang sudah divonis menderita penyakit kritis?
Tiba-tiba sang adik yang batinnya sangat tertekan itu bersimpuh di kaki kakaknya. “Kak Mira, kumohon. Izinkan aku menikah dengan Mas Lukas,” ucapnya sambil menangis tersedu-sedu.
Miranda tertegun. Dia shock sekali sampai tak sanggup berkata-kata. Ditatapnya Astrid tak percaya. Aku salah dengar, batinnya menenangkan dirinya sendiri. Tak mungkin adik kandungku sendiri mau merebut kekasihku!
“Aku…aku jatuh cinta pada Mas Lukas sejak pertama kali melihatnya, Kak. Waktu dia datang bersamamu ke rumah. Siapa sangka dia adalah pacarmu! Kamu nggak pernah bercerita apa-apa sebelumnya. Tiba-tiba saja membawa Mas Lukas pulang dan memperkenalkannya sebagai kekasihmu.”
Miranda semakin tak mempercayai pendengarannya. Astrid…adikku sendiri! teriaknya dalam hati. Bagaimana mungkin dia menaruh hati pada Lukas, orang yang seharusnya dianggap sebagai kakaknya sendiri!
“Kumohon, bujuklah Mas Lukas agar bersedia menikahiku, Kak,” pinta Astrid semakin menuntut. “Kakak nggak tahu betapa tersiksanya hatiku setiap kali melihat kalian berdua bercengkerama. Aku selalu menutupi perasaanku selama ini karena tak ingin merusak persaudaraan kita. Tapi…kini waktuku tak banyak lagi. Aku nggak mau hidup sia-sia di dunia ini. Ingin sekali rasanya hidup bahagia bersama laki-laki yang kucintai. Kumohon kabulkanlah permintaanku ini, Kak Mira….”
Perasaan Miranda kacau-balau. Di satu sisi gadis itu tak tega menyaksikan Astrid meraung memohon-mohon agar permintaannya dikabulkan. Namun di sisi lain, dia tak habis pikir bagaimana adik kandungnya sendiri sampai hati menghendaki pemuda yang dicintainya!
Dengan dada sesak, gadis itu akhirnya berjalan meninggalkan adiknya sendirian di dalam kamar. Ia mau keluar untuk menghirup udara segar. Harapannya pikirannya akan lebih rileks sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik bagi semua pihak.
“Tante Mira….”
Suara lirih Joy membuyarkan lamunan Miranda. Dengan sigap ditepuk-tepuknya paha bocah itu lembut. Terkadang anak itu suka mengigau di tengah-tengah tidurnya. Itulah sebabnya si tante jarang sekali meninggalkannya meski keponakannya tersebut sudah tertidur pulas.
“Joy tidur yang nyenyak, ya,” bisiknya lembut. “Besok pulang sekolah kita langsung pergi ke mal. Main di arena permainan yang Joy suka.”
Sambil terus menepuk-nepuk lembut paha keponakannya itu, Miranda mulai memejamkan mata. Dia harus cepat tidur supaya besok pagi tidak terlambat mengantar Joy ke sekolah.
***
Esok siangnya Miranda dan Joy pergi ke mal. Setelah makan di restoran masakan Jepang kegemaran Joy, gadis itu lalu menemani keponakannya bermain di wahana favoritnya.
“Ayo, Tante. Cepat. Jangan mau kalah sama Joy. Hahaha…,” seru bocah lucu itu kegirangan.
Dia merasa geli melihat tantenya tampak ngos-ngosan. Miranda yang sejak tadi mengikuti keponakannya naik-turun, merayap, membungkuk, dan melewati halang rintang wahana akhirnya menyerah.
“Tante menunggu di bawah saja ya, Joy. Nanti kalau butuh bantuan, kamu langsung teriak. Tante akan minta tolong Bapak Penjaga untuk membantumu. Badan Tante sudah pegal-pegal ini naik-turun terus,” kata Miranda dengan wajah terlihat lelah. Sorot matanya tampak memohon pengertian keponakannya.
Anak laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. Dia sendiri belum merasa lelah saking girangnya bisa bermain lagi di wahana favoritnya. Terakhir kali tantenya membawanya bermain ke sini satu bulan yang lalu. Sudah lama sekali menurut ukuran seorang anak kecil yang aktif seperti dirinya.
“Selamat beristirahat, Tante. Joy masih mau main dulu. Naik ke atas untuk meluncur di papan perosotan yang paling tinggi. Hahaha….”
Dengan lincah bocah aktif itu merayap melewati bantalan halang rintang di depannya. Miranda menghela napas lega.
Syukurlah Joy bersedia kutinggal, pikirnya bersyukur. Permainan untuk mengasah motorik kasar ini rasanya sudah terlalu melelahkan buatku. Dari semuanya yang paling kunikmati cuma kolam bola. Dan ehm…papan perosotan yang tinggi itu sebenarnya. Saking aduh…, malas sekali rasanya membayangkan betapa aku masih harus banyak berjalan, merayap, dan membungkuk demi bisa sampai di papan perosotan itu!
Gadis itu pelan-pelan bergerak turun. Dia berpapasan dengan anak-anak lain yang tak kalah gembiranya dengan Joy melewati halang-rintang untuk sampai ke puncak wahana.
Alangkah indahnya dunia anak-anak, batinnya takjub. Dunia bermain dan bersenang-senang. Tak perlu bersusah-payah memikirkan bagaimana cara untuk mencari nafkah dan mengatur keuangan demi bertahan hidup.
Miranda lalu teringat dengan masa kecilnya dulu bersama Astrid. Mereka dulu juga bahagia sekali. Sang ibu sering mengajak pergi bermain di taman umum yang gratis, namun mempunyai tak sedikit fasilitas permainan. Alat-alat itu terbuat dari besi dan dicat berwarna-warni sehingga menarik perhatian anak-anak. Bentuknya bermacam-macam. Ada papan perosotan, ayunan, tiang panjat, dan lain-lain. Keluarga itu jarang pergi ke mal karena kondisi perekonomian yang kurang mendukung.
Ibu Miranda dan Astrid harus bekerja keras membuat kue-kue kering setiap harinya untuk dijual sendiri maupun dititipkan di toko-toko. Selain itu beliau juga masih menerima pesanan jahitan baju dari para tetangga. Suaminya yang sudah berzinah dengan perempuan lain memilih untuk meninggalkan keluarganya tanpa pamit. Bahkan tak terpikir oleh pria itu untuk mengakhiri rumah tangganya secara resmi di pengadilan. Jadi hingga akhir hayatnya, ibu Miranda dan Astrid masih berstatus sebagai istri sah ayah kandung mereka.
Dulu meskipun cuma bermain di taman umum yang tidak berbayar, aku dan Astrid sudah merasa senang sekali, cetus Miranda dalam hati mengenang masa kecilnya. Mama membeli kacang panjang dan makanan ikan yang dijual pedagang di depan pintu masuk. Kami memberi makan rusa dan ikan yang dipelihara di taman tersebut. Alangkah senangnya menyaksikan binatang jinak bertanduk itu melahap kacang panjang dari tangan kami.
Tiba-tiba gadis itu ingin pergi mengunjungi taman itu lagi. Akan diajaknya Joy supaya bisa merasakan sensasi yang berbeda bermain di ruangan terbuka. Tidak melulu bermain di ruangan ber-AC seperti ini. Sekali-sekali perlu ganti suasana bermain di ruangan terbuka yang terdapat pepohonan rimbun sekaligus menghirup udara segar.
Selesai menuruni wahana, gadis itu lalu duduk tak jauh dari papan perosotan tinggi yang diincar Joy. Dia suka menyaksikan ekspresi kegembiraan di wajah keponakannya setiap kali meluncur turun dari wahana yang menjadi favorit sebagian besar anak kecil itu.“Miran…da? Ya Tuhan, ini benar kamu Miranda?”Gadis itu menengadah. Dia tercengang. Sontak gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Di hadapannya berdiri seorang pemuda bertubuh tinggi tegap dan mengenakan seragam penjaga arena permainan.Pemuda itu orang yang dulu pernah mengisi hari-harinya. Pemuda yang menempati posisi penting dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Pemuda itu Lukas, ayah kandung Joy!Orang itu berteriak kegirangan, “Ternyata kamu memang Miranda. Syukurlah akhirnya aku menemukanmu! Sudah bertahun-tahun aku….”Miranda diam seribu bahasa. Dia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Gadis itu merasa dirinya sedang dipermainkan oleh nasib. Kenapa Lukas bisa muncul tiba-tiba di tempat ini?Apa tujuanmu yang sebenarnya, Tuhan?
“Kamu nggak berubah, Mira. Mudah panik kalau menangis di depan umum,” komentarnya jahil. Tapi mulutnya menutup otomatis begitu melihat mata gadis di hadapannya melotot tanda tidak senang.“Sori, sori,” katanya meminta maaf. “Bukan maksudku membuatmu kesal. Jangan kuatir. Nggak ada orang yang berani menegurku di sini. Karena aku adalah pemilik tempat ini.”Miranda terbelalak tak percaya. Mulutnya sampai ternganga saking terkejutnya. Lukas tersenyum sambil mengangguk. “Nggak pantes, ya? Aku jadi bos di tempat ini,” ucapnya tenang.Mantan kekasihnya itu menjadi kikuk. Gila, batin Miranda masih shock. Bukan satu-dua kali aku mengajak Joy bermain di sini. Tapi kenapa baru sekarang kami bertemu dengan Lukas?“Apa kamu dan Joy sering datang kemari, Mira?” tanya pria itu seolah-olah dapat membaca isi hatinya.Perlahan gadis itu mengangguk. “Tempat ini merupakan arena permainan favorit Joy di mal ini. Kadang kami pergi ke mal-mal lain untuk ganti suasana. Tapi setidaknya empat bulan sekali aku
Miranda terharu. Dia dapat merasakan pria ini masih menyimpan cinta terhadap dirinya. Sorot mata dan kata-kata yang dilontarkan Lukas menunjukkan hal itu.Dia masih ingat kata-kata-kata yang kuucapkan dulu saat kami masih bersama, keluh gadis itu dalam hati. Ah, masa-masa itu memang indah. Tapi sudah berlalu. Aku rela berkorban demi kebahagiaan Astrid, adikku tercinta….“Lalu gimana ceritanya kamu sampai bisa menjadi pemilik arena permainan ini?” tanya Miranda ingin tahu.Lukas mendesah sejenak. Dia lalu menjawab, “Papa-mamaku meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat terbang, Mira. Mereka ternyata mempunyai asuransi jiwa yang uang pertanggungannya sangat besar. Tentu saja ahli warisnya adalah aku sebagai anak tunggal. Di samping itu juga ada kompensasi yang tidak sedikit dari perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Sejumlah dana itu kupakai buat membeli arena ini enam bulan yang lalu. Pemiliknya menjual tempat ini karena mau beralih pada bidang usaha lain….”“Kamu sudah kaya sekara
Miranda mendesah. Dia teringat betapa bahagianya Astrid di hari pernikahannya dengan Lukas. Senyuman penuh sukacita tak henti-hentinya menghiasi wajahnya yang cantik. Sang kakak berusaha bersikap sama meskipun hatinya terluka. Demikian pula dengan Lukas. Beberapa kali Miranda memergoki mantan kekasihnya itu curi-curi pandang ke arahnya.Oleh karena itulah Miranda selalu berusaha selalu menjenguk adiknya di rumah pada hari dan jam kerja. Di saat Lukas sedang tidak berada di rumah. Meskipun sesekali tak sengaja mereka berpapasan juga, namun Miranda selalu menekan perasaannya dan berusaha bersikap biasa saja.Lukas pun demikian. Dia menyadari statusnya telah berubah. Astridlah istrinya yang sah. Dia berkewajiban menjaga perasaan perempuan itu dan membuatnya bahagia. Namun rupanya hal itu justru membuat batin Lukas tertekan. Lelah rasanya menanggung beban seberat itu di usianya yang masih sangat muda, yaitu dua puluh dua tahun. Hati kecil pria itu menjerit setiap kali Astrid keceplosan me
“Joy sudah memaafkanmu, Kas,” ucap Miranda tenang. “Mulai sekarang kalau kamu ingin bertemu dengannya, silakan menghubungiku terlebih dahulu. Nanti akan kuatur jadwal yang tidak mengganggu kegiatan Joy maupun pekerjaanku. Percayalah. Aku takkan menghalang-halangi upayamu mendekatkan diri dengan anak kandungmu.”“Terima kasih banyak, Mira,” sahut Lukas seraya melepaskan pelukannya terhadap Joy. Dihapusnya air matanya dengan tisu yang disodorkan oleh gadis itu.“Sudahlah, biar bagaimanapun juga kita kan masih keluarga. Kamu suami almarhumah Astrid. Jadi merupakan adik iparku,” cetus Miranda seolah-olah mengingatkan mantan kekasihnya itu agar kelak tidak menyimpan harapan terhadap dirinya.Gadis itu melakukannya demi kebaikan mereka bersama. Dia dulu telah merelakan pria ini untuk menjadi pendamping hidup adiknya tercinta. Dan hal itu akan tetap dipertahankannya sampai kapanpun. Meskipun Astrid sendiri telah tiada.Lukas mengangguk mengiyakan. Dirangkulnya bahu Joy dengan penuh kasih say
“Salah seorang klienmu kemarin menelepon ke kantor, Miranda. Dia komplain pada resepsionis. Katanya kamu tidak profesional dalam bekerja,” tegur Rosita, perempuan setengah baya yang merupakan pemilik kantor pemasaran properti tempat Miranda bekerja.Gadis itu mengernyitkan dahi. Seumur-umur berprofesi sebagai broker properti, baru kali ini ada klien yang mengadukan kinerjanya di kantor.“Maaf, Bu Rosita,” ucap Miranda sopan.Gadis itu lalu duduk persis di depan bosnya tersebut. “Klien saya yang mana, ya? Kenapa dia tidak menelepon saya saja kalau mau komplain? Sampe repot-repot menelepon ke kantor,” komentarnya tenang.Rosita menatap anak buahnya itu dengan sorot mata tidak suka. “Justru itu yang mau kutanyakan padamu, Mir. Kenapa kamu memblokir nomor HP orang itu sehingga dia kesulitan menghubungimu?”Lawan bicaranya terbelalak. “Mem…memblokir?” cetus gadis itu kaget. Tiba-tiba ingatannya terbersit pada sosok pemuda tampan ala Korea yang merupakan pewaris tunggal perusahaan bakery te
Terdengar desahan lega lawan bicaranya. Gadis itu jadi merasa geli sendiri. Baru kali ini ada klien yang panik karena brokernya tak terdengar lagi suaranya di telepon.“Well, kalau begitu saya tutup teleponnya sekarang, Miranda,” ucap Carlos selanjutnya. “Supaya kamu bisa segera mengirim nomor rekening kantormu pada saya melalui WA.”“Siap, Pak Carlos. Terima kasih,” jawab si broker lugas.Pembicaraan mereka berdua itu pun berakhir. Miranda menghela napas lega. Lumayan, komisi dari penjualan ruko ini cukup besar. Bisa menopang hidupku hingga empat-lima bulan ke depan. Karena biaya Joy sekarang sudah ditanggung oleh papanya. Aku sekarang jadi bisa lebih santai menikmati hidup atau….Tiba-tiba mata gadis itu menjadi berbinar-binar. Hei! Inilah saatnya aku mulai menabung buat membeli properti! serunya girang dalam hati. Selama ini aku bekerja mati-matian setiap hari. Joy bahkan tak jarang kuajak menemaniku open house ataupun pameran properti di mal saat weekend. Tapi penghasilanku dari
“Saya minta maaf kalau sikap saya tadi tidak berkenan di hati Bu Victoria,” kata Miranda sepenuh hati. “Bukan maksud saya menyinggung perasaan Ibu. Saya justru merasa kagum dengan keanggunan yang terpancar dari diri Ibu dan….”“Sudahlah,” potong Victoria tak sabar. “Tidak usah berbelit-belit. Tolong jelaskan saja, bagaimana kamu bisa membujuk anakku sampai membeli ruko yang harganya di atas harga pasar? Ini sama sekali bertolak-belakang dengan kebiasaan Carlos. Membeli properti tanpa menawar terlebih dahulu. Didikan saya terhadap anak saya selama ini tidak seperti itu!”Lagi-lagi Miranda terkesiap. Perempuan ini luar biasa, komentar gadis itu dalam hati. Dari luar tampak begitu anggun dan berpendidikan. Tapi ternyata lidahnya tajam sekali. Kalau dia memang keberatan anaknya membeli ruko itu dengan harga tinggi, kenapa setuju saja diajak ke kantor notaris ini untuk menyaksikan penandatanganan akta jual-beli?! Dasar nggak waras. Untung pihak penjual sudah pulang. Kalau nggak, mereka bi