Tapi biar gimana klien adalah raja, batin gadis itu berusaha menyabarkan hatinya. Ditatapnya pemuda tampan itu sambil berkata sopan, “Selamat sore, Pak Carlos.”
Dia kembali bersikap formal. Tak lagi memanggil Carlos dengan sebutan Mas.
Pemuda itu nyengir menatapnya. “Tadi di telepon Anda memanggil saya dengan sebutan Bapak. Lalu begitu sampai di tempat ini panggilan Anda terhadap saya berubah menjadi Mas Carlos. Dan setelah mengetahui saya adalah pemilik Martin Bakery, Anda kembali memanggil saya dengan sebutan Pak Carlos. Rupanya Anda adalah orang yang tidak konsisten,” ucapnya dingin.
Miranda terperangah. Apa sih, maksud orang ini? pikirnya bingung. Itu kan cuma persoalan kecil. Kenapa sampai dibesar-besarkan?
“Maafkan saya kalau telah menyinggung perasaan Anda. Terus terang setiap orang tak dikenal yang menelepon, selalu saya sapa dengan sebutan Bapak atau Ibu. Karena saya hanya mendengar suara, tapi tidak bertatap muka secara langsung. Jadi tidak mengetahui kira-kira berapa usia orang yang bersangkutan,” kata gadis itu berusaha menjelaskan dengan runtut. “Tetapi begitu bertatap muka, saya biasanya menyesuaikan keadaan. Apabila klien itu usianya masih muda, seperti Anda misalnya, maka saya biasanya mengubah panggilan menjadi Mas atau Mbak. Tapi kalau saya masih dipanggil dengan sebutan Bu Miranda, maka saya berkesimpulan orang yang bersangkutan menghendaki perlakuan yang sama terhadap dirinya. Tadi Anda pamit pulang dan menyebut saya Bu Miranda. Karena itu saya menyimpulkan bahwa kemungkinan besar Anda merasa lebih nyaman dipanggil dengan sebutan Pak Carlos.”
Plok, plok, plok!
Tak disangka kliennya yang angkuh itu bertepuk tangan. Miranda merasa diejek. Ditatapnya tajam pemuda itu.
Jangan pikir kamu adalah customer, maka berhak bersikap seenaknya padaku! batin gadis itu geram. Aku bukan broker kemarin sore. Tidak berhasil closing transaksi denganmu pun aku takkan mati kelaparan!
“Argumentasi yang luar biasa sekali,” cetus pemuda itu sarkastis. Entah dia bermaksud memuji atau malah mengejek. “Mestinya Anda terjun ke dunia politik. Bukan bisnis properti.”
Dasar orang nggak waras! umpat Miranda dalam hati.
Seketika dirinya berbalik membelakangi kliennya tersebut. Ditutupnya pintu ruko rapat-rapat dan dikuncinya. Kemudian tanpa ba bi bu lagi ditinggalkannya Carlos sendirian.
Gadis itu melangkah cepat menuju mobilnya. Beberapa saat kemudian Xenia berwarna silver miliknya meluncur meninggalkan komplek ruko CBD tersebut. Miranda tak peduli lagi pada kliennya. Selama enam tahun berkecimpung di bisnis properti belum pernah sekalipun gadis itu merasa begitu direndahkan seperti ini.
“Dasar konglomerat antik!” umpatnya keras-keras di dalam mobil. “Amit-amit ketemu dia lagi. Lebih baik kublokir saja nomor HP-nya supaya dia nggak bisa menghubungiku lagi.”
Dan gadis itu benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Begitu mobilnya sampai di depan penitipan anak tempat Joy, keponakannya, bersekolah dan menghabiskan waktu sampai sore hari, diraihnya ponselnya untuk memblokir nomor ponsel Carlos Martin.
“Done!” cetus Miranda begitu selesai melakukannya.
Hatinya terasa agak tenang sekarang. Sambil tersenyum riang, gadis itu mematikan mesin mobil. Dia lalu turun untuk menjemput keponakan tercinta.
***
“Kenapa Tante terlambat menjemput Joy?” tanya bocah lucu berumur lima tahun itu ketika sudah berada di dalam mobil. Siswa kelas TK A itu menatap lugu tante yang duduk mengemudi di sebelahnya.
“Maafkan Tante Mira ya, Joy,” jawab Miranda sembari membelai sekilas rambut keponakan yang teramat disayanginya itu. “Tadi tiba-tiba ada orang mau melihat ruko. Tante terpaksa menemani. Makanya sampai terlambat menjemput Joy.”
“Oh, begitu,” sahut anak laki-laki berambut cepak dan berpipi bulat itu mengerti. Lalu dilanjutkannya pertanyaannya, “Memangnya orang itu harus langsung ditemani ya, Tante? Nggak bisa nunggu besok?”
“Hmm…, kebetulan dia sudah berada di depan ruko waktu menelepon Tante. Kasihan kan, kalau dia harus menunggu sampai besok,” jawab si tante jujur. Pandangannya masih lurus ke depan, berkonsentrasi mengemudi.
“Berarti Tante lebih kasihan sama orang tak dikenal daripada Joy?” celetuk si bocah polos.
Miranda tertegun mendengarnya. Ya Tuhan, anak ini sudah besar, batinnya terharu. Logikanya sudah berkembang. Begitu cepatnya waktu berlalu. Tak terasa sudah lima tahun aku mengasuhnya!
Gadis itu berpikir sejenak. Ia harus memberikan jawaban yang memuaskan hati keponakannya. Tak lama kemudian dia berkata lembut, “Tante bukan lebih kasihan pada orang tak dikenal, Joy. Cuma dia kan sendirian menunggu di depan ruko. Sedangkan Joy di daycare ditemani banyak orang. Ada Miss-Miss, teman-teman…. Iya, kan?”
Si keponakan mengangguk dengan semangat. Apa yang dikatakan tantenya benar. Di tempat penitipan anak banyak sekali orang. Pun kegiatannya padat dan menyenangkan. Bersekolah di pagi hari, makan siang, tidur, main, mandi sore, lalu disusul kegiatan-kegiatan lain seperti membuat aneka pekerjaan tangan, mendengarkan dongeng yang diceritakan guru, ataupun sekadar menonton TV.
Biasanya anak-anak dijemput pukul lima sore. Itulah jam pulang standar tempat penitipan anak tersebut. Kalau diatas jam itu baru dijemput, maka akan dikenakan biaya tambahan. Miranda jarang sekali terlambat menjemput Joy. Biasanya malah sebelum pukul lima sore tantenya itu sudah tiba di daycare.
“Joy masih belum bosan kan, tinggal di daycare?” tanya Miranda sambil membelai rambut keponakannya lagi. Dirinya merasa agak bersalah juga karena telah menitipkan keponakannya itu semenjak masih bayi.
Karena aku harus bekerja mencari nafkah, batin gadis itu membela diri. Kalau tidak, siapa yang membiayai susu, vaksin, dan kebutuhan sehari-hari anak ini? Ibunya sudah meninggal dunia , sedangkan ayah kandungnya menghilang entah kemana!
“Joy suka tinggal di daycare,” sahut bocah cerdas itu. “Tapi Joy lebih suka sering bersama Tante Mira.”
Gadis itu merasa terharu. Dia lalu mengambil keputusan untuk mengambil cuti besok. “Joy besok pagi Tante antar sekolah aja di daycare, ya,” kata gadis itu sambil tersenyum. “Sehabis sekolah langsung minta ganti baju di daycare karena akan Tante jemput. Kita berdua pergi main ke mal. Mau?”
“Horeee!” seru Joy kegirangan. Dipeluknya Miranda dari samping. “Thank you, Tante Mira. I love you.”
“I love you too, Joy,” jawab si tante penuh sukacita. Terima kasih Tuhan, doanya dalam hati penuh rasa syukur. Kau berkati aku hingga berhasil membina Joy menjadi anak yang baik dan pengertian. Semoga Astrid di surga dapat menyaksikannya. Amin.
***
Malam itu seperti biasa Miranda membacakan dongeng untuk keponakannya sebelum tidur. Kemudian dipeluknya bocah itu dari belakang hingga tertidur pulas.
Ingatan Miranda tiba-tiba terpaut pada sosok Astrid, mendiang adiknya yang merupakan ibu kandung Joy. Gadis itu melahirkan Joy di usianya yang masih sangat muda, yakni dua puluh tahun. Waktu itu Miranda berusia dua puluh satu tahun dan baru merintis karir sebagai broker properti.
Kebahagiaan kakak-beradik itu terusik tatkala Astrid didiagnosa menderita penyakit kanker darah alias leukimia.
Miranda merasa hidupnya bagaikan mimpi. Semuanya berjalan begitu cepat. Perkawinannya dengan Carlos, KDRT yang dialaminya, musibah keguguran yang menimpanya, tuntutannya terhadap sang suami atas tindak pidana kekerasan, dan yang terakhir adalah perceraiannya dengan konglomerat muda tersebut.Wanita itu menghela napas panjang. Dia sudah hidup berdua lagi dengan Joy di rumah lamanya. Kembali menjalani kehidupan mereka sebelum dirinya menikah dengan Carlos. Setiap pagi mengantarkan keponakannya itu ke sekolah sekaligus tempat penitipan anak. Lalu dia melanjutkan hari dengan bergelut dalam kesibukan sebagai broker properti.Rosita, pemilik kantor pemasaran properti tempatnya bekerja, tidak banyak bertanya tentang perceraiannya. Demikian pula dengan rekan-rekannya sesama broker properti. Mereka memahami bahwa pasti ada alasan serius yang membuat Miranda melepaskan diri dari keluarga Martin. Tak mudah mendapatkan hati seorang konglomerat muda seperti Carlos Martin. Kalau sampai Miranda tak
Keinginan Miranda dipenuhi oleh Victoria. Putranya itu diperiksa kondisi kejiwaannya oleh Dokter Asih. Hasilnya ternyata Carlos mengalami gangguan jiwa berat. Kombinasi antara depresi dan bipolar. Oleh karena itulah sikap pria itu tidak konsisten, terutama terhadap istrinya sendiri. Terkadang dai dapat bersikap sayang sekali, tapi tak jarang berubah menjadi acuh tak acuh. Demikian pula dia dulu tak segan-segan melakukan kekerasan fisik dan mental terhadap Miranda ketika naik darah waktu mengetahui Lukas berenang di kolam renang rumah mereka.Tuntutan kasus KDRT terhadap Carlos dicabut oleh Miranda. Wanita itu benar-benar menepati janjinya untuk tak menggugat harta gono-gini dalam gugatan cerainya. Victoria menghargai tindakan menantunya tersebut. Diam-diam dia meminta pengacaranya untuk menggunakan segala cara demi mempercepat persidangan hingga Miranda segera putus hubungan dengan keluarga Martin.Winda, kuasa hukum Miranda yang mencurigai hal itu kemudian memberitahu kliennya. Miran
Kata-kata kuasa hukumnya itu membuat harga diri Victoria tersentuh. Itulah sebabnya wanita itu mengikis egonya hingga bahkan merendahkan dirinya dengan menemui sang menantu di tempat tinggalnya.Victoria datang berdua dengan Ridwan. Miranda sendiri telah siap menghadapi kedua tamu spesialnya itu dengan didampingi oleh Dokter Asih dan seorang wanita paruh baya yang merupakan kuasa hukumnya. Nama pengacara itu adalah Winda, rekanan Dokter Asih yang berpengalaman menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.Kedua belah pihak saling bersalaman ketika bertemu. Hanya Victoria dan Miranda yang tidak. Wajah kedua wanita itu terlihat kaku sekali saat berhadapan. Bahkan Victoria sengaja tak memandang ke arah menantunya itu. Saking dia membutuhkan kerja sama Miranda demi kebebasan Carlos. Jika tidak, najis sekali baginya menginjakkan kaki di rumah ini!Miranda sendiri dengan gagah menengadahkan wajahnya dan menatap sang ibu mertua. Bagaimanapun dia adalah tuan rumah ini, wajib memperlak
Miranda dimintai keterangannya di kantor polisi, sedangkan Carlos yang menjadi tersangka pelaku kekerasan dijebloskan ke dalam sel tahanan. Laki-laki itu berteriak-teriak histeris bagaikan orang gila.“Lepaskan aku! Berani-beraninya kalian menangkapku. Kalian tidak tahu siapa aku? Aku ini Carlos Martin, pemilik Martin Bakery. Siapa pejabat di kota ini yang tidak kenal aku? Bahkan atasan kalian pun akan menghukum kalian semua jika tahu aku diperlakukan seperti ini!”Dokter Asih geleng-geleng kepala melihat kelakuan suami pasiennya itu. Orang kaya yang berakal sehat tidak akan membuka jati dirinya sefrontal itu di hadapan penegak hukum. Biasanya justru akan bersikap tenang dan bahkan tak mengeluarkan sepatah katapun sampai kuasa hukum datang mewakili dirinya.Perilaku Carlos yang emosional itu menunjukkan ketidakstabilan mentalnya. Oleh karenanya diperlukan observasi psikologis yang mendalam untuk mendukung pemeriksaan kepolisian lebih lanjut.Sementara itu Victoria sendiri dibawa ke
Tiba-tiba Victoria yang sejak tadi diam saja bangkit berdiri dan berteriak keras sekali, “Cukup, Miranda! Berani-beraninya kamu bersikap tidak sopan di depan suamimu sendiri. Kamu lupa siapa Carlos Martin? Dia ini adalah pewaris tunggal keluarga Martin yang terpandang. Siapa yang tidak kenal bisnis Martin Bakery yang sangat luas jaringannya? Dasar kamu ini kacang lupa kulitnya. Dengar ya, Miranda. Kamu ini bukan siapa-siapa kalau tidak menikah dengan putraku!”Sang menantu menyeringai sinis. Ditatapnya ibu mertuanya itu dengan berani. “Nyonya Victoria Martin, saya memang bukan berasal dari keluarga terpandang. Saya ini cuma seorang perempuan pekerja keras yang kebetulan dipertemukan dengan seorang pemuda kaya raya, yaitu putra Anda si Carlos Martin. Semula saya kira dia laki-laki yang baik, terhormat, dan mempunyai integritas. Sayang sekali dugaan saya salah besar. Seandainya orang-orang di luaran sana tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam perkawinan kami, mereka pasti mendukung penu
“Enak sekali ikan salmon panggang ini, Mir. Saos madu lemonnya meresap dengan sempurna. Membuat ikannya terasa moist, manis, dan segar. Hmm…, Mama bisa makan banyak, nih. Hehehe…,” puji Victoria saat makan siang bersama Miranda dan Carlos esok siangnya.Sang menantu tersenyum senang mendengar pujian ibu mertuanya tersebut. Tak sia-sia dia mencari ikan salmon dengan kualitas terbaik. Juga meminta koki rumahnya memasak ikan super mahal itu sesuai kegemaran Victoria. Si koki sampai membuat menu itu sebanyak dua kali untuk dicicipi rasanya oleh Miranda. Pada upaya yang terakhir sang nyonya rumah akhirnya merasa puas dan meminta agar menu tersebut dibuat agak banyak sebagai hidangan utama makan siang hari ini.“Ibu Victoria perfeksionis sekali orangnya. Apalagi ikan salmon adalah makanan favoritnya. Beliau sudah pernah menikmati kelezatan ikan itu dengan berbagai cara penyajian. Jadi saya harap menu kreasi Anda nanti tidak mengecewakan, bahkan kalau bisa justru membuat mama mertua saya it