Hentikan! Saka, cukup!" teriak aura yang tak bisa menghentikan mereka.
Hati saka benar-benar hancur. Ia tak menyangka jika dua orang yang ia sayangi tega mengkhianati dirinya.
"Bisa-bisanya kakak menikah dengan kekasihku sendiri!" ketus Saka yang terus menghajar Devian.
"Dokter stop!" ujar Arini menghentikan tangan Saka yang akan melayang ke arah wajah Devian.
Saka benar-benar tak terima dengan apa yang terjadi. Tatapannya terus menatap Aura yang begitu perhatian dengan kakaknya.
"Sayang, apa kamu baik-baik saja?" Perkataan Aura yang membuat hati Saka semakin teriris-iris. Wanita yang seharusnya memberi perhatian lebih kepadanya kini malah berpindah ke lain hati. Ke hati sang kakak.
"Aku tak apa!" jawab Devian mencoba untuk berdiri. Tatapannya memicing menatap Saka yang juga menatap dirinya dengan tajam.
"Kakak nggak menyangka, kamu melakukan hal yang memalukan seperti ini. Hanya demi wanita, kamu berani memukul kakakkmu seperti ini!" ujar Devian marah.
"Heh, sedikitpun kakak tak merasa bersalah padaku? Apa selama ini Saka ...," kata Saka terhenti saat Devian mengacuhkan dirinya.
"Sayang, kita masuk!" ajak Devian pergi seraya merangkul tubuh istrinya.
Arini menegak salivanya dengan paksa. Kedua matanya tak berhenti menatap saka yang berdiri di sampingnya. Dokter yang biasanya selalu tenang tanpa ada masalah dalam hidupnya, kini terlihat seperti orang yang kehilangan arah.
"Ya Tuhan, kenapa ini terjadi padaku?" gumam batin Saka rapuh. Sesaat, ia melirik ke arah tangan Arini yang memegang bahu kirinya.
"Dok, ini sudah takdir! Ikhlaskan semuanya. Aku tau, ini sangat berat buat dokter tapi ...," kata Arini terkejut saat Saka pergi begitu saja meninggalkan dirinya.
"Dok, mau ke mana?" teriak Arini berlari mengejar Saka yang masih dalam keadaan kalut.
Terlambat
Arini tak bisa menghentikan laju mobil yang di kendarai Saka.
"Ya Tuhan, mau ke mana dia? Apa dia mau bunuh diri?" Pikiran negatif mulai menghampiri Arini. "Tidak, aku tidak bisa diam seperti ini. Aku harus menghentikannya!" gegas Arini menyetop taksi dan mengikuti Saka.
****
Dengan lembut, Aura mengobati luka lebam yang ada di wajah suaminya. Sesaat, ketakutan mulai menghampiri dirinya. Ia sangat takut jika suaminya akan mencecarnya memgenai hubungannya dengan Saka. Ia melirik ke arah Devian yang hanya terdiam dan sibuk dengan ponsel yang ada di tangannya.
"Sayang, aku mau bicara tentang Saka," kata Aura yang mencoba memberi penjelasan tentang hubungannya dengan Saka.
"Lupakanlah! Ini sudah malam. Kita tidur saja!" ajak Devian tersenyum tipis merebahkan tubuhnya begitu saja.
Aura terdiam. Ia tak menyangka jika Devian tak mempermasalahkan hubungannya dengan Saka.
Di jalan, Arini begitu khawatir. Ia selalu menatap mobil Saka yang agak jauh darinya melaju dengan cepat.
"Ya Tuhan, aku mohon lindungilah dokter Saka. Aku tak mau dia mati konyol!" kata arini berdoa.
"Maaf, Mbak. Mobil itu terlalu cepat, taksi saya tidak bisa mengejarnya!" kata sopir itu mengejutkan Arini.
Arini mendesah dan menghela nafas panjang. "Ke mana dia pergi?" tanya Arini kehilangan jejak. Ia mulai mengingat kata-kata Saka yang pernah bercerita kepada dirinya.
"Kalo aku lagi sedih, aku pasti berlari pada minuman itu!" Kata-kata Saka yang mulai melintas di benaknya.
Drt ... Drt ...
Ayah memanggil ...
"Iya, Bu? Iya, Arini akan segera ke sana! Iya," kata Arini menutup teleponnya." Pak, kita ke rumah sakit ya," tutur Arini pada sopir taksi.
"Baik, Mbak!" gegas sang sopir melajukan kendaraannya.
"Semoga dia bisa berpikir dengan jernih!" kata batin Arini mengirim pesan untuk Saka.
Di rumah sakit
Arini menghampiri ayahnya yang terbaring lemas di ruang rawat. Ia tersenyum senang melihat sang ayah sudah sadar dari pingsannnya.
"Arini, kamu sudah pulang?" tanya Ayah kaget akan kedatangan putrinya.
"Iya, Ayah!" kata Arini mencium punggung tangan Ayahnya dengan lembut.
"Kapan kamu pulang? Apa kamu pulang karena ayah mengalami kecelakaan ini?" tanya Ayah yang begitu merindukan sang putri tercinta.
"Ayah, kebetulan arini dan dokter Saka mendapatkan cuti untuk pulang ke Jakarta. Sebenarnya, Arini ingin memberi kejutan pada ayah dan ibu. Eh, sampai di rumah arini malah dapat kabar kalo ayah masuk rumah sakit. Bagaimana keadaan Ayah? Apa ada yang sakit?" tanya Arini terdiam saat Ayahnya menatap ke arah jari manis tangannya.
Sudut mata Ayah mengerut, tatapannya hanya tertuju pada cincin yang melingkar di jari manis tangan putrinya itu.
"Kenapa Ayah?" gumam batin Arini yang lupa akan cincin yang ia kenakan.
"Sayang, kamu pakai cincin? Dari siapa? Apa ada yang melamar kamu?" Pertanyaan ayah yang membuat Arini terkejut setengah mati. Spontan, Arini menarik tangannya dan menyembunyikannya.
"Cincin? Cincin apa, Yah?" tanya Ibu yang baru keluar dari toilet.
"Aduh, bagaimana ini?' kata batin Arini bingung. Dalam hatinya ia selalu berdoa agar kedua orangtuanya tak bertanya-tanya tentang cincin itu terlalu detail.
"Ada cincin cantik di jari manis Arini, Bu."
Arini mengulum bibirnya yang merah tanpa lipstik. Sudut matanya mengerut menatap sang ayah yang masih saja melirik ke arah tangannya yang tersembunyi.
"Aaaa ...." ujar ayah memegang kakinya yang sakit.
"Ayah, ayah kenapa? Mana yang sakit?" tanya Arini yang spontan berdiri dan memastikan kondisi Ayahnya baik-baik saja.
Ibu mengerling melihat jari manis putrinya benar-benar ada cincin yang terbilang sangat cantik dan mahal.
"Arini, kamu dapat darimana cincin sebagus ini?" tanya ibu menarik tangan putrinya itu.
Arini terdiam. Ia tak berani menjawab pertanyaan dari ibunya. Ia tak mau gara-gara cincin ini, kedua orang tuanya mendesak dirinya untuk segera menikah.
"Arini, apa kamu sudah mempunyai pacar? Dan dia mau menikahi kamu?" tanya sang Ayah yang membuatnya menghela nafas panjang.
Kedua mata Arini berputar memandang raut wajah mereka yang sangat mendambakan seorang menantu dari dirinya.
"Ayah, Ibu, jangan salah paham dulu, ya? Cincin ini, tak sengaja menyangkut di jari manis tangan Arini dan tak bisa di lepas lagi," tutur Arini menjelaskan.
Arini mengernyit. Kedua matanya tak berhenti mengerjap saat ibunya mengamati cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Trus, siapa yang membelikannya? Tak mungkin kamu, kan?" tanya Ibu membuat Arini menegak salivanya dengan paksa.
"Iya, Arini. Tak mungkin kalo kamu membeli cincin berlian itu. Apalagi, setengah gaji kamu, kamu selalu mengirimnya untuk kami. Jangan-jangan benar dugaan Ayah. Sekarang, kamu mempunyai kekasih, ya?" tebak Ayah dengan senyum simpulnya.
"Ayah, tidak seperti itu ceritanya!" tutur Arini mengelak.
"Trus, bagaimana ceritanya?" desak Ayah yang begitu penasaran. Tatapan ayah dan ibu membuat Arini tak bisa lagi menyembunyikan cerita tentang cincin tersebut. Perlahan, ia menarik nafas dan membuangnya secara perlahan.
"Begini ayah, ibu. Di Papua, Arini mengantar teman trus teman Arini menyuruh Arini untuk mencobanya. Dia mengira kalo jari manis Arini sama persis dengan jari kekasihnya. Tapi, di saat Arini mau melepaskannya, entah kenapa cincin ini tak mau lepas dari tangan Arini," tutur Arini meringis.
"Temen kamu cowok pa cewek?" tanya ibu penasaran.
"Siapa Arini? Temen kamu itu cewek pa cowok?" tanya ayah yang berharap yang memberikan cincin pada putrinya adalah seorang cowok."Temen Arini ...," kata Arini menatap ke arah ayah dan ibunya yang sangat penasaran akan jawaban darinya.Drt ... Drt ...Pandangan mata Arini beralih pada ponsel yang ada di genggaman tangannya. Kedua matanya mengerling melihat nama yang tertera di balik layar pipih tersebut."Dr. Saka?" tanya Arini mulai mengangkat telepon."Iya, Dok!" jawab Arini menjauh dari ayah dan ibunya.Ayah dan ibu saling menatap satu sama lain. Mereka sangat bingung melihat putrinya begitu panik saat mendapat telepon dari dokter Saka."Apa ibu sudah tau wajah dokter Saka seperti apa?" tanya Ayah berbisik seraya menatap putrinya begitu sibuk dengan ponselnya."Belum, Yah!" jawab ibu juga memicing melihat Arini yang berdiri di depan pintu."Ayah sangat penasaran. Seperti apa dokter itu, berani-bera
"Ayah saya juga sama seperti dokter. Cuma bedanya, ayah saya adalah korban tabrak lari sedangkan dokter malah korban menabrak dirinya sendiri," tutur Arini mencibir."Saya heran, kenapa dokter bisa menjadi orang bodoh seperti ini hanya karena wanita itu?"Pertanyaan Arini membuat Saka memicing menatapnya. Untuk pertama kalinya, Arini menyebutnya sebagai orang bodoh."Apa kamu bilang?" tanya Saka.Arini mengernyit, ia mengulum bibir mungilnya saat tersadar dengan apa yang ia katakan."Kata dokter Han, dokter nggak boleh banyak gerak. Dokter masih dalam masa pemulihan, nanti dokter tambah sakit lho! Mendingan saat ini, dokter istirahat, ya!" ucap Arini mengalihkan pembicaraan."Saya tau itu! Apa kamu lupa saya ini siapa?" tanya Saka yang membuat Arini terdiam."Pergilah! Saya ingin istirahat!" kata Saka memalingkan wajahnya dan mencoba memejamkan matanya.Arini mengernyit heran. Tak biasanya, Saka tak membahas apa yang membuat hatinya sakit hati
Putrinya kambuh? Apa maksud dokter adalah Alya?" tanya Saka penasaran."Iya, siapa lagi kalo bukan Alya. Bukankah putrinya hanya Alya?""Iya, benar. Tapi, kenapa dokter bilang kalo putrinya kambuh? Apa maksud dokter?" tanya dokter penasaran.CeklekSemua mata tertuju pada Sarah yang terlihat panik saat membuka pintu."Maaf, Dokter Han. Ada pasien yang membutuhkan dokter," ucap Sarah dengan nafas terengah-engah."Baik, saya akan segera ke sana!" ucap Dokter Han bersiap untuk berdiri."Dok ...," kata Saka terhenti."Saya tinggal dulu, ya! Pikirkan kesehatan kamu jangan memikirkan orang lain," kata dokter Han tersenyum dan pergi meninggalkan Saka."Permisi, Dok!" pamit Sarah pergi."Apa yang sebenarnya terjadi pada Alya? Apa dia punya penyakit yang serius?" tanya Saka bingung. Jari jemari tangannya dengan cepat mengambil ponsel dan berniat untuk menghubungi kakaknya. Namun, jari jemari tangannya terhenti
Sejenak, Arini terkejut saat amplop di tangannya melayang ke tangan orang lain."Tak seharusnya, kamu mendapatkan uang ini!" ketus Aura tiba-tiba.Arini mengerling, ia berdiri dan memicing menatap Aura yang berdiri di depannya."Apa maksud mbak Aura? Jelas-jelas itu uang saya. Tolong kembalikan!" kata Arini menengadah tangan kanannya."Heh, siapa kamu? Berani-beraninya kamu memerintah saya!" ucap Aura sombong.Arini menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir jika wanita yang selalu di banggakan oleh dokter Saka ternyata memiliki sifat yang begitu angkuh. Tak seperti wajahnya yang sangat cantik dan manis."Saya hanya orang biasa, Mbak. Nggak seperti mbak Aura yang kaya raya," ucap Arini sinis.Di dalam, Saka mengernyit saat mendengar suara yang mengganggu istirahatnya."Ada apa di luar?" tanya Saka menghela nafas dan mencoba untuk memejamkan matanya kembali. Tapi, kedua matanya terbuka kembali saat suara Au
Arini menghela nafas panjang. Ia tau kalo dokter saka tidak nafsu makan karena mengingat pertemuannya dengan Aura."Haruskah aku meninggalkannya di saat ia rapuh seperti ini?" gumam batin Arini seraya melipat bibir mungilnya.Dengan penuh perhatian, Arini menutupi tubuh Saka dengan selimut tebal yang tersedia di apartemen."Cepet sembuh, Dok! Aku nggak tega melihat dokter seperti ini," ucap Arini pergi meninggalkan Saka.Kedua mata Saka terbuka dan menegak salivanya sendiri dengan paksa. Ia mengernyit seraya melirik Arini yang masih sibuk di dapur miliknya."Apa aku terlalu menyedihkan? Sampai-sampai dia mengasihaniku seperti itu," kata Saka menghela nafas panjang dan mencoba untuk memejamkan matanya kembali.****Devian tertidur pulas di samping Alya. Wajahnya terlihat lelah menjaga putrinya semalaman."Pak Dev ... Pak ...," ujar Surti membangunkan majikannya itu."Surti," jawab Devian mulai terbangun dari tidurnya.
Saka menghela nafas panjang. Entah kenapa, ia tak bisa menolak perintah dari asistennya tersebut. Perlahan, ia mulai menempelkan kepalanya tepat di kepala Arini. Senyum manisnya pun mulai ia perlihatkan.Dari kejauhan, ada dua mata yang tertuju ke arah mereka. Hatinya terluka, sakit saat melihat kebersamaan mereka berdua. Hal yang seharusnya tak boleh ia rasakan."Seharusnya aku tidak buru-buru mengambil keputusan untuk meninggalkan dirinya. Aku merasa tak rela jika dia bersama wanita lain," kata Aura mengusap air matanya yang sempat terjatuh.Tit titBunyi klakson mengagetkannya. Dengan cepat, Aura melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas beralih menjadi warna hijau.Saka mengerling. Pandangannya mengarah pada mobil kakaknya yang melaju di tepat depannya."Aura," kata batin Saka terus menatap mobil itu sampai tak terlihat lagi."Ini yang tidak pedas, Neng!" ucap penjual tersebut."Makasih, ya, Pak!" uc
Arini terdiam seraya berpikir sejenak. Ia melirik ke arah dokter saka yang seakan tak memperbolehkan dirinya untuk menerima tawaran dari Devian."Kenapa dokter saka menatap seperti itu? Dia terlihat sangat marah," gumam batin Arini bingung, apa dia terima ajakan Devian atau tidak?"Sebenarnya aku mau aja pulang sama kak Devian. Tak perlu keluarin uang dan tak susah-susah mencari taksi. Tapi, aku juga tak enak dengan dokter saka. Kalo aku pulang dengan kakaknya pasti dia mengira aku berpihak pada kakaknya itu.Huh ...," kata batin Arini seraya menghela nafas panjang."Kalian tidak searah!" Ucapan Saka yang membuat Devian terkejut."Ya nggak papa. Aku akan mengantarnya sampai rumah," jawab Devian.Arini terdiam. Kedua matanya mengerling menatap mereka yang selalu beda pendapat."Aku sudah memesan taksi online buat dia. Jadi, kamu nggak perlu repot-repot untuk mengantarnya!" tukas Saka tegas.Dugaan Arini benar. Dalam hatinya,
Saka mulai mengingat apa yang terjadi dengannya semalam."Dokter dengar 'kan apa yang saya bica ...," ucapan Arini yang seketika mengingatkan Saka pada kejadian itu.Ciuman yang seharusnya tak ia lakukan pada Arini."Apa itu kenyataan?" tanya Saka menegak salivanya dengan paksa. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah bibir mungil Arini yang terkatup dengan manisnya."Mana mungkin itu terjadi! Jika itu terjadi, bisa-bisa dia akan menghabisiku!" tutur Saka menghela nafas panjang.******Ibu dan ayah Arini tak berhenti bersyukur. Raut wajah mereka terlihat sangat bahagia saat tiba di depan rumah yang sangat mereka rindukan. Meskipun terbilang kecil tapi bagi mereka, rumah itu adalah harga satu-satunya."Akhirnya, ayah bisa pulang!" ucap ayah senang."Iya, Yah. Alhamdulillah!" jawab Ibu memegang tangan suaminya."Hari ini, Arini memberi kejutan apa, ya, buat kita?" tanya ayah menoleh ke arah istrinya.Ibu dara menoleh