Share

Dokter Saka kecelakaan

"Siapa Arini? Temen kamu itu cewek pa cowok?" tanya ayah yang berharap yang memberikan cincin pada putrinya adalah seorang cowok.

"Temen Arini ...," kata Arini menatap ke arah ayah dan ibunya yang sangat penasaran akan jawaban darinya.

Drt ... Drt ...

Pandangan mata Arini beralih pada ponsel yang ada di genggaman tangannya. Kedua matanya mengerling  melihat nama yang tertera di balik layar pipih tersebut.

"Dr. Saka?" tanya Arini mulai mengangkat telepon.

"Iya, Dok!" jawab Arini menjauh dari ayah dan ibunya.

Ayah dan ibu saling menatap satu sama lain. Mereka sangat bingung melihat putrinya begitu panik saat mendapat telepon dari dokter Saka.

"Apa ibu sudah tau wajah dokter Saka seperti apa?" tanya Ayah berbisik seraya menatap putrinya begitu sibuk dengan ponselnya.

"Belum, Yah!" jawab ibu juga memicing melihat Arini yang berdiri di depan pintu.

"Ayah sangat penasaran. Seperti apa dokter itu, berani-beraninya dia menelpon Arini di tengah malam seperti ini. Ayah yakin, dokter itu pasti memberi Arini pekerjaan lagi," tutur ayah menggerutu.

Dengan buru-buru, Arini menghampiri kedua orangtuanya untuk berpamitan.

"Ayah, ibu, Arini ...," kata Arini terhenti saat ayahnya mengkodenya untuk diam.

"Arini, bukankah kamu bilang sama ayah, kalo kamu sekarang lagi cuti?" tanya ayah mengingatkan Arini.

"Iya."

 "Dan tak seharusnya, dokter Saka seenaknya memerintahkan kamu seperti ini, Nak. Ini sudah malam, apa tak bisa pekerjaannya di selesaikan besok saja!" pinta ayah memegang tangan mulus putrinya.

"Benar, Nak. Alangkah baiknya jika hari ini kamu tidak melaksanakan tugas darinya," sahut ibu membelai rambut indah Arini.

Arini menghela nafas panjang. Perlahan, ia mulai menceritakan kejadian  yang sesungguhnya pada kedua orangtuanya.

"Ayah, Ibu, sebagai seorang perawat maupun dokter. Kami tak bisa membiarkan orang lain kenapa-kenapa karena kami yang lalai. Apa ayah dan ibu mau, jika putri kalian seperti itu?" tanya Arini yang melihat mereka menggelengkan kepala.

Ceklek

Sarah membuka pintu ruang rawat dan mengejutkan Arini dan keluarganya.

"Arini, Dokter Han memanggilmu!" ujar Sarah.

"Tapi, Sarah. Bagaimana dengan dokter Saka?" tanya Arini yang begitu mengkhawatirkan keadaan sang dokter.

"Maka dari itu, dokter Han butuh bantuan kamu. Luka dokter Saka cukup parah," kata Sarah mencengangkan orang di sekitarnya.

Tanpa banyak buang waktu, Arini berlari menuju ke ruang operasi. "Dokter Saka, kenapa kamu bisa menjadi orang yang bodoh karena wanita itu!" gumam batin Arini berlari seraya mengusap air matanya yang terjatuh.

Sejenak, Arini terhenti saat dokter Han keluar dari ruang operasi.

"Dokter, bagaimana keadaan dokter Saka? Apa dia baik-baik saja?" tanya Arini panik.

"Arini, Saka banyak kehilangan darah. Stok darah rumah sakit masih kurang. Coba kamu hubungi keluarganya untuk bisa transfusi darah secepatnya. Dan kamu hubungi juga pihak rumah sakit lainnya, siapa tau stok darah mereka masih ada," pinta dokter Han yang kembali ke dalam ruang operasi.

"Ya Tuhan, keluarganya? Apa mungkin, kak Devian mau ke sini setelah kejadian tadi?" Arini bingung."Tapi, tak ada salahnya jika aku mencobanya. Mereka adalah saudara, tak mungkin juga mereka ngambek-ngambekan seperti anak kecil," gegas Arini mencoba menghubungi keluarga Saka berkali-kali.

"Aduh, kenapa tak bisa?  jarak rumah sakit dengan rumah sakit yang lain juga sangat jauh. Apa mungkin dokter Saka bisa  menunggu?" gumam Arini berpikir. 

Sejenak, Arini menepuk jidatnya sendiri."Bukankah golongan darahku dan dokter Saka itu sama," gegas Arini masuk ke ruang operasi.

Semua mata tertuju pada Arini yang terdiam menatap tubuh Saka yang berlumuran darah.

"Dokter saka, bertahanlah! Aku yakin, dokter adalah orang  yang kuat," gumam batin Arini menitikkan air matanya.

"Arini, apa mereka sudah datang?" tanya dokter Han membuyarkan lamunannya.

"Saya yang akan mendonorkan darah untuk dokter Saka, Dok!" kata Arini mengejutkan mereka semua.

***

Keesokan harinya

Devian dan Aura terkejut saat Arini datang ke rumahnya.

"Kamu?" tunjuk Devian mengingat kembali wajah Arini.

"Iya, Kak. Saya Arini, teman kerja dokter Saka," ucap Arini memperkenalkan diri kembali.

"Oh, wanita yang tadi malam, ya?" tanya Devian memicing menatap Aura yang menganggukkan kepala.

"Tapi, maaf. Mulai hari ini dan seterusnya dia tidak akan kembali di rumah ini!" ketus Devian yang terlihat marah.

"Tapi, Kak. Saya hanya ingin menyampaikan kalo dokter Saka ...," kata Arini terhenti.

"Saya tidak ada waktu untuk membicarakan hal yang menurut saya tak penting. Sayang, kita masuk!" ajak Devian merangkul istrinya tanpa mendengarkan penjelasan dari  Arini.

"Ya Tuhan, sebenci itukah dia sama adik kandungnya sendiri?" tanya Arini memicing menatap ke arah pintu yang sudah terkunci rapat untuknya.

"Seharusnya, dokter saka yang marah bukannya dia!" gumam Arini menggerutu.

Di rumah sakit

Saka mulai membuka kedua matanya secara perlahan. Pandangannya buram dan mulai terlihat jelas  dinding-dinding putih yang berada di rumah sakit.

Sssttttttt Brak 

Suara tabrakan itu terdengar kembali di telinganya. Ia tak habis pikir jika ia akan selamat dari kecelakaan maut itu. Sebuah pengkhianatan yang di lakukan oleh orang-orang yang ia sayang, membuat hati kecilnya seakan hancur berkeping-keping.

Ceklek

Kedua mata Saka beralih memandang sosok wanita yang berjalan menghampirinya.

"Dokter, dokter sudah sadar?" tanya Arini sumringah dan spontan memeluk tubuh Saka yang terbaring lemas. 

Saka mengerling melihat Arini yang selalu ada untuknya.

"Syukurlah! Dokter baik-baik saja," kata Arini tersenyum senang.

"Arini, jika kamu memeluk tubuhku seperti ini, yang ada saya akan pingsan lagi," tutur Saka memudarkan senyum Arini.

"Maaf-maaf, saya tak sengaja, Dok. Saya sangat senang melihat dokter sudah sadar!" kata Arini menyunggingkan senyumnya kembali.

"Benarkah kamu senang kalo aku sadar?" tanya Saka menatap wajah polos Arini.

"Iya, dong! Saya kan orang yang baik hati, jadi saya masih mempunyai simpati. Nggak kayak ...," kata Arini menghentikan kata-katanya. 

"Kayak saya maksud kamu?" tanya Saka mengernyit.

"Tidak!" jawab Arini mengelak."Oiya, Dok. Nih, saya bawakan makanan kesukaan dokter. Saya suapin, ya?" pinta Arini membuka kotak makanan tersebut.

Saka menyeringai. Ia tak habis pikir, jika orang yang selalu ia jaili kini menjadi orang yang pertama menjenguknya di rumah sakit.

"Ini untuk mempercepat kesembuhan tangan dokter," kata Arini menyuapi Saka dengan tlaten.

"Arini ...."

"Makan dulu! Selesai makan, dokter bisa berbicara dengan saya," tutur Arini tersenyum seraya menyuapi saka kembali.

"Sejak kapan ia berani membuat peraturan seperti itu?" tanya batin Saka memicing menatap Arini.

Dari luar, sudut mata ibu Arini mengerut melihat mereka dari balik pintu.

"Jadi itu  yang namanya dokter saka?" tanya ibu Arini terkejut saat Sarah memanggil.

"Ibu? Ibu kenapa di sini?" tanya Sarah menoleh ke arah Arini yang masih menyuapi dokter saka.

"Tidak, ibu hanya ingin melihat kondisi dokter saka," jawab Ibu tersenyum.

"Kenapa ibu tak masuk saja? Daripada ibu di luar seperti ini," ujar Sarah yang begitu santun.

"Kebetulan, ayah arini menunggu ibu. Jadi, ibu permisi dulu, ya!" gegas ibu pergi begitu saja.

****

"Sekarang, dokter istirahat, ya! Saya ke ruang ayah saya dulu!" kata Arini mengejutkan saka.

"Ayah kamu di rawat di sini? Sakit apa?" tanya Saka penasaran.

"Ayah saya juga sama seperti dokter. Cuma bedanya, ayah saya adalah korban tabrak lari sedangkan dokter malah korban menabrak dirinya sendiri," tutur Arini mencibir."Saya heran, kenapa dokter bisa menjadi orang bodoh seperti ini hanya karena wanita itu?"

Pertanyaan Arini membuat Saka memicing menatapnya.

enatapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status