"Ayah saya juga sama seperti dokter. Cuma bedanya, ayah saya adalah korban tabrak lari sedangkan dokter malah korban menabrak dirinya sendiri," tutur Arini mencibir."Saya heran, kenapa dokter bisa menjadi orang bodoh seperti ini hanya karena wanita itu?"
Pertanyaan Arini membuat Saka memicing menatapnya. Untuk pertama kalinya, Arini menyebutnya sebagai orang bodoh.
"Apa kamu bilang?" tanya Saka.
Arini mengernyit, ia mengulum bibir mungilnya saat tersadar dengan apa yang ia katakan.
"Kata dokter Han, dokter nggak boleh banyak gerak. Dokter masih dalam masa pemulihan, nanti dokter tambah sakit lho! Mendingan saat ini, dokter istirahat, ya!" ucap Arini mengalihkan pembicaraan.
"Saya tau itu! Apa kamu lupa saya ini siapa?" tanya Saka yang membuat Arini terdiam."Pergilah! Saya ingin istirahat!" kata Saka memalingkan wajahnya dan mencoba memejamkan matanya.
Arini mengernyit heran. Tak biasanya, Saka tak membahas apa yang membuat hatinya sakit hati.
"Tumben, tidak mengomeliku?" tanya Arini dalam hati. Ia mendongak melihat Saka yang membelakangi dirinya.
"Saya keluar, ya, Dok! Kalo dokter butuh sesuatu, dokter hubungi saya saja!" ujar Arini mulai pergi meninggalkan Saka seorang diri.
Saka membuka matanya kembali. Ia mendesah dan masih saja tak percaya dengan apa yang terjadi semalam. Hatinya sakit, dadanya juga terasa sangat sesak mengingat pengkhianatan dari sang kekasih tercinta.
"Aura, kenapa kamu tega melakukan ini? Apa kurangnya diriku sampai kamu memilih kakakku," kata Saka mengambil ponselnya.
*****
"Sayang, aku boleh minta uang? Aku ingin ke rumah ibu," kata Aura seraya menyiapkan makanan untuk Devian.
"Apa uang bulanan kamu sudah habis?" tanya Devian yang membuat Aura bingung untuk menjawabnya.
"Ma-sih, uang bulanan aku masih ada. Cuman, uangnya masih kurang untuk membelikan sesuatu pada mereka," jawab Aura tersenyum tipis.
Devian mengernyit. Ia sangat penasaran dengan apa yang akan di beli oleh istrinya. Bagaimana bisa uang yang ia berikan selama satu bulan masih kurang.
"Emangnya kamu mau membelikan apa untuk kedua orang tua kamu?" tanya Devian menatap Aura yang mulai mendekat ke arahnya.
"Sayang, dulu kamu 'kan pernah bilang mau memenuhi semua keinginanku dan keinginan orangtuaku. Dan sekarang, aku ingin membelikan ayah sebuah mobil. Apa kamu mau membantuku?" tanya Aura menggenggam erat tangan suaminya.
Devian mendesah. Lagi dan lagi ia harus memenuhi keinginan orang yang sudah membuat dirinya di atas jauh dari adiknya.
"Ok! Aku akan mentransfernya," jawab Devian membalas senyum manis istrinya.
"Makasih, Sayang! Aku sangat beruntung mempunyai suami seperti kamu," kata Aura memeluk suaminya dengan erat."Kalo begitu, aku siap-siap dulu, ya!" gegas Aura pergi meninggalkan Devian.
"Apa yang kamu banggakan padanya, Arsaka? Bisa-bisanya kamu cinta buta sama wanita matre seperti dia," gumam Devian mulai menyeruput kopi yang tersaji di depannya.
"Pak Dev ...," teriak Inem sang asisten rumah tangga. Suara inem yang cempreng membuat Devian terkejut mendengarnya. Suaranya terdengar jelas dari balik kamar putrinya.
"Pak Dev, non Alya ...," teriak Inem membuat Devian bergegas berlari menghampirinya.
Langkah Aura terhenti. Kedua matanya tak berhenti mengerjap saat Devian berlari melintasinya tanpa menghiraukan dirinya.
"Sayang, ada apa?" tanya Aura mengikuti langkah Devian.
Sesampai di kamar, Devian menghampiri Alya yang mengigau tiada henti memanggil nama Saka.
"Om saka ... Om ...," lirih Alya seraya memejamkan mata.
"Pak Dev, badan non Alya panas banget," ucap Inem panik.
Devian menempelkan punggung tangannya tepat ke kening Alya. Ia terbelalak kaget saat suhu tubuh putrinya benar-benar tinggi.
Aura menghela nafas panjang. Baru genap satu hari ia menikah, ia harus melihat anak tirinya sakit-sakitan.
"Haruskah aku membatalkan keinginan ayah untuk membeli mobil?" tanya batin Aura seraya menopangkan kedua tangan tepat di dada.
Devian tak berhenti menghubungi Dokter Han, dokter yang selalu menangani Alya saat sakit.
"Pak, apa tidak sebaiknya kita bawa non Alya ke rumah sakit!" kata Inem memberi saran.
"Iya," jawab Devian memasukkan ponselnya dan menggendong tubuh kecil putrinya.
"Sayang, Alya kenapa?" tanya Aura tiba-tiba begitu perhatian.
"Kita bawa ke rumah sakit!" jawab Devian melangkah dengan cepat.
Sudut mata Inem mengerut. Ia merasa ada rasa ketidaktulusan di balik wajah cantik Aura sebagai mama sambung Alya.
"Semoga dugaanku salah," kata Inem membereskan kamar Alya.
****
Saka mencoba untuk terbangun dari tidurnya. Ia merasa jenuh dan bosan terbaring di ruang rawat yang tak pernah ia rasakan.
Ceklek
Saka terkejut saat ada orang yang akan memasuki ruangannya.
Senyum manisnya tertoreh saat melihat dokter Han berjalan menghampirinya.
"Selamat pagi, dokter Saka!" sapa dokter Han seraya membenarkan kacamatanya.
"Pagi, Dok!" jawab Saka tersenyum tipis dan menahan rasa sakit yang ada di tangannya.
"Bagaimana keadaan kamu? Apa sudah baikan?"
"Ya. Mungkin, nanti sore saya bisa keluar dari kamar ini!" jawab Saka.
"Syukurlah!" kata dokter Han duduk di samping saka.
"Saya tak menyangka jika saya akan selamat," ucap Saka yang seakan menyesal jika ia masih hidup di dunia ini.
"Kamu memang benar-benar kuat, saya juga tak menyangka jika kamu bisa lolos dari kecelakaan maut itu. Andai saja Arini tidak mendonorkan darahnya mungkin saya akan merasa bersalah karena tidak bisa menyelamatkanmu," tutur dokter Han yang mengejutkan Saka.
"Arini?" tanya Saka memastikan.
"Iya. Saat itu kamu banyak kehilangan darah. Dan saya juga sudah menghubungi kakak kamu, Arini juga saya suruh untuk menghubunginya tapi tetap saja tak bisa. Untung saja, golongan darah Arini sama dengan kamu," tutur dokter Han.
"Seharusnya dokter tak usah menghubungi mereka. Merekalah yang membuat diriku hancur seperti ini. Andai aku dapat memilih, Aku ingin mati saja dan tak merasakan rasa sakit hati seperti ini," kata batin saka menghela nafas panjang.
Tepat di depan administrasi, Arini mengerling melihat tagihan rumah sakit ayahnya yang sangat fantastis.
"Ya Tuhan, banyak banget biayanya?" tanya batin Arini berpikir.
"Suster ... Suster ...," teriak Devian mengejutkan Arini.
Arini membalikkan badannya dan terkejut saat melihat orang yang berteriak itu adalah Devian, kakak dokter Saka.
"Kak Devian?" tanya batin Arini melirik anak kecil yang berada di gendongan devian.
"Sayang, bertahanlah! Suster," kata Devian terhenti.
"Sebentar ya, Pak! Kami akan segera kembali," ucap salah satu suster yang membawa pasien ke ruang IGD.
"Sayang, apa tak sebaiknya kita bawa Alya ke klinik terdekat. Di sini sangat padat pasiennya," ucap Aura seraya memegang bahu suaminya.
"Tidak! Aku tak mau Alya mendapatkan perawatan yang asal-asalan. Itu sangat berbahaya untuk penyakit Alya," kata Devian terkejut saat Arini menawarkan diri untuk Alya.
"Biar saya yang membawanya ke ruang IGD!" kata Arini mengambil Alya dari tangan Devian.
"Kamu? Kenapa kamu ...?" tunjuk Aura mengernyitkan dahinya.
"Percaya sama saya!" gegas Arini berlari menuju ruang IGD dan diikuti Devian di belakangnya.
"Kenapa dia selalu muncul?" tanya Aura sinis.
Dokter Han terkejut saat melihat beberapa miscall yang tertera di handphonenya.
"Saka, apa kakak kamu menghubungi kamu?" tanya dokter Han tiba-tiba.
"Tidak," jawab Saka datar.
"Ya Tuhan, dia menghubungiku begitu banyak. Apa putrinya kambuh lagi?" Kata-kata dokter membuat Saka terkejut akan hal yang menyangkut keponakannya.
"Putrinya kambuh? Apa maksud dokter adalah Alya?" tanya Saka penasaran.
"Iya, siapa lagi kalo bukan Alya. Bukankah putrinya hanya Alya?"
"Iya, benar. Tapi, kenapa dokter bilang kalo putrinya kambuh? Apa maksud dokter?" tanya dokter saka penasaran.
Putrinya kambuh? Apa maksud dokter adalah Alya?" tanya Saka penasaran."Iya, siapa lagi kalo bukan Alya. Bukankah putrinya hanya Alya?""Iya, benar. Tapi, kenapa dokter bilang kalo putrinya kambuh? Apa maksud dokter?" tanya dokter penasaran.CeklekSemua mata tertuju pada Sarah yang terlihat panik saat membuka pintu."Maaf, Dokter Han. Ada pasien yang membutuhkan dokter," ucap Sarah dengan nafas terengah-engah."Baik, saya akan segera ke sana!" ucap Dokter Han bersiap untuk berdiri."Dok ...," kata Saka terhenti."Saya tinggal dulu, ya! Pikirkan kesehatan kamu jangan memikirkan orang lain," kata dokter Han tersenyum dan pergi meninggalkan Saka."Permisi, Dok!" pamit Sarah pergi."Apa yang sebenarnya terjadi pada Alya? Apa dia punya penyakit yang serius?" tanya Saka bingung. Jari jemari tangannya dengan cepat mengambil ponsel dan berniat untuk menghubungi kakaknya. Namun, jari jemari tangannya terhenti
Sejenak, Arini terkejut saat amplop di tangannya melayang ke tangan orang lain."Tak seharusnya, kamu mendapatkan uang ini!" ketus Aura tiba-tiba.Arini mengerling, ia berdiri dan memicing menatap Aura yang berdiri di depannya."Apa maksud mbak Aura? Jelas-jelas itu uang saya. Tolong kembalikan!" kata Arini menengadah tangan kanannya."Heh, siapa kamu? Berani-beraninya kamu memerintah saya!" ucap Aura sombong.Arini menghela nafas panjang. Ia tak habis pikir jika wanita yang selalu di banggakan oleh dokter Saka ternyata memiliki sifat yang begitu angkuh. Tak seperti wajahnya yang sangat cantik dan manis."Saya hanya orang biasa, Mbak. Nggak seperti mbak Aura yang kaya raya," ucap Arini sinis.Di dalam, Saka mengernyit saat mendengar suara yang mengganggu istirahatnya."Ada apa di luar?" tanya Saka menghela nafas dan mencoba untuk memejamkan matanya kembali. Tapi, kedua matanya terbuka kembali saat suara Au
Arini menghela nafas panjang. Ia tau kalo dokter saka tidak nafsu makan karena mengingat pertemuannya dengan Aura."Haruskah aku meninggalkannya di saat ia rapuh seperti ini?" gumam batin Arini seraya melipat bibir mungilnya.Dengan penuh perhatian, Arini menutupi tubuh Saka dengan selimut tebal yang tersedia di apartemen."Cepet sembuh, Dok! Aku nggak tega melihat dokter seperti ini," ucap Arini pergi meninggalkan Saka.Kedua mata Saka terbuka dan menegak salivanya sendiri dengan paksa. Ia mengernyit seraya melirik Arini yang masih sibuk di dapur miliknya."Apa aku terlalu menyedihkan? Sampai-sampai dia mengasihaniku seperti itu," kata Saka menghela nafas panjang dan mencoba untuk memejamkan matanya kembali.****Devian tertidur pulas di samping Alya. Wajahnya terlihat lelah menjaga putrinya semalaman."Pak Dev ... Pak ...," ujar Surti membangunkan majikannya itu."Surti," jawab Devian mulai terbangun dari tidurnya.
Saka menghela nafas panjang. Entah kenapa, ia tak bisa menolak perintah dari asistennya tersebut. Perlahan, ia mulai menempelkan kepalanya tepat di kepala Arini. Senyum manisnya pun mulai ia perlihatkan.Dari kejauhan, ada dua mata yang tertuju ke arah mereka. Hatinya terluka, sakit saat melihat kebersamaan mereka berdua. Hal yang seharusnya tak boleh ia rasakan."Seharusnya aku tidak buru-buru mengambil keputusan untuk meninggalkan dirinya. Aku merasa tak rela jika dia bersama wanita lain," kata Aura mengusap air matanya yang sempat terjatuh.Tit titBunyi klakson mengagetkannya. Dengan cepat, Aura melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas beralih menjadi warna hijau.Saka mengerling. Pandangannya mengarah pada mobil kakaknya yang melaju di tepat depannya."Aura," kata batin Saka terus menatap mobil itu sampai tak terlihat lagi."Ini yang tidak pedas, Neng!" ucap penjual tersebut."Makasih, ya, Pak!" uc
Arini terdiam seraya berpikir sejenak. Ia melirik ke arah dokter saka yang seakan tak memperbolehkan dirinya untuk menerima tawaran dari Devian."Kenapa dokter saka menatap seperti itu? Dia terlihat sangat marah," gumam batin Arini bingung, apa dia terima ajakan Devian atau tidak?"Sebenarnya aku mau aja pulang sama kak Devian. Tak perlu keluarin uang dan tak susah-susah mencari taksi. Tapi, aku juga tak enak dengan dokter saka. Kalo aku pulang dengan kakaknya pasti dia mengira aku berpihak pada kakaknya itu.Huh ...," kata batin Arini seraya menghela nafas panjang."Kalian tidak searah!" Ucapan Saka yang membuat Devian terkejut."Ya nggak papa. Aku akan mengantarnya sampai rumah," jawab Devian.Arini terdiam. Kedua matanya mengerling menatap mereka yang selalu beda pendapat."Aku sudah memesan taksi online buat dia. Jadi, kamu nggak perlu repot-repot untuk mengantarnya!" tukas Saka tegas.Dugaan Arini benar. Dalam hatinya,
Saka mulai mengingat apa yang terjadi dengannya semalam."Dokter dengar 'kan apa yang saya bica ...," ucapan Arini yang seketika mengingatkan Saka pada kejadian itu.Ciuman yang seharusnya tak ia lakukan pada Arini."Apa itu kenyataan?" tanya Saka menegak salivanya dengan paksa. Kedua matanya tak berhenti menatap ke arah bibir mungil Arini yang terkatup dengan manisnya."Mana mungkin itu terjadi! Jika itu terjadi, bisa-bisa dia akan menghabisiku!" tutur Saka menghela nafas panjang.******Ibu dan ayah Arini tak berhenti bersyukur. Raut wajah mereka terlihat sangat bahagia saat tiba di depan rumah yang sangat mereka rindukan. Meskipun terbilang kecil tapi bagi mereka, rumah itu adalah harga satu-satunya."Akhirnya, ayah bisa pulang!" ucap ayah senang."Iya, Yah. Alhamdulillah!" jawab Ibu memegang tangan suaminya."Hari ini, Arini memberi kejutan apa, ya, buat kita?" tanya ayah menoleh ke arah istrinya.Ibu dara menoleh
"Aduh, kenapa jantungku berdetak begitu kencang seperti ini?" ucap Arini tertunduk seraya memegang dadanya."Semoga saja ia tak mengingatnya.Ya Tuhan, Aku tak bisa bayangkan jika ia mengingatnya? Pasti dia akan memberiku pertanyaan yang akan menyudutkanku. Secara, dia 'kan sangat hobi menggodaku," gumam batin Arini mengatur nafasnya."Arini?" panggil Saka yang mengejutkan Arini."Ya." Arini mendongak. Kedua matanya tak berhenti mengerjap saat Saka mendekati dirinya. Tenggorokannya seakan kering tak mampu menegak salivanya sendiri."Dokter mau ngapain?" tanya Arini mengernyit seraya berjalan mundur mengimbangi langkah Saka.Saka menyeringai. Langkahnya terhenti saat Arini naik ke atas kursi."Jika dokter berani maju selangkah lagi, saya akan ...," ujar Arini terhenti saat saka mengkodenya untuk diam."Makasih, ya! Semalam kamu datang ke sini. Aku tak tau apa yang terjadi padaku kalo kamu tidak datang. Mungkin saat ini, aku sudah
"Hubunganmu dan dia! Heh, aku tak menyangka jika kamu bisa move on dariku secepat itu," tutur Aura memicing. Rasa cemburu dan tak rela mulai menghampiri dirinya."Apa mungkin dari dulu kamu sudah berkhianat padaku?"Pertanyaan Aura benar-benar membuat saka naik darah. Ia tak habis pikir akan tuduhan Aura kepadanya itu."Aku tak sepertimu yang tega mengkhianatiku hanya demi harta," ketus Saka memicing.Aura terperangah. Mulutnya seakan terkunci saat kata-kata itu terlontar dari mulut Saka. Perkataan, pertanyaan ataupun pernyataan dari Saka yang dulu memiliki kelembutan kini hilang begitu saja. Raut wajahnya yang selalu ramah mendadak hilang begitu saja."Pergilah! Jika kamu datang ke sini hanya untuk mengusikku!" ketus Saka yang memalingkan wajahnya.Aura menghela nafas panjang. Ia benar-benar tak tahan dengan ucapan ketus kepadanya. Tapi, sebuah hadiah menghentikan niatnya untuk pergi dari hadapan saka."Aku akan memberikan apapun keing