Share

6. Keras Kepala

Setelah mengantar Shena ke terminal, Arlan segera melajukan mobilnya kembali untuk pulang. Sesampainya di rumah, tentu Kinara tidak diam karena kedatangan anaknya yang terlalu cepat dari waktu yang seharusnya.

Mendapat tatapan tajam dari Kinara, Arlan hanya mengembuskan napas panjangnya. Dia berjalan menghampiri laptopnya kembali yang masih tergeletak di meja ruang tamu, lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertinggal.

“Kenapa kamu udah pulang? Kenapa cepet banget kembalinya? Kamu antar Shena, ‘kan? Kamu gak turunin Shena di tengah jalan, ‘kan?” tanya Kinara memberondong. Tidak ada jawaban dari Arlan. “Arlan, jawab mama!”

“Aku antar dia sampai di terminal,” jawab Arlan seraya masih menatap layar laptopnya dengan santai. “Dia bilang gak papa, kok. Jadi, yaudah, aku turunin aja di sana. Dia kan pengertian,” lanjutnya seraya menekan kalimat terakhir dari ucapannya.

Mendengar jawaban Arlan, Kinara sontak menggeram kesal. Dia membuang napasnya kasar sembari terus menatap tajam anaknya. “Kamu bilang kamu mau antar dia pulang, ‘kan? Seharusnya kamu antar dia sampai rumah, Arlan!”

“Dia itu udah bukan anak kecil lagi, Ma,” balas Arlan dengan cepat. Dia menutup laptopnya dengan sedikit kesal. “Dia sendiri kan yang bilang gitu? ‘Aku bukan anak kecil, aku bahkan lebih dewasa dari kamu’. Mama juga tau kan waktu dia bilang gitu? Jadi, udahlah, gak usah khawatirin dia.”

“Dia itu perempuan, Arlan. Kalau di jalan nanti ada yang jahatin dia gimana?!” geram Kinara seraya meremas ponselnya.

“Gak ada yang akan jahatin dia. Mama tenang aja,” ucap Arlan, “dia kan cuma gadis kampung. Cowok mana yang mau sama dia? Gila.”

“Kamu yang gila!”

Kinara mulai meninggikan suaranya. Tahu bahwa suara mamanya berubah, Arlan sontak terkejut dan menatap Kinara sedikit takut. “Ada apa, sih, Ma? Sebegitunya banget sama dia.”

“Mama tau kalau kamu itu orangnya baik, pekerja keras, penyayang juga sama mama. Tapi, kenapa kamu sama sekali gak peduli sama Shena?” tanya Kinara, “oke. Oke, kalau kamu emang gak mau dijodohin sama Shena, tapi mama cuma mau kamu bersikap baik sama Shena dan ayahnya, itu aja.”

“Kenapa Mama peduli banget, sih, sama mereka? Mereka bukan golongan seperti kita, Ma. Mereka cuma orang kampung, gak level sama kita.”

“Memangnya sejak kapan mama ajarin kamu buat bersikap begitu sama orang lain? Kita sama-sama manusia, entah kaya atau miskin, kita tetap sama. Jangan pernah jadikan kekayaan sebagai senjata untuk merendahkan orang lain, Arlan,” ucap Kinara, “mengerti?”

Tatapan tajam yang terus Kinara berikan untuknya sontak membuatnya tidak bisa membalas. Arlan pun hanya bisa mengangguk pasrah.

“Bagus. Oh, iya, lusa nanti mama akan pergi ke Singapura dan menetap di sana selama kurang lebih satu bulan.”

Mendengar itu, Arlan sontak memasang raut terkejutnya. “Satu bulan? Gak, gak boleh.”

“Loh, kenapa? Mama udah pesan tiket pesawatnya padahal.”

“Mama boleh, kok, pergi ke sana, tapi jangan selama itu dong. Kalau di sana Mama kenapa-napa gimana?” tegas Arlan dengan raut cemasnya.

Melihat anaknya yang memasang wajah cemas, membuat dirinya terkekeh kecil. “Tidak apa, mama akan jaga diri di sana. Lagipula, di sana mama gak sendiri, kok. Ada teman mama juga di sana. Kamu gak perlu khawatir.”

“Tapi, Ma--” Ucapan Arlan terhenti ketika melihat tatapan Kinara yang seakan mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja. “Oke, tapi kalau ada apa-apa hubungi aku, ya.”

Kinara kembali tersenyum setelah mendapat persetujuan dari Arlan. Dia mengembuskan napasnya pelan dan ikut duduk di samping Arlan yang mulai fokus  ke laptopnya kembali.

“Oh, satu lagi, kalau kamu gak bisa kerjain pekerjaan rumah ini sendirian, kamu panggil Shena aja, ya,” ujar Kinara di sela aktivitas bermain ponselnya.

“Kenapa? Aku bisa lakukan sendiri,” jawab Arlan dengan cepat tanpa menoleh ke Kinara sedikit pun.

Kinara yang mendengar jawaban cepat dari anaknya sontak menoleh. “Yakin?” Arlan mengangguk. “Serius bisa?”

“Iya, Mama ...,” balas Arlan dengan nada sedikit geram, lalu kembali ke aktivitas kerjanya.

“Oke, buktikan aja kalau memang benar kamu bisa. Mama ke kamar dulu, mau istirahat,” ucap Kinara, kemudian pergi ke kamarnya.

Waktu terus berlalu. Hari kembali berganti. Seperti yang Kinara katakan waktu hari itu, dia akan benar-benar terbang ke Singapura hari ini juga.

Mereka berjalan bersama untuk memasuki bandara dan duduk di kursi tunggu bandara. Setelah mendapat pengumuman bahwa pesawat yang akan ditumpangi oleh Kinara segera terbang, mereka pun segera pergi.

Sebelum benar-benar pergi, Kinara menyodorkan map cokelat kepada Arlan dengan tiba-tiba. Arlan pun menerimanya dengan raut bingung.

“Berikan map itu ke Shena, ya. Mama titip map itu sama kamu,” ucap Kinara.

“Shena? Gadis kampung maksud Mama?”

“Mama udah bilang, ‘kan? Jangan panggil Shena ‘gadis kampung’ lagi,” sergah Kinara dengan kesal. Arlan pun hanya bisa mendengkus pelan ketika mendengarnya. “Satu lagi, posisi skretaris di kantor lagi kosong, ‘kan?” Arlan memangguk sebagai jawaban. “Oke, mama udah carikan orang buat isi posisi itu. Besok dia akan datang ke kantor kamu.”

“Gak perlu, Ma, aku gak butuh sekretaris,” tolak Arlan.

“Udah, kamu ikutin aja mau mama. Mama pergi dulu, ya,” ucap Kinara. Arlan mengangguk dan mencium punggung tangan Kinara dengan sopan. “Jangan lupa berikan map itu ke Shena.”

“Iya. Jangan lupa kabari aku kalau Mama udah sampai di sana.” Arlan menjawabnya dengan malas. Lalu, Kinara segera pergi untuk ke pesawatnya.

Setelah Kinara pergi, Arlan melihat map cokelat di tangannya sekejap, lalu mendengkus kesal. Arlan segera pergi dari bandara, menaiki mobilnya, lalu pergi menuju rumah.

Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi hari di jam tangannya. Arlan memasukkan mobilnya ke halaman rumah dengan seorang penjaga gerbang yang membukakan gerbang untuknya. Dia memarkirkan mobilnya di tempatnya dan segera turun.

“Mas Arlan.”

Mendengar panggilan dari seseorang, Arlan sontak menoleh ke sumber suara. Embusan napas berat kembali dia buang ketika melihat sosok Shena yang sudah berdiri di belakangnya.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Arlan dengan nada ketus.

Tidak langsung marah karena sikap ketus Arlan, Shena justru menampilkan senyum simpulnya. “Aku disuruh mama untuk datang ke sini. Katanya ada sesuatu yang mau mama kasih ke aku dan sesuatu itu ada di Mas Arlan.”

“Hah?” Arlan sontak memasang raut bingungnya karena tidak mengerti dengan apa yang Shena katakan.

“Map cokelat,” ucap Shena, “kata mama, map cokelat itu ada di Mas Arlan.”

Setelah mendengar kata ‘map cokelat’ dari mulut Shena, Arlan akhirnya mengerti. Dia pun membuka kembali pintu mobilnya dan mengambil benda tersebut yang masih tertinggal di dalam.

Arlan memberikan map cokelat itu untuk Shena dan Shena menerimanya. “Terima kasih,” ucapnya.

“Sudah tidak ada kepentingan lagi, ‘kan? Pulang sana!” ucap Arlan mengusir.

Shena kembali tersenyum, lalu mengangguk. “Aku akan pergi. Sampai jumpa besok, Mas,” ucapnya, kemudian pergi.

Mendengar kalimat Shena, Arlan sedikit berpikir. Lalu, membelalakkan matanya seperti terkejut. “Tunggu!” serunya.

Shena yang sudah sampai di gerbang rumahnya pun seketika menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Arlan yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam.

“Hei, ‘sampai jumpa besok’ yang kamu katakan tadi, apa maksudnya?” tanya Arlan tanpa basa-basi.

Shena sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan dari Arlan tersebut. Namun, kemudian dia kembali tersenyum. “Kita kan memang akan bertemu lagi besok,” jawab Shena.

Jawaban Shena membuat Arlan semakin bertanya-tanya. Namun, kata-kata Kinara kembali muncul di kepalanya. ‘Oke, mama udah carikan orang buat isi posisi itu. Besok dia akan datang ke kantor kamu’.

Arlan seketika tersentak, dia menatap Shena dengan garang. “Jangan-jangan mama nyuruh kamu buat jadi sekretaris saya?” tanyanya. Shena mengangguk dengan cepat. “Jangan datang! Saya tidak butuh sekretaris sepertimu.”

Kekehan kecil kembali terdengar. “Aku akan tetap datang. Ini adalah amanah yang harus aku lakukan,” jawab Shena, “permisi.”

Arlan terus menatap Shena yang pergi dengan tajam. “Dasar keras kepala!” gerutunya dengan suara pelan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status