Setelah mengantar Shena ke terminal, Arlan segera melajukan mobilnya kembali untuk pulang. Sesampainya di rumah, tentu Kinara tidak diam karena kedatangan anaknya yang terlalu cepat dari waktu yang seharusnya.
Mendapat tatapan tajam dari Kinara, Arlan hanya mengembuskan napas panjangnya. Dia berjalan menghampiri laptopnya kembali yang masih tergeletak di meja ruang tamu, lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertinggal.
“Kenapa kamu udah pulang? Kenapa cepet banget kembalinya? Kamu antar Shena, ‘kan? Kamu gak turunin Shena di tengah jalan, ‘kan?” tanya Kinara memberondong. Tidak ada jawaban dari Arlan. “Arlan, jawab mama!”
“Aku antar dia sampai di terminal,” jawab Arlan seraya masih menatap layar laptopnya dengan santai. “Dia bilang gak papa, kok. Jadi, yaudah, aku turunin aja di sana. Dia kan pengertian,” lanjutnya seraya menekan kalimat terakhir dari ucapannya.
Mendengar jawaban Arlan, Kinara sontak menggeram kesal. Dia membuang napasnya kasar sembari terus menatap tajam anaknya. “Kamu bilang kamu mau antar dia pulang, ‘kan? Seharusnya kamu antar dia sampai rumah, Arlan!”
“Dia itu udah bukan anak kecil lagi, Ma,” balas Arlan dengan cepat. Dia menutup laptopnya dengan sedikit kesal. “Dia sendiri kan yang bilang gitu? ‘Aku bukan anak kecil, aku bahkan lebih dewasa dari kamu’. Mama juga tau kan waktu dia bilang gitu? Jadi, udahlah, gak usah khawatirin dia.”
“Dia itu perempuan, Arlan. Kalau di jalan nanti ada yang jahatin dia gimana?!” geram Kinara seraya meremas ponselnya.
“Gak ada yang akan jahatin dia. Mama tenang aja,” ucap Arlan, “dia kan cuma gadis kampung. Cowok mana yang mau sama dia? Gila.”
“Kamu yang gila!”
Kinara mulai meninggikan suaranya. Tahu bahwa suara mamanya berubah, Arlan sontak terkejut dan menatap Kinara sedikit takut. “Ada apa, sih, Ma? Sebegitunya banget sama dia.”
“Mama tau kalau kamu itu orangnya baik, pekerja keras, penyayang juga sama mama. Tapi, kenapa kamu sama sekali gak peduli sama Shena?” tanya Kinara, “oke. Oke, kalau kamu emang gak mau dijodohin sama Shena, tapi mama cuma mau kamu bersikap baik sama Shena dan ayahnya, itu aja.”
“Kenapa Mama peduli banget, sih, sama mereka? Mereka bukan golongan seperti kita, Ma. Mereka cuma orang kampung, gak level sama kita.”
“Memangnya sejak kapan mama ajarin kamu buat bersikap begitu sama orang lain? Kita sama-sama manusia, entah kaya atau miskin, kita tetap sama. Jangan pernah jadikan kekayaan sebagai senjata untuk merendahkan orang lain, Arlan,” ucap Kinara, “mengerti?”
Tatapan tajam yang terus Kinara berikan untuknya sontak membuatnya tidak bisa membalas. Arlan pun hanya bisa mengangguk pasrah.
“Bagus. Oh, iya, lusa nanti mama akan pergi ke Singapura dan menetap di sana selama kurang lebih satu bulan.”
Mendengar itu, Arlan sontak memasang raut terkejutnya. “Satu bulan? Gak, gak boleh.”
“Loh, kenapa? Mama udah pesan tiket pesawatnya padahal.”
“Mama boleh, kok, pergi ke sana, tapi jangan selama itu dong. Kalau di sana Mama kenapa-napa gimana?” tegas Arlan dengan raut cemasnya.
Melihat anaknya yang memasang wajah cemas, membuat dirinya terkekeh kecil. “Tidak apa, mama akan jaga diri di sana. Lagipula, di sana mama gak sendiri, kok. Ada teman mama juga di sana. Kamu gak perlu khawatir.”
“Tapi, Ma--” Ucapan Arlan terhenti ketika melihat tatapan Kinara yang seakan mengatakan bahwa dirinya akan baik-baik saja. “Oke, tapi kalau ada apa-apa hubungi aku, ya.”
Kinara kembali tersenyum setelah mendapat persetujuan dari Arlan. Dia mengembuskan napasnya pelan dan ikut duduk di samping Arlan yang mulai fokus ke laptopnya kembali.
“Oh, satu lagi, kalau kamu gak bisa kerjain pekerjaan rumah ini sendirian, kamu panggil Shena aja, ya,” ujar Kinara di sela aktivitas bermain ponselnya.
“Kenapa? Aku bisa lakukan sendiri,” jawab Arlan dengan cepat tanpa menoleh ke Kinara sedikit pun.
Kinara yang mendengar jawaban cepat dari anaknya sontak menoleh. “Yakin?” Arlan mengangguk. “Serius bisa?”
“Iya, Mama ...,” balas Arlan dengan nada sedikit geram, lalu kembali ke aktivitas kerjanya.
“Oke, buktikan aja kalau memang benar kamu bisa. Mama ke kamar dulu, mau istirahat,” ucap Kinara, kemudian pergi ke kamarnya.
Waktu terus berlalu. Hari kembali berganti. Seperti yang Kinara katakan waktu hari itu, dia akan benar-benar terbang ke Singapura hari ini juga.
Mereka berjalan bersama untuk memasuki bandara dan duduk di kursi tunggu bandara. Setelah mendapat pengumuman bahwa pesawat yang akan ditumpangi oleh Kinara segera terbang, mereka pun segera pergi.
Sebelum benar-benar pergi, Kinara menyodorkan map cokelat kepada Arlan dengan tiba-tiba. Arlan pun menerimanya dengan raut bingung.
“Berikan map itu ke Shena, ya. Mama titip map itu sama kamu,” ucap Kinara.
“Shena? Gadis kampung maksud Mama?”
“Mama udah bilang, ‘kan? Jangan panggil Shena ‘gadis kampung’ lagi,” sergah Kinara dengan kesal. Arlan pun hanya bisa mendengkus pelan ketika mendengarnya. “Satu lagi, posisi skretaris di kantor lagi kosong, ‘kan?” Arlan memangguk sebagai jawaban. “Oke, mama udah carikan orang buat isi posisi itu. Besok dia akan datang ke kantor kamu.”
“Gak perlu, Ma, aku gak butuh sekretaris,” tolak Arlan.
“Udah, kamu ikutin aja mau mama. Mama pergi dulu, ya,” ucap Kinara. Arlan mengangguk dan mencium punggung tangan Kinara dengan sopan. “Jangan lupa berikan map itu ke Shena.”
“Iya. Jangan lupa kabari aku kalau Mama udah sampai di sana.” Arlan menjawabnya dengan malas. Lalu, Kinara segera pergi untuk ke pesawatnya.
Setelah Kinara pergi, Arlan melihat map cokelat di tangannya sekejap, lalu mendengkus kesal. Arlan segera pergi dari bandara, menaiki mobilnya, lalu pergi menuju rumah.
Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi hari di jam tangannya. Arlan memasukkan mobilnya ke halaman rumah dengan seorang penjaga gerbang yang membukakan gerbang untuknya. Dia memarkirkan mobilnya di tempatnya dan segera turun.
“Mas Arlan.”
Mendengar panggilan dari seseorang, Arlan sontak menoleh ke sumber suara. Embusan napas berat kembali dia buang ketika melihat sosok Shena yang sudah berdiri di belakangnya.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Arlan dengan nada ketus.
Tidak langsung marah karena sikap ketus Arlan, Shena justru menampilkan senyum simpulnya. “Aku disuruh mama untuk datang ke sini. Katanya ada sesuatu yang mau mama kasih ke aku dan sesuatu itu ada di Mas Arlan.”
“Hah?” Arlan sontak memasang raut bingungnya karena tidak mengerti dengan apa yang Shena katakan.
“Map cokelat,” ucap Shena, “kata mama, map cokelat itu ada di Mas Arlan.”
Setelah mendengar kata ‘map cokelat’ dari mulut Shena, Arlan akhirnya mengerti. Dia pun membuka kembali pintu mobilnya dan mengambil benda tersebut yang masih tertinggal di dalam.
Arlan memberikan map cokelat itu untuk Shena dan Shena menerimanya. “Terima kasih,” ucapnya.
“Sudah tidak ada kepentingan lagi, ‘kan? Pulang sana!” ucap Arlan mengusir.
Shena kembali tersenyum, lalu mengangguk. “Aku akan pergi. Sampai jumpa besok, Mas,” ucapnya, kemudian pergi.
Mendengar kalimat Shena, Arlan sedikit berpikir. Lalu, membelalakkan matanya seperti terkejut. “Tunggu!” serunya.
Shena yang sudah sampai di gerbang rumahnya pun seketika menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Arlan yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tajam.
“Hei, ‘sampai jumpa besok’ yang kamu katakan tadi, apa maksudnya?” tanya Arlan tanpa basa-basi.
Shena sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaan dari Arlan tersebut. Namun, kemudian dia kembali tersenyum. “Kita kan memang akan bertemu lagi besok,” jawab Shena.
Jawaban Shena membuat Arlan semakin bertanya-tanya. Namun, kata-kata Kinara kembali muncul di kepalanya. ‘Oke, mama udah carikan orang buat isi posisi itu. Besok dia akan datang ke kantor kamu’.
Arlan seketika tersentak, dia menatap Shena dengan garang. “Jangan-jangan mama nyuruh kamu buat jadi sekretaris saya?” tanyanya. Shena mengangguk dengan cepat. “Jangan datang! Saya tidak butuh sekretaris sepertimu.”
Kekehan kecil kembali terdengar. “Aku akan tetap datang. Ini adalah amanah yang harus aku lakukan,” jawab Shena, “permisi.”
Arlan terus menatap Shena yang pergi dengan tajam. “Dasar keras kepala!” gerutunya dengan suara pelan.
Esok harinya, Arlan bergegas ke mobilnya dengan buru-buru karena terlambat bangun. Dia lupa untuk menyetel alarm di jamnya, alhasil dia hanya mandi dan langsung berangkat ke kantor tanpa sarapan.“Argh, terlambat bangun lagi! Masih ada setengah jam lagi sebelum meeting dimulai,” gumam Arlan dengan perasaan gelisahnya. “Semoga jalanan pagi ini lancar tanpa hambatan.”Seperti yang Arlan harapkan, jalanan pagi itu sangat lancar tanpa hambatan sedikit pun. Arlan melihat jam tangannya, pukul 08.54 waktu pagi. Arlan bergegas keluar dari mobil dan masuk ke kantornya dengan langkah panjang.Para karyawan pun sontak menghentikan aktivitasnya sekejap untuk menyapa Arlan. Mereka membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.“Selamat pagi, Pak,” sapa mereka secara bergantian.Meskipun para karyawan sudah bersikap baik padanya tetapi, Arlan tetap terlihat tidak peduli sama sekali. Tidak ada satu sapaan pun dari mereka
“Perempuan yang tadi itu siapa, sih? Kamu kenal sama dia?” tanya Dira terus mendumel. Arlan pun tidak menggubrisnya. “Dari wajahnya ... kayaknya dia dari kampung, ya? Kayak ada norak-noraknya gitu.”Dira melirik ke arah Arlan dengan kesal karena tidak mendengarkannya sama sekali. Dia mengembuskan napasnya kasar dan berdecak kesal. “Arlan!”Seruan Dira yang cukup keras membuat Arlan menoleh ke arahnya, meskipun masih dengan raut malasnya. “Berisik,” balasnya dengan nada ketus.Mendapat ucapan ketus dari Arlan sontak membuat Dira memajukan sedikit bibirnya alias cemberut. Dira selalu melakukannya ketika sedang kesal atau bete dengan seseorang. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil.“Aku ini lagi ngomong sama kamu! Kenapa kamu malah cuekin aku terus, sih?!” geram Dira, “aku ini pacar kamu, loh! Hargai aku dong! Kamu, kok, jadi berubah banget gini sama aku? Ke mana perginya Arlan yang dulu perhatian banget sama aku?! Kamu jahat, Arlan!”Brak!Suara gebrakan meja yang cukup keras sonta
“Jangan hiraukan mereka. Ini perintah. Makanlah di sini saja!”Mendengar itu, Shena sontak terdiam sesaat, kemudian mengangguk. Dia kembali duduk di bangku yang sama dan mulai membuka bekalnya di samping Arlan.Mereka mulai memakan bekalnya masing-masing dengan lahap hingga suara Arlan membuat Shena menoleh kembali.“Ini masakanmu?” tanya Arlan tanpa menoleh ke arah Shena sedikit pun. Dia hanya terus menatap bekal miliknya dan menunggu jawaban dari Shena.Mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Arlan sontak membuat Shena terkejut untuk sesaat. Namun, sesaat kemudian, dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Itu memang masakanku. Apa Pak Arlan suka?”Arlan mengangkat bahunya seraya menjawab, “Setidaknya untuk sekarang saya bisa menghabiskannya.”Jawaban Arlan berhasil membuat senyum Shena terlihat lebih lebar dari sebelummnya. Dia menatap Arlan yang terus memakan masakannya dengan perasaan senang. “Syukurlah kalau begitu,” ucapnya, kemudian kembali memakan makanannya.Suasana begitu heni
Permintaan yang Shena tujukan untuk Arlan sontak membuat Arlan terdiam cukup lama. Namun, kemudian dia mengembuskan napas beratnya dan mengangguk pelan.“Saya tidak bisa menjelaskannya karena tidak tahu harus dimulai dari mana,” ucap Arlan, “jadi, hanya hari ini saja, saya bebaskan kamu untuk bertanya apa saja ke saya.”Shena menatap Arlan cukup lama, kemudian mengangguk. Dia mengembuskan napasnya panjang dan berkata, “Oke. Aku boleh tanyakan apa pun, ‘kan?”“Apa pun,” balas Arlan masih terus menunduk tanpa melirik ke Shena sedikit pun.“Sebenarnya ada hubungan apa di antara Mas Arlan dan Mbak Dira?”Pertanyaan Shena yang langsung merujuk ke sosok Dira sanggup membuat Arlan kembali terdiam. Namun, dia akhirnya menjawab juga. “Dua tahun yang lalu, dia adalah kekasih saya. Namun, semenjak dia menghilang satu tahun kemudian, saya sudah menyelesaikan hubungan saya dengannya.”
Besoknya, seperti yang Arlan inginkan, Shena membawa dua bekal di dalam tasnya. Dia menunggu kedatangan Arlan di depan kantor dengan satu kotak bekal di tangannya. Senyumnya mulai tampak ketika melihat sosok Arlan yang sudah turun dari mobilnya.Mata mereka saling bertemu untuk sekilas, lalu Arlan berjalan untuk masuk ke kantornya. Shena masih setia berdiri di tempatnya dan menunggu Arlan yang berjalan menghampirinya. Namun, senyum Shena seketika mengendur saat melihat sosok Dira yang lebih dulu menghampiri Arlan dan memberikan kotak bekal untuknya juga.Entah apa yang Dira katakan, Shena tidak mendengar apa pun karena jarak mereka yang cukup jauh. Namun, yang pasti, Arlan tidak membalas satu pun yang Dira katakan. Mata mereka kembali bertemu, Shena sedikit terkejut saat melihat Arlan melanjutkan langkahnya seraya menatap lurus ke arahnya.Sampai akhirnya Arlan berhenti tepat di depan Shena. “Untuk saya, ‘kan?” tanyanya seraya menatap ke arah k
Seperti biasanya, Shena kembali bangun pagi-pagi sekali karena harus membuat bekal untuk dirinya dan Arlan. Setelah masakan sudah jadi, Shena mengisi piringnya untuk sarapan. Lalu, mengisi dua kotak bekal untuknya dan Arlan.Selesai sarapan dan sebelum berangkat ke kantor, Shena menyelesaikan tugas rumahnya lebih dulu; menyapu, mengepel, cuci piring, dan menjemur pakaiannya. Setelah semuanya sudah selesai, Shena segera memesan ojek online lewat aplikasi di ponselnya.Shena mengunci pintu kosannya dan berjalan menghampiri tukang ojek tersebut, lalu ikut naik ke atas motor. Tidak lupa juga dia berpamitan kepada teman satu kosnya yang masih bersiap di depan pintu untuk bekerja ataupun berangkat ke kampus.“Duluan, ya, Semuanya,” pamit Shena. Setelah mendapat anggukan dari teman-teman kosnya, motor mulai melaju.Jalanan hari itu cukup padat, karena memang di pagi hari orang-orang banyak yang keluar untuk mencari rezeki ataupun menun
Kembali ke Shena, dia membereskan barang-barangnya sebelum pulang. Setelah selesai, dia segera keluar dan menunggu ojek yang telah dipesannya tadi. Setelah sampai, Shena langsung naik ke atas motor dan pulang ke kosannya.Shena bergegas untuk bersih-bersih kosannya sebelum pergi ke suatu tempat. Setelah bersih-bersih selesai, Shena pun segera mandi untuk membersihkan diri. Pukul 16.23 sore hari, Shena kembali keluar dari kosannya.Dia pergi dengan berjalan kaki. Sengaja dia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan ponselnya saja, karena hari itu tidak ada jadwal kelas untuknya. Ya, Shena telah memutuskan untuk menerima dan ikut latihan dengan anak teater. Sebenarnya dia belum sempat untuk menghubungi Sinta dan memberi kabar kalau dirinya akan datang.Namun, karena sudah terlanjur jalan, Shena akhirnya langsung pergi saja tanpa mengabari Sinta lebih dulu. Ya, anggap saja sebuah kejutan untuk anak teater.Shena berjalan memasuki area kampus dan pergi
Pukul 07.10 pagi hari, Arlan bergegas keluar dari rumahnya seraya membawa tas serut berisi kotak bekal milik Shena. Dia masuk ke dalam mobilnya, lalu segera pergi menuju kantor. Namun, jalanan ternyata sedang tidak bersahabat dengannya. Lalu lintas terhambat karena adanya sebuah insiden mobil mogok di tengah jalan. Arlan melihat jam tangannya, lalu berdecak kecil karena kesal. Pukul 07.52 waktu pagi, Arlan baru saja sampai di depan kantornya. Karena kemacetan yang terjadi di jalan, dia sampai lebih lama dari biasanya. Arlan memarkirkan mobilnya dan segera turun seraya membawa tas serut milik Shena di genggamannya, lalu berjalan menghampiri kantornya. Wajah Arlan seketika berubah saat tidak menemukan sosok Shena yang biasanya berdiri di depan seraya menunggunya. Arlan menghampiri seorang satpam yang menjaga di depan pintu kantor dan bertanya, “Bapak tahu perempuan yang biasanya berdiri di sana?” tanyanya seraya menunjuk ke tempat yang dia maksud. Satpam tersebut sontak mengangguk se