Share

7. Bu Sekretaris

Esok harinya, Arlan bergegas ke mobilnya dengan buru-buru karena terlambat bangun. Dia lupa untuk menyetel alarm di jamnya, alhasil dia hanya mandi dan langsung berangkat ke kantor tanpa sarapan.

“Argh, terlambat bangun lagi! Masih ada setengah jam lagi sebelum meeting dimulai,” gumam Arlan dengan perasaan gelisahnya. “Semoga jalanan pagi ini lancar tanpa hambatan.”

Seperti yang Arlan harapkan, jalanan pagi itu sangat lancar tanpa hambatan sedikit pun. Arlan melihat jam tangannya, pukul 08.54 waktu pagi. Arlan bergegas keluar dari mobil dan masuk ke kantornya dengan langkah panjang.

Para karyawan pun sontak menghentikan aktivitasnya sekejap untuk menyapa Arlan. Mereka membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.

“Selamat pagi, Pak,” sapa mereka secara bergantian.

Meskipun para karyawan sudah bersikap baik padanya tetapi, Arlan tetap terlihat tidak peduli sama sekali. Tidak ada satu sapaan pun dari mereka yang Arlan jawab. Meskipun begitu, para karyawan tidak terlihat kesal sedikit pun, mungkin karena mereka sudah terlatih.

“Selamat pagi, Pak Arlan, syukurlah Pak Arlan sudah datang,” ujar seorang Karyawan dengan perasaan leganya. Arlan masih memasang raut datarnya, menunggu kalimat selanjutnya yang akan diucapkan oleh sang karyawan. “Para klien sudah menunggu Bapak di ruang meeting.”

“Oke, saya akan segera menemui mereka,” balas Arlan.

Sang karyawan pun refleks mengagguk. “Kalau begitu, saya permisi, Pak,” ucapnya, kemudian pergi untuk kembali ke meja kerjanya.

Tanpa mengucap terima kasih, Arlan segera pergi menuju ruang meeting seperti yang sang karyawan tadi katakan. Setelah pintu ruang meeting dibuka, benar saja, para klien sudah menunggunya di tempat masing-masing.

Namun, tiba-tiba saja tubuhnya seakan kaku setelah melihat seseorang yang menurutnya tidak diundang justru ikut datang. Arlan mengembuskan napasnya pelan dan kembali tenang agar tetap bisa bersikap profesional.

“Pagi, Pak Arlan,” sapa Wily---manajer Semesta Company---dengan senyum hangatnya.

Mendengar sapaan dari Wily, wajah Arlan sedikit berubah. Dia menunjukkan senyumnya dan bersikap sangat ramah terhadap para kliennya. Arlan berjabat tangan dengan para kliennya secara bergantian dan ikut duduk di tempatnya.

“Maaf, saya sedikit terlambat untuk datang,” ucap Arlan dengan nada menyesal.

“Tidak apa, sesuai janjian, meeting dimulai pukul sembilan. Kaminya saja yang datang terlalu cepat,” jawab Wily sembari terkekeh kecil di akhir kalimatnya. “Untungnya ada sekretaris baru Pak Arlan yang menyambut kami dengan sangat baik. Dia juga mudah untuk diajak ngobrol sembari menunggu Pak Arlan datang,  jadi kami tidak merasa bosan sedikit pun.”

Mendengar ucapan Wily, Arlan sontak menoleh ke seseorang yang disebut sekretaris baru tadi secara sekilas, kemudian tersenyum. “Ah, benar, Pak Wily. Untuk saat ini, dia ini memang sekretaris baru saya. Perkenalkan, namanya Shena.”

Benar. Sekretaris baru sekaligus orang yang berhasil membuatnya membeku tadi adalah Shena. Shena menunjukkan senyum simpulnya dan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. “Saya Shena, sekretaris baru di Mazkuel Company ini. Mohon bantuannya.”

Para klien pun ikut memberi salam untuk Shena, mereka membungkukkan badannya untuk sama-sama memberi hormat. Mereka melakukannya kembali meskipun di awal pertemuan, Shena sudah memperkenalkan dirinya.

“Baik, kalau begitu ... kita mulaikan saja meeting-nya sekarang, ya.” Anggukan serempak dari para klien membuat Arlan memulaikan penjelasannya. Namun, di tengah-tengah penjelasannya, suara perut Arlan yang belum diisi tiba-tiba saja berbunyi hingga membuat yang lain menatapnya dengan heran. “Ah, maaf, saya akan lanjutkan.”

Krukk!

Lagi-lagi suara itu kembali datang. Arlan mengembuskan napasnya sedikit kesal seraya menutup mata karena malu.

“Maaf menyela, tolong izinkan saya untuk menggantikan Pak Arlan sebagai juru bicara,” ujar Shena. Karena keadaan yang sudah tidak terkendali, Arlan akhirnya menganggukkan kepalanya meskipun dia masih ragu. Namun, Arlan tetap memberikan materi di berkasnya kepada Shena. “Baik, saya mulaikan kembali penjelasannya. Jadi, ....”

Shena mulai menjelaskan materi yang diberikan oleh Arlan dengan pelan tetapi, jelas. Mendengar penjelasan dari Shena, Arlan hanya bisa menatapnya dengan diam seraya menahan perutnya agar tidak berbunyi kembali.

Dua jam telah berlalu, kedua belah pihak akhirnya saling berjabat tangan sebagai tanda bukti kerja sama mereka. Arlan dan Shena bergantian untuk berjabat tangan dengan para klien sebelum berpisah.

“Senang bisa bekerja sama dengan Pak Arlan,” ucap Wily, “materi yang dijelaskan pun benar-benar mudah dipahami. Bu Shena benar-benar berbakat, ya.”

“Terima kasih, Pak Wily. Kami senang bisa bekerja sama dengan Semesta Company. Terima kasih sudah memercayai perusahaan kami untuk mengambil proyek besar tersebut,” balas Shena seraya senyum sopan.

“Tentu,” jawab Wily, “baik, kami permisi, ya.”

“Oh, iya, Pak Wily, silakan. Terima kasih sudah mau bekerja sama dengan kami,” ucap Arlan.

Wily hanya tersenyum dan mengangguk sebagai responsnya. Para klien pun segera masuk ke mobilnya masing-masing dan pergi dari kantor Arlan.

Setelah kepergian para klien, wajah Arlan kembali datar seperti biasanya. Dia pergi begitu saja, meninggalkan Shena tanpa sepatah kata pun. Shena yang menyadari bahwa Arlan sudah pergi duluan pun segera mengejarnya dengan setengah berlari.

“Aku bawa dua bekal dari rumah,” ucap Shena. Arlan hanya melirik ke arahnya sekilas, lalu kembali fokus ke jalannya. “Mas Arlan belum makan, ‘kan? Aku kasih satunya buat Mas. Mas mau?”

Langkah Arlan tiba-tiba berhenti, membuat Shena pun ikut berhenti dan menatap Arlan dengan bingung.

“Kenapa kamu tetap datang ke sini?” Arlan menatap tajam mata Shena. “Sudah saya bilang, ‘kan? Saya tidak butuh sekretaris sepertimu.” Arlan sengaja menekan kalimat terakhir dari ucapannya.

Bukannya marah, Shena meresponsnya dengan tersenyum seperti biasa. “Setidaknya Mas Arlan butuh aku sebagai sekretaris untuk hari ini.”

Mendengar jawaban dari Shena, Arlan mengalihkan pandangannya dengan malas, lalu melenggang pergi kembali. Shena lagi-lagi tersenyum dan kembali mengikuti Arlan dari belakang dengan setengah berlari.

Di sepanjang jalan menuju ruang kerja Arlan, para karyawan kembali memberi hormat di sela aktivitas kerjanya. Bukan hanya menyapa Arlan, mereka juga menyapa Shena dengan ramah.

“Pagi Pak Arlan, Bu Shena,” sapa mereka bergantian.

Berbeda dengan Arlan yang tidak peduli sama sekali, Shena terus membungkukkan badannya berkali-kali seraya membalas sapaan mereka dengan ramah. Setelah melewati ruang kerja karyawan, mereka berjalan di lorong kecil yang tidak terlalu ramai orang lalu-lalang.

“Mas Arlan kenapa gak balas sapaan mereka?” tanya Shena. Tidak kunjung mendapatkan jawaban, Shena hanya bisa terus tersenyum. “Mas Arlan tau? Tadi itu aku benar-benar terkejut saat melihat Mas Arlan tersenyum untuk para klien. Bukan hanya itu, Mas Arlan juga bilang ‘maaf’ dan ‘terima kasih’. Aku pikir Mas Arlan akan tetap ketus meskipun sama klien sekalipun,” lanjutnya seraya terkekeh kecil di akhir kalimatnya.

Langkah mereka berhenti di depan pintu sebuah ruangan. Ya, itu adalah pintu ruang kerja Arlan. Melihat Arlan yang hanya terus diam dan tidak segera membuka pintunya pun membuat Shena bingung.

“Kenapa, Mas? Mas Arlan—”

“Stop it!” seru Arlan dengan nada tinggi yang mampu membuat Shena menghentikan ucapannya. Shena menatap Arlan dengan perasaan takutnya. “Jangan pernah panggil saya dengan sebutan ‘Mas Arlan’ lagi! Saya ini atasan kamu, jangan seenaknya memanggil saya dengan sebutan seolah kita sudah akrab. Mengerti?!”

Mendapat kalimat tegas dari Arlan membuat Shena hanya bisa mengangguk pasrah. “Aku mengerti. Maafkan saya, karena saya sudah lancang kepada Pak Arlan.”

Arlan tidak menjawabnya, dia segera membuka pintu ruang kerjanya dan langkahnya kembali terhenti ketika mendapat pelukan tiba-tiba dari seorang wanita yang muncul dari balik pintu.

“Arlan!” serunya. Wanita tersebut terus memeluk Arlan dengan erat. “Aku kangen banget sama kamu, loh.”

“Lepas!” suruh Arlan dengan nada dinginnya.

Mendengar nada dingin Arlan, wanita itu segera melepas pelukannya dan memasang raut cemberutnya. “Aku ini kangen banget, loh, sama kamu. Kenapa respons kamu begitu, sih?” tanyanya. Wanita itu melirik ke Shena sekilas. “Apa gara-gara perempuan itu? Kamu udah lupain aku dan jatuh cinta sama perempuan lain?”

“Salah. Ini tidak ada hubungannya dengan dia,” jawab Arlan masih dengan raut datarnya. “Mulai sekarang, kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi selain atasan dan bawahan. Kamu mengerti, Dira?”

“Kok, gitu? Kamu jahat, Arlan. Emangnya apa bagusnya perempuan itu, sih?” Wanita yang dipanggil Dira tadi sontak menatap Shena dengan penuh intimidasi. “Siapa nama kamu? Dan apa divisi kamu di perusahaan ini?”

“Saya Shena, sekretaris baru di perusahaan ini. Mohon bantuan—”

“Oh, jadi, dia sekretaris baru yang mereka bilang tadi ...,” sahut Dira memotong ucapan Shena. “Sekarang kamu gak perlu jadi sekretaris lagi, karena sekretaris yang asli sudah kembali.”

Mendengar ucapan Dira sontak membuat Shena memasang wajah datarnya. “Tidak bisa, saya sudah ditugaskan oleh—”

“Benar. Sekarang kamu sudah tidak perlu menjadi sekretaris saya lagi,” sahut Arlan memotong ucapan Shena. Shena pun sontak memasang raut terkejut untuk Arlan. “Karena sekretaris saya sudah kembali, kamu bisa pergi dari sini. Atau ... kamu masih bisa bekerja di sini sebagai office girl.

“Loh, tapi—“

“Office girl atau pergi, terserah apa pun yang kamu pilih, saya tidak peduli.” Arlan lagi-lagi memotong ucapan Shena dengan cepat, lalu segera masuk ke ruangan dan menutup pintunya, meninggalkan Shena yang masih berdiri diam di tempatnya.

Arlan duduk di kursi kerjanya, memejamkan matanya dan memijat pelan pangkal hidungnya untuk meredakan sakit kepala.

Dira masih terus memasang wajah kesalnya. “Perempuan itu siapa, sih? Berani-beraninya mau godain kamu, gak tau diri banget. Jijik, deh!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status