Share

5. Perpisahan

“Loh, Arlan, kamu gak ke kantor?” 

Mendengar suara Kinara, Arlan sontak menoleh. “Hari ini aku kerja di rumah aja,” jawabnya seraya menatap layar laptopnya kembali.

“Mumpung kamu di sini, tolong antar Shena pulang, ya.”

Arlan sontak menghentikan aktivitasnya, matanya beralih menatap Kinara kembali. “Pulang?” Kinara mengangguk cepat sebagai jawaban. “Ke kampung?” tanya Arlan lagi dan diangguki oleh Kinara. “Dia bisa pulang sendiri, ‘kan? Kasih aja uang buat ongkosnya.”

“Gak bisa gitu dong. Kamu kan calon suaminya, kamu yang antar dong. Sekalian pendekatan sama ayahnya, alias calon mertua kamu.” Kinara terkekeh kecil di akhir kalimatnya.

“Aku udah bilang kalau aku gak mau dijodohkan sama dia, kenapa Mama terus maksa gitu?” tanya Arlan, “sebenarnya apa alasan Mama terus bersikeras agar perjodohan tetap berlanjut?”

“Mama berhutang nyawa dengannya,” jawab Kinara. Arlan memasang raut tanyanya. “Pak Niko. Lagipula, setelah mama mengenal Shena, entah kenapa mama langsung kagum sama dia. Perhatian, penyayang, penyabar, rajin, pintar, tentunya cantik juga, dan masih banyak lagi keunggulan yang dia miliki. 

“Ingat, Arlan, mencari seorang istri jangan cuma cari yang cantiknya aja. Namun, juga harus punya kelebihan yang lainnya, yaitu mengurus rumah dan mengurus suami. Kalau cuma cantik tapi gak bisa urus kedua poin utama itu, percuma kamu jadiin dia istri. Dan mama lihat semua kemampuan itu ada di Shena.

“Pilihan mama gak akan salah. Ini juga demi kebaikan kamu, biar kamu gak salah pilih calon istri.”

Embusan napas berat terdengar dari Arlan. Dia menutup laptopnya dan menatap Kinara dengan teduh. “Tapi, aku gak cinta, Ma.”

“Bukan ‘gak’, tapi ‘belum’,” balas Kinara meralat ucapan Arlan. Arlan pun lagi-lagi hanya bisa mengembuskan napas lelahnya. “Setelah kamu benar-benar mengenalnya, kamu baru akan sadar seberapa berartinya Shena di hidup kamu.”

“Ma.” Merasa terpanggil, Kinara sontak menoleh ke sumber suara. Shena baru saja keluar dari kamar dengan tas gendong di belakangnya, dia berjalan ke arah Kinara dengan senyum simpulnya. “Ma, aku pamit pulang dulu, ya.”

“Shena, pulang sama Arlan, ya,” ucap Kinara. Shena sontak menoleh ke arah Arlan yang juga sedang menatap ke arahnya.

Shena menunjukkan senyumnya untuk Arlan. “Memangnya Mas Arlan mau antar aku pulang? Ke kampung, loh.”

Mendapat pertanyaan dari Shena, Arlan memasang tatapan tajamnya. “Saya sibuk.”

Kekehan kecil terdengar di telinga Arlan. “Yaudah, Ma, aku pergi dulu, ya.” Shena mencium punggung tangan Kinara sebagai tanda hormat sekaligus berpamitan. “Mas Arlan, semangat, ya, kerjanya. Jangan lupa istirahat. Aku pergi dulu.”

Tidak ada jawaban dari Arlan. Dia hanya terus fokus ke laptopnya, berpura-pura tidak mendengar apa yang Shena ucapkan untuknya. 

Tidak mendapat respons apa pun dari Arlan, Shena hanya bisa mengembuskan napas pasrah dan kembali menunjukkan senyumnya di depan Kinara. Kinara mengantar Shena sampai di depan rumah untuk menemui pak Eno. 

“Pak Eno, tolong antar Shena ke rumahnya, ya,” pinta Kinara, “sudah tau rumahnya, ‘kan?”

Pak Eno mengangguk dengan cepat. “Ibu tenang saja, saya masih ingat, kok. Ayo, Neng!”

“Iya, Pak,” balas Shena, “Bu, makasih banyak, ya, udah izinin aku menginap di sini. Aku pulang dulu.”

“Iya, Sayang.” Kinara mengecup kening Shena cukup lama. “Pak Eno, hati-hati, ya!”

“Siap, Bu!” seru pak Eno seraya menunjukkan ibu jarinya.

“Tunggu!” seru Arlan. Semuanya sontak menoleh ke sumber suara. Arlan berjalan mendekat ke mobil dan menemui pak Eno. “Pak, biar saya yang antar dia.”

“Pak Arlan yakin?” tanya pak Eno dengan raut ragunya. Arlan tidak menjawabnya, dia hanya terus memberi kode agar pak Eno segera turun. “Baik, Pak Arlan.”

Setelah pak Eno turun dari mobil, Arlan pun segera masuk. “Cepat masuk!”

Shena yang mengerti bahwa perintah Arlan itu ditujukan untuknya, Shena pun dengan cepat masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku depan samping Arlan.

“Sering-sering main ke sini, ya!” seru Kinara seraya melambaikan tangannya ke arahnya Shena. Shena pun mengangguk sebagai jawaban dan membalas lambaian tangan Kinara dengan lambaian juga.

Arlan mulai melajukan mobilnya. Sepi, tidak ada suara selain suara mesin dan kendaraan lain di perjalanan panjang mereka. Shena hanya terus melihat jalanan dari kaca mobil di sampingnya. 

“Pimpin jalannya,” ujar Arlan. Shena yang awalnya hanya fokus ke jalanan, sontak menoleh ke arah Arlan dengan raut terkejutnya. “Pimpin jalannya.”

“Oh, iya. Mas Arlan tau gedung besar yang terbengkalai di kota ini?” tanya Shena. Arlan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari depan. “Nah, lurus sedikit, nanti belok ke kiri. Nanti aku kasih tau belokan yang mananya.”

Suasana kembali hening. Shena yang tidak tahan dengan keheningan yang melandanya, dia memberanikan diri untuk membuka mulutnya kembali. 

“Aku boleh tanya satu hal?” tanya Shena. Namun, Arlan tidak kunjung menanggapinya. “Tipe perempuan yang mau Mas Arlan jadikan istri itu yang seperti apa?”

Tidak langsung menjawab, Arlan melirik ke arah Shena sekilas. “Yang terpenting bukan sepertimu. Kamu bukan tipe saya.”

Bukannya marah, Shena justru tertawa kecil untuk menanggapi jawaban dari Arlan. “Dulu juga aku pernah seperti itu, tapi sekarang malah berbalik.”

Arlan lagi-lagi hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus ke depan. Mobil terus melaju, melewati jalanan yang cukup lengang. Wajah Shena seketika berubah terkejut ketika Arlan mengubah jalurnya.

“Mas, kenapa ke sini?” tanya Shena.

“Saya akan bawa kamu ke terminal, jangan terlalu berharap kalau saya akan benar-benar bawa kamu pulang sampai rumah. Jalanan kampung tidak ada yang bagus.”

Mendengar jawaban dari Arlan, Shena hanya bisa mengembuskan napasnya pasrah. Lalu, kembali menunjukkan senyumnya dan mengangguk mengerti. 

“Benar juga, Mas Arlan juga kan masih ada pekerjaan di kantor,” ucap Shena seraya memeluk tasnya lebih kuat.

Mobil mereka masih melaju. Sampai di terminal bus, Arlan menghentikan mobilnya. Mereka berdua turun dari mobil. Shena berjalan mendekat ke arah Arlan dengan senyum simpulnya. 

“Makasih, ya, udah antar aku sampai terminal,” ucap Shena dengan nada tulusnya. “Yaudah, kalau gitu aku mau ke sana dulu. Aku harus punya tiket buat bisa pulang, jadi harus beli cepat-cepat biar gak kehabisan.”

“Ambil ini.” Arlan menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu kepada Shena. Shena yang mendapat sodoran uang dari Arlan pun sontak memasang raut bingungnya. “Ambil!”

“Oh, gak papa, Mas. Makasih bantuannya, uangku masih cukup, kok.”

Arlan hanya diam dan mengangkat bahunya tidak peduli. “Yaudah kalau gak mau.”

“Eh, tunggu-tunggu!” sergah Shena cepat. Arlan yang awalnya ingin mengantongi kembai uang tadi sontak terhenti. “Oke, sebenarnya aku butuh uang itu.”

Mendengar kejujuran Shena, Arlan sontak terdiam dengan raut bingungnya. Lalu, memberikan uang tadi untuk Shena. “Ambil.”

Tanpa ragu, Shena mengangguk dan menerima uang pemberian Arlan tadi. Dia kembali menunjukkan senyum cerianya. “Terima kasih banyak, ya, Mas Arlan. Mas Arlan benar-benar orang yang baik,” ucapnya dengan mata berbinar. “Mas, aku harus cepat-cepat beli tiketnya sebelum habis. Sekali lagi makasih banyak karena udah antar aku ke sini dan makasih juga bantuannya.”

Setelah mendapat anggukan dari Arlan, Shena pun dengan cepat berlari ke arah loket untuk membeli tiket bus yang menuju ke kampungnya.

Arlan menggelengkan kepalanya pelan ketika melihat Shena yang berlari kegirangan karena bantuannya. Senyum kecil nampak di bibirnya. “Bantuan apanya? Memalukan.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status