“Loh, Arlan, kamu gak ke kantor?”
Mendengar suara Kinara, Arlan sontak menoleh. “Hari ini aku kerja di rumah aja,” jawabnya seraya menatap layar laptopnya kembali.
“Mumpung kamu di sini, tolong antar Shena pulang, ya.”
Arlan sontak menghentikan aktivitasnya, matanya beralih menatap Kinara kembali. “Pulang?” Kinara mengangguk cepat sebagai jawaban. “Ke kampung?” tanya Arlan lagi dan diangguki oleh Kinara. “Dia bisa pulang sendiri, ‘kan? Kasih aja uang buat ongkosnya.”
“Gak bisa gitu dong. Kamu kan calon suaminya, kamu yang antar dong. Sekalian pendekatan sama ayahnya, alias calon mertua kamu.” Kinara terkekeh kecil di akhir kalimatnya.
“Aku udah bilang kalau aku gak mau dijodohkan sama dia, kenapa Mama terus maksa gitu?” tanya Arlan, “sebenarnya apa alasan Mama terus bersikeras agar perjodohan tetap berlanjut?”
“Mama berhutang nyawa dengannya,” jawab Kinara. Arlan memasang raut tanyanya. “Pak Niko. Lagipula, setelah mama mengenal Shena, entah kenapa mama langsung kagum sama dia. Perhatian, penyayang, penyabar, rajin, pintar, tentunya cantik juga, dan masih banyak lagi keunggulan yang dia miliki.
“Ingat, Arlan, mencari seorang istri jangan cuma cari yang cantiknya aja. Namun, juga harus punya kelebihan yang lainnya, yaitu mengurus rumah dan mengurus suami. Kalau cuma cantik tapi gak bisa urus kedua poin utama itu, percuma kamu jadiin dia istri. Dan mama lihat semua kemampuan itu ada di Shena.
“Pilihan mama gak akan salah. Ini juga demi kebaikan kamu, biar kamu gak salah pilih calon istri.”
Embusan napas berat terdengar dari Arlan. Dia menutup laptopnya dan menatap Kinara dengan teduh. “Tapi, aku gak cinta, Ma.”
“Bukan ‘gak’, tapi ‘belum’,” balas Kinara meralat ucapan Arlan. Arlan pun lagi-lagi hanya bisa mengembuskan napas lelahnya. “Setelah kamu benar-benar mengenalnya, kamu baru akan sadar seberapa berartinya Shena di hidup kamu.”
“Ma.” Merasa terpanggil, Kinara sontak menoleh ke sumber suara. Shena baru saja keluar dari kamar dengan tas gendong di belakangnya, dia berjalan ke arah Kinara dengan senyum simpulnya. “Ma, aku pamit pulang dulu, ya.”
“Shena, pulang sama Arlan, ya,” ucap Kinara. Shena sontak menoleh ke arah Arlan yang juga sedang menatap ke arahnya.
Shena menunjukkan senyumnya untuk Arlan. “Memangnya Mas Arlan mau antar aku pulang? Ke kampung, loh.”
Mendapat pertanyaan dari Shena, Arlan memasang tatapan tajamnya. “Saya sibuk.”
Kekehan kecil terdengar di telinga Arlan. “Yaudah, Ma, aku pergi dulu, ya.” Shena mencium punggung tangan Kinara sebagai tanda hormat sekaligus berpamitan. “Mas Arlan, semangat, ya, kerjanya. Jangan lupa istirahat. Aku pergi dulu.”
Tidak ada jawaban dari Arlan. Dia hanya terus fokus ke laptopnya, berpura-pura tidak mendengar apa yang Shena ucapkan untuknya.
Tidak mendapat respons apa pun dari Arlan, Shena hanya bisa mengembuskan napas pasrah dan kembali menunjukkan senyumnya di depan Kinara. Kinara mengantar Shena sampai di depan rumah untuk menemui pak Eno.
“Pak Eno, tolong antar Shena ke rumahnya, ya,” pinta Kinara, “sudah tau rumahnya, ‘kan?”
Pak Eno mengangguk dengan cepat. “Ibu tenang saja, saya masih ingat, kok. Ayo, Neng!”
“Iya, Pak,” balas Shena, “Bu, makasih banyak, ya, udah izinin aku menginap di sini. Aku pulang dulu.”
“Iya, Sayang.” Kinara mengecup kening Shena cukup lama. “Pak Eno, hati-hati, ya!”
“Siap, Bu!” seru pak Eno seraya menunjukkan ibu jarinya.
“Tunggu!” seru Arlan. Semuanya sontak menoleh ke sumber suara. Arlan berjalan mendekat ke mobil dan menemui pak Eno. “Pak, biar saya yang antar dia.”
“Pak Arlan yakin?” tanya pak Eno dengan raut ragunya. Arlan tidak menjawabnya, dia hanya terus memberi kode agar pak Eno segera turun. “Baik, Pak Arlan.”
Setelah pak Eno turun dari mobil, Arlan pun segera masuk. “Cepat masuk!”
Shena yang mengerti bahwa perintah Arlan itu ditujukan untuknya, Shena pun dengan cepat masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku depan samping Arlan.
“Sering-sering main ke sini, ya!” seru Kinara seraya melambaikan tangannya ke arahnya Shena. Shena pun mengangguk sebagai jawaban dan membalas lambaian tangan Kinara dengan lambaian juga.
Arlan mulai melajukan mobilnya. Sepi, tidak ada suara selain suara mesin dan kendaraan lain di perjalanan panjang mereka. Shena hanya terus melihat jalanan dari kaca mobil di sampingnya.
“Pimpin jalannya,” ujar Arlan. Shena yang awalnya hanya fokus ke jalanan, sontak menoleh ke arah Arlan dengan raut terkejutnya. “Pimpin jalannya.”
“Oh, iya. Mas Arlan tau gedung besar yang terbengkalai di kota ini?” tanya Shena. Arlan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya sedikitpun dari depan. “Nah, lurus sedikit, nanti belok ke kiri. Nanti aku kasih tau belokan yang mananya.”
Suasana kembali hening. Shena yang tidak tahan dengan keheningan yang melandanya, dia memberanikan diri untuk membuka mulutnya kembali.
“Aku boleh tanya satu hal?” tanya Shena. Namun, Arlan tidak kunjung menanggapinya. “Tipe perempuan yang mau Mas Arlan jadikan istri itu yang seperti apa?”
Tidak langsung menjawab, Arlan melirik ke arah Shena sekilas. “Yang terpenting bukan sepertimu. Kamu bukan tipe saya.”
Bukannya marah, Shena justru tertawa kecil untuk menanggapi jawaban dari Arlan. “Dulu juga aku pernah seperti itu, tapi sekarang malah berbalik.”
Arlan lagi-lagi hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus ke depan. Mobil terus melaju, melewati jalanan yang cukup lengang. Wajah Shena seketika berubah terkejut ketika Arlan mengubah jalurnya.
“Mas, kenapa ke sini?” tanya Shena.
“Saya akan bawa kamu ke terminal, jangan terlalu berharap kalau saya akan benar-benar bawa kamu pulang sampai rumah. Jalanan kampung tidak ada yang bagus.”
Mendengar jawaban dari Arlan, Shena hanya bisa mengembuskan napasnya pasrah. Lalu, kembali menunjukkan senyumnya dan mengangguk mengerti.
“Benar juga, Mas Arlan juga kan masih ada pekerjaan di kantor,” ucap Shena seraya memeluk tasnya lebih kuat.
Mobil mereka masih melaju. Sampai di terminal bus, Arlan menghentikan mobilnya. Mereka berdua turun dari mobil. Shena berjalan mendekat ke arah Arlan dengan senyum simpulnya.
“Makasih, ya, udah antar aku sampai terminal,” ucap Shena dengan nada tulusnya. “Yaudah, kalau gitu aku mau ke sana dulu. Aku harus punya tiket buat bisa pulang, jadi harus beli cepat-cepat biar gak kehabisan.”
“Ambil ini.” Arlan menyodorkan beberapa lembar uang lima puluh ribu kepada Shena. Shena yang mendapat sodoran uang dari Arlan pun sontak memasang raut bingungnya. “Ambil!”
“Oh, gak papa, Mas. Makasih bantuannya, uangku masih cukup, kok.”
Arlan hanya diam dan mengangkat bahunya tidak peduli. “Yaudah kalau gak mau.”
“Eh, tunggu-tunggu!” sergah Shena cepat. Arlan yang awalnya ingin mengantongi kembai uang tadi sontak terhenti. “Oke, sebenarnya aku butuh uang itu.”
Mendengar kejujuran Shena, Arlan sontak terdiam dengan raut bingungnya. Lalu, memberikan uang tadi untuk Shena. “Ambil.”
Tanpa ragu, Shena mengangguk dan menerima uang pemberian Arlan tadi. Dia kembali menunjukkan senyum cerianya. “Terima kasih banyak, ya, Mas Arlan. Mas Arlan benar-benar orang yang baik,” ucapnya dengan mata berbinar. “Mas, aku harus cepat-cepat beli tiketnya sebelum habis. Sekali lagi makasih banyak karena udah antar aku ke sini dan makasih juga bantuannya.”
Setelah mendapat anggukan dari Arlan, Shena pun dengan cepat berlari ke arah loket untuk membeli tiket bus yang menuju ke kampungnya.
Arlan menggelengkan kepalanya pelan ketika melihat Shena yang berlari kegirangan karena bantuannya. Senyum kecil nampak di bibirnya. “Bantuan apanya? Memalukan.”
Setelah mengantar Shena ke terminal, Arlan segera melajukan mobilnya kembali untuk pulang. Sesampainya di rumah, tentu Kinara tidak diam karena kedatangan anaknya yang terlalu cepat dari waktu yang seharusnya.Mendapat tatapan tajam dari Kinara, Arlan hanya mengembuskan napas panjangnya. Dia berjalan menghampiri laptopnya kembali yang masih tergeletak di meja ruang tamu, lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertinggal.“Kenapa kamu udah pulang? Kenapa cepet banget kembalinya? Kamu antar Shena, ‘kan? Kamu gak turunin Shena di tengah jalan, ‘kan?” tanya Kinara memberondong. Tidak ada jawaban dari Arlan. “Arlan, jawab mama!”“Aku antar dia sampai di terminal,” jawab Arlan seraya masih menatap layar laptopnya dengan santai. “Dia bilang gak papa, kok. Jadi, yaudah, aku turunin aja di sana. Dia kan pengertian,” lanjutnya seraya menekan kalimat terakhir dari ucapannya.Mendengar jawaban Arlan, Kinara sontak menggeram kesal. Dia membuang napasnya kasar sembari terus menatap tajam anaknya
Esok harinya, Arlan bergegas ke mobilnya dengan buru-buru karena terlambat bangun. Dia lupa untuk menyetel alarm di jamnya, alhasil dia hanya mandi dan langsung berangkat ke kantor tanpa sarapan.“Argh, terlambat bangun lagi! Masih ada setengah jam lagi sebelum meeting dimulai,” gumam Arlan dengan perasaan gelisahnya. “Semoga jalanan pagi ini lancar tanpa hambatan.”Seperti yang Arlan harapkan, jalanan pagi itu sangat lancar tanpa hambatan sedikit pun. Arlan melihat jam tangannya, pukul 08.54 waktu pagi. Arlan bergegas keluar dari mobil dan masuk ke kantornya dengan langkah panjang.Para karyawan pun sontak menghentikan aktivitasnya sekejap untuk menyapa Arlan. Mereka membungkukkan badannya sebagai tanda hormat.“Selamat pagi, Pak,” sapa mereka secara bergantian.Meskipun para karyawan sudah bersikap baik padanya tetapi, Arlan tetap terlihat tidak peduli sama sekali. Tidak ada satu sapaan pun dari mereka
“Perempuan yang tadi itu siapa, sih? Kamu kenal sama dia?” tanya Dira terus mendumel. Arlan pun tidak menggubrisnya. “Dari wajahnya ... kayaknya dia dari kampung, ya? Kayak ada norak-noraknya gitu.”Dira melirik ke arah Arlan dengan kesal karena tidak mendengarkannya sama sekali. Dia mengembuskan napasnya kasar dan berdecak kesal. “Arlan!”Seruan Dira yang cukup keras membuat Arlan menoleh ke arahnya, meskipun masih dengan raut malasnya. “Berisik,” balasnya dengan nada ketus.Mendapat ucapan ketus dari Arlan sontak membuat Dira memajukan sedikit bibirnya alias cemberut. Dira selalu melakukannya ketika sedang kesal atau bete dengan seseorang. Tingkahnya benar-benar seperti anak kecil.“Aku ini lagi ngomong sama kamu! Kenapa kamu malah cuekin aku terus, sih?!” geram Dira, “aku ini pacar kamu, loh! Hargai aku dong! Kamu, kok, jadi berubah banget gini sama aku? Ke mana perginya Arlan yang dulu perhatian banget sama aku?! Kamu jahat, Arlan!”Brak!Suara gebrakan meja yang cukup keras sonta
“Jangan hiraukan mereka. Ini perintah. Makanlah di sini saja!”Mendengar itu, Shena sontak terdiam sesaat, kemudian mengangguk. Dia kembali duduk di bangku yang sama dan mulai membuka bekalnya di samping Arlan.Mereka mulai memakan bekalnya masing-masing dengan lahap hingga suara Arlan membuat Shena menoleh kembali.“Ini masakanmu?” tanya Arlan tanpa menoleh ke arah Shena sedikit pun. Dia hanya terus menatap bekal miliknya dan menunggu jawaban dari Shena.Mendapat pertanyaan tiba-tiba dari Arlan sontak membuat Shena terkejut untuk sesaat. Namun, sesaat kemudian, dia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Itu memang masakanku. Apa Pak Arlan suka?”Arlan mengangkat bahunya seraya menjawab, “Setidaknya untuk sekarang saya bisa menghabiskannya.”Jawaban Arlan berhasil membuat senyum Shena terlihat lebih lebar dari sebelummnya. Dia menatap Arlan yang terus memakan masakannya dengan perasaan senang. “Syukurlah kalau begitu,” ucapnya, kemudian kembali memakan makanannya.Suasana begitu heni
Permintaan yang Shena tujukan untuk Arlan sontak membuat Arlan terdiam cukup lama. Namun, kemudian dia mengembuskan napas beratnya dan mengangguk pelan.“Saya tidak bisa menjelaskannya karena tidak tahu harus dimulai dari mana,” ucap Arlan, “jadi, hanya hari ini saja, saya bebaskan kamu untuk bertanya apa saja ke saya.”Shena menatap Arlan cukup lama, kemudian mengangguk. Dia mengembuskan napasnya panjang dan berkata, “Oke. Aku boleh tanyakan apa pun, ‘kan?”“Apa pun,” balas Arlan masih terus menunduk tanpa melirik ke Shena sedikit pun.“Sebenarnya ada hubungan apa di antara Mas Arlan dan Mbak Dira?”Pertanyaan Shena yang langsung merujuk ke sosok Dira sanggup membuat Arlan kembali terdiam. Namun, dia akhirnya menjawab juga. “Dua tahun yang lalu, dia adalah kekasih saya. Namun, semenjak dia menghilang satu tahun kemudian, saya sudah menyelesaikan hubungan saya dengannya.”
Besoknya, seperti yang Arlan inginkan, Shena membawa dua bekal di dalam tasnya. Dia menunggu kedatangan Arlan di depan kantor dengan satu kotak bekal di tangannya. Senyumnya mulai tampak ketika melihat sosok Arlan yang sudah turun dari mobilnya.Mata mereka saling bertemu untuk sekilas, lalu Arlan berjalan untuk masuk ke kantornya. Shena masih setia berdiri di tempatnya dan menunggu Arlan yang berjalan menghampirinya. Namun, senyum Shena seketika mengendur saat melihat sosok Dira yang lebih dulu menghampiri Arlan dan memberikan kotak bekal untuknya juga.Entah apa yang Dira katakan, Shena tidak mendengar apa pun karena jarak mereka yang cukup jauh. Namun, yang pasti, Arlan tidak membalas satu pun yang Dira katakan. Mata mereka kembali bertemu, Shena sedikit terkejut saat melihat Arlan melanjutkan langkahnya seraya menatap lurus ke arahnya.Sampai akhirnya Arlan berhenti tepat di depan Shena. “Untuk saya, ‘kan?” tanyanya seraya menatap ke arah k
Seperti biasanya, Shena kembali bangun pagi-pagi sekali karena harus membuat bekal untuk dirinya dan Arlan. Setelah masakan sudah jadi, Shena mengisi piringnya untuk sarapan. Lalu, mengisi dua kotak bekal untuknya dan Arlan.Selesai sarapan dan sebelum berangkat ke kantor, Shena menyelesaikan tugas rumahnya lebih dulu; menyapu, mengepel, cuci piring, dan menjemur pakaiannya. Setelah semuanya sudah selesai, Shena segera memesan ojek online lewat aplikasi di ponselnya.Shena mengunci pintu kosannya dan berjalan menghampiri tukang ojek tersebut, lalu ikut naik ke atas motor. Tidak lupa juga dia berpamitan kepada teman satu kosnya yang masih bersiap di depan pintu untuk bekerja ataupun berangkat ke kampus.“Duluan, ya, Semuanya,” pamit Shena. Setelah mendapat anggukan dari teman-teman kosnya, motor mulai melaju.Jalanan hari itu cukup padat, karena memang di pagi hari orang-orang banyak yang keluar untuk mencari rezeki ataupun menun
Kembali ke Shena, dia membereskan barang-barangnya sebelum pulang. Setelah selesai, dia segera keluar dan menunggu ojek yang telah dipesannya tadi. Setelah sampai, Shena langsung naik ke atas motor dan pulang ke kosannya.Shena bergegas untuk bersih-bersih kosannya sebelum pergi ke suatu tempat. Setelah bersih-bersih selesai, Shena pun segera mandi untuk membersihkan diri. Pukul 16.23 sore hari, Shena kembali keluar dari kosannya.Dia pergi dengan berjalan kaki. Sengaja dia hanya membawa tas kecil yang berisi dompet dan ponselnya saja, karena hari itu tidak ada jadwal kelas untuknya. Ya, Shena telah memutuskan untuk menerima dan ikut latihan dengan anak teater. Sebenarnya dia belum sempat untuk menghubungi Sinta dan memberi kabar kalau dirinya akan datang.Namun, karena sudah terlanjur jalan, Shena akhirnya langsung pergi saja tanpa mengabari Sinta lebih dulu. Ya, anggap saja sebuah kejutan untuk anak teater.Shena berjalan memasuki area kampus dan pergi